Jumat, 20 April 2012

27 Rajab 1374 tahun yang lalu


27 Rajab 1374 tahun yang lalu

Tadi pagi, 27 Rajab tahun ke-50 dari tahun Gajah, saat matahari baru saja naik, seorang pria kurus dengan perawakan sedang berjalan menuju toko kain milik saya di pasar seperti biasanya. Sepanjang perjalanan perhatiannya tertuju pada perilaku orang-orang heboh melebihi biasanya. Satu dengan yang lain saling berbicara, berbisik, sampai ada yang menggerutu.
Dia dekati salah seorang dari mereka dan bertanya ada apakah gerangan. Namun mereka enggan berbicara terus terang kepadanya, mereka cuma menunjuk ke arah Masjidil Haram.
Pria kurus ini memaju langkahnya ke Masjidil Haram, sampai seseorang menghampiri dia dan berkata:
Fulan: Wahai Atiq, temanmu si Muhammad telah menceritakan kabar bohong. Atiq: Demi Allah, katakan pada saya apa yang kamu tahu. Fulan: Pergilah ke Masjidil Haram, di sana sedang berkerumun orang-orang mendengarkan kisah ini dari Abu Jahal yang mendengar langsung dari Muhammad.
Atiq semakin mempercepat langkahnya menuju Masjidil Haram.
Sementara itu, di Masjidil Haram orang-orang sudah banyak berkumpul dan Abu Jahal memulai pidatonya.
“Wahai kaum Quraisy, dengarlah. Tadi pagi saya sedang melintasi Masjidil Haram untuk sebuah keperluan dan melihat Muhammad sedang duduk merenung. Saya hampiri dan saya sapa, ‘Tidak adakah lagi hal (wahyu) yang datang padamu tadi malam?’ Dia menjawab bahwa dia telah diberangkatkan ke Baitul Maqdis di Jerussalem dan kemudian diangkat ke langit. Apakah dia menyangka kita tidak tahu bahwa perjalanan dari Mekah ke Jerussalem, dengan kuda terbaik dan penunjuk jalan terbaik, paling cepat membutuhkan waktu satu bulan dan satu bulan lagi untuk kembali ke Mekah. Kemudian dia bercerita tentang perjalanan ke langit, apakah kita akan percaya dia bisa terbang seperti burung? Sesungguhnya Muhammad bukanlah siapa-siapa selain penyair dan pendusta.”
Kerumunan bersorak-sorak. Salah seorang dari kaum muslimin tampil ke depan dan bertanya langsung kepada Muhammad SAW:
“Benarkah begitu, wahai Utusan Allah, bahwa tadi malam anda dijalankan?” “Demi Allah, benar demikian. Dan di sana saya mengimami shalat bersama kawan-kawan para Anbiya.”
Sorak-sorai makin bergemuruh. Seorang yang lain tampil dan menantang Rasulullah untuk menggambarkan Masjidil Aqsha. Rasulpun menjawabnya dengan tepat dan rinci.
Perasaan di kalangan massa bercampur aduk. Para kafir Quraisy bergembira karena menyangka bahwa dengan berita ini akan berakhirlah riwayat Muhammad dan ajarannya. Di kalangan muslimin pun terselip perasaan bimbang dengan cerita yang susah dicerna oleh akal sehat itu.
Beberapa orang kafir Quraisy kemudian bergegas mencari Atiq, teman baik dan sahabat dekat Muhammad SAW, untuk diceritakan kejadian ini. Mereka begitu bangga dan senangnya dengan kabar ini, berharap bahwa mereka bisa membawa Atiq kembali ke agama “nenek moyang” mereka. Bukankah Atiq seorang pedagang yang kerap kali ke Syria dan dia tahu betul betapa susah dan lamanya jarak tempuh Mekah - Jerussalem?.
Tidak terlalu lama bagi mereka menemukan Atiq, Atiq sendiri sedang dalam perjalanan ke Masjidil Haram.
“Hai Atiq, semua urusan sahabatmu sampai saat sebelum ini masih enteng dan dapat ditoleransi. Tapi sekarang, kemari dan dengarkanlah. Kami hendak menyampaikan sesuatu tentang sahabatmu.”
“Celakalah kalian kalau kalian membahayakan jiwanya!”
Merekapun mundur sedikit, bagaimanapun orang yang mereka ajak bicara itu dulunya termasuk jajaran tokoh yang disegani di Mekah. Keseganan ini membuat mereka takut tatkala Atiq menjawab sapaan mereka.
“Dengar, sahabatmu sedang di Ka’bah. Ia menceritakan kepada orang-orang bahwa Tuhannya telah menjalankannya ke Baitul Maqdis. Ia berangkat malam, pulang malam, dan sekarang dia berada ditengah-tengah kita.”
Atiq diam sejenak, kaum kafiq Quraisy menunggu reaksinya. Kemudian, diucapkannya kalimat yang kemudian hari menjadi karakternya dan digelari oleh oleh Muhammad SAW sebagai As-Siddiq (yang membenarkan).
“Ada banyak hal yang di luar jangkauan pemikiran kita. Jika demikian, maka benarlah ia, sesungguhnya ia tidak pernah berdusta sekalipun. Saya akan mempercayainya walaupun lebih daripada itu. Saya mempercayai kabar perjalanannya ke Baitul Maqdis, baik diwaktu pergi maupun kembali.”
Atiq, yang tidak lain adalah Abu Bakar ra. menerobos orang-orang yang terbengong-bengong dengan ucapannya dan semakin mempercepat langkahnya menuju Masjidil Haram. Sesampainya di sana dijumpainya kumpulan orang-orang yang mencibir dan yang ragu-ragu sedang mengelilingi Muhammad SAW dengan suara ribut tidak menentu. Abu Bakar menerobos sampai dia melihat orang yang dimuliakannya sedang khusuk tertunduk menghadap Ka’bah, tiada merasa terganggu sedikitpun dengan orang-orang disekitar dia.
Abu Bakar menghampirinya, memberi salam, kemudian memeluknya sambil berkata,
“Demi bapak dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah! Demi Allah, sesungguhnya engkau benar. Demi Allah, sesungguhnya aku mengimani apa yang telah terjadi pada engkau semalam karena engkau adalah Utusan Allah. Dengarkanlah, sesungguhnya saya menyaksikan tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Inilah kualitas iman Abu Bakar ra, Manusia ketiga yang menerima Islam setelah Khadijah ra (istri Muhammad SAW) dan anak kecil Ali bin Abi Thalib. (Jadi yang pertama kali mengakui kerasulan Muhammad SAW adalah Khadijah ra., ini menjadikan bahwa orang yang masuk Islam pertama kali adalah dari kaum perempuan. Imam Ali adalah anak kecil pertama yang masuk Islam, sementara Abu Bakar adalah laki-laki dewasa pertama yang masuk Islam.)
Abu Bakar adalah laki-laki dewasa pertama memeluk Islam.
Muhammad SAW tersenyum dan berkata,
“Demi Allah, sesungguhnya engkau ya Abu Bakar adalah orang yang membenarkan (As-Siddiq). Engkau bisa melihat jauh dan engkau bisa menerima kebenaran yang sulit diterima oleh orang kebanyakan. Atas kuasa Allah, apapun bisa terjadi meski sulit diterima oleh pikiran manusia.”
Sungguh tontonan keimanan yang begitu menakjubkan. Kejadian ini, atas izin Allah, menguatkan kembali iman para kaum muslimin yang sempat bimbang. Sementara bagi kaum Quraisy merupakan pukulan, beberapa di antaranya secara diam-diam menyatakan keimanan mereka.
Mukjizat Isra’ Miraj
Isra’ adalah perjalanan (horizontal) Nabi SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Jerussalem. Sementara Miraj adalah perjalanan (vertikal) Nabi SAW sampai ke Baitul Maqdis, tempat di lapisan “langit” tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk, malaikat, jin, apa lagi manusia. Isra’ dan Miraj Nabi SAW adalah salah satu mukjizat beliau sebagai seorang Rasul. Jumhur para ulama sepakat bahwa Isra’ Mi’raj ini terjadi pada tahun kesepuluh kenabian, jadi sekitar tahun ke-50 dari Tahun Gajah (tahun kelahiran Muhammad SAW). Jumhur ulama juga sepakat bahwa perjalanan ini dilakukan dengan jasad dan ruh Nabi SAW.
Kisah perjalanan ini diceritakan lengkap dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Iman Bukhari dan Imam Muslim. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW menunggangi sejenis binatang yang lebih besar sedikit dari keledai dan lebih kecil sedikit dari unta. Binatang ini disebut Buraq. Binatang ini berjalan dengan langkah sejauh mata memandang (sebagian ilmuwan muslim menafsirkan kecepatan ini sebagai kecepatan cahaya). Disebutkan pula bahwa Rasulullah SAW memasuki Masjidil Aqsha, lalu shalat dua rakat di dalamnya. Kemudian Jibril menawarkan segelas khamar dan segelas susu. Rasulullah SAW memilih susu, yang dikomentari oleh Jibril “Engkau telah memilih fitrah.”
Kemudian Rasul diangkat ke langit pertama, kedua, dan seterusnya sampai ke Sidratul Muntaha. Di sinilah Rasul menerima tiga hadiah istimewa dari Allah: Keutamaan kalimat tahuid, bahwa ummat Muhammad SAW yang mengucapkan sekali saja bershahadat dan yakin apa yang diucapkan maka surga adalah imbalannya; Ayat 284, 285, dan 286 dari Surat Al Baqarah (3 ayat terakhir); serta shalat lima kali sehari semalam.
Pada pagi hari dari malam isra’ itu Jibril datang kepada Rasulullah SAW mengajarkan cara shalat dan menjelaskan waktu-waktunya. Sebelum disyariatkan shalat lima waktu, Rasulullah SAW melakukan shalat dua rakat di pagi dan di sore hari sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim as.
Kedudukan Mukjizat Isra’ Miraj
Tahun terjadinya mukjizat ini disebut para ahli sejarah muslim sebagai tahun kesedihan (‘Amul Huzn). Pada tahun ini meninggal dunialah Khadijah ra. dan Abu Thalib, dua orang yang selalu membantu beliau.
Khadijah ra. adalah istri pertama Rasulullah SAW yang dinikahi saat Rasul SAW berusia 25 tahun dan Khadijah ra. berusia 40 tahun. Khadijah mengorbankan harta dan jiwanya untuk dakwah Islam. Kemuliaan akhlaknya dan semangat jihadnya membuat Khadijah ra. mendapatkan tempat spesial di hati Muhammad SAW. Sabda Rasulullah SAW “sebaik-baik wanita (langit) adalah Maryam binti Imran, dan sebaik-baik wanita (bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.”
Sementara Abu Thalib, ayah dari Imam Ali ra., adalah adik dari Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Rasulullah SAW. Beliau mengasuh Muhammad SAW semenjak berumur 6 tahun. Kecintaannya pada Muhammad SAW sangat dalam. Dan ini dibuktikannya lewat perbuatan, Abu Thalib adalah orang yang pertama dalam membela Rasulullah setiap kali diganggu oleh kafir Quraisy. Abu Thalib sampai meninggalnya tidak sempat mengucapkan syahadat secara lengkap, yaitu hanya mengucapkan bagian persaksian tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Saat Abu Thalib meninggal, Rasulullah memanjatkan doa khusus kepada Allah untuk beliau.
Pada tahun yang sama juga, Rasulullah SAW diperlakukan secara buruk dan sadis oleh penduduk kota Thaif saat Rasulullah SAW berdakwah di sana. Di sinilah terjadi peristiwa terkenal saat Jibril as. datang kepada Rasulullah SAW untuk memberi tahu bahwa malaikat-malaikat penjaga gunung diperintahkan Allah menawarkan bantuan menghancurkan kota Thaif dan penduduknya dengan menimpakan gunung-gunung di atas mereka. Rasulullah menolak bantuan itu dan malah mendoakan keselamatan dan hidayah kepada penduduk kota Thaif. Cerita lengkapnya insyaallah kita bahas lain waku.
Tiga peristiwa penting ini begitu membekas di hati Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW khawatir jangan-jangan apa yang dialaminya ini karena murka Allah kepadanya. Dalam doanya, Rasulullah SAW berkata “Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua (kejadian) ini tidak aku hiraukan.”
Kemudian setelah itu datangkah “undangan” isra’ dan miraj sebagai kado dari Allah untuk menghormati dan menyegarkan semangat dan ketabahan beliau SAW.
Shalat adalah hadiah spesial dari Allah untuk manusia
Semoga isra’ miraj ini menambahkan keimanan kita seperti halnya Abu Bakar as-Siddiq. Semoga juga kita menyadari kembali bahwa Shalat sesungguhnya adalah hadiah dari Allah buat kita. Dalam sebuah riwayat, amirul mu’minin Ali ra. sedang berjalan-jalan di pasar beserta para sahabatnya dan beliau mendengarkan adhan. Beliau berkata,
“Sesungguhnya telah datang waktu di mana kita harus melakukan sesuatu yang telah dihadiahkan kepada kita umat manusia langsung dari Allah. Sesuatu yang saat diberikankan ke gunung-gunung, gunung tidak kuasa melakukannya. Sesuatu yang saat ditawarkan ke lautan, lautan tidak mampu melakukannya. Sesuatu yang ditawarkan kepada tumbuh-tumbuhan, mereka pun tidak sanggup. Hanya manusialah yang sanggup menerimanya. Dan sesuatu itu adalah shalat.”
Di antara ibadah-ibadah lain, shalat adalah ibadah yang paling utama. Keutamaan ini tergambar dari sebuah hadits Rasul bahwa amalan yang pertama-tama akan dihisab adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka baik pulalah semua amalan yang lain. Ini sesuai dengan firman Allah bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Ayo, mari kita sempurnakan shalat kita, perbaiki gerakan dan bacaan, dan mari kita jaga shalat kita sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang dilaknati Allah dalam surat Al Ma’un.
Submitted by Lukman Farid (not verified) on Fri, 2006-11-24 02:30.
Pengalaman Nabi Muhammad melakukan Isra’ dan Mi’raj termasuk hal yang juga masih mendapat banyak perdebatan didunia Islam khususnya dan dunia Barat pada umumnya yang memang memandang kisah tersebut dengan kacamata skeptis dan menganggapnya hanya sebagai khayalan dan bualan dari Nabi belaka.; Sebaliknya umat Islam sendiri meributkan apakah perjalanan yang dilakukan oleh Nabi tersebut dilakukan secara jasmani atau perjalanan rohani. Semuanya didasarkan pada cara pandang masing-masing orang dalam menafsirkan ayat dan hadis yang berhubungan dengan kejadian ini. Kisah perjalanan malam Nabi Muhammad yang terjadi pada saat beliau kehilangan istri dan paman yang dikasihinya inipun sebenarnya secara obyektif dapat juga dianalisa melalui kacamata ilmiah dimana apa yang beliau alami sekitar 1400 tahun yang silam itu tidak ubahnya seperti seorang pebisnis yang melakukan perjalanan pulang-pergi dengan pesawat terbang dari suatu tempat ketempat yang lain.
Maha Suci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil haram kemasjidil aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya, untuk Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan Kami; Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat – Qs. 17 al-Israa’ : 1 Dengan segala kesucian-Nya, bebas dari kemauan, kehendak maupun ketinggian teknologi yang ada pada diri seorang hamba-Nya Muhammad, Allah telah memperjalankannya pada suatu malam yang sepi dengan segala kelengkapan dan fasilitas yang mengelilinginya sehinga terhindar dari segala hal buruk yang dapat terjadi selama perjalanan itu berlangsung dari suatu tempat bernama Masjid al-Haram dengan tujuan memperlihatkan kerajaan Allah dialam semesta. Disurah yang lain Allah berfirman sehubungan peristiwa ini : Perhatikanlah bintang ketika dia menghilang, tidaklah kawanmu (Muhammad) orang yang sesat dan bodoh, tidak juga perkataannya itu berasal dari hawa nafsunya pribadi, apa yang diucapkannya adalah wahyu yang disampaikan dan yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat (Jibril) yang mempunyai akal yang cerdas. Dan dia telah menampakkan rupanya yang asli saat dia berada diufuk yang tinggi lalu dia mendekat dan menjadi rapat (terhadap diri Muhammad) tidak ubahnya berjarak antara dua busur panah atau lebih dekat lagi; kemudian dia (Jibril) meneruskan kepadanya (Muhammad) apa saja yang telah diwahyukan; hatinya tidak mendustakan apa yang sudah dilihatnya, maka apakah kamu hendak membantah apa yang sudah dia lihat ? Dan sungguh dia telah melihatnya pada kesempatan yang lain, di Sidratul Muntaha yang didekatnya ada Jannah tempat tinggal; ketika Sidratul Muntaha itu diliputi sesuatu yang melapisinya maka tidaklah dirinya berpaling dari apa yang terlihat dan tidak juga dia bisa melebihinya, sungguh dia telah melihat tanda-tanda Tuhannya yang paling hebat– Qs. 53 an-Najm : 1 s/d 18 Dalam ayat yang cukup panjang diatas, dipaparkan bagaimana dalam peristiwa perjalanan malamnya itu Nabi Muhammad berjumpa dengan malaikat Jibril dengan wujudnya yang asli seperti yang pernah disaksikannya saat pertama kali beliau mendapat wahyu digua Hira. Bila kita analisa ayat per ayatnya maka tidaklah sulit bagi kita untuk mengetahui bahwa semua yang sudah dialami oleh Nabi Muhammad tersebut bukanlah bualan maupun mimpi-mimpi belaka, tidak juga yang dialaminya merupakan sekedar pengalaman rohani yang tidak melibatkan jasad jasmaninya karena disitu dicantumkan keterangan bahwa hati Nabi sebagai rohani tidak mungkin mendustakan apa yang sudah dilihat oleh matanya sebagai indra jasmani. Sebab itu juga kita bisa mengerti bila ada sebagian orang yang tadinya beriman namun setelah beliau menceritakan pengalaman terbangnya yang hanya dalam setengah malam saja berbalik murtad dan mendustakan kenabiannya. Peradaban masyarakat Mekkah secara khusus dan dunia secara umumnya kala itu masing sangat rendah bahkan Eropa belum lagi mengenal masa renaisansnya, dunia juga belum mengenal pesawat terbang, orang masih berkhayal terbang dengan permadani atau kuda sembrani seperti pada film Aladdin dan sejenisnya. Pesawat terbang sendiri baru dibuat pada abad 19 yaitu bulan Desember 1903 oleh Wright bersaudara (Wilbur Wright dan Orville Wright) dengan percobaan pertama mereka diatas padang pasir Kitty Hawk, Carolina Utara, Amerika Serikat (Sumber : Brian Williams, Pustaka Pengetahuan Modern, Pesawat Terbang, terj. Dadi Pakar, Penerbit PT. Widyadara, Jakarta, hal. 3) Kejadian didalam mimpi tidak perlu diperdebatkan apalagi membuat seseorang menjadi gusar dan berbalik keimanan. Semua orang bisa saja bermimpi yang aneh-aneh, semua orang boleh saja mengatakan bahwa didalam mimpinya tadi malam telah pergi melanglang buana dan menemui banyak wanita cantik atau bahkan didalam mimpinya itu dia sudah menjalankan ibadah haji; namun semuanya tetaplah mimpi belaka yang hakekatnya tidak terjadi dialam nyata yang sebenarnya. Dus, sekalipun misalnya benar bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj pernah terjadi didalam mimpinya, maka sesuai dengan ayat al-Qur’an yang lain bahwa mimpi yang diperlihatkan kepada Nabi pasti akan terjadi didunia nyata dan ini berarti tetap saja akhirnya mimpi Isra’ dan Mi’raj itu dialami secara jasmani oleh Nabi Muhammad. Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya mengenai kebenaran mimpinya dengan sebenarnya – Qs. 48 al-Fath : 27 Bahwa perjalanan Isra’ dan Mi’raj disebutkan berlangsung pada waktu malam hari, dimana secara psikologis suasana lebih terasa tenang dibanding keadaan disiang atau dipagi hari, aktivitas masyarakatpun sudah berpusat didalam rumahnya masing-masing sekaligus beristirahat melepas penat bekerja seharian dan menjadi kondisi yang cocok dalam melakukan pendekatan kepada Yang Maha Kuasa apalagi bila kita mengingat keadaan jazirah Arabia diwaktu itu. Kitab suci al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kita saat yang terbaik untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang muslim adalah malam hari. Berdirilah pada malam hari untuk ibadah, separuhnya atau kurang dari itu atau malah lebih dari separuh malam dan bacalah al-Qur’an dengan perlahan-lahan. – Qs. 73 al-Muzzammil : 2 s/d 4 Sesungguhnya bangun diwaktu malam itu adalah paling baik dan lebih tenang bacaannya – Qs. 73 al-Muzzammil : 6 Dari kacamata ilmu modern, perjalanan Nabi keluar angkasa dimalam hari justru tepat sekali karena bila beliau diberangkatkan saat siang hari maka beliau naik menuju matahari yang menjadi pusat orbit semua planet dalam sistem matahari kita. Kenyataan ini tidak dapat disebut bahwa Nabi telah berangkat naik akan tetapi sebenarnya beliau justru turun karena semakin dekat kita pada pusat orbit atau pusat rotasi maka kita tidak sedang naik namun sedang turun, seandainya orang naik dari bumi menuju Planet Jupiter atau Saturnus hendaklah dia berangkat waktu malam yaitu bergerak dengan menjauhi matahari selaku titik yang paling bawah dalam tata surya kita. Orang mengetahui bahwa semesta, galaksi, tata surya dan planet, masing-masingnya mengalami perputaran. Setiap putaran tentunya memiliki pusat putaran yang langsung menjadi pusat benda angkasa itu. Semuanya bagaikan bola atau roda yang senantiasa berputar. Maka sesuatu yang menjadi pusat putaran dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari pusat putaran dinamakan semakin atas. Dalam hal ini keadaan dibumi dapat dijadikan contoh. Pusat putaran bumi dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari pusat itu dikatakan semakin naik keatas. Akibatnya, orang yang berdiri di Equador Amerika dan orang yang berdiri dipulau Sumatera, pada waktu yang sama, akan menyatakan kakinya kebawah dan kepalanya keatas, padahal kedua orang tersebut sedang mengadu telapak kaki dari balik belahan bumi, tetapi masing-masingnya ternyata benar untuk status bawah dan atas yang dipakai dipermukaan bumi ini. Demikian juga jika contoh itu dipakai untuk status tata surya dimana matahari sebagai bola api langsung bertindak jadi pusat rotasi ataupun peredaran. Karenanya matahari dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari matahari dinamakan semakin naik keatas. Planet Venus dan Mercury berada dibawah orbit bumi karena keduanya mengorbit dalam daerah yang lebih dekat dengan matahari, jadi jika ada penduduk bumi yang pergi ke Venus, Mercury atau Matahari, maka orang tersebut hakekatnya sedang turun bukan naik, karenanya Planet Venus dan Mercury tidak mungkin disebut sebagai langit bagi planet bumi kita, sebab yang dikatakan langit adalah sesuatu yang berada dibahagian atas, tetapi benar kedua planet itu menjadi langit bagi matahari sendiri. Selanjutnya, ayat al-Qur’an juga menyebutkan secara jelas bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi dari satu titik (daerah) bernama Masjid al-Haram dan kita semua tahu bahwa kata itu merujuk pada tempat bersujud disekeliling Ka’bah, entah itu dibagian yang disebut Hathiem, Hijir maupun maqam Ibrahim dimana menurut konon cerita sebagai tempat berpijak Nabi Ibrahim sewaktu meninggikan dasar-dasarnya bersama puteranya Nabi Ismail. Karenanya maka kita tidak perlu bingung dengan keberadaan hadis riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa Nabi diperjalankan dari Hatihiem dan Hijr seperti berikut ini : Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid dari Hummam bin Yahya dari Qatadah yang berasal dari Anas bin Malik dari Malik bin Sha’sha’ah bahwasanya Nabi Allah Saw telah menceritakan kepada mereka tentang suatu malam dimana beliau di Israa’kan : ‘Ketika aku di Hathiem dan terkadang beliau bersabda – aku ada di Hijir sambil berbaring …’ Semuanya menunjukkan bahwa posisi Nabi kala itu masih berada di Mekkah dan dalam lingkungan Ka’bah (Masjid al-Haram) sesuai surah al-Israa’ ayat 1. Hanya saja yang perlu kita koreksi adalah hadis-hadis lain (salah satunya juga diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik menurut versi Abu Dzar) yang mengatakan bahwa Nabi diberangkatkan dari dalam rumahnya dengan membukanya atap-atap rumah beliau dengan sendirinya untuk kemudian muncul Jibril dan langsung membelah dadanya lalu ada juga hadis yang mengatakan bahwa Nabi tidak berangkat dari rumahnya dan tidak pula dari dekat Ka’bah tetapi dari rumah Umi Hani binti Abu Thalib saat beliau menginap disana. Disini kita tidak akan banyak bercerita mengenai riwayat detil hadis-hadis itu namun untuk diketahui saja bahwa ada banyak sekali variasi hadis yang menceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini dan masing-masing isi hadis saling berseberangan atau bertolak belakang; Dari kacamata ilmu modern, salah satu dari kumpulan hadis-hadis itu pasti benar atau semuanya salah yang disebabkan terdistorsinya hadis Nabi oleh pikiran, ucapan maupun khayalan para perawinya, toh, mereka adalah manusia biasa, tidak ada jaminan para perawi hadis bebas dari kesalahan. Mustahil Nabi Muhammad bercerita mengenai kejadian yang sama tetapi berbeda informasinya, sebab ini berarti Nabi sudah berdusta padahal sifat ini sangat jauh dari pribadi seorang Muhammad yang sejak kecil digelari masyarakatnya sebagai al-amin. Inilah makanya jangan terlalu bertaklid terhadap hadis, bersifat kritislah, enyahkan jauh-jauh emosional yang mengganggu pikiran rasional. Selanjutnya dari masjid al-haram perjalanan Nabi sampai kemasjid al-aqsha; bertitik tolak dari istilah masjid al-aqsha ini maka sejumlah ulama kembali berbeda pandangan, apakah yang dimaksud adalah masjid al-aqsha yang sekarang ini berada ditanah Yerusalem ataukah nama suatu tempat nun jauh disana. Dalam hal ini Saleh A. Nahdi (Sumber: Saleh A. Nahdi, Mi’raj Isra bukan Isra Mi’raj, Penerbit PT. Arista Brahmatyasa, Jakarta, 1993, hal. 45) berpendapat bahwa masjid al-aqsha yang dimaksud merupakan masjid Nabawi dikota Madinah, dimana menurut beliau tujuan perjalanan Nabi kesana sebagai petunjuk awal dari Allah kepada Nabi Muhammad untuk berpindah dari tanah kelahirannya Mekkah al-mukarromah yang waktu itu masyarakatnya sangatlah membenci beliau sekaligus menjadi titik tolak kemenangan Islam dimasa depan. Saleh A. Nahdi menyatakan bahwa penyebutan masjid al-aqsha untuk nama tempat yang ada di Yerusalem tidaklah sesuai dengan kalimat ‘Kami berkati sekelilingnya’ sebab pada kenyataannya daerah ini tidak pernah mencerminkan isi ayat tersebut, sebaliknya hampir setiap hari kita lihat diberita terjadi pembantaian manusia oleh zionis Israel. Senada dengan Saleh A. Nahdi, Taufik Adnan Amal (sumber: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, dengan kata pengantar : Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA), Yogyakarta, 2001, hal. 79, catatan kaki no. 59) berpendapat dengan merujuk istilah masjid al-aqsha yang ada pada surah al-Israa’ ayat satu kepada tempat peribadatan yang terletak di Yerusalem sangat tidak logis, karena masjid al-Aqsha baru dibangun sekitar 46 tahun setelah wafatnya Nabi, dan hadis-hadis yang bercerita pengalaman Nabi di Bait al-Maqdis bukan satu-satunya yang ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis tentang peristiwa Mi’raj. Menurut beliau, hadis-hadis lainnya memberi keterangan bahwa perjalanan spiritual Nabi tersebut bermula dari Mekkah dengan tanpa menyebut perjalanan ke Yerusalem [Lihat misalnya Bukhari, Shahih, Kitab al-Shalat, bab kayfafuridlat al-shalat…; Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, eds. Mahmud Muhammad Syakir & Ahmad Muhammad Syakir]; Disisi lain Taufik juga mempertanyakan bila Yerusalem dalam ayat lain dinyatakan sebagai negeri terdekat (Lihat surah 30 ar-Rum ayat 3) maka bagaimana mungkin sekarang dinyatakan Yerusalem sebagai masjid terjauh ? Oleh karena itu masih menurut beliau, maka ahli sejarah Islam terkenal, Thabari tidak memasukkan versi hadis tentang perjalanan Nabi ke Yerusalem, tetapi menuturkan perjalanan spiritual Nabi ke langit dunia tanpa menyinggung Yerusalem. Namun berbeda dengan Saleh A. Nahdi yang berpendapat masjid al-aqsha adalah masjid Nabawi, maka Taufik Adnan Amal berpendapat bahwa masjid al-aqsha yang tercantum didalam kitab suci merujuk tempat ibadah para malaikat dilangit.
Bila kita kembalikan lagi kepada al-Qur’an sebagai data paling otentik yang diakui oleh umat Islam, penunjukan masjid al-aqsha kepada Bait al-Maqdis di Yerusalem memang tidak pernah ada sebaliknya ketika menyambung pembicaraan mengenai Isra’ Mi’raj dalam surah an-Najm, al-Qur’an memperkenalkan istilah Sidratul Muntaha dimana Nabi disebutkan telah melihat wujud asli dari malaikat Jibril.; Istilah masjid al-aqsha secara terminologi berarti tempat sujud yang jauh. Dari kitab suci, pemakaian kata masjid pernah disebut untuk merujuk tempat ibadah ashabul kahfi yang hidup sebelum kenabian Muhammad, sehingga argumentasi bahwa pengertian masjid hanya terbatas pada nama tempat dimana umat Nabi Muhammad beribadah menjadi lemah. Sungguh kami akan mendirikan masjid (tempat bersujud) diatasnya – Qs. 18 al-Kahf : 21 Untuk itu tidak berlebihan kiranya apabila saya cenderung mengkaitkan antara masjid al-aqsha dengan Sidratul Muntaha, dengan kata lain bahwa masjid al-aqsha yang dimaksud tidak berada dibumi ini. Mengkaitkan antara masjid al-aqsha sebagai masjid Nabawi maupun Bait al-Maqdis di Yerusalem sama sekali tidak tepat selain memang bertentangan dengan fakta historis tanah tepi barat yang selalu menumpahkan darah sehingga tidak layak disebut kota suci yang diberkahi Tuhan sepanjang masa, perjalanan Nabi untuk sujud dimasjid Nabawi yang notabene belum ada saat itu tidak masuk dilogika.; Kita tahu sebelum Nabi memutuskan hijrah ke Madinah (dulu bernama Yatsrib) Nabi pernah melakukan hijrah ke Ethiopia (Habsyah) namun gagal. Seandainya Nabi sudah tahu bahwa tempat hijrah yang sebenarnya adalah di Madinah, beliau tidak perlu lagi mencoba ke Ethiopia. Sidratul Muntaha bila dilihat dari kacamata ilmu modern bisa diasumsikan bagi nama sebuah planet bumi lain diluar tata surya yang kita diami ini yang letaknya jauh dari jangkauan penglihatan indrawi kita secara kasat mata. Surah an-Najm ayat ke-7 menyebutnya dengan istilah ufuk yang tinggi, sedangkan ufuk sendiri adalah batas pandangan mata, kita juga tahu mata kita ini memiliki keterbatasan dalam melihat semua benda luar angkasa yang berjumlah jutaan itu. Dan dia berada diufuk yang tinggi – Qs. 53 an-Najm : 7 Saya juga menghubungkan antara Sidratul Muntaha yang disebut dalam ayat ke-15 surah an-Najm terdapat Jannah sebagai tempat tinggal dengan Jannah dimana dulunya Adam berasal sebelum diperintahkan Allah turun kebumi kita ini dan di Jannah itu juga para Malaikat pernah bersujud kepada Adam. Didekatnya ada Jannah tempat tinggal – Qs. 53 an-Najm : 15 Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu didalam Jannah itu – Qs. 7 al-a’raaf : 19 Dan saat Kami memerintahkan kepada Malaikat : ‘Sujudlah kamu semua kepadanya !’ ; Lalu mereka bersujud kecuali Iblis – Qs. 17 al-Israa’ : 61 Istilah Jannah sendiri bisa diartikan sebagai kebun yang subur (referensi : A. Hassan, Tafsir al-Furqon, Penerbit Pustaka Tamaam Bangil, 1986, hal. 10, catatan kaki no.38), dan kita bisa membaca sifat Jannah yang lain dari surah Thaha ayat 118 dan 119 bahwa didalamnya Adam tidak merasa kepanasan akibat sinar matahari dan tidak juga dia merasa kehausan atau kelaparan maupun sampai telanjang akibat udara yang panas sehingga harus membuka pakaian, sebab tempat tersebut banyak sekali pepohonan yang rimbun dan buahnya bisa dinikmati sebagaimana isi surah al-Baqarah ayat 35. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan dan telanjang didalamnya dan sungguh kamu juga tidak akan merasa dahaga maupun ditimpa panas matahari disana – Qs. 20 Thaha : 119 Bila kita mengadakan bacaan lintas kitab seperti yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya, al-Kitab Kristen pun menceritakan bahwa Adam dan istrinya bukan tinggal di surga yang wujudnya tidak dapat dibayangkan secara konkrit melainkan tinggal dalam sebuah kebun yang subur. Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu. - Perjanjian Lama : Kitab Kejadian : Pasal 2 ayat 8 Dengan demikian, perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad selaku Nabi terakhir pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah suatu perjalanan pulang kampung. Melihat kembali tempat dimana dulunya nenek moyang manusia bumi ini (yaitu Adam dan istrinya) berasal. Hadis-hadis yang mengisahkan peristiwa ini memang sangat beragam dan tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang lain, namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, ada persamaan yang perlu kita perhatikan, yaitu kisah dimana Nabi disebutkan mengendarai Buraq dalam perjalanan malamnya itu. Adalah logis dan sejalan dengan kausalita bahwa saat seseorang melakukan perjalanan yang berjarak jauh, dia memerlukan alat transportasi sebagai jembatan atas keterbatasan phisiknya. Apalagi untuk menempuh perjalanan antar bintang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, praktis beliau pun membutuhkan sarana transportasi ini dengan kemampuan yang memang memadai untuk memberikan perlindungan dari segala macam bahaya, baik dari benturan meteor, kehampaan udara, pergesekan dengan atmosfir bumi dan sebagainya. Allah tidak melakukan pelanggaran hukum alam disini, Dia tidak memperjalankan Nabi Muhammad layaknya seorang Superman yang terbang bebas atau tidak juga memberinya kuda sembrani bersayap dan karpet terbang namun Dia memberikan sebuah wahana antariksa bernama Buraq. Istilah Buraq mungkin berasal dari istilah Barqu yang berarti kilat sebagaimana terdapat pada ayat al-Qur’an yang bisa dilihat dibawah ini. Dengan perubahan istilah barqu menjadi buraq, Nabi hendak menyampaikan kepada kita bahwa kendaraannya itu memiliki kecepatan diatas sinar, jauh meninggalkan teknologi yang sudah kita capai dijaman sekarang ini, mungkin lebih mirip dengan kecepatan piring terbang yang sering dilaporkan oleh masyarakat sehingga praktis Nabi dapat melakukan perjalanan antar planet dalam waktu setengah malam saja. Hampir-hampir kilat itu menyambar pemandangan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan dibawah sinar itu dan bila gelap tiba, mereka berhenti berjalan. Niscaya jika Allah menghendakinya Dia melenyapkan pemandangan dan penglihatan mereka, karena Allah maha berkuasa atas segala sesuatu. – Qs. 2 al-baqarah : 20 Para sarjana telah melakukan penyelidikan dan berkesimpulan bahwa kilat atau sinar bergerak sejauh 186.000 mil atau 300 Kilometer perdetik. Dengan penyelidikan yang memakai sistem paralax, diketahui pula jarak matahari dari bumi sekitar 93.000.000 mil dan dilintasi oleh sinar dalam waktu 8 menit. Untuk menerobos garis tengah jagat raya saja memerlukan waktu 10 milyar tahun cahaya melalui galaksi-galaksi dan selanjutnya menuju tempat yang oleh S. Anwar Effendie (sumber: S. Anwar Effendie, Isra’ Mi’raj, Perjalanan ruang waktu dalam kaitannya dengan penciptaan alam raya, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 147) disebutnya sebagai kulit bola alam raya dengan garis tengah 40 milyar tahun cahaya. Untuk mencapai jarak yang demikian jauhnya tentu diperlukan penambahan kecepatan yang berlipat kali kecepatan cahaya. Karenanya Kenneth Behrendt seorang konsultan teknik dan ahli kimia Amerika seperti yang dilansir oleh Angkasa Online N0.8 Mei 2000 TAHUN X (sumber: Angkasa Online, www.angkasa-online.com/10/08/fenom/fenom1.htm, Menjejak UFO dengan Kemampuan Terbatas, No.8 Mei 2000 Tahun X) mengungkapkan pesimistiknya mengenai perjalanan keluar angkasa jika hanya mengandalkan teknologi pesawat saja, sebab menurutnya perjalanan kealam semesta terdekat, yakni Alpha Centauri yang berjarak empat tahun cahaya, bisa dipastikan tak akan pernah terjadi. Sebab untuk mencapainya paling-tidak diperlukan waktu hingga 80.000 tahun. Dengan waktu selama ini, boleh jadi tujuan perjalanan yang sesungguhnya justru akan terlupakan di tengah jalan. Perjalanan pun kian tak berarah mengingat dalam kecepatan cahaya tak ada satu pun gelombang radio yang bisa digunakan untuk mengantar pesan dan komando taktis dari pangkalannya dibumi ini. Namun bagi saya, disitulah justru letak keistimewaan terbesar Nabi Muhammad selain al-Qur’an, bukankah sudah kita bahas sebelumnya bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj bukanlah atas kehendak dari Nabi sendiri dan tidak juga mengandalkan teknologi atau kemampuan yang beliau miliki tetapi semuanya atas keinginan dari Allah yang memang maha memiliki kemampuan teknologi dan adalah mudah bagi-Nya untuk menyiapkan sebuah pesawat yang mampu melintasi alam semesta dengan garis tengah milyaran tahun cahaya. Dari sisi ilmu komputer mungkin bisa dicontohkan dengan analogi dari prinsip-prinsip jaringan komputer sebagai berikut : Protocol TCP / IP yang kita gunakan di Internet kita ibaratkan sebagai Buraq atau kendaraan yang dipakai oleh Nabi, sedangkan diri Nabi Muhammad sendiri adalah paket data (e-mail misalnya) yang akan kita kirimkan ke ujung belahan dunia lain (planet Muntaha). Melalui proses enkripsi, enkode dan dekode yang dikapsulkan (capsulated) di dalam protocol TCP / IP (Buraq), paket data (dalam hal ini Nabi) dapat melihat-lihat dan berjalan-jalan menelusuri jaringan Internet yang berbeda-beda dimensinya (disini kita ingat bahwa Nabi disebut-sebut banyak melihat-lihat pemandangan yang mencerminkan masa yang akan datang), lewat transmisi terrestrial (dimensi kabel, serat optik) kemudian di up link melalui transmisi satelit dan micro wave (dimensi radio link) hingga kembali ke bentuk dimensi asalnya teks di layar komputer (planet Muntaha), begitu juga sebaliknya. Untuk itulah kiranya bisa dimengerti kenapa sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi, Nabi Muhammad dibelah dadanya oleh para Malaikat. Hal ini tidak lain sebagai suatu persiapan kondisi jasmaninya agar cukup dan mampu dalam menempuh penerbangan jarak jauh. Sebab jantung merupakan alat vital bagi manusia terutama dalam memacu peredaran darah yang mana jantung ini bekerja tanpa henti-hentinya sejak dari kandungan sampai dengan akhir hayatnya. Sepasang dokter Amerika yang terdiri dari suami istri, Dr. William Fisher dan Dr. Anna Fisher mengatakan bahwa perkembangan ilmu kedokteran antariksa tengah memfokuskan penyelidikannya sehubungan dengan pembuluh darah jantung para astronot dan kondisi-kondisi tulang yang makin lemah setelah lama dalam ruang angkasa, ini membuktikan kebenaran dari peristiwa pembedahan dada Nabi Muhammad oleh dokter-dokter ahli langit yang ditunjuk oleh Allah, yaitu para malaikat yang diketuai oleh Jibril. Dalam peristiwa pembedahan dan pembersihan jantung Nabi sebelum Mi’raj kiranya merupakan gambaran adanya pengertian bagi manusia umumnya untuk mempelajari ilmu kedokteran khusunya dalam bidang bedah dan anatomi serta ilmu kedokteran antariksa. Dan ternyata kemudian bedah jantung ataupun pencangkokan jantung dan ilmu kedokteran antariksa oleh para ahli mulai diperkenalkan pada abad dua puluh. Pada abad-abad kemajuan Islam dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan, maka jelaslah bagi kita bahwa ahli-ahli kedokteran muslim telah memperlihatkan kemajuan yang pesat sekali. Buku-buku berbahasa Arab yang berisi ilmu-ilmu kedokteran benar-benar ilmiah dan asli. Malahan sudah menjadi bahan pelajaran dinegara Eropa khususnya, ahli-ahli kedokteran yang termasyur misalnya saja Ibnu Sina (Aviccena), Qorsh-‘Ala’uddin, Ibnu An Nafis (yaitu dokter yang pertama kali mengajarkan peredaran darah) dimana dalam tulisan itu dijelaskan secara sistematis bagaimana aliran darah mengalir dari hati kejantung melalui urat nadi paru-paru dan kemudian kembali lagi kehati. Mengenai kecepatan cahaya sendiri, al-Qur’an sudah memberikan contoh melalui perjalanan malaikat menuju kehadirat-Nya dalam ayat berikut : Naik malaikat-malaikat dan ruh-ruh kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun - Qs. 70 al-Maarij : 4 Ukuran waktu dalam ayat diatas disebutkan angka 50 ribu tahun sebagai rentang waktu yang menunjukkan betapa lamanya waktu yang diperlukan penerbangan malaikat dan Ar-Ruh untuk sampai kepada Tuhan. Namun bagaimanapun juga ayat itu menunjukkan adanya perbedaan waktu yang cukup besar antara waktu kita yang tetap dibumi dengan waktu malaikat yang bergerak cepat diluar angkasa, dalam bahasa modern kita bisa menjelaskan bahwa waktu untuk seseorang yang berada dibumi berbeda dengan waktu bagi orang yang ada dalam pesawat yang berkecepatan tinggi. Perbedaan waktu yang disebut dalam ayat diatas dinyatakan dengan angka satu hari malaikat berbanding 50.000 tahun waktu bumi, perbedaan ini tidak ubahnya dengan perbedaan waktu bumi dan waktu elektron, dimana satu detik bumi sama dengan 1.000 juta tahun elektron atau 1 tahun Bima Sakti sama dengan 225 juta tahun waktu sistem solar. Jadi bila malaikat berangkat jam 18:00 dan kembali pada jam 06.00 pagi waktu malaikat, maka menurut perhitungan waktu dibumi sehari malaikat sama dengan 50.000 tahun waktu bumi. Dan untuk jarak radius alam semesta hingga sampai ke Muntaha dan melewati angkasa raya yang disebut sebagai ‘Arsy Ilahi, 10 Milyar tahun cahaya diperlukan waktu kurang lebih 548 tahun waktu malaikat. Namun malaikat Jibril kenyataannya dalam peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad Saw itu hanya menghabiskan waktu 1/2 hari waktu bumi (maksimum 12 Jam) atau sama dengan 1/100.000 tahun Jibril. Contoh lain yang cukup populer, yaitu paradoks anak kembar, ialah seorang pilot kapal ruang angkasa yang mempunyai saudara kembar dibumi, dia berangkat umpamanya pada usia 0 tahun menuju sebuah bintang yang jaraknya dari bumi sejauh 25 tahun cahaya. Setelah 50 tahun kemudian sipilot tadi kembali kebumi ternyata bahwa saudaranya yang tetap dibumi berusia 49 tahun lebih tua, sedangkan sipilot baru berusia 1 tahun saja. Atau penerbangan yang seharusnya menurut ukuran bumi selama 50 tahun cahaya pulang pergi dirasakan oleh pilot hanya dalam waktu selama 1 tahun saja. Dari contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa jarak atau waktu menjadi semakin mengkerut atau menyusut bila dilalui oleh kecepatan tinggi diatas yang menyamai kecepatan cahaya. Kembali pada peristiwa Mi’raj Rasulullah bahwa jarak yang ditempuh oleh Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad dengan Buraq menurut ukuran dibumi sejauh radius jagad raya ditambah jarak Sidratul Muntaha pulang pergi ditempuh dalam waktu maksimal 1/2 hari waktu bumi atau 1/100.000 waktu Jibril atau sama dengan 10 pangkat -5 tahun cahaya, yaitu kira-kira sama dengan 9,46 X 10 pangkat-23 cm/detik dirasakan oleh Jibril bersama Nabi Muhammad (bandingkan dengan radius sebuah elektron dengan 3 X 19 pangkat -11 cm) atau kira-kira lebih pendek dari panjang gelombang sinar gamma. Nah, istilah berkah yang disebut dalam surah al-Israa’ ayat satu menurut pendapat penulis merupakan penjagaan total yang melindungi Nabi Muhammad didalam kendaraan Buraqnya dari berbagai bahaya yang dapat timbul baik selama perjalanan dari bumi atau juga selama dalam perjalanan diruang angkasa, termasuk pencukupan udara bagi pernafasan Rasulullah selama itu dan lain sebagainya. Jika kita sudah terbiasa menonton film Star Treks, Star Wars, Babilon V atau juga Independence Day (ID4) maka tidaklah sukar kiranya untuk memahami peristiwa yang dialami oleh Nabi dalam kisah Isra’ dan Mi’raj tersebut. Manusia sekarang ini sudah mampu mengkhayal kecanggihan yang demikian luar biasanya dalam film-film fiksi ilmiah dan ini sebenarnya adalah ilham yang sudah diberikan Allah kepada kita agar kelak kitapun harus dapat merealisasikannya secara nyata. Dus, perjalanan Nabi Muhammad yang masih dianggap fantastis dan ghaib ini bukan satu-satunya hal yang pernah terjadi dalam sejarah kenabian, didalam al-Kitab tepatnya pada Perjanjian Lama kita juga bisa membaca bahwa Nabi Yehezkiel (salah seorang Nabi Israel yang oleh sementara cendikiawan Islam diduga sebagai Nabi Zulkifli) pernah melakukan perjalanan yang serupa hanya saja beliau tidak sampai menjelajah keluar angkasa. Berikut petikan kisahnya : Dalam tahun kedua puluh lima sesudah pembuangan kami, yaitu pada permulaan tahun, pada tanggal sepuluh bulan itu, dalam tahun keempat belas sesudah kota itu ditaklukkan, pada hari itu juga kekuasaan TUHAN meliputi aku dan dibawa-Nya aku dalam penglihatan-penglihatan ilahi ke tanah Israel dan menempatkan aku di atas sebuah gunung yang tinggi sekali. Di atas itu di hadapanku ada yang menyerupai bentuk kota. Ke sanalah aku dibawa-Nya. Dan lihat, ada seorang yang kelihatan seperti tembaga dan di tangannya ada tali lenan beserta tongkat pengukur; dan ia berdiri di pintu gerbang. Orang itu berbicara kepadaku: ‘Hai anak manusia, lihatlah dengan teliti dan dengarlah dengan sungguh-sungguh dan perhatikanlah baik-baik segala sesuatu yang akan kuperlihatkan kepadamu; sebab untuk itulah engkau dibawa ke mari, supaya aku memperlihatkan semuanya itu kepadamu. Beritahukanlah segala sesuatu yang kaulihat kepada kaum Israel’. – Perjanjian Lama : Kitab Yehezkiel 40 : 1 - 4 Dalam ayat diatas kita mendapat gambaran, bahwa Nabi Yehezkiel atas kehendak dari Allah –serupa dengan kejadian Nabi Muhammad yang bukan atas keinginan pribadinya- telah diperjalankan dari tempatnya semula menuju kesuatu gunung yang sangat tinggi dan dari atas gunung itu Yehezkiel mampu memandang keseluruhan kota secara leluasa. Pada ayat lain dari kitab Yehezkiel, kita juga akan menemukan bahwa kemungkinan Buraq juga sudah pernah diturunkan oleh Allah melalui malaikat-Nya pada jaman kenabian Yehezkiel dan mungkin pesawat yang memiliki kecepatan diatas cahaya ini juga yang telah membawanya keatas sebuah puncak gunung yang tinggi itu. Datanglah firman TUHAN kepada imam Yehezkiel, anak Busi, di negeri orang Kasdim di tepi sungai Kebar, dan di sana kekuasaan TUHAN meliputi dia. Lalu aku melihat, sungguh, angin badai bertiup dari utara, dan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat-kilat dan awan itu dikelilingi oleh sinar; di dalam, di tengah-tengah api itu kelihatan seperti suasa mengkilat. Dan di tengah-tengah itu juga ada yang menyerupai empat makhluk hidup dan beginilah kelihatannya mereka: mereka menyerupai manusia. – Perjanjian Lama : Kitab Yehezkiel 1:3-5 Terlepas sejauh mana kepercayaan kita pada apa yang disampaikan didalam kitab Perjanjian Lama tersebut, setidaknya secara obyektif kita memiliki satu parameter perbandingan dengan kisah-kisah yang ada didalam Islam. Apalagi kita tahu bahwa al-Kitab sendiri sebenarnya merupakan ajaran Tuhan yang pernah ada namun di interpolasi oleh tangan-tangan manusia, tetapi dibalik semua intervensi yang terjadi ini saya memiliki keyakinan bahwa jejak-jejak kebenaran Tuhan akan tetap ada dan nyata dalam kitab tersebut, karena itu al-Qur’an disebut sebagai korektor atau pembanding terhadap kebenaran yang ada. Dan Kami telah menurunkan untukmu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang ada sebelumnya, yaitu beberapa kitab suci sekaligus menjadi korektor terhadap kitab-kitab yang lain itu – Qs. 5 al-Maidah : 48
Wassalam,
Armansyah
Submitted by ardhi on Thu, 2007-08-16 10:09.
Salam kenal dari Aku
Artikel dari http://MyQuran.org dikutip dari http://allah-semata.com yang berkaitan dengan isra-miraj.
Sidratil Muntaha
”Sidratil Muntaha” adalah sebuah elemen yang melengkapi tradisi cerita mi’raj nabi Muhammad menembus langit. Adanya penyebutan ”sidratil muntaha” di dalam al-Qur’an oleh sebagian orang dijadikan landasan untuk menguatkan kebenaran cerita mi’raj tersebut.
Untuk mengkaji keterkaitan antara ”sidratil muntaha” dengan cerita mi’raj pertama-tama kita simak ayat yang menyebut ”sidratil muntaha” ini lewat terjemahan al-Qur’an bahasa Indonesia terbitan Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia tahun 1990.
”Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal” (Q.S. 53:13-15)
Untuk ayat ke-14 ada catatan kaki yang berbunyi:
“Sidratil muntaha yaitu tempat yang paling tinggi di atas langit yang ke-7, yang telah dikunjungi Nabi ketika Mi’raj”.
Selanjutnya kita simak kembali ayat yang sama namun melalui terjemahan Othman Ali versi bahasa Indonesia.
”Sesungguhnya dia telah melihatnya sekali lagi, di sisi pohon bidara paling ujung, di sisinya taman untuk menginap” (Q.S. 53:13-15)
Dua terjemahan di atas meninggalkan kesan yang berbeda kepada pembacanya meskipun ia menerjemahkan ayat yang sama. Penyebabnya ada pada diterjemahkannya kata ”sidr”dan ”muntaha” serta ketepatan penerjemahan kata ”jannah”.
”Sidr” artinya pohon bidara, atau lote-tree dalam bahasa Inggrisnya. Tim penerjemah al-Qur’an bahasa Indonesia Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia 100% tahu arti kata ”sidr” ini, hal itu terbukti ketika mereka menerjemahkan surat lain yang juga mengandung kata ”sidr”.
”Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri”. (Q.S. 56:28)
Tapi mengapa kata ”sidr” pada surat yang memuat istilah sidratil muntaha di atas tidak diterjemahkan? Apakah tim penerjemah khawatir bahwa istilah ”sidratil muntaha” yang sudah dianggap sakral akhirnya akan disadari sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja bila terjemahannya dibeberkan?
”Muntaha” artinya batas akhir/ujung (ref: kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir hal. 1472). Saya yakin Anda tidak kesulitan membayangkan bagian paling ujung sebuah pohon.
”Jannah” artinya taman/kebun. Taman kebahagiaan di Akhirat (surga) juga disebut jannah. Namun kata jannah itu sendiri tidak khusus untuk menyebut surga. Jannah adalah sebutan yang umum untuk menyebut taman/kebun, contohnya pada ayat berikut:
”Dan dia masuk ke kebunnya (jannatahu), dengan menzalimi dirinya sendiri; dia berkata, ’Aku tidak menyangka bahwa ini akan binasa selama-lamanya’” (Q.S. 18:35)
Kembali ke ayat “sidratil muntaha”. Dengan mencermati ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya, menjadi jelas bahwa rangkaian ayat tersebut sedang menceritakan cuplikan penurunan wahyu oleh Jibril kepada nabi Muhammad.
Pada satu kesempatan Nabi melihat Jibril di horizon yang tinggi lalu turun sampai jarak dua ibu panah; pada kesempatan lain Nabi melihat Jibril di ujung pohon bidara. Dan itu semua tentu saja terjadinya di atas bumi ini!
”Yang mengajar dia, yang sangat dalam kekuatan,
Sangat kuat; dia tegak mengambang,
Di horizon yang tinggi,
Kemudian mendekati dan turun,
Jarak dua ibu panah, atau lebih dekat,
Kemudian mewahyukan kepada hamba-Nya, apa yang dia wahyukan.
Hatinya tidak berdusta pada apa yang dia lihat.
Apa, adakah kamu meragui atas apa yang dia lihat?
Sesungguhnya dia telah melihatnya sekali lagi,
Di sisi pohon bidara paling ujung,
Di sisinya taman untuk menginap,
Ketika sesuatu yang menutupi, menutupi pohon bidara,
Penglihatannya tidak menyimpang, dan tidak juga melampaui batas”.
(Q.S. 53:5-17)
Ini hanya untuk referensi saja. Soalnya dikhawatirkan akan menimbulkan kegoncangan iman bagi mereka yang tak kuat iman.
Sekian Wass Wr Wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar