Jumat, 20 April 2012

Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab

Untuk buku selengkapnya silahkan buka atau download di link berikut Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an Al Karim

Dalil Pertama
Firman-Nya U : !

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
Artinya :Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59)

·   Perkataan Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabriy, beliau rahimahullah  berkata dalam tafsir ayat ini : Allah U mengatakan kepada Nabi-Nya Muhammad r : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:" janganlah kalian/wanita menyerupai budak dalam hal pakaiannya, jika mereka keluar rumah untuk keperluannya, mereka membuka rambut dan mukanya, tapi hendaklah mereka mengulurkan jilbab (jubah)nya keseluruh tubuh mereka agar tidak diganggu orang jahat jika dia tahu bahwa mereka itu wanita merdeka dengan gangguan perkataan “ kemudian ahli tafsir berbeda pendapat tentang cara mengulurkan yang diperintahkan Allah kepada mereka , sebagian mengatakan:

ü  Para wanita menutup muka dan kepalanya dan tidak menampakkan kecuali satu mata saja. Beliau menyebutkan orang yang mengatakannya : Telah memberitahukan kepada saya Ali, dia berkata Abu Shalih[1] telah meberitahukan kepada kami, dia berkata Muawiyyah telah memberitahukan kepada saya dari Ali[2] dari Ibnu Abbas t,firman-Nya,”Allah memerintahkan wanita wanita mukminat bila keluar dari rumah untuk suatu kebutuhan agar menutup wajah mereka dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya dan hanya menampakan satu mata mereka saja[3]
ü  Ya’qub telah memberi tahu saya, dia berkata Ibnu ‘Ulayyah telah memberi kabar kami dari Ibnu Aun dari Muhammad dari Ubaidah[4]dalam firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" maka Ibnu Aun mengenakannya di depan kami, dia berkata : Dan Muhammad mengenakannya di depan kami, Muhammad berkata : Ubaidah mengenakannya di depan kami, Ibnu berkata : Dengan kain rida’nya, terus beliau menutupi kepalanya dengan kain itu, terus menutupi hidungnya dan mata yang kiri dan mengeluarkan mata kanannya, dan mengulurkan rida’nya dari atas sampai menjadikannya dekat dengan alisnya atau pada alisnya.
ü  Ya’qub telah memberi kabarku, berkata : Husyaim telah mengkabarkan kami, berkata : Hisyam telah mengkabarkan kami, dari Ibnu Sirin, berkata : saya bertanya kepada Ubaidah tentang firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"  berkata : Maka beliau memperaktekan dengan kainnya, beliau tutup kepala dan wajahnya dan hanya menampakan salah satu mata.[5]
ü  Yang lain berkata : bahkan mereka wanita diperintahkan agar mengikatkan jilbabnya pada kening-keningnya, beliau menyebutkan orang yang mengatakannya : Muhammad Ibnu saad telah mengabarkan kami, berkata : bapakku telah mengabarkanku, berkata : Pamanku telah mengabarkanku, berkata : bapakku telah mengabarkanku, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas t, firman-Nya,” ,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Berkata : Wanita merdeka pernah memakai baju budak, maka Allah memerintahkan wanita kaum mu’minin agar mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, dan penguluran jilbab itu adalah : Bertaqannu’[6] dan mengikatkannya pada keningnya. Busyr telah memberiahukan kepada kami, berkata : Yazid telah mengabarkan kepada kami, berkata : said telah mengabarkan kepada kami, dari Qatadah, firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"Allah mewajibkan mereka bila keluar untuk bertaqannu’ di keningnya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” dahulu budak bila lewat, maka mereka (orang-orang fasik dan munafik) mengganggunya, maka Allah melarang wanita-wanita merdeka menyerupai wanita-wanita budak.
ü  Muhammad Ibnu Amr telah mengkabarkan kepada kami, berkata : Abu ‘Ashim telah mengkabarkan kepada kami, berkata : Isa telah mengkabarkan kepadaku, dan telah mengkabarkan kepadaku Al Harits, berkata : Al hasan telah mengkabarkan kepada kami, berkata : Warqaa’ telah mengabarkan kepada kami semuanya, dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid, Firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" mereka berjilbab supaya diketahui bahwa mereka itu wanita-wanita merdeka, sehinghga orang fasik tidak mengganggunya baik dengan perkataan atau ribah
ü  Firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” Allah U berkata : Penguluran mereka akan jilbab-jibabnya itu bila mana mereka mengulurkannya ke seluruh tubuhnya adalah lebih dekat dan lebih mudah untuk dikenal oleh orang yang mereka lewati, dan mereka (laki-laki) mengetahui bahwa mereka itu bukan budak, sehingga mereka enggan mengganggunya dengan perkataan yang tidak baik atau dengan perlakuan kurang sopan,” Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” terhadap mereka untuk menyiksanya setelah mereka taubat dengan mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya.[7]
·   Al Imam Abu Bakar Ahmad Ibnu Ali Ar Raziy Al Jashshash (Wafat 370 H) rahimahullah berkata : Abdullah Ibnu Muhammad telah memberi kabar kami, berkata : Al Hasan telah mengkabari kami, berakata : Abdurrazzaq telah mengkabari kami, berkata : Ma’amar telah mengkabari kami dari Abu Khaitsam dari Shafiyyah Bintu Syaibah dari Ummu salamah, berkata : Tatkala ayat ini turun,” ,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” wanita-wanita dari kalangan Anshar keluar (dari rumah) seolah-olah di atas kepala mereka ada gagak karena pakaian hitam yang mereka kenakan.”
Abu Bakar berkata :Dalam ayat ini ada dalalah (dalil yang menunjukan) bahwa wanita muda diperintahkan untuk menutup wajahnya dari laki-laki lain, dan (diperintahkan) untuk menampakan ketertutupan dan ‘iffah ketika keluar agar orang-orang fasiq tidak berhasrat terhadapnya. Dan di dalam ayat ini ada dilalah bahwa wanita budak tidak diwajibkan untuk menutup wajah dan rambutnya karena firman-Nya,” dan isteri-isteri orang mu'min,” dzahirnya bahwa itu adalah wanita-wanita merdeka.dan begitu juga diriwayatkan dalam tafsir agar mereka itu tidak seperti budak-budak yang mereka itu tidak diperintahkan untuk menutup kepala[8] dan wajah, maka menutupinya dijadikan sebagai pembeda antara wanita merdeka dengan budak, dan telah diriwayatkan bahwa Umar pernah memukul budak-budak wanita, dan terus berkata : Buka kepala kalian, janganlah berusaha menyerupai wanita-wanita merdeka[9]

·   Al Imam Al Faqih ‘Imaduddin Ibnu Muhammad Ath Thabari yang terkenal dengan julukan Ilkiya Al Harras[10] (Wafat 504 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Firman-Nya Ta’ala,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".(59) – Jilbab adalah rida’(jubah), maka Dia memerintahkan mereka (wanita) supaya menutupi wajah dan kepala mereka, dan tidak mewajibkannya terhadap budak.[11]

·   Al Imam Muhyi As Sunnah Al Baghawi (Wafat 516 H) rahimahullah dalam Ma’alim At Tanzil dalam menafsirkan ayat itu hanya menuturkan perkataan Ibnu Abbas dan Ubaidah As Salmani di atas saja dan tidak mempedulikan pendapat lain seolah-olah beliau tidak menganggapnya, begitu juga Al Imam Al Khazin rahimahullah melakukan hal serupa.[12]

·   Abu Al Qasim Muhammad  Ibnu Umar Al Khawarizmiy Az Zamakhsyari yang diberi gelar Jarullah[13]  (Wafat 538 H) semoga Allah mengampuninya mengatakan dalam tafsirnya Al Kasysyaf : Makna,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” adalah mereka mengulurkan pakaiannya ke seluruh tubuh mereka, dan dengan jilbab itu mereka menutupi wajah dan pinggangnya. Dikatakan bila pakaian lepasa dari wajah wanita : Adnii tsaubaki ‘alaa wajhiki, dan ini dikarenakan sesungguhnya wanita di awal islam masih seperti mereka pada zaman jahiliyyah berpakaian seadanya, wanita tampak keluar rumah dengan hanya mengenakan baju kurung dan kudung saja, tidak ada perbedaan antara wanita merdeka dengan budak, sedangkan para pemuda dan laki-laki nakal mengganggu wanita-wanita budak bila mereka keluar di malam hari untuk membuang hajat mereka di dekat pohon kurma dan tempat yang sunyi, dan terkadang mereka itu mengganggu wanita-wanita merdeka dengan alasan mereka mengiranya budak, mereka berkata : Kami mengiranya budak. Maka wanita-wanita merdeka diperintahkan agar berpenampilan beda dengan budak dengan memakai jubah (rida’), dan milhafah, menutupi kepala dan wajah agar lebih tertutup dan lebih disegani, sehingga tidak ada orang yang berhasrat, dan itu pada firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu lebih mudah untuk diketahui sehingga tidak diganggu dan tidak mendapatkan apa yang tidak mereka sukai. Maka bila engkau mengatakan : Apa arti min (dari) pada kalimat,”min jalaabiibihinna,” ? Saya menjawab: Ia itu untuk menujukan sebagian (tab’idl), namun makna tab’idl ini mengandung dua kemungkinan : Pertama : Mereka berjilbab dengan bagian jilbabnya yang mereka kenakan, dan maksudnya adalah agar wanita merdeka tidak boleh keluar rumah dengan hanya mengenakan baju kurung dan kudung saja seperti budak dan orang yang suka sibuk kerja, dan dia itu memiliki dua jilbab di rumahnya atau lebih. Kedua : Wanita mengulurkan sebagian jilbabnya atau sisa kain jilbabnya pada wajahnya dia menutupinya agar berbeda dengan budak, dan dari Ibnu Sirin : Saya bertanya kepada Ubaidah As Salmani tentang hal itu, maka beliau menjawab : Ia (wanita) meletakan rida’nya di atas alisnya, kemudian dia melingkarkannya sehingga ia meletakannya di atas hidungnnya, dan dari As Suddiy : Ia menutupi salah atu matanya dan keningnya dan sisi lain kecuali mata, dan dari Al Kisaiy : Mereka bertaqannu’ dengan milhafahnya sambil menyelimutkannya ke seluruh tubuhnya, maksud dari menyelimutkan adalah mengulurkannya.[14]

·   Al Imam Al Qadli Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdillah yang terkenal dengan Ibnu Al ‘Arabi Al Maliki (Wafat 543 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Masalah kedua : Orang berbeda pendapat tentang menjelaskan makna jilbab dengan lafadh-lafadh yang berdekatan, semuanya berputar bahwa jilbab itu adalah kain yang menutupi seluruh tubuh, namun mereka bermacam-macam dalam mengungkapkannya di sana,  dikatakan ia adalah rida’, dan dikatakan pula dia adalah qina’. Masalah ketiga : Firman-Nya Ta’ala,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” dikatakan maknanya : Dia dengan jilbab itu menutup kepalanya dari atas khimarnya (kerudungnya), dikatakan pula : Dia dengan jilbab itu menutupi wajahnya sehingga tidak ada yang nampak darinya kecuali mata kiri saja. Masalah keempat : Dan yang menyebabkan mereka (para ahli tafsir) bermacam-macam dalam mengungkapkan makna jilbab ini adalah bahwa mereka melihat bahwa penutupan dan hijab adalah bagian dari penjelasan yang telah lalu, dan telah diketahui maknanya, dan tambahan ini datang menambahnya, dan dibarengi dengan  qarinah yang sesudahnya yaitu yang menjelaskannya, dan itu adalah firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal ,” dan yang dhahir  bahwa hal itu adalah menyebabkan mudahnya dikenal di saat menutupi diri, maka ini menunjukan pada hal berikut ini : Masalah kelima : Bahwa ini bermaksud membedakannya dari budak yang biasa berjalan dengan membuka kepala, atau dengan satu qina’, mereka diganggu oleh laki-laki dan diajak bicara, maka bila ia (wanita merdeka) berjilbab dan menutupi diri, maka hijab itu menjadi penghalang antara dia dengan orang yang mengganggu dengan pengajakan bicara dan menyakitinya, dan telah dikatakan- yaitu : Masalah keenam : Sesungguhnya yang dimaksud dengan hal itu adalah orang-orang munafiq. Qatadah berkata : Wanita budak bila mereka lewat selalu diganggu oleh orang-orang munafiq, maka Allah melarang wanita-wanita merdeka dari menyerupai wanita-wanita budak, agar tidak terkena sepert gangguan ini. Dan telah diriwayatkan bahwa Umar Ibnu Al Khaththab pernah memukul wanita-wanita budak karena mereka menutupi dirinya, beliau berkata : Apakah kalian menyerupai wanita-wanita merdeka ? dan hal ini jelas dari rangkaian pengaturan syari’at. [15]

·   Al Imam Abul Faraj Jamaluddin Abdurrahman  Ibnu Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al jauzi Al Qurasyi Al Baghdadiy Al Hambali (Wafat 597 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Sebab Nuzul ayat ini adalah bahwa orang-orang fasiq suka mengganggu kaum wanita bila mereka keluar di malam hari, mereka bila melihat wanita mengenakan qina’(penutup kepala dan wajah) mereka tidak mengganggunya dan mengatakan : Ini adalah wanita merdeka,’ dan bila melihatnya tidak mengenakan qina’ mereka mengatakan : Ini adalah budak,” maka mereka mengganggunya. Maka turunlah ayat ini, ini dikatakan oleh As Suddiy. Firman-Nya Ta’ala,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,”Ibnu Qutaibah berkata ; Mengenakan rida’ (jubah) dan yang lain mengatakan : Mereka menutup kepala dan wajahnya agar diketahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah,” yaitu lebih pantas dan lebih dekat,” untuk dikenal,” bahwa mereka itu adalah wanita-wanita merdeka,” karena itu mereka tidak diganggu.”[16]

·   Al Imam  Fakhruddion Muhammad Ibnu Umar Ibnu Al Husain Ibnu Al Hasan Ar Raziy (wafat 606 H) berkata dalam tafsir Al Kabir : Dahulu zaman Jahiliyyah wanita merdeka dan wanita budak keluar (rumah) dengan terbuka, yang membuat diikuti oleh para pezina, dan terkena tuduhan, maka Allah memerintahkan wanita-wanita merdeka agar berjilbab, dan firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Dikatakan : Diketahui bahwa mereka itu adalah wanita-wanita merdeka, maka tidak diikuti (oleh para pezina), dan bisa dikatakan : Yang dimaksud adalah bahwa mereka itu tidak pernah berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya-padahal bukan aurat[17]- tidak diharapkan darinya bahwa dia itu mau membukakan auratnya, maka diketahui bahwa mereka itu selalu tertutup, tidak mungkin diajak berzina.[18]


·   Al Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad  Al Anshariy Al Qurthubi Al Maliki (Wafat 671 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Karena kebiasaan wanita-wanita arab adalah berpakaian seadanya saja, dan mereka itu membuka wajah-wajahnya sebagaimana yang dilakukan oleh budak, sedang hal seperti ini mengundang pandangan laki-laki  terhadapnya sehingga pikiran mereka menghayal terhadapnya, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya r untuk memerintahkan kaum wanita agar mengulurkan jilbab-jilbabnya keseluruh tubuhnya di kala keluar untuk hajat-hajat mereka…..

Al Qurthubi berkata lagi : Firman-Nya,” mengulurkan jilbabnya,” jalaabib adalah bentuk jamak dari jilbab yaitu kain yang lebih lapang dari khimar (kerudung), dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud bahwa jilbab adalah rida’ (jubah), dikatakan juga bahwa jilbab adalah Qina’, dan yang benar sesungguhnya jilbab adalah kain /pakaian yang menutupi seluruh tubuh, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Ummu ‘Athiyyah, beliau berkata : Wahai Rasulullah ! seseorang diantara kami ada yang tidak mempunyai jilbab ? Rasulullah berkata : Hendaklah saudarinya memberikan kepada jilbab….”

Dan beliau rahimahullah menghikayatkan sebuah atsar dari Umar Ibnu Al Khaththab t beliau berkata : Apa yang mencegah wanita muslimah bila dia mempunyai hajat dia keluar sambil menyembunyikan diri dengan mengenakan pakaian lusuhnya atau pakaian lusuh tetangganya, tidak ada seorang pun yang mengenalinya sampai dia pulang kembali kerumahnya.

Al Qurthubi rahimahullah berkata lagi : Firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu wanita-wanita merdeka, sehingga tidak bercampur dengan budak. Bila diketahui bahwa mereka itu adalah wanita merdeka maka mereka tidak akan mendapatkan gangguan sedikitpun karena memandang kemerdekaannya, sehingga hasrat mengganggu pun terputus darinya, bukan maksudnya supaya dikenal siapa dia[19], Umar t bila melihat budak memakai qina’ beliau memukulnya dengan tongkatnya, demi menjaga pakaian wanita merdeka, dan ini sebagaimana para sahabat Nabi r melarang para wanita mendatangi mesjid setelah Rasulullah r wafat, padahal Rasulullah pernah bersabda,”Janganlah kalian melarang wanita dari mendatangi mesjid Allah,” sampai-sampai Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan,” Seandainya Rasulullah r masih hidup sampai sekarang ini, tentu beliau pasti melarang para wanita dari keluar (rumah), sebagaimana wanita-wanita Bani Israil telah dilarang,”, ,”Dan Maha pengampun lagi Maha Penyayang” merupakan penghibur bagi para wanita karena meninggalkan berjilbab sebelum ada perintah pensyariatannya [20]


·         Al Imam Al Qadli Nashiruddin Abdullah Ibnu Umar Al Baidlawi Asy Syafii’ (Wafat 691 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya :,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” artinya hendaklah mereka menutupi wajah-wajahnya dan tubuhnya dengan milhafah (Jubah) bila mereka keluar untuk suatu kebutuhan.Dan min (dari) adalah untuk menunjukan sebagian (tab’idl), karena sesungguhnya wanita mengulurkan sebagian jilbabnya, dan berselimut dengan sebagian yang lainnya,” Dan yang demikian ittu agar mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu dibedakan dari wanita budak dan para penyanyi,”maka mereka tidak diganggu,”  orang-orang jahat tidak mengganggu mereka,” Dan Maha pengampun,”  terhadap yang telah lalu,”lagi maha penyayang,” terhadap hamba-hambanya karena selalu memperhatikan kemashlahatan mereka sampai hal-hal yang kecil.[21]

·         Al Allamah Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Syihabuddin Al Khaffajiy (1069 H) rahimahullah berkata dalam catatan kakinya atas tafsir Al Baidlawiy dalam rangka mensyarah point sebelumnya darinya : Perkataannya : (Dan min untuk tab’idl,,,) dan telah dikatakan dalam Al Kasysyaf bahwa itu mengandung dua kemungkinan : Mereka berjilbab dengan masing jilbab-jilbab yang mereka kenakan, maka berarti bagian itu adalah salah satu darinya, atau yang dimaksud adalah bagian dari setiap jilbab itu, dengan cara mengulurkan sebagian kain jilbabnya, sedangkan bagian yang lainnya dikenakan di wajah, dia bertaqannu’ dengannya, dan berjilbab sesuai kemungkinan pertama maknanya berhijab menutupi seluruh tubuhnya, dan berarti taqannu’ menutupi kepala dan wajah di sini adalah dengan disertai mengulurkan sisanya ke seluruh badan, dan firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan,” ini ada kemungkinan sebagai maquulul qaul (yang diucapkan),yaitu pemberitaan yang bermakna perintah[22]atau jawaban perintah sebagaimana sejalan dengan firman-Nya,”Katakan kepada hamba-hambaku yang telah beriman,” Hendaklah mereka mendirikan shalat,”[23] dan jilbab adalah izar yang lebar yang diselimutkan, maka apa yang dikatakan : ( Sesungguhnya ungkapan,” ‘alaihinna,” berbeda dengan,” ‘ ala wujuuhihinna,” dan beliau telah menafsirkannya dengan menutupi wajah dan seluruh tubuhnya dengan jilbab itu, maka bagaimana bisa benar kalau begitu pernyataan bahwa(min) itu berfaidah tab’idl, karena kalimat sebagian itu tidak benar diletakan sebagai makna min kecuali bila ada sebagian jilbab yang masih tersisa tidak dipakai pada wajah dan badan) adalah tidak usah diperhatikan (bukan pernyataan yang benar), karena firman-Nya,”’Alaihinna (ke seluruh tubuh mereka) bisa dengan taqdir mudlaf, jadi maknanya ‘alaa ru’uusihinna atau wujuuhihinna, atau karena sudah dimafhumi darinya meskipun tidak ada taqdir, dan adapun perkataannya : badan-badannya, maka itu adalah penjelasan bagi kenyataan, karena sesungguhnya wanita bila mengulurkan sebagian kain jilbabnya pada wajah maka sudah dipastikan sebagian yang lain tersisa pada badan, namun yang diperintahkan adalah menarik yang sebagian itu, karena dengannya badan bisa terjaga. Perkataannya : dari wanita-wanita budak dan para penyanyi, ini adalah meng’atafkan dua hal yang sama-sama artinya, atau yang dimaksud dengan para penyanyi itu adalah para pelacur, dan adapun bila yang dimaksud adalah biduanita maka ini tidak benar. Dan perkatannya : mereka (wanita merdeka) dibedakan, maksud dengan ma’rifah adalah membedakan secara majaz karena itulah yang dimaksud, dan seandainya dibiarkan pada maknanya, maka tetap benar, As Subkiy berkata dalam Thabaqatnya : Ahmad Ibnu Isa dari kalangan ahli fiqhi madzhab Syafii beristinbath dari ayat ini bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama dan para tokoh berupa merubah pakaian dan surban mereka adalah hal yang bagus, meskipun tidak pernah dilakukan oleh salaf, karena dengan hal ini mereka memiliki ciri khusus agar dikenal, sehingga perkataan mereka diamalkan[24]. Perkataannya : (terhadap yang telah lalu) bukan maksudnya perintah berjilbab sebelum ayat ini turun, sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada dosa sebelum datangnya perintah dalam syariat, ini adalah berdasarkan madzhab Mu’tazilah dan penghukuman jelek menurut akal semata, namun yang dimaksud adalah dosa-dosa kalian yang lalu yang telah dilarang secara muthlaq, maka itu diampuni bila Dia menghendaki, dan seandainya diterima bahwa yang dimaksud adalah itu, maka larangan akan hal itu sudah diketahui dari ayat hijab secara dalil iltizam. Dan dikatakan  : Yang dimaksud adalah bagi kemungkinan terjadinya kekurangan dalam menutupi.[25]

·         Al Imam Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Mahmud An Nasafi Al Hanafi (Wafat 701 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya :,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” yaitu mereka mengulurkannya keseluruh tubuhnya dan menutupi wajah dan pinggangnya dengan jilbab itu. Dikatakan bila pakaian terurai dari wajah wanita : Adnii Tsaubaki ‘Alla Wajhiki[26],dan lafadh Min adalah littab’idl, jadi maknanya : Dia mengulurkan sebagian jilbabnya dan selebihnya pada wajahnya. [27]

Peringatan : Wanita budak harus berhijab bila hawatir fitnah.
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)  rahimahullah berkata : ( Dan begitu juga wanita budak (amah) bila dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka dia harus mengulurkan sebagian jilbabnya (pada wajahnya) dan berhijab, serta wajib menundukan pandangan baik darinya ataupun dia sendiri. Dan tidak ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah dalil yang mebolehkan memandang wanita seluruh budak, dan tidak ada pula dalil yang membolehkan dia tidak berhijab dan menampakan perhiasannya, namun Al Qur’an tidak memerintahkannnya seperti perintah kepada wanita merdeka, dan As Sunnah membedakan secara praktek antara mereka dengan wanita merdeka, dan tidak membedakan antara mereka dengan lafadh yang umum, namun sudah menjadi kebiasaan kaum mu’minin adalah wanita merdeka diantara mereka berhijab sedangkan yang budak tidak, dan Al Qur’an juga mengecualikan wanita-wanita tua yang sudah tidak berhasrat dan tidak menarik, Al Qur’an tidak mewajibkan hijab atas mereka, dan Al Qur’an juga mengecualikan dari kalangan laki-laki yaitu laki-laki yang sudah tidak ada hajat lagi terhadap wanita, maka pengecualian itu diberlakukan terhadap sebagian wanita budak adalah lebih utama dan lebih layak, yaitu wanita-wanita budak yang bisa menimbulkan fitnah dan hasrat bila mereka tidak berhijab dan malah menampakan perhiasannya, dan sebagaimana wanita tidak boleh menampakan perhiasannya kepada anak tirinya yang berhasrat dan berkeinginan syahwat, kemudian khithab itu datang secara umum biasanya, maka yang keluar dari biasanya keluar pula dengan khithab itu dari sejawatnya, sehingga bila ternyata tampaknya wanita budak dan memandangnya itu menimbulkan fitnah, maka wajib hal itu dicegah sebagaimana bila terjadi bukan dalam hal itu).[28]
Orang-orang yang menafikan hikmah dan ta’lil mengklaim bahwa syariat telah membedakan antara dua hal yang sama dan menggabungkan antara dua hal yang berbeda, dan untuk memperkuat keyakinannya itu mereka berdalih dengan beberapa hal diantaranya : Dintaranya : Syariat mengharamkan memandang wanita tua yang buruk rupa bila dia itu wanita merdeka, dan membolehkan memandang wanita budak yang cantik jelita. Sungguh Al Imam Al Muhaqqiq Syamsuddin Muhammad Ibnu Abu Bakar Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah membantah mereka dengan bantahan yang detail atas dalil-dalil mereka, dan di antara bantahan yang beliau kemukakan untuk menohok syubhat yang tadi adalah :
(Dan Adapun (pernyataan) pengharaman memandang wanita tua merdeka yang buruk rupa, dan bolehnya memandang wanita budak yang cantik jelita, maka itu adalah suatu kedustaan terhadap syariat, di mana Allah mengharamkan ini dan membolehkan itu ? Allah U hanyalah mengatakan,”Katakanlah kepada orang-orang mu’min,” Hendaklah mereka menahan pandangannya,”[29]dan Allah tidak membiarkan bagi mata untuk memandang kepada wanita budak yang canti jelita, dan bila khawatir fitnah karena akibat memandang budak, maka haram atasnya memandang kepadanya tanpa ragu lagi.
Dan syubhat ini hanyalah timbul karena Allah mensyariatkan wanita-wanita merdeka agar menutupi wajah mereka dari pandangan laki-laki lain, dan adapun budak, maka hal itu tidak diwajibkan, namun ini tentunya bagi wanita budak yang biasa-biasa saja yang dipekerjakan, adapun wanita-wanita budak yang biasa di tasarri[30] yang pada biasanya mereka itu terjaga dan tertutup, maka di mana Allah dan Rasul-Nya membolehkan bagi mereka membuka wajahnya di pasar, di jalanan, dan di tempat ramai, serta membolehkan bagi laki-laki menikmati dengan memandanginya ?
Maka ini sungguh suatu kekeliruan yang murni atas nama syariat, dan kesalahan ini diperkuat dengan kekeliruan yang lebih dasyat yang bersumber dari pernyataan sebagian ahli fiqih, mereka berkata : (Sesungguhnya wanita merdeka itu adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan aurat budak adalah apa yang biasa tidak nampak darinya, seperti perut, punggung, dan betis) maka mereka mengira bahwa apa yang biasa nampak darinya itu adalah hukumnya sama dengan hukum wajah laki-laki, sedangkan ini adalah hanyalah di dalam shalat, bukan dalam masalah pandangan, karena sesungguhnya aurat itu ada dua : Aurat di dalam shalat, dan aurat di dalam pandangan, maka wanita merdeka boleh shalat dengan membuka wajah [31]dan kedua telapak tangannya, namun dia tidak boleh keluar dengan membuka wajah dan telapak tangan ke pasar dan tempat ramai, Wallahu ‘Alam.[32]
Dan apa yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim rahimahumallah berupa ihtijabnya wanita-wanita budak yang cantik, dan tampaknya budak-budak yang tidak cantik, sungguh telah ditetapkan dengan jelas oleh Al Imam Ahmad rahimahullah, Ibnu Manshur telah menukil darinya, bahwa beliau berkata : Wanita budak tidak boleh memakai niqab,” dan Ibnu Manshur serta Abu Hamid Al Khaffaf  telah menukil darinya juga, bahwa beliau berkata : Wanita budak yang cantik hendaklah memakai niqab,” [33]

·         Al ‘Allamah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Jazzi Al Kalbi Al Malikii (Wafat 741 H) rahimahullah berkata  dalam tafsirnya : Wanita-wanita arab dahulu biasa membuka wajahnya seperti budak, dan hal itu mengundang perhatian laki-laki terhadapnya, maka Allah U memerintahkan mereka agar mengulurkan jilbab-jilbabnya supaya menutupi wajah-wajahnya sehingga bisa dibedakan antara wanita merdeka dengan budak. Jalaabib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu pakaian yang lebih besar dari khimar, ada yang mengatakan pula bahwa ia adalah rida’(jubah), cara mengulurkannya menurut Ibnu Abbas t adalah si wanita mengulurkannya pada wajahnya sehingga tidak nampak darinya kecuali satu mata untuk melihat jalan, dan ada yang mengatakan : Dia melilitkannya sehingga tidak nampak kecuali kedua matanya saja. Dan ada yang mengatakan : Dia menutupi separuh wajahnya.[34]
,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” yaitu yang demikian itu lebih dekat untuk dikenal wanita-wanita merdeka dari wanita-wanita budak, maka bila diketahui bahwa wanita itu adalah wanita merdeka maka dia tidak mendapat gangguan seperti gangguan yang di dapatkan budak. Bukan maksudnya wanita itu dikenal siapa dia, namun maksudnya adalah bisa dibedakan mana wanita merdeka dan mana wanita budak, karena dahulu di Madinah ada wanita-wanita budak yang dikenal nakal, sehingga terkadang diganggu oleh laki-laki nakal.[35]

·         Al Imam An Nahwiy Al Mufassir Atsiruddin Abu Abdillah Muhammad Ibnu Yusuf Ibnu Ali  Ibnu Hayyan Al Andalusiyy yang terjkenal dengan sebutan Abu Hayyan (Wafat 745 H) rahimahullah berkata di dalam tafsirnya :…… As Suddiy berkata : Dia menutup salah satu matanya, keningnya, dan bagian muka yang lainnya kecuali satu mata saja”[36]Dan beliau rahimahullah  berkata lagi : ( Dan yang dhahir bahwa firman-Nya,” Dan wanita-wanita kaum mu’minin,” mencakup wanita-wanita merdeka dan budak, dan fitnah akibat wanita budak adalah lebih banyak karena banyaknya aktifitas mereka, berbeda dengan wanita merdeka, maka mengeluarkan mereka (budak) dari umumnya wanita memerlukan kepada dalil yang jelas[37], dan ,”min,” pada kalimat ,”jalaabiibihinna,” adalah littab’idl, sedangkan ,”’alaihinna,” mencakup seluruh tubuhnya, atau  ,”‘alaihinna,” artinya kepada wajah-wajahnya, karena yang biasa nampak pada zaman jahiliyyah dari diri mereka  adalah  wajah.,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” karena mereka menutupi diri mereka dengan keiffahan, sehingga mereka tidak diganggu, dan tidak mendapatkan apa yang mereka tidak sukai, karena wanita bila sangat tertutup, maka tidak ada orang yang berani mengganggu, berbeda dengan yang suka bertabarruj, maka dia itu sangat digandrungi.

Fasal

Penjelasan benarnya adanya perbedaan antara wanita merdeka dengan budak dalam masalah hijab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : (Sedangkan hijab itu adalah khusus bagi wanita-wanita merdeka tidak termasuk wanita budak, sebagaimana sunnah kaum mu’minin pada zaman Nabi r dan para khalifahnya : Bahwa wanita merdeka berhijab, sedangkan wanita budak adalah tampak)[38] dan belia rahimahullah berkata : Firman-Nya,”katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" : adalah dalil yang menunjukan bahwa hijab itu hanya diperintahkan kepada wanita-wanita merdeka saja, tidak wanita budak, karena Dia mengkhususkan isteri-isteri dan puteri-puterinya, dan tidak mengatakan hamba sahayamu, dan hamba sahaya isteri-isterimu dan puteri-puterimu, terus mengatakan,” dan isteri-isteri orang mu'min,” sedangkan hamba sahaya tidak masuk dalam jajaran isteri-isteri orang mu’min, sebagaiman tidak masuk dalam firman-Nya,” wanita-wanita islam,” budak-budak yang mereka miliki, sehingga di’athafkan kepadanya dalam dua ayat An Nur dan Al Ahzab[39], dan ini terkadang dikatakan :  Hanyasannya berlaku bagi orang yang mengkhususkan budak-budak yang dimiliki dengan perempuan saja, dan kalau tidak demikian, sesungguhnya orang yang mengatakan : Dia itu mencakup laki-laki dan permpuan atau bagi laki-laki saja, maka pendapat ini peril ditinjau kembali.
Dan juga firman-Nya,”Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya,”[40] dan firman-Nya,”Orang-orang yang mendhihar isterinya di antara kamu,” [41]yang dimaksud adalah wanitawanita yang diberi mahar (merdeka)bukan budak, maka begitu juga ayat ini, maka ayat penguluran jilbab adalah di saat menampakan diri ke luar rumah, sedangkan ayat hijab  adalah di saat berbincang-bincang di dalam rumah, ini di samping dasar yang ada di dalam hadits Shahih, di saat Nabi r memilih Shafiyyah Bintu Huyayy, dan perkataan para sahabat : Bila beliau menghijabinya, berarti dia tergolong Ummahatul Mu’minin, dan kalau tidak berarti dia termasuk hamba sahayanya, menunjukan bahwa hijab itu khusus bagi wanita –wanita merdeka saja.
Dan di dalam hadits itu juga menunjukan bahwa sifat keibuan bagi kaum mu’minin hanya diraih oleh isteri-isteri beliau, tidak hamba-hamba sahayanya yang di-tasarri, dan Al Qur’an tidak menunjukan kecuali kepada itu, karena Dia berfirman,” dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka,”[42] dan firman-Nya,”dan tidak (pula)mengawini isteri-isterinya elama-lamanya sesudah ia wafat,”[43], dan ini adalah dalil ketiga dari ayat ini, karena, dhamir pada firman-NyaApabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka ,” kembali kepada isteri-isterinya, dan sama sekali tidak ada khithab yang berkenaan dengan hamba sahayanya, namun kebolehan menikahi bekas hamba-hamba sahayanya sesudah beliau wafat masih perlu ditinjau ulang.[44]

Fasal
Penyebutan atsar-atsar dari Umar t yang membedakan antara budak dengan wanita merdeka dalam hal taqannu’ dan jilbab.[45]

Abdur Razak meriwayatkan dalam Mushannafnya : Telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Qatadah dari Anas, bahwa Umar t pernah memukul budak milik keluarga Anas yang beliau lihatnya mengenakan penutup kepala, maka beliau berkata : Buka kepala kamu, jangan sekali-kali kamu menyerupai wanita merdeka,” .

Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha bahwa Umar t pernah melarang wanita-wanita budak dari mengenakan jilbab, karena dengan itu mereka menyerupai wanita-wanita merdeka. Ibnu Juraij berkata dari Nafi’ : Sesungguhnya Shafiyyah Bintu Abi Ubaid telah memberi kabar kepadanya, dia berkata : Seorang wanita keluar dengan menutup wajah lagi berjilbab, maka Umar berkata : Siapa wanita ini ? maka dikatakan kepadanya : Hamba sahaya milik si Fulan, laki-laki tergolong keluarga beliau, maka Umar mengirim seseorang kepada Hafshah, terus berkata : Apa sebabnya engkau menutupi wajah budak ini memakaikannya jilbab, sampai saya hendak memukulnya, dan saya tidak mengira dia itu kecuali wanita merdeka ? janganlah kalian menyamakan wanita budak-budak itu dengan wanita-wanita merdeka”..dan diriwayatkan oleh Al Baihaqiy, dan berkata : Atsar-atsar seperti itu dari Umar adalah shahih.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya : Ali Ibnu Mushar telah mengabarkan kami dari Al Mukhtar Ibnu Filfil dari Anas Ibnu Malik, berkata : Seorang hamba sahaya masuk menemui Umar Ibnu Al Khaththab yang pernah beliau kenali milik orang kalangan Muhajirin atau Anshar, sedangkan dia itu mengenakan jilbab yang dengannya dia bertaqannu’, maka beliau bertanya kepadanya : Kamu sudah dimerdekakan ? dia menjawab : Belum,” Umar bertanya : Maka kenapa jilbab itu ?! lepaskan dari kepalamu, hanyasannya jilbab itu wajib bagi wanita-wanita merdeka dari kalangan wanita-wanita orang mu’min, “budak itu mencari-cari alasan, maka Umar menghampirinya dengan tongkatnya, beliau pukul kepalanya hingga ia melepaskan jilbabnya.

Muhammad Ibnu Al Hasan meriwayatkan dalam Kitab Al Atsar : Telah mengabarkan kepada kami Abu Hanifah dari Hammad Ibnu Abi Sulaiman Dari Ibrahim An Nakhai’ bahwa Umar Ibnu Al Khaththab pernah memukul wanita-wanita hamba sahaya karena sebab mereka menutup kepala, dan beliau berkata : Janganlah kalian menyerupai wanita-wanita merdeka.

·         Al Imam Al Hafidz Abu Al Fida  Ismail Imaduddin Ibnu Umar Ibnu Katsir Al Qurasyiy Asy Syafii’ (Wafat 774 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya yang bagus : Allah U  berfirman kepada Rasul-Nya r sambil memerintahkan agar menyuruh wanita-wanita mu’minat apalagi isteri-isteri dan puteri-puterinya  karena kemuliaan mereka supaya mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, supaya mereka membedakan diri dari cirri-ciri wanita jahiliyyah dan budak. Sedangkan  jilbab adalah rida’yang lebih lebar dari kerudung (khimar), ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Said Ibnu Jubair, Ibrahim An Nakhai’, ‘Atha Al Khurasani dan lain-lain, sama dengan izar saat ini. Al Jauhariy berkata : Jilbab adalah milhafah, seorang wanita dari Hudzail berkata dalam rangka memuji saudaranya yang mati :

Rajawali bergerak menujunya, sedang dia lalai

Layak jalannya gadis perawan yang mengenakan jilbab
 Ali Ibnu Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas t : Allah memerintahkan istri-istri orang-orang mu’min bila mereka keluar dari rumahnya untuk suatu hajat agar menutupi wajah mereka dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya, dan hanya menampakan satu mata.[46]

Dan Muhammad Ibnu Sirin berkata : saya bertanya kepada Ubaidah As Salmani tentang firman Allah Ta’ala,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” maka beliau menutupi wajah dan kepalanya dan menampakan mata kirinya.[47][48]

·         Al Imam Jalaluddin Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al Mahalliy rahimahullah (Wafat 764 H) menafsirkan ayat ini dengan perkataannya : مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ bentuk jamak dari jilbab,dan jilbab adalah jubah yang dengannya perempuan menutupi seluruh tubuhnya, dan maknanya : Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbabnya pada wajahnya bila mereka keluar untuk hajatnya kecuali satu mata, karena hal itu lebih memudahkan untuk mengenali mereka bahwa mereka itu adalah wanita-wanita merdeka sehingga mereka tidak diganggu, berbeda dengan budak-budak dimana mereka itu tidak menutupi wajahnya, sehingga menyebabkan orang-orang munafiq mengganggu/menggoda mereka, dan Allah itu Maha Pengampun atas yang telah lalu dari mereka karena tidak menutupinya, Maha Penyayang terhadap mereka karena Dia telah menutupi mereka.[49]

·         As Sayuthi rahimahullah berkata : Ini adalah ayat hijab buat seluruh wanita, di dalamnya ada  kewajiban atas wanita untuk menutupi kepala dan wajah.[50]

·         Al Imam Al Khathib Asy Syarbiniy rahimahullah berkata dalam tafsirnya : يُدْنِيْنَ mengulurkan عَلَيْهِنَّ ke wajah dan seluruh tubuh mereka, maka janganlah mereka membiarkan sedikitpun dari badannya terbuka.[51]

Dan beliau berkata lagi : ‘Adil berkata : Dan bisa dikatakan : Yang dimaksud : Mereka lebih mudah dikenal bahwa mereka itu tidak berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya-padahal bukan aurat-, yaitu di dalam shalat, tidak diharapkan padanya bahwa dia mau membuka auratnya, maka karena mereka itu tertutup, tidak mungkin minta dilayani berzina dari mereka.[52]

·         Syaikh Abu As Su’ud Muhammad Ibnu Muhammad Al ‘Imadiy (Wafat 951 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Yaitu hendaklah mereka menutup wajah dan badan mereka dengan jilbab itu bila mereka keluar untuk suatu kepentingan.[53]

·         Asy Syaikh Ismail Haqa Al Barwasawiy (Wafat 1137 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Dan maknanya adalah hendaklah mereka menutup wajah dan badan mereka dengan jilbab itu di kala keluar dari rumahnya untuk suatu kepentingan, dan janganlah mereka keluar dengan wajah dan badan terbuka seperti budak agar tidak diganggu oleh orang-orang nakal dengan anggapan bahwa mereka itu adalah budak….” Dan beliau menukil atsar dari Anas t berkata : Seorang budak perempuan melewati Umar Ibnu Al Khaththab t dengan menutupi mukanya maka Umar hendak memukulnya dengan tongkat, seraya berkata : Hai Lakaa’[54], kau menyerupai wanita merdeka, lepaskan kain penutup itu..[55]

·         Al Imam Al ‘Allamah Asy Syaukani (Wafat 1250 H) rahimahullah berkata di dalam tafsirnya : (Al Wahidi berkata : Para Ahli tafsir berkata : Mereka hendaklah menutupi wajah dan kepala mereka kecuali satu mata saja, sehingga mereka diketahui bahwa mereka itu adalah wanita merdeka yang tidak boleh diganggu)….sampai akhirnya beliau rahimahullah berkata : (Dan bukanlah yang dimaksud dengan firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” adalah salah satu dari mereka diketahui dari yang lainnya, akan tetapi maknanya adalah mereka itu dikenal bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka bukan budak karena mereka telah mengenakan pakaian yang khusus buat wanita merdeka.[56]

·         Asy Syaikh As Sayyid Muhammad Usman Ibnu As Sayyid Muhammad Abi Bakar Ibnu As Sayyid Abdullah Al Mairghiniy Al Mahjub Al Makiy (Wafat 1268 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Maknanya hendaklah mereka mengulurkan pada wajah dan badan mereka kain yang menutupinya seperti jubah dan pakaian yang menutupi.[57]

·         Al ‘Allamah Abu Al Fadhl Syihabuddin As Sayyid Mahmud Al Alusiy Al Baghdadi (Wafat 1270 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : (Al Idnaa adalah bermakna At Taqrib (mendekatkan/mengulurkan) dikatakan adnannii artinya qarrabanii, dan mengandung makna penguluran dan penguraian, dan oleh karenanya di muta’addikan dengan ‘alaa, sesuai pengetahuan saya, dan mungkin saja rahasia tadlmin adalah pengisyaratan akan yang dimaksud itu adalah menutupi yang masih memungkinkan melihat jalan, maka perhatikanlah).Dan beliau rahimahullah berkata lagi : Dan yang dhahir dari kata عَلَيْهِنَّ adalah keseluruh tubuhnya, dan dikatakan pula : pada kepalanya, dan dikatakan pula : pada wajah-wajah mereka, karena yang biasa nampak zaman jahiliyah adalah wajah….”  Beliau berkata lagi : Dan dalam riwayat lain dari Al Habru (Ibnu Abbas) yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih : Dia (wanita) menutupi wajahnya dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya dan hanya menampakan satu mata. Dan Abdur Razzaq dan Jamaah meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, beliau berkata : Tatkala ayat ini,’ Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka," turun, maka wanita-wanita Anshar keluar rumah seolah-olah diatas kepala mereka ada burung gagak karena saking tenangnya, sedangkan mereka mengenakan pakaian hitam.[58] Dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata : Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita Anshar, tatkala turun,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59),” mereka langsung merobek muruth (kain tebal) yang mereka miliki terus mereka menutup seluruh tubuhnya dengannya, kemudian mereka ikut shalat di belakang Rasulullah r seolah-olah diatas kepala mereka ada burung gagak.[59]
·         Ni’matullah Ibnu Mahmud Al Khajwaniy : يدنين   artinya menutupi عليهن  pada tangan-tangan, kaki-kaki, dan seluruh badannya من  dari sisa-sisa جلابيبهن   jubah-jubahnya sehingga tidak nampak dari bagian-bagian dan anggota-anggota badannya sedikitpun kecuali kedua matanya, bahkan satu mata saja.[60]  

·         Syaikh Abdul Aziz Ibnu Ahmad Ad Damiri mengatakan : Mereka mengulurkan ridanya untuk menutupi wajahnya, kepalanya sekaligus dadanya.[61]

·         Al Muhayimiy berkata : يدنين   mendekatkan yang mengandung penutupan عليهن  terhadap wajah dan badan-badan mereka.[62]

·         ‘Allamatusy Syam Muhammad Jamaluddin Al Qasimiy (Wafat 1332 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Maka wanita-wanita merdeka diperintahkan dengan pakaiannya itu menyalahi penampilan budak, yaitu dengan mengenakan rida’ dan milhafah (baju yang menutupi seluruh badan, pent) serta menutup kepala dan wajah agar mereka terjaga dan tidak menimbulkan hasrat laki-laki liar. Dan beliau berkata lagi : Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yunus Ibnu Yazid, bahwa dia bertanya kepada Az Zuhriy : Apakah wanita budak harus memakai khimar, baik sudah nikah atau belum ? beliau menjawab : Dia harus memakai khimar (kerudung) bila sudah nikah, dan laranglah dia dari mengenakan jilbab, karena dilarang mereka menyerupai wanita-wanita merdeka yang muhshanah.[63]

·         Al ‘Allamah Syaikh Abu Abdillah Abdul Rahman Ibnu Nashir Al Sa’di  rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat ini adalah yang disebut ayat hijab, Allah menyuruh Nabi-Nya agar memerintahkan seluruh wanita, dan memulai dengan isteri-isteri dan puteri-puterinya karena mereka adalah lebih harus ditekankan terlebih dahulu dari yang lainnya, dan karena orang yang hendak memerintah orang lain seharusnya dia memulai dengan keluarganya sebelum orang lain sebagaiman firman-Nya ,” Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka,” agar ,”mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka,” dan jilbab itu adalah pakaian rangkap seperti milhafah, khimar, rida’ dan lain-lain, yaitu hendaklah mereka menutupi dengan jilbab itu wajah dan dada mereka, kemudian Dia menyebutkan hikmah hal itu dengan firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” ini menunjukan akan adanya gangguan bila mereka tidak berhijab, itu dikarenakan mereka bila tidak berhijab, mungkin saja dikira bahwa mereka itu adalah bukan wanita baik-baik, sehingga orang yang berpenyakit di dalam hatinya berusaha untuk mengganggunya, dan bisa saja mereka dihina, serta mereka diduga budak sehingga orang nakal berani mengganggunya, maka hijab itu sebagai pemutus akan hasrat dan keinginan orang-orang jahat terhadap mereka.,” Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ,” karena Dia mengampuni bagi kalian apa yang telah lewat, dan menyayangi kalian, karena Dia telah menjelaskan hukum-hukum-Nya kepada kalian, Dia telah jelaskan halal dan haram. Ini adalah penutup pintu dari pihak wanita, dan adapun dari pihak orang-orang jahat, maka Dia telah  mengancam mereka dengan firman-Nya,”Sesungguhnya bila tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit di dalam hatinya,” yaitu penyakit keraguan dan syahwat,”dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah,” yaitu yang menakut-nakuti (kalian) akan musuh lagi membicarakan jumlah banyak dan kekuatan mereka dan lemahnya kaum mu’minin, dan Dia tidak menyebutkan apa yang harus mereka hentikan darinya, agar mencakup semua apa yang dibisikan dan diwaswaskan oleh jiwa mereka terhadap mereka, dan kejahatan dan gangguan yang secara tidak langsung menghina Islam dan pemeluknya, juga menakut-nakuti kaum muslimin dengan kabar bohong dan mematahkan kekuatannya, dan usaha mereka dalam mengganggu kaum mu’minat dengan perbuatan buruk dan keji, dan maksiat-maksiat lainnya yang banyak bersumber dari orang-orang seperti mereka,”niscaya Kami perintahkan kamu (untuk) menyerang mereka,”  yaitu memerintahkan engkau untuk menghukumi mereka, dan memeranginya, serta Kami kuasakan engkau untuk membinasakan mereka, kemudia bila Kami lakukan hal itu, maka tidak ada bagi mereka kekuatan untuk melawanmu, dan mereka tidak memiliki daya dan pertahanan, dan oleh sebab itu Dia berfirman,”kemudian mereka tidak menjadi tetangganu ( di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.[64]

·         Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Dan di antara dalil-dalil qur’aniy yang mewajibkan berhijabnya perempuan  dan mereka menutup seluruh tubuhnya hingga wajahnya adalah firman Allah U ,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" banyak para ulama berkata : Bahwa sesungguhnya makna,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" adalah bahwa mereka menutupi seluruh wajahnya dengan jilbab itu, dan tidak nampak darinya kecuali satu mata saja untuk melihat, diantara yang mengatakan hal ini adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas,Ubaidah As Salmaniy dan lain-lain.

Bila ada yang mengatakan : lafadh ayat yang mulia yaitu,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" maknanya tidak memestikan menutupi wajah secara bahasa, dan tidak ada dalil dalam Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ yang menunjukan kemestiannya atas hal itu, sedangkan perkataan sebagian ahli tafsir :  Bahwa itu memestikan,’ bertentangan dengan perkataan sebagian yang lain : Bahwa itu tidak memestikan,” maka dengan ini gugurlah beristidlal dengan ayat ini atas wajibnya menutup wajah.

Maka jawabnya : Dalam ayat yang mulia ini ada qarinah yang jelas yang menunjukan bahwa firman-Nya U ,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" termasuk dalam maknanya  menutup wajahnya dengan mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuhnya, dan qarinah yang disebutkan itu adalah firman-Nya U ,” katakanlah kepada isteri-isterimu,” sedangkan kewajiban berhijabnya isteri-isteri beliau dan menutupi wajahnya adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan di dalamnya di antara kaum muslimin, maka penyebutan isteri-isteri beliau bersama puteri-puterinya dan istrei-isteri kaum muslimin itu menunjukan kewajiban menutupi wajah dengan mengulurkan jilbabnya seperti yang anda bisa lihat. Dan di antara dalil atas hal itu adalah apa yang telah kami jelaskan dalam surat An Nur[65]ketika membahas firman-Nya U ,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari mereka,” yaitu bahwa hasil istiqra’ ayat –ayat Al Qur’an menunjukan bahwa makna,” kecuali yang biasa nampak dari mereka,” adalah jubah yang dipakai sebagai rangkap pakaian, dan sesungguhnya tidak sah menafsirkan,” kecuali yang biasa nampak dari mereka,” dengan wajah dan kedua talapak tangan sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan ketahuilah bahwa perkataan orang yang mengatakan : Bahwa telah ada qarinah qur’aniyyah yang menunjukan bahwa firman-Nya U ,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak termasuk di dalamnya menutup wajah, dan qarinah yang disebutkan adalah firman-Nya U ,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” orang itu berkata : Firman-Nya,” mudah untuk dikenal,” menunjukan  bahwa mereka lebih dikenal dengan keterbukaannya dan membuka wajahnya, karena yang menutupi wajahnya tidak dikenal.”(Jawabnya) : ini adalah bathil, dan kebathilannya sangat jelas sekali, dan konteks ayat sangat menolak pemahaman seperti ini, karena firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" jelas menolak pemahaman seperti itu, penjelasannya : Bahwa isyarat dalam firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” kembali kepada penguluran jilbab ke seluruh tubuh mereka, sedangkan penguluran jilbab ke seluruh tubuh mereka tidak mungkin bagaimana pun juga lebih mudah dikenal dengan keterbukaannya dan pembukaan wajahnya seperti yang anda lihat, maka penguluran jilbab menafikan lebih keterkenalan  dengan keterkenalan pribadi dengan cara membuka wajah sebagaimana yang tidak diragukan lagi.

Dan firman-Nya,” kepada isteri-isterimu,”merupakan dalil juga yang menunjukan bahwa keterkenalan dalam ayat itu bukan dengan membuka wajah, karena hijab isteri-isteri Rasulullah r tidak ada perselisihan dikalangan kaum muslimin.

Wal hasil pendapat di atas itu sangat bathil dengan dalil-dali yang banyak :
Pertama  : Konteks ayat yang telah kami jelaskan tadi.
Kedua     : Firman-Nya,” kepada isteri-isterimu,”  sebagaimana yang telah kami jelakan.
Ketiga    : Bahwa seluruh mufassirin dari kalangan sahabat dan orang-orang sesudah mereka menafsirkan ayat itu dengan menyebutkan asbab nuzulnya, bahwa wanita-wanita penduduk kota Madinah dulu keluar malam di hari untuk membuang hajat mereka di luar rumahnya, sedang di kota Madinah ada sebagian orang-orang fasiq yang suka mengganggu wanita-wanita budak dan mereka tidak mau mengganggu wanita-wanita merdeka, sedangkan sebagian isteri kaum mu’minin keluar dengan mengenakan pakaian yang tidak berbeda dengan pakaian budak maka orang-orang fasiq itu mengganggunya dengan anggapan mereka itu budak, maka Allah U memerintahkan Nabinya r agar menyuruh isteri-isterinya dan puteri-puterinya serta isteri-isteri kaum mu’minin supaya memakai pakaian yang berbeda dengan pakaian budak, yaitu dengan cara mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, sehingga bila mereka melakukan hal itu dan dilihat oleh orang-orang fasiq mereka mengetahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka. Pengetahuan akan mereka bahwa mereka adalah wanita merdeka bukan budak adalah berdasarkan firman-Nya,’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu mengenal sifatnya bukan Syakshnya (pribadinya), dan tafsiran ini selaras dengan dzahir Al Qur’an seperti yang anda lihat. Maka firman-Nya,”hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya,” karena penguluran jilbab mereka  ke seluruh tubuhnya memberikan isyarat bahwa mereka itu wanita merdeka, maka penampilan seperti ini lebih mudah dikenal bahwa mereka adalah wanita merdeka, sehingga tidak mendapatkan gangguan dari orang-orang fasiq yang suka mengganggu budak, dan ini merupakan penafsiran yang ditafsirkan oleh para ahli tafsir tentang ayat ini, dan ini sangat jelas, namun ini bukan maksudnya bahwa mengganggu wanita budak itu boleh, bahkan itu haram, dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang suka mengganggu mereka adalah orang yang ada penyakit di dalm hatinya, dan sesungguhnya mereka itu masuk dalam keumuman firman-Nya,”dan orang-orang yang berpenyakit di dalam hatinya,” dalam firman-Nya,”Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafiq, orang-orang yang berpenyakit di dalam hatinya dan orang-orang yang menyebar kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,”.

Dan di antara dalil yang menunjukan bahwa orang yang suka mengganggu wanita yang tidak halal itu adalah orang yang berpenyakit di dalam hatinya adalah firman-Nya U ,”Maka janganlah kamu tunduk[66] dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit di dalam hatinya…..” dan makna seperti ini adalah makna yang sudah ma’ruf di kalangan orang arab, seperti perkataan Al A’sya :
Menjaga kemaluannya, rela dengan ketaqwaan
bukan dari kalangan orang yang ada penyakit di dalam hatinya.

Dan secara umum tidak ada isykal (masalah) dalam memerintahkan wanita merdeka agar menyelisihi pakaian budak supaya orang-orang fasiq merasa segan, dan menolak gangguan orang-orang fasiq terhadap budak juga harus, dan itu mempunyai cara-cara lain yang bukan di antaranya mengulurkan jilbab.[67]
·         Dan Al ‘Allamah Abul ‘Ala Al Maududiy (wafat 1339) rahimahullah telah menukil sejumlah perkataan para ahli tafsir dalam menafsirkan ayat ini, kemudia beliau rahimahullah berkata :( Dan jelaslah dari perkataan-perkataan ini semuanya bahwa semenjak zaman sahabat yang terjamin hingga abad VIII  Hijriyyah, semua ulama menafsirkan ayat ini pada satu pemahaman, itulah yang telah kami pahami dari ungkapan-ungkapan tersebut, dan bila setelah itu kita merujuk kepada hadits-hadits Nabawiy dan atsar-atsar, pasti kita ketahui darinya juga bahwa para wanita telah lansung mengenakan niqab secara keseluruhan setelah turunnya ayat ini pada zaman Nabi. Mereka tidak pernah keluar rumah dengan membuka wajah (sufur), sungguh telah ada pada Sunan Abu Dawud, At Tirmidzi, Muwaththa’ Imam Malik, dan yang lainnya dari kitab-kitab hadits bahwa Nabi r telah memerintahkan bahwa,” wanita yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh mengenakan niqab dan kedua kaus tangan,” dan ,” melarang wanita dalam ihramnya mengenakan dua kaus tangan dan niqab,” dan ini sangat gamblang sekali penunjukannya bahwa wanita-wanita pada zaman nabi r telah terbiasa mengenakan niqab dan dua kaus tangan secara keseluruhan, maka Belia melarang mereka dari mengenakannya di saat ihram, dan bukan maksud larangan ini biar wajah di pamer di musim haji, namun maksudnya adalah biar gaun penutup kepala ini bukan termasuk pakaian yang dikenakan di saat ihram yang sederhana itu, selayaknya menjadi pakaian mereka di saat hari-hari biasa, sungguh telah ada pada  hadts-hadits lain penjelasan bahwa isteri-isteri Nabi r dan wanita lainnya, mereka menyembunyikan wajah-wajahnya di saat ihram dari pandangan laki-laki lain juga, dalam Sunan Abu Dawud dari Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Adalah rombongan melewati kami, sedang kami dalam keadaan ihram bersama Rasulullah r, bila mereka berpapasan dengan kami, maka masing-masing kami mengulurkan jilbabnya dari kepala pada wajahnya, terus bila mereka telah berlalu, maka kami membukanya,” [68] dan dalam Muwaththa Imam Malik dari Fathimah Bintu Al Mundzir, berkata : Kami menutupi wajah kami sedang kami dalam keadaan ihram, dan kami saat itu bersam Asma Bintu Abu Bakar Ash shiddiq radiyallahu ‘anhuma, dan beliau tidak mengingkari kami,”[69] dan telah ada dalam Fathul Bari dari Aisyah radhiyallahu 'anha : Wanita mengulurkan jilbabnya dari atas kepalanya ke wajahnya,”[70] dan semua orang yang mengamati kalimat-kalimat  ayat dan penafsiran yang dikatakan oleh para ahli tafsir dari masa ke masa dengan kesepakatan, dan apa yang yang dilakukan oleh manusia pada zaman Nabi r, maka dia tidak melihat adanya peluang untuk mengingkari bahwa wanita itu sudah diperintahkan oleh syariat islam untuk menutupi wajahnya dari laki-laki lain, senantiassa amalan tersebut terus berlangsung dari emenjak zaman Nabi r hingga zaman kita sekarang ini.[71]
Dan beliau rahimahullah berkata lagi dalam tafsir surat Al Ahzab : ( Jilbab menurut bahasa Arab adalah milhafah, mulaa’ah dan pakaian yang lapang, sedangkan idnaa’ artinya adalah mengulurkan dan melipatkan, dan bila dimuta’addikan dengan huruf jarr ‘alaa, maka maknanya adalah mengulurkan dan menguraikan dari atas, sedangkan sebagian ahli terjemah pada zaman sekarang ini, mereka telah tergusur dengan dzauq gharbiy (rasa/selera barat), sehingga mereka menterjemahkan lafadh ini dengan makna menyelimutkan, agar mereka tidak menyerempet pada hukum menutup wajah, namun Allah U seandainya menghendaki apa yang mereka sebutkan, tentu Dia mengatakan,”yudniina ilaihinna,”. Sedangkan orang yang memahami bahasa Arab, pasti tidak akan menerima penafsiran,” yudniina ‘alaihinna,” dengan makna menyelimutkan saja, ini di samping bahwa firman-Nya,”jalaabiibihinna,” menolak sekali penafsiran seperti itu.
Dan ,”min,” adalah littabidl, yakni sebagian dari jilbab-jilbabnya, dan seandainya wanita menyelimutkannnya tentu dia menyelimutkan seluruhnya bukan sebagiannya atau ujungnya, dan dari sinilah berarti ayat itu bermakna bahwa wanita menutupi seluruh tubuhnya, dia menyelimuti dirinya dengan jilbab-jilbab itu, kemudian mereka mengulurkan ke wajahnya dari atasnya sebagian atau ujung jilbab itu, yaitu yang dikenal di kalangan umum dengan nama niqab.
Inilah yang telah dikatakan oleh para tokoh-tokoh ahli tafsir yang masih dekat zamannya dengan zaman risalah dan pembawanya r, Ibnu Jarir, Ibnu Al Mundzir telah meriwayatkan bahwa Muhammad Ibnu Sirin rahimahullah telah bertanya kepada Ubaidah As Salmaniy tentang makna ayat ini,( dan Ubaidah Ini telah masuk Islam pada zaman Nabi r, namun belum datang kepada beliau, dan datang ke kota Madinah pada zaman Umar t, beliau hidup di sana, dan kedudukannya setara dengan Al Qadliy Syuraih dalam masalah qadla’) kemudian jawabannya adalah beliau mengambil jubahnya terus menutupi diri dengannya, sehingga tidak nampak dari kepala dan wajahnya kecuali satu mata, dan Ibnu Abbas juga telah menafsirkannya dengan makna yang hampir sama, dan apa yang dinukilkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim serta Ibnu Mardawaih, beliau berkata : Allah telah memerintahkan wanita-wanita kaum mu’minin, bila mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk suatu hajat, agar menutupi wajah-wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab-jilbab, dan menampakan satu mata saja,” dan inilah juga yang dikatakan oleh Qatadah dan As Suddiy dalam penafsiran ayat ini.
Para tokoh-tokoh ahli tafsir yang datang setelah zaman para sahabat dan tabi’in, mereka sepakat atas penafsiran ayat ini dengan makna tadi.
Kemudian beliau rahimahullah berkata dalam penafsiran firman-Nya U ,”Yang demikian itu supaya mereka lebih dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,”( Yang dimaksud dengan,” dikenal ,” yaitu adalah setiap orang yang melihat mereka mengenakan pakaian yang penuh ketenangan dan tertutup ini mengetahui bahwa mereka adalah wanita-wanita mulia lagi merdeka bukan wanita rendahan, lacur, lagi murahan, sehingga orang nakal lagi hidung belang berhasrat kepadanya. Dan maksud dari,” karena itu mereka tidak diganggu,” yaitu tidak seorangpun berani mengganggunya.
Di sini kita dia sejenak, kita berusaha bersama-sama memahami apa inti aturan sosial Islam yang didengungkan dengan perintah Al Qura’an ini ? dan apa maksud dan tujuannya yang disebutkan langsung oleh Allah Rabbul ‘Alamin ?
Sungguh Allah telah memerintahkan para wanita dalam ayat 31 surat An Nur agar tidak menampakan perhiasannya kecuali kepada orang-orang tertentu yang disebutkan dalam ayat ini,”dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” dan bila kita baca perintah ini dengan disambungkan bersama ayat urat Al Ahzab yang ada di depan kita, maka jelaslah bagi kita bahwa perintah yang ditujukan kepada para wanita dalam ayat ini adalah mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yaitu menyembunyikan perhiasannya dari selain laki-laki mahram. Dan tentunya maksud ini tidak akan terlaksana kecuali bila jilbabnya itu sendiri tidak dihiasi dan diperindah, dan kalau tidak seperti itu tentu hilanglah tujuan ini dengan mengenakan jilbab yang dihiasi dan diperindah yang menarik perhatian. Dan lebih dari itu bahwa Allah U tidak hanya memerintahkan wanita agar mengulurkan jilbab dan menyembunyikan perhiasannya saja, namun dia juga memerintahkan mereka agar menjulurkan bagian jilbab-jilbabnya-dari atas-, dan semua orang yang berakal tidak mungkin memahami dari perkataan ini, selain Dia bermaksud agar wanita mengenakan niqab agar wajahnya tersembunyi juga di samping dia menyembunyikan  badan dan pakaiannya, kemudia Allah Rabbul ‘Alamin menyebutkan alasan perintah ini, Dia berkata : Sesungguhnya ini adalah cara yang paling bagus agar wanita-wanita kaum mu’minin dikenal sehingga mereka tidak disakiti.
Dan jelaslah dengan sendirinya dari hal ini bahwa perintah ini ditujukan kepada para wanita yang tidak merasa senang dengan rayuan laki-laki terhadapnya, rasa berbunga-bunga nampak pada wajah dan badannya, dan laki-laki sangat berhasrat terhadapnya, akan tetapi wanita-wanita itu merasa geram dan tersinggung, dan mereka itu tidak menginginkan dirinya tergolong bintang-bintang masyarakat yang lacur, namun mereka menginginkan agar mereka itu dikenal sebagai lentera-lentera rumah-rumah yang suci lagi bertaqwa. Wanita-wanita yang mulia lagi suci itu dikatakan oleh Allah kepadanya : Jika memang kalian ingin dikenal dengan sifat-sifat ini, dan meskipun laki-laki selalu memperhatikan dan menginginkan kalian, namun kalian tidak merasa suka dengan hal itu, bahkan merasa geram dan benci, maka jalan untuk menuju hal itu bukanlah dengan cara keluar dari rumahnya dengan cara berhias bagaikan pengantin di malam petama, dan menampakan kecantikan dan kemolekannya dengan begitu rupa yang menarik simpati dan hasrat di hadapan mata jalang yang lapar, namun cara terbaik untuk hal itu adalah mereka keluar dengan menyembunyiak semua perhiasannya di dalam jilbab yang diulurkan dan tidak dihiasi, mereka mengenakan niqab pada wajahnya, serta berjalan dengan cara yang tidak menarik perhatian orang terhadapnya sedikitpun hingga tidak boleh membunyika suara perhiasannya. Sesungguhnya wanita yang menghiasi dirinya dan  bersiap-siap sebelum keluar dari rumahnya, dan dia tidak meninggalkan rumahnya kecuali setelah meletakan berbagai macam bentuk, warna make-up dan polesan-polesan berwarna-warni antara merah, biru, hitam, dan putih, tidak ada tujuannya dari hal itu kecuali dia itu ingin menarik perhatian laki-laki, serta mengajak laki-laki agar meliriknya, dan memperhatikannya, serta ingin memilikinya, maka bila dia mengatakan setelah itu sesungguhnya pandangan-pandangan liar nan haus menyakitinya, dan mempersempitnya, dan meskipun dia mengklaim bahwa dia itu tidak ingin dikenal sebagai bunga desa dan wanita idaman, bahkan dia ingin menjadi ibu rumah tangga yang mulia lagi terhormat, maka hal itu tidak lain adalah tipu daya dan makar darinya.
Sersungguhnya ucapan orang itu tidak bisa menentukan niatnya, namun niat yang sebenarnyalah yang dia pilih, dan menentukan bentuk amalannya, nah dari itu sesungguhnya wanita  yang menjadikan dirinya sesuatu yang menarik perhatian pandangan, kemudian berjalan di hadapan laki-laki, maka perbuatannya itu membongkar niatnya yang tersembunyi di belakang, dan penggerak yang dimana dia berperilaku di baliknya, oleh sebab itu laki-laki pencari mangsa menginginkan apa yang inginkan oleh wanita macam ini. Al Qur’an berkata kepada wanita : Sungguh jauh, sungguh jauh kalian ingin menjadi lentera-lentera rumah yang bercahaya, dan ekaligus ingin menjadi bintang-bintang masyarakat yang lacur lagi bejat, biar kalian menjadi lentera-lentera rumah maka tinggalkan lah cara-cara, metode-metode, dan uslub-uslub yang sesuai dengan bintang-bintang masyarakat, dan telusurilah cara hidup yang membantu kalian agar menjadi lentera-lentera rumah.
Sesungguhnya pendapat peribadi bagi orang mana saja,- apakah sesuai dengan Al Qur’an atau tidak, dan apakah dia itu ingin menerima petunjuk Al Qur’an sebagai manhaj amalan dan kaidah etika ataupun tidak ingin- bila dia tidak mau sama sekali melanggar amanah dalam tafsir, maka tidak mungkin dia salah dalam memahami maksud dan tujuan Al Qur’an, dan selama dia itu tidak munafiq, maka dia pasti menerima bahwa maksud Al Qur’an adalah apa yang telah kami sebutkan tadi, dan bila setelah itu dia masih menyalahi, maka dia tetap akan menyalahi setelah dia mengakui bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan Al Qur’an, atau dia memahami Al Qur’an dengan pemahaman yang miring lagi salah.[72]



·         Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iriy (pengajar dan khathib di mesjid Nabawi,pent) hafidhahullah berkata : Firman-Nya U ,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59) Ayat ini dari surat Al Ahzab- mutaakhkhir bacaanya dari dua ayat sebelumnya[73]- membatalkan anggapan kekhususan dalam masalah hijab, karena dalam khithabnya isteri-isteri kaum mu’minin diikutkan dengan lafadh yang sharih(jelas), yaitu menuntut kaum mu’minah bila hendak keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan yang mendesak agar menutupi wajahnya, dan menutupi kecantikan tubuhnya. Adapun alasan dalam ayat itu adalah menunjukan pada masyarakat islam saat itu, dimana masih terkungkung dan terbatas, karena akibat adanya orang-orang munafiq dan munafiqat, musyrikin dan musyrikat, sedangkan hukum Rasulullah r belum istiqrar dan keamanan belum menyeluruh, dengan dalil bahwa ada orang-orang munafiq yang masih mengganggu wanita-wanita budak di jalanan, merayunya agar mau mesum, maka termasuk sikap penjagaan serentak Allah U memerintahkan Nabi r agar memerintahkan isteri-isteri, puteri-puterinya dan wanita-wanita kaum mu’minin bila di antara mereka ada yang keluar rumah untuk hajatnya agar menutupi kepala dan wajahnya, agar diketahui bahwa dia itu wanita merdeka, bukan budak pekerja rumah, sehingga orang-orang munafik tidak menganggunya baik dengan perkataan mesum ataupun dengan rayuan gombal. Dan makud penjelasan ini adalah bahwa ayat ini merupakan penguat dan penetap wajibnya hijab.
Para penyeru sufur (penyeru para wanita untuk menanggalkan penutup mukanya) mengatakan : Sesungguhnya ayat ini tidak memerintahkan untuk menutupi wajah, namun hanya menyuruh untuk menutupi kepala saja,” Dan perkataan ini sangat bathil, karena jilbab adalah apa yang diletakan oleh wanita di atas kepalanya, maka bagaimana mungkin dikatakan : Ulurkan jilbabmu pada kepalamu sedangkan jilbab itu menutupinya. Dan yang benar adalah bahwa dia mengulurkan dari kepalanya pada wajahnya, inilah yang ma’qul (masuk akal)dan dipahami oleh orang Arab, kemudian sekedar menutup kepala tidak mencegah adanya rayuan yang dikhawatirkan, dan yang mencegah hal itu adalah menutupi wajah, adapun wanita yang membuka wajahnya maka menjadi pusat pandangan, dan memudahkan adanya sapaan gombal dan rayuan, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair :
Pandangan, terus senyuman, kemudian ucapan salam
Pembicaraan, terus janji, dan akhirnya pertemuan[74]

·         Syaikh Doktor Muhammad Mahmud Hijaziy berkata dalam tafsirnya : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" maka mereka menutup seluruh tubuhnya hingga wajahnya kecuali (mata) untuk sekedar melihat jalan.[75]

·         Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : ( dan mafhum dari jilbab adalah tidak terbatas pada nama, jenis dan warna tertentu, namun jilbab adalah setiap pakaian yang dipergunakan oleh wanita untuk menutupi semua tempat-tempat perhiasan baik yang tetap atau yang bisa dipindahkan (seperti pakaian, pent), dan bila kita telah mengetahui maksud darinya, maka hilanglah kesulitan dalam menentukan karakter dan namanya.
Maka firman-Nya U ,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” [76]menunjukann pada pengkhususan wajah, karena wajah adalah tanda pengenal, jadi ini merupakan Nash atas wajibnya menutup wajah, dan firman-Nya U ,” karena itu mereka tidak diganggu.” Adalah Nash yang menunjukan bahwa dalam mengenal kecantikan perempuan bisa menimbulkan gangguan terhadapnya dan terhadap yang lainnya berupa kejahatan dan fitnah, oleh sebab itu Allah U  mengharamkan terhadap wanita  menampakan apa yang menonjolkan kecantikannya apapun hal itu.[77]
Dan beliau hafidhahullah berkata : [78] Jilbab itu lebih luas dari sekedar menutupkan kudung, karena jilbab itu menutupi/menyelimuti badan wanita seluruhnya, dan menutupi semua perhiasan yang ada pada badannya atau yang menjiplak badannya, karena memakai pakaian yang menjiplak badan wanita, hukumnya adalah haram atasnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram….
Dan bila orang yang membolehkan membuka wajah mengatakan : Sesungguhnya ayat ini khusus bagi keluarnya isteri-isteri Nabi r di saat buang hajatnya. Jawaban kami : Yang hak sesungguhnya sebab turun ayat itu tidak membatasi padanya hukum ayat-ayat Al Qur’an, maka ayat-ayat itu mengkhithabi seluruh manusia pada zaman ini dan pada zaman  sesudahnya, sebagaimana mengkhithabi Rasulullah r dan para sahabatnya, dan hal ini tidak seorangpun dari ahli ilmu yang mengingkarinya, karena yang menjadi patokan adalah umumnya lafadh, bukan khususnya sebab.[79]

·         Perkataan Al ‘Allamah Abu Hisyam Abdullah Al Anshariy dalam penafsiran ayat penguluran.
Beliau rangkum perkataannya itu dalam sebuah pembahasan yang sangat berharga : (Ibrazul Haq Wash Shawab Fi Mas’alatis Sufur Wal Hijab) yang diterbitkan oleh Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah di India yang beliau tulis dalam rangka membantah tulisan Doktor Muhammad Taqiyyuddin Al Hilaliy- rahimahullah- dengan judul : Al Isfar ‘Anil Haq Fi Mas’alatis Sufur Wal Hijab,, Dan saya akan menguraikannnya dengan keseluruhan, karena mengandung faidah yang agung, beliau hafidhahullah berkata :
( Dan ayat ini adalah penyempurna dan penjelas ayat bagi ayat hijab, itu dikarenakan sesungguhnya ayat hijab diuraikan dalam rangka menjelaskan hukum-hukum rumah, karena Allah U memulai khithabnya dengan firman-Nya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memauki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan,” dan dalam konteks ini Dia memerintahkan agar berhijab dengan firman-Nya,”Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir ,” maka para sahabat mengetahui dari penjelasan ini bahwa mereka tidak boleh masuk ke dalam rumah-rumah beliau, atau berdiri diam di depan pintunya di saat mereka membutuhkan untuk meminta sesuatu, namun mereka harus memintanya dari balik sesuatu yang dinamakan hijab, baik berupa tembok atau pintu, atau tabir yang dipasang, nah dari sinilah timbul pertanyaan lain, yaitu apa yang mereka lakukan ? atau apa yang dilakukan wanita bila ingin keluar rumah ? Maka Allah U menurunkan ayat ini, dan memerintahkan para wanita agar mengulurkan jilbab-jilbannya ke seluruh tubuh mereka, dan dengan ini sempurnalah perintah hijab dalam dua keadaan, di saat keluar rumah dan di saat berada di dalam rumah.
Dan ayat  yang mulia ini menuntut pengamatan dan pemikiran yang diulang-ulang dari beberapa sisi :
Pertama : Sesungguhnya Allah U  tidak mengatakan yatajalbabna (berjilbablah) namun Dia hanya mengatakan yudniina (mengulurkan), dan sudah maklum bahwa mengulurkan itu bukanlah berjilbab, namun dia itu lebih dari sekedar berjilbab, maka realisasi dari perintah ini tidak terlaksana dengan sekadar berjilbab, namun harus melakukan sesuatu yang lebih darinya yang dengannya penafsiran kalimat idnaa (penguluran) itu benar.

Kedua : Sesungguhnya penguluran itu tidaklah dikatakan pada pemakaian baju, kemudian dia juga tidak muta’addi (memerlukan obyek) dengan huruf ‘alaa, namun muta’addi dengan lam, min, dan ilaa, maka pemerluan obyeknya dengan ‘alaa di sini dikarenakan idnaa tersebut mengandung makna kata kerja lain, yaitu irkhaa (menguraikan/mengulurkan), sedangkan irkhaa ini terlaksana bila dilakukan dari atas, sehingga maknanya adalah : Hendaklah mereka mengulurkan bagian dari jilbab-jilbabnya dari atas kepala-kepala mereka kepada wajah-wajah mereka. Adapun perkataan kami : kepada wajah-wajah mereka,” kami ambil dikarenakan jilbab itu di saat diulurkan pasti mengenai anggota badan, dan sudah diketahui secara langsung bahwa anggota badan yang dimaksud tidak lain  kecuali wajah, dan adapun hanya pada kening saja, maka sudah maklum bahwa kadar kecil dari penempelan pakaian ini tidak dinamakan penguluran, dan makna ini dikuatkan (yaitu bahwa yang dimaksud dengan idnaa adalah penguluran/penguraian bukan sekedar berjilbab) juga, bahwa Allah U mendatangkan dengan kata min yang memiliki arti sebagian sebelum kata jalaabib, maka tuntutannya adalah bahwa penguluran ini terlaksana dengan sebagian jilbab di samping bahwa berjilbab itu dikatakan bagi semua cara mengenakan jilbab itu.



Ketiga  : Sesungguhnya dhamir pada kalimat yudniina kembali pada tiga kelompok wanita seluruhnya : isteri-isteri Nabi r, puteri-puterinya, dan wanita-wanita orang-orang yang beriman. Sedangkan para ulama sudah berijma bahwa menutupi wajah dan kedua telapak tangan adalah hal yang diwajibkan atas isteri-isteri Nabi r, maka bila kata kerja ini (maksudnya yudniina) menunjukan akan wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan bagi satu kelompok dari yang tiga itu, maka kenapa kata kerja yang sama tersebut tidak menujukan akan kewajiban yang sama bagi kedua kelompok yang lainnya ?!.

Keempat : Sesungguhnya Allah U memerintahkan Ummahatul Mu’minin agar menutupi diri secara sempurna dalam ayat hijab, dan sama sekali tidak mengecualikan sedikitpun dari anggota tubuhnya, maka seandainya yang dimaksud dengan idnaaul jilbab itu adalah menutupi kepala tanpa mencakup wajah dan kedua telapak tangan, tentu firman Allah U itu adalah sia-sia bagi hak Ummahatul Mu’minin, karena termasuk suatu yang sangat aneh adalah  bila diperintahkan awalnya agar menutupi diri secara sempurna hingga wajah dan kedua telapak tangan kemudian (setelah itu) diperintahkan agar menutupi kepalanya saja dengan status ayat pertama tetap muhkamah tidak dinasakh, ooh sungguh heran…apa perlunya diperintahkan menutupi kepala setelah diperintahkan menutupi seluruh anggota badan?!

Kelima : Sesungguhnya metode-metode para perawi- meskipun berbeda-beda dalam menjelaskan sebab nuzul ayat ini- namun mereka sepakat bahwa diantara tujuan perintah ini adalah membedakan antara wanita-wanita merdeka dari wanita-wanita budak dengan pakaian tertentu, maka kewajiban kita adalah kembali dalam memahami hal itu kepada kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab pada saat itu dan sebelumnya. Dan nampak dari syair-syair para penyair zaman Jahiliyyah bahwa wanita-wanita merdeka dan wanita-wanita terhormat, mereka itu menutupi wajahnya juga pada zana jahiliyyah, dan hijab wajah ini –meskipun tidak menyeluruh-namun dia itu merupakan pakaian pembeda antara wanita merdeka dengan budak.

Kemudian beliau menuturkan beberapa syawahid syi’riyyah untuk menguatkan bahwa menutupi wajah dan membukanya merupakan pembeda atara wanita merdeka dengan wanita budak pada zaman jahiliyyah, hingga beliau hafidhahullah kemudian mengatakan :

Dan setelah mengetahui dengan cukup tentang kebiasaan wanita-wanita zaman jahiliyyah, maka mudah sekali bagi kita memahami makna ayat itu, dan sesungguhnya Allah U memerintahkan wanita-wanita mu’minat agar komitmen dengan pakaian yang sudah mereka ketahui bahwa itu adalah pakaian wanita merdeka, dan bukan pakaian budak, dan sudah diketahui bahwa pakaian itu adalah menutupi wajah dengan jilbab.

Keenam : Sesungguhnya riwayat-riwayat yang ada tentang sebab nuzul ayat ini, ada yang bersifat diam tidak menjelaskan tentang pakaian yang membedakan antara wanita merdeka dengan wanita budak, dan ada yang sharih (jelas) lagi pasti tentang sifat pakaian itu. Adapun riwayat yang menjelaskan dengan terang akan pakaian  itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Muhammad Ibnu Ka’ab Al Quradhzi, berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan munafiqin selalu mengganggu wanita-wanita kaum muslimin, bila diomongin, dia malah mengatakan : Oh Saya kira dia itu budak,” Maka Allah mmemerintahkan para wanita agar berbeda dengan pakaian budak, dan mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sehingga menutupi wajahnya kecuali satu mata, Dia berfirman,”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu,” Dia berkata : Itu memudahkan agar mereka lebih dikenal.[80]
Dan ada riwayat yang dekat maknanya dengan riwayat tersebut yaitu riwayat Ibnu Jarir, dan telah dinukil oleh Fadlilatud Doktor Al Hilaliy, di dalamnya ada penafsiran kalimat yudniina dengan yataqanna’na, sedangkan taqannu’ biasa diartikan dengan menutupi wajah, dan darinya ada yang dinamakan Muqanna’ Al Kindiy, dia dinamakan Muqanna’ karena tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan mengenakan penutup pada wajahnya.[81]
Dan di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ahmad Ibnu Abi Ya’qub dalam Tarikhnya : Dan orang-orang Arab dahulu biasa datang ke pasar Ukadh dengan mengenakan purdah pada wajah-wajah mereka, terus dikatakan : Sesungguhnya orang Arab pertama yang membuka penutup mukanya adalah Dharif Ibnu Ghanm Al ‘Anbariy[82]
Dan diantaranya sebuah peribahasa : Dia menanggalkan penutup malu dari wajahnya.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab nuzul ini dengan terang juga menegaskan  bahwa pembeda antara budak dengan wanita merdeka adalah hanya terletak pada penutupan dan pembukaan wajah. Dan adapun istidlal mereka dengan apa yang sudah masyhur di dalam kitab-kitab Fiqh, yaitu bahwa budak itu tidak menutupi kepalanya, maka argument ini tidak benar sama sekali, pertama : Karena Allah U  hanya mengembalikan kaum muslimin pada kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya sudah ada di kalangan masyarakat orang-orang Arab, dan tidak mengembalikannya kepada yang sudah masyhur dan baku dalam syariat ini, karena apa yang baku dan berlaku pada syariat ini belum tetap kecuali setelah turun ayat ini. Kedua : karena membuka wajah kepala bagi wanita budak itu bukanlah masalah yang disepakati.[83]
Dan adapun apa yang dikatakan oleh bapak Doktor bahwa Umar t pernah memukul budak-budak wanita karena sebab menutupi kepalanya, sungguh ini tidak benar, namun yang benar adalah bahwa beliau memukul mereka karena sebab mereka menutupi wajah, coba simaklah lafadh riwayatnya : Anas berkata : Seorang budak lewat di depan Umar dengan mengenakan niqab, maka beliau mengancamnya dengan tongkat, dan berkata : Ya Lakka’, kalian menyerupai wanita-wanita merdeka ? lemparkan penutup itu.[84]
Dan anehnya bapak Doktor, bagaimana ridla berdalil dengan atsar itu akan bolehnya membuka wajah bagi wanita merdeka?!

Ketujuh : Sesungguhnya kita seandainya menerima – dalam rangka mengandai-andai mengikuti apa yang dikatakannya- bahwa sekedar menutupi kepala itu cukup untuk membedakan wanita medeka dari budak, maka tidak diragukan lagi bahwa menutupi wajah beserta menutupi kepala adalah lebih utama dalam memberikan perbedaan, dan dalam memenuhi tujuan ini, terus sebab turun ayat ini seandainya benar apa yang dipahami bapak Doktor darinya, hal itu tidak memestikan penafian penutupan kepala dan juga tidak menafikan kewajibannya.

Kedelapan : Sesungguhnya sebab nuzul ayat itu menerangkan dengan tegas bahwa Allah U dengan perintah mengulurkan jilbab itu menolak satu kerusakan dari banyak kerusakan, yaitu gangguan terhadap wanita, namun masih ada kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar darinya, yaitu bahwa seorang wanita - meskipun dia itu rusak - bila ada laki-laki yang menganggunya di jalan dengan rayuan gombal, atau dengan pelontaran ucapan-ucapan tertentu, rasa harga dirinya dan ghirahnya memberontak dan dia langsung marah, kecuali wanita yang sudah terlalu kadung bejat dan amburadul tak bermoral, jarang sekali laki-laki itu berhasil dalam mencapai maksudnya dengan godaan seperti ini, dan ia tidak memetik dari perbuatannya kecuali kehinaan dan kecut. Namun bila wanita itu keluar dengan wajah terbuka, maka tidak diragukan lagi pandangannya akan beradu dengan pandangan laki-laki, dan sudah merupakan hal yang dikenal umum bahwa pertemuan dua pandangan itu akan membuahkan ketertarikan di dalam dua hati itu, sulit yang satu sabar dari yang lainnya, dan akhirnya salah satunya menjadi santapan bagi yang satu lagi dengan sangat mudah, oleh sebab itu ada atsar,”Bahwa pandangan itu adalah salah satu panah dari panah-panah Iblis yang beracun,”[85] seorang penyair berkata :
Semua kejadian bermula dari pandangan
Dan umumnya api berasal dari percikan api
Dan yang lain berkata :
Mereka (wanita) menaklukan laki-laki berakal hingga tidak bisa berkutik
Padahal mereka itu adalah makhluk Allah yang paling lemah yang berbentuk manusia.
Kerusakan-kerusakan ini bukanlah sekedar khayalan atau perkiraan belaka, namun semua masyarakat manusia di alam ini telah tertimpa dengannya, dan semua itu adalah akibat dari barakah sufur (membuka wajah)ini.
Bula di sana ada banyak kerusakan lain di samping kerusakan yang untuk menolaknya ayat itu diturunkan, maka apakah termasuk hikmah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui yang mengetahui mata-mata yang berkhianat, apa yang disembunyikan oleh dada, dan apa yang berkembangkan di masyarakat dengan sebab sufur, apakah tergolong kebijaksanaan-Nya bila Dia menjauhkan dari satu kerusakan kecil dan membiarkan kerusakan-kerusakan lain yang besar dengan pintu terbuka lebar padahal hal itu termasuk jenis kerusakan bahkan lebih dasyat ? Maka yang benar adalah bahwa satu kerusakan kecil – yaitu adanya gangguan terhadap wanita – tatkala nampak dan menuntut untuk adanya satu perintah dari perintah-perintah Allah yang dengannya pintu kerusakan itu bisa tertutup, maka Allah memerintahkan satu perintah yang dengannya cukup untuk menutup pintu kerusakan ini, dan untuk menutupi pintu-pintu kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar dari kerusakan tadi, maka Dia memerintahkan agar menutup kepala dan wajah sehingga jalan-jalan itu terputus.
Dan mungkin ada orang yang berkata : Sesungguhnya perintah itu bila ternyata seperti itu, maka kenapa Allah U  tidak mengingatkan terhadap tujuan-tujuan yang mulia yang tersembunyi dibalik perintah ini ?. Dia membatasi pada isyarat terhadap tujuan-tujuan itu di dalam ayat hijab dengan firman-Nya,” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka,” sehingga tidak memerlukan pengulangan, ooh sungguh kalimat yang simpel yang idak membiarkan hal yang kecil maupun yang besar dari tujuan-tujuan masalah ini melainkan telah memasukannya dalam lipatannya, kemudian sesungguhnya firman-Nya,” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karenanya mereka tidak diganggu,” mengisyaratkan kepada tujuan-tujuan ini juga, Ar Raziy berkata : (Dikatakan : mereka dikenal bahwa mereka iu adalah wanita merdeka sehingga tidak diikuti dengan gangguan, dan mungkin dikatakan : Maksudnya mereka tu tidak berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya padahal bukan aurat, dia itu tidak diharapkan membuka auratnya)[86]

Kesembilan : Sesungguhnya amalan Ummahatul mu’minin dan amalan wanita kaum muslimin memberikan petunjuk kepada kita akan makna yang shahih dalam makna penguluran jilbab, karena khithab itu ditujukan kepada mereka secara langsung, sedangkan Allah U mengawasi mereka, dan Rasulullah r juga pembimbing dan pengawas akan amalan-amalan mereka, maka kita tidak menduga bahwa Rasulullah r mengakui para sahabat laki-laki dan para sahabat wanita atas amalan yang tidak diwajibkan oleh Allah U, padahal beliau datang untuk mengangkat kesulitan dan beban berat, dan beliau merasa berat atas apa yang memberatkan mereka, sedangkan riwayat-riwayat telah memberikan perincian tentang amalan-amalan para sahabiyyat yang tidak mengandung sedikitpun keraguan bahwa mereka itu selalu menutupi wajah-wajah mereka sebagai realisasi keimanan kepada Kitab Allah dan pembenaran terhadap turunnya ayat itu.

Kesepuluh : Sesungguhny para sahabat dan para tabiin serta para ulama ahli tafsir yang tampil dalam menafsirkan ayat penguluran jilbab mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, kecuali beberapa perkataan yang syadz (ganjil), dan inilah nash-nash perkataan itu…)

Kemudian beliau menuturkan nukilan-nukilan yang banyak sekali dari para jumhur ahli tafsir, dan telah lalu penukilan perkataan mereka tadi, kemudian beliau hafidhahullah memberikan komentar :
( Ini adalah perkataan tokoh-tokoh umat ini dari sejak zaman masa terbaik hingga abad ke empat belas yang dimana kita hidup di dalamnya, diketahui darinya bahwa orang yang tampil menafsirkan ayat penguluran jilbab mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, meskipun di antaranya ada yang berpendapat bolehnya membukanya, dan tidak diketahui ada seorang yang menentang penafsiran ini secara sharih, hanyasannya bisa diambil kesimpulan dari perkataan sebagiannya bahwa ia tidak memandang penutupan wajah itu termasuk bagian dari penguluran jilbab, dan inilah perkataan mereka itu : Mujahid berkata : Mereka berjilbab( yatajalbabna) [87], dan Ikrimah berkata : Dia menutupi tsaghrah lehernya dengan jilbabnya, dia ulurkan agar menutupinya[88], Said Ibnu Jubair berkata : Mereka mengulurkan (yusdilna) ke tubuhnya[89]dan Ibnu Qutaibah berkata : Yalbasna Al Ardiyah (mereka mengenakan rida’)[90].
Perkataan-perkataan ini tidak tegas seperti yang anda lihat sendiri dalam menafikan menutupi wajah, karena sesungguhnya tajalbub dan sadlul jilbab serta labsul ardiyah tidak menafikan penutupan wajah, dengan dasar bahwa berjilbab itu adalah mempunyai cara tertentu yang sudah ma’ruf di kalangan wanita kaum muslimin, yaitu memakainya dengan menutupi wajahnya, oleh sebab itu barang siapa mengklaim membawa perkataan-perkataan ini pada penafsiran yang berbeda dengan yang sudah ma’ruf , maka hendaklah dia mendatangkan dalil.
Kemudian sisi kesepuluh ini termasuk dari sisi-sisi yang telah kami isyaratkan kepadanya di awal pembicaraan tentang ayat ini, berarti ini adalah sepuluh sisi, dan kami juga memilki tambahan.

Kesebelas : Sesungguhnya firman-Nya,” يُدْنِيْنَ ,” adalah berbentuk fi’il mudhari yang bermakna amar (perintah), dan sudah pada ma’lum bahwa asal dari perintah itu adalah menunjukan kewajiban, dan sesungguhnya bila perintah itu datang dalam bentuk fi’il mudhari’, maka itu lebih kuat dalam penunjukannya terhadap kewajiban. Dan bila telah pasti dengan sepuluh sisi itu bahwa yang dimaksud dengan penguluran jilbab adalah menutupi wajah, maka pastilah bahwa menutupi wajah itu adalah wajib yang telah dinyatakan oleh Kitab Allah, sehingga tidak ada jalan keluar dari tidak komitmen dengannya.
Dan pada ujung pembahasan tentang makna ayat ini, saya memandang tidak apa-apa saya berbicara sekitar apa yang dikatakan Fadlilatud Doktor dalam makna idnaa (penguluran) : Sesungguhnya Fadlilatud Doktor telah menukil dari Ibnu Jarir perbedaan ahli tafsir tentang tata cara idnaa : Apakah dia itu menutupi wajah, atau mengikatkan jilbab pada kening ? kemudian beliau mentarjih yang terakhir, bahkan menegaskan bahwa itulah yang dimaksud dengan lima alasan….
Saya berkata : Telah anda ketahui dari yang telah kami kemukakan bahwa pembagian ini tidak berpijak pada dasar yang kuat, sehingga semua yang bercabang darinya, maka pasti sama dengannya.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Pertama : Nash-nash yang telah lalu yang dengannya Kitab Allah ditafsirkan, dan orang yang diriwayatkan darinya riwayat-riwayat itu- maksudnya Nabi r - lebih mengetahui akan Kitab Allah).
Saya berkata : Penutup itu akan terbuka dari nash-nash tersebut dan dari amalan Nabi r, para sahabatnya dan umatnya, maka bersabarlah.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Kedua : Perkataan-perkataan para ulama yang lalu itu[91] tidak sejalan sama sekali dengan pendapat yang mengatakan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan, dan seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa mereka itu tidak mengetahui makna ayat ini, dan mereka sepakat menyalahi apa yang ditunjukan olehnya).
Saya katakan : Janganlah seseorang terpedaya dengan ijma ulama atau seperti ijma mereka yang mengeluarkan kedua telapak tangan dan wajah dari batasan aurat, karena ruang lingkup hijab bukanlah aurat, akan tetapi hanyasannya diperintahkan berhijab karena hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi hati kaum mu’minin dan mu’minat. Dan seandainya benar bahwa sikap dan perkataan-perkataan mereka (ulama) itu tidak sejalan dengan perkataan akan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan, maka tidak diragukan lagi sesungguhnya mereka atau mayoritas mereka telah kontra dengan diri mereka sendiri, karena mereka sendiri yang menegaskan wajibnya menutupi wajah, dan seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa mereka itu tidak mengetahui makna kontradiktif, sedangkan Fadlilatud Doktor menukil dari sebagian mereka penegasan bahwa wajah dan kedua telapak tangan itu bukan aurat, dan penegasan bahwa menutupi keduanya adalah wajib, dan bahwa sebab wajibnya itu adalah khawatir fitnah, namun dengan itu semua Fadlilatud Doktor masih mengatakan : (Perkataan-perkataan para ulama yang lalu itu tidak sejalan sama sekali dengan pendapat yang mengatakan wajibnya (menutupi wajah dan kedua telapak tangan)..) dan saya tidak tahu mana yang mencegah dari kesejalanan setelah ini semua ?
Kemudian hendaklah tahu bahwa para sahabat dan umat islam yang dimana wanita-wanita mereka komitmen dengan menutupi wajah-wajahnya setelah turun dua ayat An Nur Dan Al Ahzab – sebagaimana yang akan kami sebutkan sebagai dalil – dan begitu juga para pembesar para sahabat, tabi’in dan para pemuka para ulama ahli tafsir yang menafsirkan penguluran jilbab dengan menutupi wajah, seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa mereka semua tidak mengetahui bahasa Arab, atau mereka tidak mengetahui bahwa mereka merealisasikan dan menafsirkan perintah dari perintah-perintah Allah, dan bahwa perintah itu menunjukan kewajiban.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Ketiga :  Sesungguhnya idna’ul jalabib (penguluran jilbab) tidak tegas dalam menutupi wajah, apalagi bila anda telah mengetahui sebab turun ayatnya, dan alasan yang ada di akhir ayat, yaitu firman-Nya,”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,”
Saya katakan : Anda telah mengetahui bahwa idna’ul jalabiib itu tidak layak bagi selain makna menutupi wajah, apalagi bila anda telah mengetahui sebab nuzul ayatnya dan bi’ah (situasi masyarakat) yang dimana ayat itu turun, dan anda telah mengetahui makna alasan yang ada di akhir ayat ini dan dalam ayat hijab.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Keempat : Banyaknya orang yang mengatakan pendapat kedua, hingga Ibnu Abbas….)
Saya katakan : Pertama : Al Kitab dan As Sunnah keduanya adalah yang harus didahulukan atas semua manusia, dan manusia tidak boleh dijadikan penghukum Al Kitab dan As Sunnah. Kedua : Anda sudah tahu – dan akan tahu – hakikat banyak dan sedikit pada dua belah pihak, orang-orang yang menyatakan bolehnya sufur (membuka wajah) tidak lain hanyalah segelintir orang di bandingkan dengan umat (ulama) yang banyak dan tersebar.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Kelima : Ayat ini telah ditafsirkan di dalam Al Qur’an sendiri, dan sebaik-baiknya penafsir Al Qur’an adalah Al Qur’an ….)
Saya katakan : Ya betul, Ayat ini ditafsirkan dengan Firman-Nya U ,”Apabila kamu minta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir,” dan firman-Nya,”dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya,” dan adapun penafsirannya dengan firman-Nya,”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” maka itu adalah penafsiran dengan sebagian madlulnya (yang ditunjukannya) dan dengan satu sisi dari sisi-sisi maknanya yang luas cakupannya, sehingga tidak benar membatasi padanya saja, dan telah kami kemukakan cacatnya pengambilan dalil dengan ayat ini terhadap bolehnya membuka wajah, maka tidak usah diulangi lagi, dan bila di dalam Al Qur’an itu ada banyak ayat yang pantas dijadikan penafsiran bagi satu ayat darinya, maka kita tidak boleh menafsirkannya dengan sebagiannya saja dan membiarkan yang lainnya tidak diperhatikan, tapi yang pasti bahwa makna ta’sis (penetapan hukum baru) lebih diutamakan dai sekedar ta’kid (penguat hukum yang sudah ada)[92]. Maka bila kita mengatakan : Sesungguhnya ayat An Nur adalah penjelasan bagi sebagian dari etika-etika wanita di masyarakat islam, dan ayat Al Ahzab adalah penjelasan bagi sebagian yang lain dari etika-etika itu, maka itu lebih pas dan sesuai dengan rahasia Al Qur’an dan balaghah, dan I’jaz firman Allah U.[93]

·         Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini : Jalabib adalah bentuk jamak dari jilbab, dan jilbab adalah apa yang dikenakan wanita di kepalanya untuk menutupi dirinya, Allah U  memerintahkan seluruh wanita kaum mu’minin agar mengulurkan jilbabnya pada mahasin (tempat-tempat kecantikan) tubuh mereka seperti rambut, wajah dan yang lainnya supaya mereka dikenal keiffahannya sehingga tidak diganggu dan tidak membuat orang lain terfitnah sehingga bisa mengganggunya.[94]

Penjelasan Makna Jilbab

Ungkapan-ungkapan para ahli tafsir telah lalu yang berkenaan dengan batasan maksud dari jilbab, Al Hafidh Ibnu Hajar telah mengumpulkannya dalam Fathul Bari sebanyak tujuh perkataan :( Muqanna’ah, Khimar atau lebih lebar darinya, pakaian yang lapang lebih kecil dari rida’, izar, milhafah, mula’ah, dan qamish).[95]
Dan yang paling rajih adalah apa yang dikatakan oleh para ahli tahqiq, yaitu bahwa yang dimaksud jilbab dalam bahasa  arab yang dikhithabkan kepada kita oleh Rasulullah r adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan yang menutupi sebagian saja sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhallaa[96],dan dishahihkan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya.[97]
 Dan Ibnu Al Atsir mengatakan : Jilbab adalah mantel dan jubah yang digunakan perempuan untuk menutupi seluruh tubuhnya.[98]
Al Baghawiy berkata : Jilbab adalah mula’ah yang diselimutkan wanita sebagai rangkap baju kurung dan kudungnya.[99]
Ibnu Katsir berkata : Jilbab adalah rida’ perangkap khimar, hampir sama dengan izar pada masa sekarang.[100]
Al Albani mengatakan : Mungkin itu adalah ‘Aba’ah yang  sekarang biasa dipakai oleh wanita Nejed (Saudi) dan Irak serta yang lainnya.[101]
Dan Syaikh Anwar al-Kasymiri mengatakan jilbab adalah rida ( jubah) yang menutupi dari ujung kepala sampai telapak kaki.[102]
Syaikh Ibrahim Asy Syurii dan Syaikh Muhammad Asy Syibawi berkata : Dan yang benar sesungguhnya jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, dan setiap wanita lebih mengetahui tentang pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, dan tidak membutuhkan untuk diajari hal itu.[103]
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Dan pengertian jilbab itu tidak terbatas pada satu nama, satu jenis, dan satu warna, namun jilbab adalah setiap pakaian yang digunakan wanita untuk menutupi tempat-tempat perhiasannya, baik perhisan itu yang tetap ataupun yang bisa dipindah, dan bila kita telah mengetahui maksud tentangnya, maka hilanglah kesulitan dalam menentukan bentuk dan namanya.[104]

Hukum Memakai Jilbab


Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radliyallhu ‘anha, beliau berkata : Kami diperintahkan pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adlha agar menyuruh keluar mereka : yaitu gadis-gadis muda, wanita-wanita yang sedang haidl dan wanita-wanita pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haidl mereka menjauhi tempat shalat, mereka menyaksikan kebaikan dan  undangan kaum muslimin,” Saya berkata : Wahai Rasulullah ! Seseorang di antara kami tidak memiliki jilbab ? Rasulullah r berkata : Hendaklah saudarinya meminjamkan dari jilbab yang dia miliki.”
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : Dalam hadits ini ada dalil dilarangnya wanita keluar (dari rumahnya) tanpa memakai jilbab…[105]
Al Badr Al ‘Ainiy berkata : Di antara faidah hadits ini adalah dilarangnya wanita keluar tanpa memakai jilbab…[106]
Al ‘Allamah Al Albaniy berkata dalam rangka mengomentari ungkapan Al Kasymiri rahimahullah [107]: Jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita dari pandangan laki-laki lain, sama saja apakah si wanita yang keluar menemui mereka atau mereka yang masuk menemuinya, maka dalam semua keadaan ini dia (wanita) harus memakai jilbab[108], Dan ini dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Qais Ibnu Zaid : Sesungguhnya Rasulullah r telah mencerai Hafshah putri Umar….kemudian Rasulullah r datang dan terus masuk menemuinya…. Maka Hafshah cepat berjilbab, Rasulullah r berkata : Sesungguhnya Jibril telah mendatangiku, terus berkata kepadaku : Rujuklah Hafshah karena dia itu wanita yang suka banyak shaum dan shalat (malam), dan dia itu isterimu di surga,”[109]dan telah sah dari Aisyah bahwa beliau bila melakukan shalat memakai jilbab, maka jelaslah bahwa jilbab tidak khusus untuk keluar saja.[110] [111]

Fatwa Al ‘Allamah Al Albani Tentang Wajibnya Memakai Jilbab

Beliau rahimahullah mengatakan : ………Kebenaran yang menuntut diamalkan sesuai dua ayat dalam surat An Nur dan Al Ahzab bahwa wanita bila keluar keluar dari rumahnya wajib memakai khimar (kerudung) dan kemudian memakai jilbab sebagai rangkap khimar, karena hal itu seperti yang telah kami utarakan lebih tertutup, dan lebih jauh dari mencetak bentuk kepala dan pundak, sedangkan hal ini adalah yang dituntut oleh syari’at…..dan yang saya sebutkan itu adalah penafsiran sebagian salaf terhadap ayat penguluran (Al Ahzab 59), dalam Ad Durr 5/222 : Ibnu Abi Hatim mengeluarkan dari Said Ibnu Jubair dalam penafsiran firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", beliau berkata : mereka mengulurkan dari jilbabnya kepada tubuhnya, dan (jilbab) itu adalah qina’ yang lebih lapang dari khimar, dan tidak halal bagi wanita muslimah dia dilihat oleh laki-laki lain kecuali dia mengenakan qina’ sebagai rangkap khimarnya yang telah dia ikat pada kepala dan lehernya.[112]

Di tempat lain beliau rahimahullah  berkata : Tujuan dari berpakaian adalah menghilangkan fitnah, dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan pakaian yang longgar lagi luas, adapun pakaian yang sempit meskipun menutupi warna kulit tapi dia itu menampakkan lekuk badan atau sebagiannya, dan menggambarkannya di hadapan mata laki-laki, dan hal ini tak ragu lagi merupakan sumber kerusakan dan ajakan untuk membuat kerusakan, oleh sebab itu pakaian harus longgar, Usamah Ibnu Zaid t berkata : Saya diberi pakaian qibthiyyah yang tebal oleh Rasulullah r yang merupakan hadiah yang diberikan kepadanya oleh Dihyah Al Kalbi, terus saya berikan kepada istri saya, maka beliau bertanya : Kenapa engkau tidak memakai baju qibthiyyah itu ? Saya berkata : Saya berikan kepada istri saya, “ maka beliau berkata,” Suruhlah dia agar memakai rangkap, karena saya hawatir pakaian itu membentuk lekuk tubuhnya,”[113]
Nabi r memerintahkan agar dia mengenakan rangkap buat baju qibthiyyah itu agar bentuk badannya tidak nampak, sedangkan perintah itu menunjukan kewajiban seperti yang sudah tetap dalam ushul fiqh.[114]
Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa qibthiyyah itu tebal, sebagaimana hadits ini juga tegas menjelaskan penyimpangan yang dihawatirkan oleh Nabi r dari sebab kain qibthiyyah ini, maka beliau berkata,” sesungguhnya saya hawatir pakaian itu membentuk lekuk tubuhnya,” dari sinilah syaikh Al AlBani rahimahullah memastikan bahwa hadits ini datang berkenaan dengan pakaian yang tebal yang bisa mencetak bentuk lekuk tubuh karena halusnya, meskipun tidak tipis, dan tidak mungkin hadits ini dibawa berkenaan dengan pakaian yang tipis yang tidak menutupi warna kulit, oleh sebab itu syaikh mengingkari kepada sebagian pengikut madzhab Syafi’i yang mengatakan : Dan disunnahkan wanita shalat dengan mengenakan dir’u (baju kurung) yang besar dan khimar (kerudung) serta memakai jilbab yang tebal sebagai rangkap pakaiannya itu supaya tidak membentuk lekuk badannya,[115]maka syaikh berkata mengomentari : Pendapat yang mengatakan sunnah itu bertentangan dengan dhahir perintah, karena perintah itu menunjukan kewajiban sebagaimana yang telah lalu, dan ungkapan Al Imam Asy Syafi’i t dalam kitab Al Umm dekat dengan pendapat kami, beliau berkata [116]: Dan bila dia (laki-laki) shalat dengan mengenakan gamis yang memperlihatkan (bayangan kulit) darinya maka shalatnya tidak sah….dan bila shalat dengan mengenakan gamis yang mencetak bentuk tubuh dan tidak memperlihatkan bayangan kulit maka itu makruh baginya, namun dia tidak harus   mengulangi shalatnya, dan wanita dalam hal ini lebih berat daripada laki-laki bila bila dia shalat dengan mengenakan baju kurung dan kerudung yang ternyata baju kurungnya menjiplak lekuk badannya, dan lebih saya sukai bila dia tidak shalat  kecuali dengan mengenakan jilbab sebagai rangkap, dan dia merenggangkannya dari  badannya  supaya (lekuk badannya) tidak terjiplak oleh baju kurung, dan Aisyah radliyallahu anha telah berkata ,” Wanita itu harus shalat dengan tiga pakaian : baju kurung, jilbab dan kerudung,” dan adalah Aisyah mencopot sarungnya terus berjilbab dengannya.[117]
Beliau melakukan itu tidak lain melainkan supaya pakaiannya tidak menjiplak badannya, dan perkataan Aisyah,” harus,” merupakan dalil atas wajibnya hal itu, dan perkataan semakna dilontarkan oleh Ibnu Umar t,” Bila wanita shalat, hindaklah dia shalat dengan mengenakan pakaiannya semuanya : baju kurung, kerudung, dan jubahnya.”[118]
Dan ini menguatkan penjelasan yang tadi kami kemukakan bahwa wajib atas wanita menggabungkan antara kerudung dan jilbab bila keluar (dari rumah).[119]

Bantahan Terhadap Pendapat Syaikh Al Albani Dalam Penafsiran Ayat Penguluran (Al Ahzab : 59)

Beliau rahimahullah berkata : Tidak ada dilalah dalam ayat penguluran (idna’) bahwa wajah wanita itu aurat yang wajib ditutupi, namun ayat itu hanya memerintahkan untuk mengulurkan jilbab pada tubuhnya, dan hal semacam ini adalah muthlaq sebagaimana yang anda lihat, maka ada kemungkinan bahwa penguluran itu kepada perhiasan dan tempat-tempatnya yang tidak boleh ditampakan sesuai penjelasan ayat pertama[120], dan dengannya hilanglah dilalah yang disebutkan itu, dan ada kemungkinan lebih umum dari itu, sehingga dengannya mencakup wajah.
Dan masing-masing dari kedua penafsiran ini telah dianut oleh para ulama mutaqaddimun, dan perkataan mereka itu telah dipaparkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, juga As Suyuthi dalam Ad Durr Al Mantsur,,,,, dan kami menilai bahwa pendapat yang pertama adalah yang lebih mendekati kebenaran karena hal-hal berikut ini :
Pertama : Bahwa Al Qur’an saling menafsirkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan telah jelas dalam ayat surat An Nur yang lalu bahwa wajah tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib membatasi penguluran di sini dengan selain wajah demi keselarasan antara kedua ayat.

Kedua : Bahwa As Sunnah adalah menjelaskan Al Qur’an, dia mengkhususkan keumumannya, dan membatasi kemuthlakannya, sedangkan telah banyak teks-teks As Sunnah yang menunjukan bahwa wajah itu tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib menafsirkan ayat tersebut sesuai tuntunan As Sunnah, dan wajib membatasinya dengan penjelasannya.

Maka tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi, dan ini adalah madzhab banyak para ulama sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusydi dalam Al Bidayah 1/89, dan di antara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, Asy Syafii, serta satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana dalam Al Majmu’3/169, dan dihikayatkan oleh Ath Thahawi dalam Syarh Al Ma’ani 2/9 dari kedua sahabat Abu Hanifah juga, dan dipastikan dalam kitab Al Muhimmat yang merupakan kitab madzhab Asy Syafii bahwa itu yang benar, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Asy Syarbini dalam Al ‘Iqna’ 2/110.
Namun ini harus dibatasi bila diwajah itu juga di kedua telapak tangan tidak ada sedikit pun dari perhiasan berdasarkan keumuman firman-Nya U,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,” namun  jika ada perhiasan maka wajib menutupinya, apalagi pada zaman sekarang ini yang dimana kaum wanita berlomba-lomba menghiasi wajah dan tangannya dengan beraneka ragam hiasan dan polesan yang tidak  ada seorang muslim pun, bahkan orang yang berakal yang mempunyai rasa ghirah meragukan keharamannya.[121]

Jawab : Anda bisa melihat dari perkataan Fadlilatu Asy Syaikh bahwa beliau secara terang menyatakan bahwa pendapat pertama yang beliau hikayatkan adalah yang lebih dekat pada kebenaran, dan beliau menyebutkan bahwa pentarjihan itu berdasarkan dua hal :

Pertama : Bahwa Al Qur’an satu sama lain saling menafsirkan, dan ini adalah betul, namun bila kita terapkan pada ayat-ayat hijab seluruhnya pasti kita mengetahui bahwa dua ayat dalam surat An Nur dan Al Ahzab keduanya menjurus pada penetapan penguluran jilbab kepada seluruh tubuh, karena ta’sis (penetapan makna baru) lebih utama daripada sekedar ta’kid (menguatkan) bila hal itu berlingkar pada dua hal ini. Dan seandainya kita menerima bahwa ayat وَلْيَضِْرْبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ memberi indikasi bolehnya sufur (membuka wajah) namun sesungguhnya ayat idna’ (Al Ahzab 59) mendatangkan hukum baru yaitu perintah mengulurkan jilbab pada seluruh tubuh termasuk wajah.
Kedua : Hal yang disebutkan syaikh adalah anggapan/klaim (da’wa) bahwa teks-teks yang banyak dari As Sunnah menunjukan bahwa wajah tidak wajib ditutupi. Kita jawab bahwa teks-teks yang diisyaratkan itu adalah muhtamal (mengandung banyak kemungkinan) dan tidak sharih (jelas) dalam kebolehan sufur, sedangkan dalil bila dimasuki banyak kemungkinan tidak bisa dijadikan hujjah (gugur dalam berhujah dengannya), Insya Allah nanti jelasnya dalam pembahasan selanjutnya.

Dan berdasarkan dua hal ini syaikh mengambil kesimpulan bahwa wajah bukan aurat, beliau berkata : Maka tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi,” terus beliau berkata : dan ini adalah madzhab banyak para ulama……..
Jawabnya : Ini adalah benar, dan tidak ada pertentangan -bihamdillah- antara pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa wajah itu bukan aurat dengan fatwa dari mereka sendiri akan wajibnya menutup wajah di hadapan laki-laki bukan mahram, karena batasan aurat itu bukanlah batasan hijab, sehingga bila dikatakan wajah wanita itu bukan aurat maka madzhab ini (pernyataan ini) maksudnya adalah di dalam shalat jika tidak ada laki-laki bukan mahram di dekatnya, adapun hubungannya dengan pandangan laki-laki bukan mahram maka seluruh tubuh wanita adalah aurat yang harus ditutupi sesuai sabda Rasulullah r : اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ (Wanita itu adalah aurat)[122].
Oleh sebab itu umumnya anda dapatkan pernyataan jelas para ulama bahwa wajah dan kedua telapak itu bukan termasuk aurat adalah hanya dalam pembahasan syarat menutupi aurat dalam bab-bab syarat-syarat sah shalat.
Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam bab bagaimana memakai pakaian di dalam shalat (باب كيف لبس الثياب في الصلاة )[123]: Dan seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Beliau berkata juga : Dan wajib atas wanita di dalam shalat menutupi seluruh tubuhnya selain kedua telapak tangan dan wajahnya.
Asy Syihab berkata : Dan apa yang disebutkan -oleh Al Baidlawi- tentang perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di luar shalat adalah madzhab Asy Syafii rahimahullah.[124]
Syaikh Muhammad ‘Ilyasy rahimahullah berkata : Dan aurat bagi wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangan, ini buat di dalam shalat….[125]
Al Imam Al Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam bab shifat shalat : Malik, Al Auza’i dan Asy Syafii berkata : Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan selain hal itu wajib ditutupi di dalam shalat.[126]
Syaikh Muhammad Zakaria Ibnu Yahya Al Kandahlawi menukil perkataan darinya : Semua ijma bahwa wanita boleh membuka wajahnya di dalam shalat.[127]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menyatakan benarnya bahwa wanita tidak boleh menampakan wajah, kedua telapak tangan, dan telapak kakinya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, beliau berkata : Dan adapun menutupi itu semua di dalam shalat maka tidak wajib dengan kesepakatan kaum muslimin, bahkan dia boleh menampakan wajahnya dengan ijma.[128]
Syaikh Mushthafa Ar Ruhaibani berkata : Tidak ada perbedaan di dalam madzhab (kami) bahwa wanita merdeka boleh menampakan wajahnya di dalam shalat- hal itu disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya.[129]
Al Mardawi rahimahullah berkata : Az Zarkasyi berkata : Imam Ahmad memuthlakan perkataanya bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, namun hal ini ada kemungkinan selain wajah atau atau di luar shalat, sebagian yang lain mengatakan : Wajah itu aurat, dan dibolehkan dibuka di waktu shalat karena keperluan, Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah maksudnya) berkata : Yang benar bahwa wajah bukan aurat di dalam shalat, namun dia itu aurat dalam hal pandangan (laki-laki), karena tidak boleh memandang kepadanya.[130]
Asy Syaikh Al ‘Allamah Faqih Al Hanabilah pada zamannya Manshur Idris Al Bahuti[131] berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya, berdasarkan sabdanya r : Wanita adalah aurat (اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ),” diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan berkata : Hasan shahih, dan dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah r : Bolehkah wanita shalat hanya dengan mengenakan baju kurung dan kerudung tanpa memakai izar (jubah maksudnya, pent) ? Beliau bersabda : Bila baju kurungnya lapang menutupi tumit kedua telapak kakinya,” diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Abdul Haqq dan yang lainnya menshahihkan bahwa itu mauquf pada Ummu Salamah,, kecuali wajahnya,,dan tidak ada perbedaan dalam madzhab (kami) bahwa boleh bagi wanita merdeka membuka wajahnya di dalam shalat, ini disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya, sejumlah ulama mengatakan : Dan kedua telapak tangannya, dan ini dipilih oleh Al Majdu, dan beliau memastikannya dalam Al ‘Umdah dan Al Wajiz, berdasarkan firman-Nya U,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : wajahnya dan kedua telapak tangannya,” diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan ada kelemahan dalam sanadnya, dan bertentangan dengan Ibnu Masud, dan keduanya -wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang baligh-  adalah aurat di luar shalat  (berhubungan dengan  pandangan laki-laki) berdasarkan sabda Nabi r yang lalu : Wanita adalah aurat (اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ),”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Ungkapan pendapat ulama madzhab kami (Al Hanabilah) dalam masalah wajah wanita di dalam shalat berbeda-beda, sebagian mengatakan : Bukan aurat, dan yang lain mengatakan : Aurat, dan hanyasannya dirukhshahkan untuk dibuka di dalam shalat karena dibutuhkan (hajat), dan yang benar adalah bahwa wajah bukan aurat di dalam shalat, namun aurat dalam pandangan (laki-laki) karena tidak boleh melihat kepadanya, kemudian beliau berkata : Aurat di dalam shalat itu tidak ada hubungannya dengan aurat dalam pandangan (laki-laki) baik pemberlakuan ataupun sebaliknya.[132]
Al Muhaqqiq Abu An Naja Syarafuddin Musa Al Hijawi Al Maqdisi berkata : Dan wanita merdeka yang baligh semua badannya adalah aurat hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya, sebagian mengatakan : dan kedua telapak tangannya. Dan keduanya  (kedua telapak tangan) dan wajah adalah aurat di luar shalat  berhubungan dengan pandangan (laki-laki) sebagaimana halnya anggota badan yang lain.[133]
Terus berkata lagi : Dan dimakruhkan seseorang shalat dengan mengenakan pakaian yang bergambar, juga laki-laki shalat dengan memakai litsam (masker hidung dan mulut), dan wanita shalat dengan mengenakan niqab (cadar) kecuali bila dia shalat di suatu tempat dimana di sana ada laki-laki yang bukan mahram yang tidak menjaga pandangannya, maka dalam keadaan seperti ini dia tidak boleh melepas niqabnya.[134]
Asy Syaikh Al Imam Abdul Qadir Ibnu Umar Asy Syaibani Al Hanbali berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya, sedangkan wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang sudah baligh adalah aurat di luar shalat berhubungan dengan pandangan (laki-laki) sebagaimana halnya anggota badan yang lain.[135]
Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata : Aurat itu ada dua macam : aurat di dalam shalat, dan aurat di hadapan pandangan (laki-laki). Wanita merdeka boleh melakukan shalat dengan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka, namun dia tidak boleh keluar ke pasar dan tempat banyak orang dengan penampilan seperti itu (wajah dan telapak tangan terbuka).[136]
Adapun ihtijaj (berhujjah) Fadlilatu Asy syaikh Al Albani dengan apa yang dituturkan oleh Asy Syarbini dalam kitab Al Iqna’maka itu tertolak dengan penjelasan yang lalu, yaitu bahwa ruang lingkup hijab itu bukan ruang lingkup aurat, bahkan tertolak oleh apa yang dituturkan Asy Syarbini sendiri dalam tafsirnya yang bernama As Siraj Al Munir tatkala menukil perkataan Ibnu ‘Adil : Dan mungkin dikatakan : Yang dimaksud adalah mereka (para wanita) dikenal bahwa mereka tidak berzina, karena orang yang menutupi wajahnya  padahal bukan aurat  yaitu di dalam shalat tidak ada harapan bahwa dia membuka auratnya.[137]
Bahkan Asy Syarbini sendiri menjelaskan dengan gamblang akan keharaman memandang wajah dan kedua telapak tangannya[138], anda bisa melihat beliau menukil perkataan As Subki : Sesungguhnya yang mendekati pada pendapat para pengikut (madzhab Asy Syafii) adalah bahwa wajah dan kedua telapak tangannya adalah aurat dalam pandangan (laki-laki), tidak di dalam shalat.[139]
Al Baidlawi berkata dalam tafsir firman-Nya U : Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” : Dan yang dikecualikan itu adalah wajah dan kedua telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat, dan yang lebih jelas ini adalah di dalam shalat bukan dalam pandangan (laki-laki), karena seluruh tubuh wanita merdeka (dalam pandangan laki-laki) adalah aurat, tidak boleh selain suami dan mahramnya melihat sedikitpun dari tubuhnya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengobati dan ketika memberikan kesaksian.[140]
Asy Syihab berkata dalam Syarahnya : dan madzhab Asy Syafii rahimahullah  sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya adalah bahwa seluruh badan wanita adalah aurat secara muthlak termasuk wajah dan telapak tangannya, dan dikatakan (dalam pendapat yang lemah): boleh melihat wajah dan telapak tangan bila tidak hawatir fitnah. Dan berdasarkan pendapat yang pertama : Keduanya (wajah dan telapak tangan) adalah aurat kecuali di dalam shalat, maka shalat tidak batal dengan membukanya.[141]
Al Amir Al Imam Muhammad Ibnu Ismail ash Shan’ani rahimahullah berkata : Dan boleh membuka wajahnya karena tidak ada dalil yang mengharuskan menutupinya, dan maksudnya adalah membukanya di dalam shalat di kala tidak ada laki-laki yang bukan mahram melihatnya, ini adalah auratnya di dalam shalat, adapun auratnya berhubungan dengan pandangan laki-laki yang bukan mahram maka seluruh (tubuhnya) adalah aurat sebagaimana yang akan ada penjelasannya.[142]
Al Maududi rahimahullah berkata : Dan yang sangat mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki yang bukan mahram berdalil untuk hal itu bahwa wajah dan kedua telapak tangan perempuan adalah bukan aurat, padahal sungguh jauh sekali perbedaan antara hijab dengan menutupi aurat, aurat adalah sesuatu yang tidak boleh dibuka di hadapan laki-laki mahramnya, adapun hijab adalah sesuatu di atas menutupi aurat yaitu penghalang yang menghalangi wanita dari laki-laki yang bukan mahramnya.[143]
Syaikh Abu Hisyam Ibnu Abdillah Al Anshari berkata : Janganlah seseorang terkecoh dengan ijma’ ulama atau yang menyerupai ijma’nya terhadap pengeluaran wajah dan kedua telapak tangan dari aurat, karena ruang lingkup hijab bukanlah ruang lingkup aurat, namun hanya  saja diperintahkan untuk berhijab karena hijab itu lebih bersih dan lebih suci bagi hati kaum mu’minin dan mu’minat, dan seandainya benar bahwa sikap dan perkataan mereka (para ulama yang berijma’) itu tidak selaras dan sejalan dengan perkataan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan maka tidak diragukan lagi bahwa mereka atau banyak dari mereka kontra dengan diri mereka sendiri karena dengan terang mereka menyatakan wajibnya (menutupi wajah dan telapak tangan), dan seorang pun tidak mampu mengatakan bahwa mereka semua tidak mengetahui arti kontradiktif (tanaqudl).[144]
Doktor Muhammad Mahmud Al Hijazi berkata : Aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat dari sisi pandangan laki-laki yang bukan mahram, dan sebagian orang mengatakan : seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan selama tidak hawatir fitnah.[145]
Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni berkata : Perintah untuk berhijab adalah hanyalah datang setelah tegaknya perintah syari’at  akan wajibnya  menutupi aurat, maka mesti penutupan yang diperintahkan  itu melebihi terhadap batasan aurat yang wajib ditutupi, oleh sebab itu ungkapan para ahli tafsir sepakat - meskipun kata-katanya berbeda- bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah rida’ yang dipergunakan wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya di atas pakaian (yang sudah dipakai)….dan maksudnya bukan hanya sekedar menutupi aurat sebagaiman yang disangka / diklaim oleh sebagian orang.[146]
Penukilan-penukilan dari ahli ilmu ini cukup untuk menetapkan perbedaan antara batasan-batasan aurat dengan batasan-batasan hijab, berdasarkan hal ini maka tidak benar apa yang dijadikan dalih oleh orang yang membolehkan sufur berupa ijma ulama atau seperti ijma mereka terhadap pengeluaran wajah dan kedua telapak tangan dari batasan aurat, maka hendaklah ini diperhatikan. Dan Allah U yang menangani hidayah anda.[147]








Dalil Kedua

 Firman Allah U ketika mengkhithabi Ummahatul Mu’minin radliyallahu anhunna :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
Artinya : Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.( Al-Ahzab : 53 )

Ayat ini adalah yang dinamakan dengan ayat hijab, turun tahun ke 5 H di bulan Dzul Qa’dah, ini mencakup dengan kemuthlaqannya dan tanpa ada perselisihan akan perintah menutupi anggota badan termasuk wajah dan telapak tangan tanpa kecuali, namun orang-orang yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan tidak harus ditutup mereka beranggapan bahwa ayat itu khusus buat Ummahatul Mu’minin, nah untuk mengetahui apakah dakwaa / klaim mereka ini benar atau salah maka perlu kita bahas dengan tuntas ayat ini sesuai kajian ilmiyyah yang benar.
.
·         Syaikhul Mufassirin Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsir ayat ini : وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ  Dan jika kalian meminta suatu kebutuhan kepada isteri-isteri Rasulullah r dan kepada wanita-wanita orang-orang mu’min yang bukan istri kalian,” فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ,”(maka mintalah) dari balik penghalang antara kalian dengan mereka dan janganlah kalian masuk menemui mereka langsung di rumahnya.  ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ Allah U  mengatakan : cara kalian meminta sesuatu kepada mereka dari balik tabir itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka dari akibat pandangan mata padanya yang masuk kedalam hati laki-laki tentang hal yang berhubungan dengan wanita, serta hal itu lebih menjaga agar syaitan tidak mampu mengendalikan diri kalian dan mereka.[148]

·         Al Imam Abu Bakar Al Jashshash Al Hanafi rahimahullah berkata : Firman-Nya Ta’ala وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ telah mengandung larangan memandang isteri-isteri Nabi r, dan Dia menjelaskan dengannya bahwa hal itu lebih suci buat hati kalian dan hati mereka, karena pandangan satu sama lain  bisa menimbulkan hasrat dan syahwat, maka Allah U memutus hal itu dengan hijab yang dimestikan oleh sebab ini. Firman-Nya U  وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْل اللهُ (Dan tidak selayaknya kalian menyakiti Rasulullah) yaitu dengan apa yang dijelaskan dalam ayat ini berupa wajibnya meminta izin, dan meninggalkan lama-lama duduk untuk berbincang-bincang di sisinya, serta hijab antara dia dengan isteri-isterinya. Dan hukum ini meskipun turun khusus kepada Nabi r dan isteri-isterinya namun maknanya umum mencakup beliau dan yang lainnya, karena kita diperintahkan untuk mengikutinya dan beriqtida kepadanya kecuali dalam hal yang khusus buat beliau saja.[149]Dan ini sepertinya mengisyaratkan kepada firman-Nya,”لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ( sungguh telah ada bagi kalian dalam diri Rasulullah suri tauladan yang baik) dan ayat-ayat lainnya yang memerintahkan untuk mengikuti beliau r, dan yang dijadikan acuan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab(اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ ).

·         Al Imam Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdillah yang lebih terkenal dengan Ibnu Al ‘Arabi Al Maliki rahimahullah berkata : Masalah yang ke tiga belas-firman-Nya وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍdan dalam penafsiran lafadz mata’ ada empat pendapat : pertama : pinjaman (‘ariyah), kedua : kebutuhan, ketiga : fatwa, keempat : lembaran Al Qur‘an, dan ini menunjukan bahwa Allah U  memberikan izin untuk meminta sesuatu baik kebutuhan atau fatwa kepada mereka dari balik hijab, dan wanita itu seluruhnya adalah aurat, badannya dan suaranya, maka tidak boleh membukanya sedikitpun kecuali karena dharurat atau kebutuhan seperti persaksian atasnya atau penyakit di badannya atau menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang hanya ada pada dia. Masalah yang ke empat belas- firman-Nya. ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ maknanya : itu lebih menghilangkan kecurigaan dan lebih menjauhi tuduhan (tuhmah) serta lebih kuat dalam menjaga. Dan ini menunjukan bahwa tidak selayaknya seorangpun terlalu percaya kepada dirinya di saat khalwat dengan wanita yang tidak halal baginya, maka sesungguhnya menjauhi hal itu lebih lebih baik bagi keadaannya dan lebih menjaga bagi dirinya dan lebih sempurna bagi kehormatannya.[150]
·         Al Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al Anshari Al Qurthubi Al Maliki rahimahullah : Dalam ayat ini ada dalil bahwa Allah U memberikan izin untuk meminta sesuatu baik kebutuhan atau fatwa kepada mereka dari balik hijab, dan termasuk dalam hal ini adalah seluruh wanita berdasarkan makna (yang terkandung) dan  berdasarkan kandungan Ushul Syari’ah bahwa wanita itu seluruh (tubuh)nya adalah aurat, badan dan suaranya sebagaimana yang lalu, maka tidak boleh membukanya sedikitpun kecuali karena  kebutuhan seperti persaksian atasnya atau penyakit di badannya atau menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang hanya ada pada dia.[151]

Dan yang menguatkan keumuman ayat hijab ini dan bahwa ayat ini tidak khusus bagi Ummahat Al Mu’minin radliyallahu anhunna saja adalah firman-Nya U  sesudahnya :
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِنَّ وَلاَ أَبْنَائِهِنَّ وَلاَ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَائِهِنَّ وَلاَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِيْنَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدًا
Artinya : Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan babak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara  mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha menyaksikan segala sesuatu.(Al Ahzab 55)

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Tatkala Allah U memerintahkan kaum wanita untuk berhujab dari laki-laki yang bukan mahram maka Dia menjelaskan bahwa kerabat-kerabat (yang disebutkan) itu tidak wajib atas wanita untuk berihtijab dari mereka, sebagaimana Dia telah mengecualikan mereka di dalam surat An Nur dalam pembahasan firmanNya U  وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ  .[152]

An Nasafi rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Tatkala ayat hijab ini turun para bapak, anak-anak laki-laki, dan para kerabat berkata : Wahai Rasulullah apakah kami juga harus mengajak bicara mereka dari belakang tabir ? Maka turun : Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan babak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudar laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara  mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman,” yaitu wanita-wanita mu’minah,” dan hamba sahaya yang mereka miliki,” yaitu tidak ada dosa atas mereka untuk tidak berhijab dari mereka.[153]

·         Syaikh Ismail Haqqa Al Barausawa rahimahullah : ,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi),”alat-alat yang berguna (ma’un) dan yang lainnya,” maka mintalah dari belakang tabir,”dari belakang penghalang, dan dikatakan dari luar pintu,” Cara yang demikian itu,” yaitu meminta suatu kebutuhan dari belakang tabir adalah ,” lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,”yaitu lebih mensucikan dari hasrat jiwa dan khayalan syaithani, karena masing-masing dari laki-laki dan perempuan bila tidak melihat yang lainnya tidak terjadi apa-apa di dalam hatinya, berkata dalam Kasyful Asrar : (Dia) memindahkan mereka dari kebiasaan adat kepada kebiasaan syari’at dan kebiasaan ibadah, dan menjelaskan bahwa manusia itu tetap manusia, meskipun mereka itu dari golongan sahabat dan isteri-isteri Nabi r, seorang pun dari laki-laki dan wanita tidak merasa aman atas dirinya, dan oleh sebab itu peraturan syari’at sangat memperketat yaitu janganlah laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak ada hubungan kemahraman di antara keduanya, sebagaimana sabdanya r : janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, karena sesungguhnya yang ketiga adalah syaitan,” Dan Umar t menginginkan sekali hijab dipasang terhadap mereka, dan beliau sering menyebutkannya, serta beliau mengharapkan adanya ayat yang turun tentang hal ini, beliau pernah berkata : Seandainya saya ditaati dalam hal kalian tentu kalian tidak akan dilihat oleh satu mata pun,” dan pernah berkata juga,”Adalah para wanita sebelum turun ayat ini mereka tampak di hadapan laki-laki.[154]”yaitu firman-Nya U ,’ وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ.

·         Al Imam Muhammad Ibnu Ali Ibnu Muhammad Asy Syaukani rahimahullah berkata : Dan isyarat dengan firman-Nya ذَلِكُمْ(Cara yang demikian itu) kembali pada meminta kebutuhan kepada mereka dari belakang hijab, dan dikatakan juga : Isyarat itu kembali pada semua yang disebutkan yaitu tidak masuk tanpa ada izin, tidak lama-lama ngobrol di saat masuk, dan meminta kebutuhan. Namun pendapat yang pertama adalah yang lebih utama. Dan isim isyarat (ذَلِكُمْ )adalah mubtada sedang khabarnya adalah  أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ yaitu lebih mensucikan baginya dari kecurigaan dan hasrat jahat yang mengganggu benak laki-laki tentang wanita dan benak wanita tentang laki-laki. Dan dalam hal ini ada pelajaran bagi setiap orang yang beriman dan peringatan baginya dari terlalu percaya dengan dirinya ketika berkhalwat dengan wanita yang tidak halal baginya, dan ngobrol dengannya tanpa memakai hijab, dan dalam firman-Nya U : لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِنَّ وَلاَ أَبْنَائِهِنَّ وَلاَ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَائِهِنَّ Dia mengatakan وَلاَ نِسَائِهِن penyandaran ini menuntut bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita mu’minah, karena wanita-wanita kafir tidak bisa dipercaya dalam menjaga aurat (wanita mu’minah), sedangkan para wanita seluruh (tubuh)nya adalah aurat.[155]
·         Al Imam As Sayuthi rahimahullah berkata : Ini adalah ayat hijab yang dengannya Ummahatul Mu’minin mendapat perintah setelah sebelumnya keadaan wanita tidak berhijab.[156]

·         Al ‘Alamah Al Qur’aniy Muhammad Al Amin Al Syinqithi rahimahullah berkata : Telah terdahulu dalam tarjamah (maksudnya muqaddimah) Al Kitab Al Mubarak bahwa diantara bayan (penjelasan) yang dijelaskan dalam tarjamah itu adalah bila sebagian ulama mengatakan suatu pendapat tentang makna suatu ayat, dan dalam ayat itu sendiri ada qarinah yang menunjukan tidak benarnya pendapat ini, dan kami telah menyebutkan beberapa contoh di sana, dan masih banyak contoh yang ada di dalam Al Kitab ini yang belum kami sebutkan dalam tarjamah, dan diantara contoh yang kami sebutkan dalam tarjamah itu adalah ayat yang mulia ini, kami telah mengatakan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak ini : Dan diantara contohnya adalah perkataan banyak orang : Bahwa ayat hijab yaitu firman-Nya وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ adalah khusus bagi isteri-isteri Nabi r, maka sesungguhnya penetapan alasan (illah) hukum ini yaitu pengharusan hijab oleh Allah U dengan keberadaannya lebih mensucikan bagi hati laki-laki dan wanita dari kecurigaan dalam firman-Nya U : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ merupakan qarinah yang jelas yang menunjukan keumuman hukum ini (mencakup isteri-isteri Nabi r  dan wanita muslimah lainnya), karena tidak ada seorang muslim pun mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi r  tidak membutuhkan kepada kesucian hati mereka dan hati para lelaki dari kecurigaan maksiat dari diri para wanita. Dan sudah menjadi suatu kepastian dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa illat (alasan hukum) itu mencakup seluruh yang dimasuki illat itu (ma’lul), dan hal ini diisyaratkan dalam Maraaqis Su’ud dengan perkataannya :
Dan terkadang mengkhususkan dan terkadang mengumumkan
Terhadap hukum asalnya, namun dia itu tidak pernah terobek
Selesai tempat tujuan dari perkataan kami dalam tarjamah tersebut, dan dengan penjelasan yang telah kami sebutkan maka anda bisa mengetahui bahwa dalam ayat ini ada dalil yang jelas yang menunjukan bahwa wajibnya hijab ini umum mencakup seluruh wanita bukan khusus bagi isteri-isteri Nabi r -meskipun asal lafadznya khusus buat mereka- karena keumuman illatnya menunjukan keumuman hukum di dalamnya. Sedangkan maslakul illah (pokok alasan) yang menunjukan bahwa firman-Nya U : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ adalah illat (alasan hukum) bagi firman-Nya U : فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ yaitu Al Maslak yang terkenal dalam ilmu Ushul dengan nama Maslakul ‘iima’ wat Tanbih. Sedangkan definisi atau batasan maslak yang bisa diterapkan pada juz’iyyahnya ini adalah : Disertainya suatu hukum syar’i  dengan suatu sifat yang seandainya sifat ini adalah bukan alasan bagi hukum tersebut maka perkataan tersebut cacat menurut penilaian orang-orang yang memahami
Pengarang Maraqis Su’ud mendefinisikan dilalah Al ‘iimaa wat tanbih dalam pembahasan dilalatul Iqtidha wal Isyarah Wal ‘iimaa wat Tanbih dengan perkataannya :
Dilalah Al ‘iimaa wat tanbih
Dalam disiplin ilmu ini dimaksudkan menurut para ahlinya
Adalah menyertainya suatu sifat terhadap hukum yang
bila bukan untuk tujuan illat (alasan hukum itu), maka dicela oleh orang yang pandai.
Dan beliau mendefinisikan Al ‘iimaa wat tanbih juga dalam masaalikul ‘illah dengan perkataannya :
Dan yang ketiga : Al ‘iimaa yaitu penyertaan suatu sifat
terhadap suatu hukum yang keduanya dilafalkan tanpa ada ketinggalan
dan sifat itu atau nadhir itu
menyertainya, membantu bagi yang lainnya
Maka firman-Nya U  :  ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ seandainya bukan alasan hukum bagi firman-Nya: فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ maka tentu perkataan ini cacat tidak teratur benar menurut orang yang pandai lagi ‘arif.
Oleh sebab itu bila anda mengetahui bahwa firman-Nya U : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّadalah illah (alasan hukum) bagi firman-Nya : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ dan anda juga mengetahui bahwa hukum illat itu umum, maka ketahuilah sesungguhnya illat bisa membuat umum ma’lulnya dan bisa juga mengkhususkannya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bait syair Maraqis Su’ud, dan dengannya anda mengetahui bahwa ayat hijab itu umum karena keumuman illatnya, dan bila hukum ayat ini umum dengan dilalah qarinah qur’aniyyah maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib atas seluruh wanita berdasarkan dilalah Al Qur’an.[157]

Khithab Terhadap Seseorang Hukumnya Mencakup Seluruh Ummat
Serta Dilalah Hal Ini Atas Umumnya Hukum Hijab


Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Dan di antara dalil yang menunjukan bahwa hukum ayat hijab  itu umum, adalah kaidah yang sudah pasti dalam ilmu Ushul Fiqh, yaitu bahwa Khithab terhadap seseorang hukumnya mencakup seluruh ummat (خطاب الواحد يعم حكمه جميع الأمة) dan hukum tersebut tidak khusus  bagi seorang yang dikhithabi saja, karena khithab (perintah) Nabi r kepada seorang dari ummatnya berarti hukumnya mencakup seluruh ummatnya disebabkan semuanya mempunyai kesamaan dalam hukum taklif, kecuali bila ada dalil khusus yang harus dijadikan patokan. Sedangkan perbedaan para ulama Ushul dalam khithab kepada seseorang adalah apakah hal itu termasuk shighat umum yang menunjukan pada keumuman hukum ? ada perbedaan dalam keadaan tapi sebenarnya bukan perbedaan. Khithab kepada seseorang (khithabul wahid) menurut madzhab Hambali merupakan shighat umum, dan menurut yang lainnya dari kalangan Malikiyyah dan Syafi’iyyah dan yang lainnya bahwa khithabul wahid tidak mempunyai keumuman karena lafadz yang satu tidak mencakup yang lainnya menurut asal bahasa, dan bila tidak mencakup yang lainnya menurut asal bahasa maka bukan termasuk shighat umum, namun para ulama yang berpendapat seperti ini semua sepakat bahwa hukum khithabul wahid umum bagi yang lainnya, (bukan dengan shighat itu) namun dengan dalil lain, yaitu dalil dengan Nash dan Qiyas.
Adapun Qiyas maka itu jelas sekali, karena menqiyaskan selain mukhathab (orang yang dikhithabi) kepada dia (mukhathab) berdasarkan adanya kesamaan di antara keduanya dalam hukum-hukum taklif merupakan qiyas jaliy (jelas).
Sedangkan Nash adalah seperti sabdanya  r :
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ وَمَا قَوْلِيْ ِلامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ إِلاَّ كَقَوْلِيْ لِمِائَةِ امْرَأَةٍ
Artinya : Sesungguhnya saya tidak menyalami wanita, dan tidaklah perkataan saya terhadap seorang wanita melainkan sama seperi perkataan saya kepada seratus wanita.
Dan hal itu disyaratkan dalam Maraqia Su’ud dengan perkataannya :
Khithab wahid menurut selain madzhab Hanbali
Tanpa melihat nash dan qiyas jaliy
Dan dengan Qaidah Ushuliyyah[158] yang kami sebutkan ini anda bisa mengetahui bahwa hukum ayat hijab itu umum, meskipun lafadznya khusus kepada isteri-isteri Nabi r karena perkataannya kepada salah seorang isterinya atau wanita lain sama seperti perkataanya kepada seratus orang wanita sebagaimana penjelasan yang anda lihat tadi.[159]
Kemudian Asy Syinqithiy rahimahullah berkata lagi : Dan bila anda telah mengetahui dengan apa yang kami sebutkan bahwa hukum ayat hijab itu umum, dan bahwa ayat-ayat yang kami sebutkan bersamanya mengandung dilalah atas wajib ihtijab seluruh badan wanita dari laki-laki yang bukan mahram, maka anda mengetahui bahwa Al Qur’an telah menunjukan atas pensyari’atan hijab. Dan seandainya kita andai - andaikan bahwa ayat hijab itu khusus buat isteri-isteri Nabi r maka tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah tauladan terbaik bagi seluruh wanita kaum muslimin dalam etika-etika yang mulia yang menuntut kesucian yang sempurna dan tidak terkotori oleh kotoran-kotoran ribah (kecurigaan maksiat). Maka barang siapa berusaha mencegah wanita kaum muslimin – seperti para du’at sufur (para penyeru wanita untuk membuka wajah), tabarruj dan ikhtilath zaman sekarang ini – dari mencontoh terhadap mereka (isteri-isteri Nabi) dalam hal etika yang tinggi lagi mulia yang mengandung jaminan keselamatan kehormatan dan kesucian dari kotoran ribah berarti dia telah mengelabui ummat Muhammad r dan dia adalah orang yang berpenyakit di dalam hatinya seperti yang anda lihat.[160]

·         Syaikh Husnain Muhammad Makhluf Mufti Negara Mesir yang lalu berkata dalam tafsirnya : ,” وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ,”Bila kalian meminta dari isteri-isteri Nabi r ," مَتَاعًا,” sesuatu yang bisa dimanfaatkan seperti barang perabotan dan lain-lain, dan seperti itu adalah ilmu dan fatwa,” فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ,”(maka mintalah) dari belakang tabir antara kalian dan mereka,” ذَلِكُمْ,”(yang demikian itu) yaitu meminta dari belakang hijab,” ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ ,” lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka dari ribah dan hasrat yang jelek. Ayat hijab ini turun pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke lima Hijriyyah, dan hukum wanita kaum mu’minin dalam hal ini sama seperti hukum isteri-isteri Nabi r.[161]

·         Al Ustadz Muhammad Adib Kilkil berkata : Dan di antara dalil yang menunjukan wajibnya menutupi wajah dan kedua tangan perempuan adalah firman-Nya U yang memerintahkan kita bila meminta suatu kebutuhan kepada wanita agar memintanya dari belakang hijab, Dia  U berfirman : وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ (Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka) maka seandainya menutupi wajah bukan suatu yang di tuntut, tentu tidak ada artinya sama sekali  dalam meminta suatu kebutuhan dari belakang hijab, sungguh Allah U telah menetapkan bahwa hijab itu lebih mensucikan bagi hati seluruh orang. Maka janganlah seseorang mengatakan selain apa yang dikatakan oleh Allah U… Kemudian beliau berkata : Bila seseorang mengatakan : sesungguhnya ayat ini khusus buat Ummahatul Mu’minin dan telah turun berkenaan dengan mereka,” Maka saya katakan : Sesungguhnya ayat ini meskipun khusus sebabnya karena isteri-isteri Nabi r, namun ayat ini umum dari sisi hukum, karena yang menjadi patokan itu adalah umumnya lafadz  bukan khususnya sebab, dan mayoritas ayat Al Qur’an mempunyai sebab di saat turunnya tanpa ada perbedaan diantara ulama, dan bila kita batasi hukumnya sesuai lingkupan sebab turunnya saja maka apa bagian kita dari ayat-ayat itu ? berarti dengan seperti ini kita telah menelantarkan ayat-ayat Allah U serta menggugurkan hukum-hukumnya jumlatan wa tafshilan (seluruhnya), dan apakah Al Qur’an ini hanya untuk diterapkan dalam masa tertentu saja tanpa masa yang lainnya ?
Maka da’waa (klaiman) bahwa ayat itu khusus buat isteri-isteri Nabi r di samping apa yang sudah saya sebutkan, tidak bisa dijadikan hujjah karena istitsna (pengecualian) dalam ayat لاَجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِنَّ (Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan babak-bapak mereka) adalah umum, dan pengecualian itu adalah cabang dari hukum asalnya yaitu hijab, maka da’waa pengkhususan hukum asal memestikan pengkhususan cabangnya, sedangkan hal ini tidak bisa diterima karena keumumannya yang sudah diketahui, oleh sebab itu apakah bisa dikatakan kepada wanita yang telah dibolehkan oleh Allah U untuk menampakan diri di hadapan ayah, anak laki-laki, dan saudaranya : Sesungguhnya Allah U tidak mewajibkan kamu untuk berhijab dari laki-laki lain ? Padahal Allah U membatasi penampakan wanita kepada mahramnya saja dengan firman-Nya U : لاَجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِن َّ …, Adapun laki-laki lain yang bukan mahram maka dia wajib berihtijab dari mereka sesuai tuntutan mafhum ayat itu.[162]
·         Syaikh Said Al Jabiy rahimahullah berkata dalam kitabnya Kasyfun Niqab : Maka Firman-Nya : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ (Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka) membantah dan menggugurkan klaim kekhususan, karena telah diisyaratkan kepadanya dengan selain apa yang diklaim oleh  orang yang menganggap khusus yaitu bahwa tujuan hijab itu untuk membedakan mereka (isteri-isteri Nabi) dari yang lainnya dan untuk mengangkat mereka di atas yang lainnya, padahal Allah U menjelaskan bahwa Al Ba’its (faktor pendorong) pensyari’atan hijab adalah untuk mensucikan hati-hati kedua pihak. Nah bila isteri-isteri Nabi r yang disucikan dari perbuatan zina, yang diharamkan dinikahi oleh kita, lagi diberi sifat bahwa mereka itu Ummahatul Mu’minin, telah diperintahkan untuk berhijab demi kesucian hati mereka dan hati putera-puteranya yang haram atas mereka menikahinya, maka apa gerangan yang kita katakan buat wanita selain mereka yang halal kita nikahi, lagi dihasrati oleh orang-orang yang berhati kotor, apakah boleh bagi mereka untuk membuka wajah (safirat) tidak memakai penutup muka (niqab), lagi tampak (ke hadapan orang) tanpa berhijab ? !
·         Dan di antara yang mementahkan klaim pengkhususan adalah perkataan seorang Arab asli yang memahami akan bahasanya lebih dari kita setelah turunnya ayat hijab : Kami dilarang mengajak bicara puteri-puteri paman kami kecuali dari belakang hijab, seandainya Muhammad meninggal dunia saya sungguh akan menikahi si Fulanah,” maka turunlah firman-Nya U : Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak boleh (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah dia wafat,”. Dan di antara yang mementahkan klaim pengkhususan adalah Allah U menyatukan isteri-isteri Nabi rdan puteri-puterinya serta wanita kaum mu’minin dalam satu hukum pada firman-Nya U : يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ (Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka") maka gugurlah klaim pengkhususan itu, nah bila keadaannya seperti itu maka seluruh yang telah ditetapkan bagi isteri-isterinya r ditetapkan juga bagi wanita lainnya, (dan sebaliknya) semua yang ditetapkan bagi wanita-wanita selain mereka ditetapkan juga bagi mereka, oleh sebab itu para sahabat y memahami bahwa perintah hijab itu adalah umum, dan sesungguhnya konteks ayat memberi faidah seperti itu dan menuntutnya.[163]
·         Al Ustadz Muhammad Adib Kilkil berkata : Adapun firman-Nya,”Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,” yang dimaksud adalah mentaujih dan mentarbiyah mereka dengan taujih yang luhur, serta tarbiyah yang sangat tinggi yaitu bahwa mereka itu tidak sama dengan wanita lain dalam kedudukan, kehormatan, dan harga diri. Itu merupakan uslub (metode) dalam tarbiyah yang tidak ada bedanya dengan ucapan anda kepada anakmu yang baik : Wahai anakku, engkau ini tidak sama dengan anak-anak yang lain sehingga engkau jalan-jalan di jalanan ini, dan engkau melakukan perlakuan-perlakuan yang tidak layak, hendaklah engkau beretika dan berbuat sesuai kelayakan,” Ucapan anda ini bukan maksudnya bahwa anak-anak yang lain dianggap baik bila jalan-jalan di jalanan, dan melakukan perlakuan yang tidak layak, serta mereka tidak dituntut untuk beretika dan berbuat sesuai kelayakan, namun maksud ucapan anda seperti ini adalah penetapan batas ukuran akhlak-akhlak yang baik dan sempurna, agar dijadikan contoh dan acuan bagi anak lain yang menginginkan menjadi anak yang terdidik sehingga dia berusaha untuk mencapainya. Sesungguhnya Al Qur’an telah memilih uslub ini dan cara ini dalam mengkhithabi isteri-isteri Nabi r untuk mengikat mereka dengan satu ikatan secara khusus agar menjadi tauladan bagi wanita-wanita lain, serta perilaku dan kebiasaan mereka ini dijadikan acuan di dalam rumah-rumah umumnya kaum muslimin.

Firman-Nya,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [164]Adalah wasiat wasiat rabbaniyyah dan perintah-perintah ilahiyyah. Mana dari wasiat-wasiat dan perintah-perintah itu yang tidak berhubungan dengan wanita muslimat lainnya ? Apakah wanita-wanita muslimat tidak wajib bertaqwa kepada Allah, atau mereka dibolehkan khudlu’ (merendahkan) ucapannya dan mengajak bicara pria dengan ucapan-ucapan yang menimbulkan hasrat dan syahwat ? Atau juga mereka boleh tabarruj (berhias dan bertingkahlaku) seperti tabarrujnya jahiliyyah pertama ? Kemudian apakah layak mereka meninggalkan shalat dan tidak menunaikan zakat serta berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya ? Dan apakah Allah menginginkan membiarkan mereka bergelimang dosa ? Maka apabila perintah-perintah dan tuntunan-tuntunan itu adalah umum bagi seluruh kaum muslimat maka apa gerangan alasan yang mendorong untuk mengkhususkan tinggal di dalam rumah dan komitmen dengan hijab serta tidak berikhthilat dengan laki-laki yang bukan mahram hanya untuk isteri-isteri Nabi r saja dari sekian perintah dan tuntunan yang tercantum tadi ? sesungguhnya taujih rabbani dan tarbiyah ilahiyyah itu adalah buat seluruh wanita dengan lewat perantaraan Ummahatul Mu’minin sebagai mana sebuah ungkapan : Kamu yang saya maksud dan dengarkanlah wahai tetangga sebelah.[165]

·         Syaikh Wahbi Sulaiman Ghawizi Al Albani berkata : Hijab syar’i yang diperintahkan itu mempunyai tiga lapis (tingkatan) satu sama lain di atas yang lainnya dalam hal berhijab dan penutupan, yang semuanya telah ditunjukan oleh Al Kitab dan As Sunnah. Pertama : Hijab Asykhash (sosok) di dalam rumah dengan tembok dan kamar pingitan dan lain-lain sehingga  laki-laki (yang bukan mahram) tidak melihat sedikitpun dari asykhash (sosok) mereka, pakaiannya, serta zinah (perhiasan)nya baik yang dhahirah maupun yang bathinah, juga tidak melihat sedikitpun dari badannya baik wajah, kedua telapak tangannya dan anggota tubuh lainnya.
Allah telah memerintahkan tingkatan hijab ini dalam firman-Nya : وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ (Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir) karena sesungguhnya hal ini menunjukan bahwa meminta segala sesuatu dari mereka harus dari belakang tabir yang menghalangi laki-laki dari perempuan dan perempuan dari laki-laki, sebab turun ayat ini memastikan makna ini dan menguatkannya. Dan Allah U telah memerintahkannya dalam firman-Nya U ,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu,” Muhammad Ibnu Sirin berkata : Saya diberitahu bahwa dikatakan kepada Saudah Bintu Zam’ah isteri Nabi r : Kenapa engkau tidak melakukan haji dan umrah sebagaimana yang dilakukan oleh saudari-saudarimu ? Beliau berkata : Saya telah menunaikan haji dan umrah, dan Allah telah memerintahkan supaya saya tinggal di dalam rumahku, Demi Allah aku tidak akan keluar dari rumahku sampai aku mati,” (perawi berkata) : Demi Allah beliau tidak pernah keluar dari pintu rumahnya sampai keluar janazahnya,” dan hukum ini umum, dikecualikan darinya keluar untuk hajat, Rasulullah U  berkata,”Telah diizinkan bagi kalian keluar untuk hajat kalian,” Diriwayatkan oleh Al Bukhari. Tingkatan hijab ini dikuatkan dengan hadits-hadits yang menganjurkan wanita untuk tinggal di dalam rumah, dan tidak keluar meskipun untuk shalat berjama’ah bersama Rasulullah U, karena keberadaan dia di dalam rumah lebih besar pahalanya di sisi Allah U.[166]  [167]

·         Syaikh Abu Hisyam Abdullah Al Anshari berkata : Sesungguhnya perintah untuk berhijab itu tidak terkhusus kepada Ummahatul Mu’minin, meskipun dhamir niswah ((هُنَّ kembali kepada mereka karena mereka yang disebutkan sebelumnya, dan karena mereka adalah tauladan dan qudwah bagi wanita kaum muslimin dalam seluruh aspek kehidupan, dan sudah pada maklum bahwa pengkhususan dengan penyebutan tidak memestikan pengkhususan dengan hukumnya. Dan di antara dalil yang menunjukan bahwa itu bukan khusus adalah hal-hal berikut ini :

Pertama : Sudah tetap dalam ushul syari’at bahwa khithabul wahid hukumnya umum buat seluruh umat sehingga ada dalil yang mengkhususkannya, sedangkan tidak ada dalil yang menunjukan pengkhususan hukum hijab bagi Ummahatul Mu’minin, sebagaiman yang akan anda ketahui.

Ke dua   : Sesungguhnya konteks ayat adalah umum meskipun orang yang dikhithabi adalah khusus, maka  firman-Nya U ,”Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan,” bukan maknanya bahwa mereka boleh masuk rumah selain rumah Nabi r tanpa diizinkan, kemudian firman-Nya U ,”untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi bila kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik-asyik memperpanjang percakapan,” bukan artinya bahwa mereka tidak usah beretika dengan etika-etika ini, dan tidak menjaganya kecuali bersama Nabi r. Maka bila konteks ayat adalah umum dan pengkhususan penyebutan Nabi r itu hanya karena kondisi yang menimpa beliau adalah sebab turunnya, dan karena beliau itu adalah tauladan buat seluruh kaum muslimin, maka bagaimana mungkin kita boleh melepaskan sebagian dari etika-etika itu sambil mengatakan bahwa hukum ini khusus bagi Nabi r dan isteri-isterinya.

Ke tiga   : Sesungguhnya Allah U telah menjelaskan hikmah berhijab dan ‘illahnya (alasan hukumnya) Dia berfirman,” Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,” dan illah ini adalah umum, karena tidak ada seorang muslimpun  mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi r tidak membutuhkan kepada kesucian hati mereka dan hati para pria dari hasrat terhadap mereka (wanita). Sedangkan umumnya illah  dan hikmah hijab merupakan dalil keumuman hukum hijab bagi seluruh wanita kaum muslimin.

Ke empat   : Dalil aulawiyyah (lebih ditekankan) !  yaitu bahwa Ummahatul Mu’minin adalah wanita yang paling suci hatinya di dunia ini, mereka adalah yang paling dimuliakan di seluruh hati kaum mu’minin, namun demikian mereka tetap diperintahkan untuk berhijab demi kesucian hati kedua belah pihak, maka wanita selain mereka lebih utama dengan perintah ini.

Ke lima    : Sesungguhnya ayat penguluran jilbab (Al Ahzab 59) merupakan penyempurna ayat hijab ini (Al Ahzab 53), dan ayat penguluran itu secara jelas umum bagi seluruh wanita maka ayat hijab ini harus seperti itu.

Ke enam : Sesungguhnya wanita (shahabiyyah) kaum muslimin selalu komitmen dengan hijab sebagaimana komitnya para Ummahatul Mu’minin.
Sampai beliau mengatakan :
Inilah, dan sesungguhnya anda seandainya membuka-buka penegasan para ulama, hampir anda tidak mendapatkan seorangpun yang mengatakan akan khususnya hijab bagi Ummahatul Mu’minin, sedangkan hijab yang dijadikan oleh orang yang menjadikannya khusus bagi mereka adalah kadar tambahan terhadap hijab yang telah dikenal yang sedang kita bahas ini, dan ini bisa lebih jelas dengan memperhatikan penegasan-penegasan mereka : Al Qadli Iyadl berkata : ( kewajiban hijab termasuk apa yang dikhususkan bagi isteri-isteri Nabi r, maka hijab ini adalah wajib atas mereka tanpa ada pertentangan dalam wajah dan kedua telapak tangan, maka tida boleh mereka membukanya baik untuk kesaksian ataupun yang lainnya, dan mereka tidak boleh menampakan sosok mereka – meskipun mereka itu menutupi diri – kecuali bila ada dlarurat yang mendesak seperti keluar untuk buang air….dan sungguh mereka itu bila duduk melayani manusia mereka duduk dari balik tabir, dan bila mereka keluar, maka mereka menutup dan menghalangi sosok mereka sebagaimana yang ada pada hadits Hafshah di saat wafatnya Umar, dan tatkala Zainab meninggal dunia, mereka (orang-orang) membuat qubbah di atas kerandanya supaya menutupi sosoknya,,,, lihat shahih Muslim bersama Syarah An Nawawiy 2/215, Fathul Bariy 8/530.
Maka yang diyakini oleh Al Qadli (Iyadl) bahwa itu khusus bagi mereka (isteri-isteri Nabi) adalah tidak bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangannya meskipun kebutuhan sangat mendesaknya, dan tidak boleh menampakan sosoknya meskipun mereka itu dalam keadaan tertutup. Dan yang lebih tegas dari perkataan Al Qadli adalah perkataan diantara kalangan ahli tafsir yaitu Al baghawi dan yang lainnya, Al Baghawi berkata : Dan setelah turunnya ayat hijab, maka tidak seorangpun boleh memandang isteri Rasulullah r, baik dia itu menutup wajah ataupun tidak,,, lihat Tafsir Al baghawi di hamisy Tafsir Al Khazin 5/224.
Dan sudah ma’lum bahwa pengkhususan kadar tambahan terhadap hijab bagi Ummahatul Mu’minin itu tidak menafikan umumnya hijab bagi seluruh wanita[168], namun itu para ulama ahli tahqiq telah membantah terhadap Al qadli Iyadl atas apa yang beliau klaim, dan mereka menetapkan bahwa sikap keras ini dalam masalah hijab tidak pernah terjadi sama sekali[169][170]
·         Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Tidak pernah ada dalam ayat An Nur dan ayat Al Ahzab bentuk pengkhususan bagi isteri-isteri Nabir dengan hukum yang telah ditentukan, maka itu adalah hukum-hukum umum bagi seluruh wanita ummat Muhammad r sampai hari kiamat. Dan termasuk klaim yang bathil adalah perkataan : Sesungguhnya ayat hijab adalah khusus bagi isteri-isteri Nabi r,”. Sebagaimana bahwa seluruh hukum-hukum yang dikemukakan oleh lisan Rasulullah r dalam hal menutupi diri, mencegah segala sesuatu yang mengundang fitnah, dan menjaga wanita muslimah dari pengobralan perhiasannya, kehormatannya serta harga dirinya kepada laki-laki lain, itu semua adalah umum bagi setiap muslimah sampai hari kiamat. Adapun kesegeraan Ummahatul Mu’minin untuk mengamalkan syari’at-syari’at agama, ini tidak menunjukan bahwa hal itu khusus bagi mereka , karena mereka adalah tauladan yang baik bagi setiap muslimah hingga hari kiamat, pengaruh pelaksanaan langsung dalam iqtida’ dan perealisasian hukum-hukum lebih besar dampaknya dari sekedar perkataan, dan hal ini bisa dirasakan, dan hal yang sama adalah apa yang terjadi pada Umrah Hudaibiyyah sebagaimana dalam  Shahih Al Bukhari, berkata : Tatkala perdamaian Hudaibiyyah selesai Rasulullah r memerintahkan para sahabatnya, seraya berkata : Berdirilah kalian, sembelihlah sebelihan kalian dan terus gundulilah kepala kalian,” berkata : Demi Allah tidak ada seorangpun yang berdiri hingga Beliau r mengatakannya tiga kali, tatkala tidak satupun berdiri Beliau r masuk menemui Ummu Salamah dan terus menceritakan perlakuan orang-orang kepadanya, maka Ummu Salamah berkata : Wahai Nabi Allah apakah engkau menginginkan hal itu ? Keluarlah menemui mereka dan janganlah engkau mengajak bicara seorangpun sehingga engkau menyembelih untamu, kemudian memanggil tukang cukurmu sehingga dia mencukur (rambut)mu,” Maka Beliau r keluar dan tidak mengajak bicara seorang pun sehingga beliau melakukan hal itu, menyembelih untanya, dan memanggil tukang cukurnya dan terus dia mencukurnya, maka tatkala orang-orang melihat Beliau r melakukannya maka mereka pun bangkit dan terus menyembelih unta-untanya, dan mereka saling mencukuri sehingga saling berebutan karena kehawatiran.

Kisah seperti ini mengandung perealisasian atas perintah dan memberikan contoh dengan contoh yang baik, karena perintah yang dibarengi dengan pelaksanaan pasti seperti itu, dan itu lebih membuat orang islam cepat-cepat melaksanakannya dari sekedar memerintah saja. Dan begitulah keadaan wanita-wanita muslimat di masa ayat-ayat Al Qur’an  turun, tatkala Allah U menurunkan ayat hijab maka orang yang paling pertama melaksanakannya adalah Ummahatul Mu’minin supaya memperkuat sisi perintah ayat karena mereka adalah orang terpandang di hati kaum muslimin dengan realita yang diinginkan Allah dari wanita-wanita mu’minat dengan penurunan ayat itu.[171]

·         Syaikh Abdul Aziz Ibnu Rasyid An Najdi rahimahullah berkata setelah menyebutkan dua ayat dalam surat Al Ahzab,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,” dan,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,” bila dikatakan : dua ayat yang akhir ini konteks dan dhahirnya adalah khusus bagi isteri-isteri Nabi r .” maka dijawab : Tidak, sama sekali, bahkan hukum asal dalam semua syari’at dan semua ayat adalah umum buat seluruh ummat selama tidak ada dalil yang mengecualikannya, dan di sini tidak ada dalil yang mengkhususkannya buat mereka (isteri-isteri Rasulullah r), karena setiap mu’minah adalah dilarang merendahkan perkataannya di hadapan laki-laki, tabarruj ala jahiliyyah dengan menampakan perhiasannya, sebagaimana dia diperintahkan untuk selalu tinggal di dalam rumah, dan tidak keluar kecuali ada mashlahat yang memaksanya. Dan begitu juga setiap mu’min diperintahkan untuk beretika baik bersama kaum mu’minat bila meminta kepada mereka suatu kebutuhan atau apa saja hendaklah dilakukan dari balik hijab, dan janganlah menerobos hijab, dan janganlah menyuruh dia meninggalkan hijab, serta janganlah mengakui atas perbuatan maksiatnya  bila dia (wanita) mengikuti perintahnya, namun bila wanita itu menyalahinya maka tidak ada dosa bagi orang yang memintanya dari kalangan orang-orang yang bertaqwa, dari Aisyah radliyallahu anha berkata : Rasulullah r  berkata,” Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian (wanita) keluar untuk kebutuhan-kebutuhan kalian,” diriwayatkan oleh Al Bukhari.[172]

·         Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri hafidhahullah berkata : Ayat yang mulia ini dikenal dengan sebutan ayat hijab, karena ini merupakan ayat yang pertama kali turun tentang hijab, setelah ayat ini turun Rasulullah r menghijabi isteri-isterinya dan kaum mu’minin juga menghijabi isteri-isterinya, ini merupakan nash yang jelas tentang kewajiban hijab, karena Firman-Nya,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir,” adalah qathi’yyuddilalah (penunjukannya pasti) terhadab hal ini. Sungguh pendapat yang sangat aneh (nyeleneh) yang mengatakan : sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi r maka ayat ini khusus bagi mereka saja tidak wanita kaum mu’minin lainnya,” sebab seandainya keadaanya seperti yang dikatakan itu, tentu sahabat-sahabat Rasulullah r tidak akan menghijabi isteri-isteri mereka, dan tentu pemberian izin oleh Rasulullah r kepada orang yang mau melamar untuk melihat wanita pinangannya tidak ada artinya.

Dan lebih dari itu bahwa isteri-isteri Nabi r telah dijadikan oleh Allah U sebagai Ummahatul Mu’minin, Dia U  berfirman,” dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka,”menikahi mereka adalah diharamkan selama-lamanya sebagaimana halnya ibu mereka sendiri, jadi apa artinya penghijaban mereka bila hukumnya hanya terbatas pada mereka saja. Nah dari sinilah maka hukum itu umum mencakup seluruh wanita mu’minah sampai hari kiamat, dan bahkan termasuk qiyas aula (qiyas yang lebih utama). Allah U   mengharamkan pengucapan cih kepada kedua orang tua menunjukan pada pengharaman memukulnya secara lebih lebih, inilah yang ditunjukan oleh nash-nash syari’ah dan diamalkan oleh kaum muslimin.[173]

Tanbih Penting

Syaikh Nashiruddin Al Albani sama sekali tidak menyinggung-nyinggung bantahan terhadap istidlal ulama-ulama yang banyak ini dengan ayat hijab dalam kitabnya Hijabul Mar’ah Al Muslimah Fil Kitab Was Sunnah, sepertinya beliau berpendapat bahwa wajibnya hijab ini khusus bagi Ummahatul Mu’minin, dan tidak menjadikannya umum bagi seluruh wanita muslimat, padahal pemberlakuan umumnya ayat hijab itu merupakan lazim (keharusan) dari perkataan beliau sendiri. Sungguh beliau telah berdalil dengan hadits Ummu ‘Athiyyah radliyallhu anha untuk menetapkan bahwa perintah menyuruh para wanita untuk keluar melaksanakan shalat ‘ied itu adalah terjadi setelah turunnya ayat hijab, dan inilah teks haditsnya :
Tatkala Rasulullah r tiba di kota Madinah[174]beliau mengumpulkan wanita Anshar dalam satu rumah, kemudian mengutus Umar Ibnu Al Khaththab kepada mereka, dia(Umar) berdiri dibalik pintu terus mengucapkan salam kepada mereka, maka mereka pun menjawab salam tersebut, kemudian Umar berkata : Saya adalah utusan Rasulullah r kepada kalian,” mereka menjawab,”Selamat dengan Rasulullah r dan utusannya,”Umar berkata,”Kalian mau berbai’at untuk tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak mendatangkan kedustaan yang kalian ada-adakan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, dan tidak durhaka di dalam yang ma’ruf ? maka mereka menjawab,”Ya,” maka Umar membentangkan tangannya dari luar pintu dan mereka pun membentangkan tangan-tangannya dari dalam, kemudian Umar berkata,” Ya Allah saksikanlah,” (Ummu ‘Athiyyah berkata) : Dan kami diperintahkan (dalam satu riwayat : Maka kami diperintahkan) untuk menyuruh keluar gadis-gadis muda dan wanita-wanita haid dalam dua Hari Raya, dan kami dilarang mengikuti jenazah, serta tidak ada kewajiban jum’at atas kami, maka saya bertanya tentang buhtan( kedustaan) dan tentang firman-Nya,”Dan tidak akan mendurhakaimu dalam hal yang baik,” ? beliau menjawab: Itu adalah niyahah(meratapi),”[175]…..Kemudian Syaikh (Al Albani) berkata : Sisi pengambilan syahid (dalil) dengannya hanya bisa jelas bila kita ingat bahwa ayat bai’at wanita,”Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan apapun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka…..,” hanyalah turun di hari futuh (penaklukan) kota Mekkah sebagaiman yang dikatakan oleh Muqatil (Ad Dur Al Mantsur 6/209), dan turun setelah ayat imtihan (pengujian keimanan mereka) sebagaiman yang dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dari Jabir (Ad Dur 6/211), dan dalam Al Bukhari dari Al Miswar bahwa ayat imtihan turun pada hari perjanjian Hudaibiyyah, dan itu tahun 6 Hijriyyah menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikatakan Ibnu Al Qayyim dalam Az Zad (Zadul Ma’ad), sedangkan ayat hijab hanyalah turun tahun 3, ada yang mengatakan juga tahun 5 takala Rasulullah r membangun rumah tangga dengan Zainab Bintu Jahsy, sebagaiman dalam biografinya dalam Al Ishabah. Maka dengan ini pastilah bahwa perintah menyuruh wanita agar ikut keluar menyaksikan Al ‘Ied adalah terjadi setelah diturunkan kewajiban berhijab, dan ini dikuatkan bahwa dalam hadits Umar (tadi) beliau tidak masuk menemui para wanita (secara langsung bertatapan), namun beliau justru membai’atnya hanyalah dari belakang pintu, dan dalam kisah ini dia (Umar) menyampaikan perintah Nabi r kepada para wanita agar mereka keluar menyaksikan Al ‘Ied, sedang ini terjadi pada tahun keenam Hijriyyah setelah kepulangan beliau dari Hudaibiyyah, setelah turunnya ayat imtihan dan ayat bai’at sebagaimana yang telah lalu.[176]

Bukti dari itu adalah perkataan Syaikh rahimahullah : Setelah diturunkan kewajiban berhijab,” sebagai isyarat kepada ayat hijab,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,” kemudian beliau menguatkan perkataannya dengan ungkapannya,” dan ini dikuatkan bahwa dalam hadits Umar (tadi) beliau tidak masuk menemui para wanita (secara langsung bertatapan), namun beliau justru membai’atnya hanyalah dari belakang pintu,” maka suatu mesti (lazim) dari pernyataan ini bahwa Syaikh mengambil dalil dengan umumnya ayat hijab bagi seluruh wanita. Wallahu ‘Alam.[177]























Dalil Ketiga

Firman-Nya U :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفاً . وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا

Artinya : Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah sama seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. ( Al Ahzab 32-33)
Dan yang menjadi pokok pembahasan adalah firman-Nya,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,”
·         Imamul Mufassirin Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah berkata : (Dikatakan bahwa tabarruj di sini adalah tabakhtur (berlenggang) dan (takassur) berlenggak lenggik) kemudian beliau meriwayatkan dengan sanadnya dari Qatadah berkata : Yaitu bila kalian keluar dari rumah kalian, beliau berkata :  mereka (wanita jahillah dahulu) mempunyai cara jalan, takassur, dan taghannuj (gerakan yang merangsang), maka Allah melarang dari melakukan hal itu.” Ya’qub telah memberitahu kami, beliau berkata : Ibnu ‘Aliyyah telah memberitahu kami, beliau berkata : Saya mendengar Ibnu Abi Nujaih berkata tentang firman-Nya U ,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,” beliau berkata : (Yaitu) Tabakhtur, dan dikatakan : Sesungguhnya tabarruj adalah menampakan perhiasan, dan wanita menampakan kecantikannya di hadapan laki-laki.[178]

·         Al Imam Abu Bakar Al Jashshah rahimahullah berkata : Dan firman-Nya U,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” Hisyam meriwayatkan dari Muhammad Ibnu Sirin berkata : Dikatakan kepada Saudah Bintu Zam’ah : Kenapa tidak keluar (untuk haji dan umrah) sebagaimana yang dilakukan saudari-saudarimu ? Beliau berkata : Saya sudah melaksanakan haji dan umrah kemudian Allah memerintahkan saya agar diam di dalam rumahku, maka Demi Allah saya tidak akan keluar,” Maka beliau tidak pernah keluar hingga mereka yang mengeluarkan janazahnya. Dan dikatakan bahwa makna,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” jadilah kalian orang yang waqar, tenang, dan kalem, dikatakan waqira fulan fi baitihi yaqiru wuquran bila dia tenang dan tuma’ninah di dalam rumahnya. Dalam potongan ayat ini ada dilalah yang menunjukan bahwa wanita itu diperintahkan  agar selalu berada di rumahnya dan dilarang keluar, dan firman-Nya U,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,”Ibnu Abi Najih meriwayatkan dari Mujahid,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,”beliau berkata : Adalah wanita dahulu berjalan di depan pria, maka itu adalah tabarruj jahiliyyah. Sa’id berkata dari Qatadah,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,” yaitu bila kalian keluar dari rumah kalian, beliau berkata : Mereka memiliki cara berjalan, takassur, dan taghannuj, maka Allah melarang mereka dari melakukan hal itu, dikatakan pula : Tabarruj itu adalah menampakan kecantikan kepada kaum pria. Dan dikatakan : Jahiliyyah uula adalah sebelum Islam, dan jahiliyyah tsaniyyah (kedua) adalah keadaan orang di dalam islam yang melakukan perlakuan seperti perlakuan mereka. Dan semua hal ini adalah termasuk apa yang diajarkan oleh Allah kepada isteri-isteri Nabi r demi menjaga kesucian mereka, dan wanita lainnya dimaksud juga dengannya.[179]
·         Al Qadli Abu Bakar Ibnu Al ‘Arabiy rahimahullah berkata : Firman-Nya U : (وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ) artinya diamlah di dalam rumahnya, janganlah keluar, dan janganlah meninggalkan rumahnya, sampai-sampai diriwayatkan-namun ini tidak benar[180]- bahwa Nabi r tatkala pulang selesai haji Wada’ berkata kepada isteri-isterinya : Ini, kemudian tampaknya tikar,” sebagai isyarat pada keharusan wanita tetap berada di dalam rumahnya, dan menghindari dari keluar darinya, kecuali karena dharurat. Dan saya telah mengelilingi seribu sekian desa di bumi ini, maka saya tidak mendapatkan wanita-wanita yang lebih tertutup, dan lebih menjaga diri daripada wanita-wanita penduduk Nablis yang dikota itu Ibrahim Al Khalil r pernah dilemparkan ke dalam api, saya tinggal di sana sebulan, dan saya tidak melihat seorang wanita pun dijalanan di siang hari kecuali hari jum’at, mereka keluar menghadiri jum’at hingga ruangan mesjid buat mereka penuh, kemudian setelah shalat selesai dan mereka kembali pulang ke rumahnya, mata saya tidak pernah melihat seorang pun dari mereka hingga jum’at berikutnya, namun desa-desa yang lainnya para wanitanya tampak tabarruj ada yang memakai perhiasan ada juga yang tidak, perhiasan mereka beragam yang menimbulkan fitnah, dan sungguh saya telah melihat wanita-wanita yang menjaga kehormatannya (‘Afa’if) di Masjid Al Aqsha, mereka tidak keluar dari tempat i’tikafnya hingga mati syahid di dalamnya.[181]
·         Al Imam Abu Abdillah Al Qurthubi rahimahullah : Makna ayat ini adalah perintah untuk selalu tinggal di dalam rumah, meskipun khithabnya adalah isteri-isteri Nabi r namun wanita lainnya masuk di dalamnya karena ada makna yang menyatukan, ini bila tidak ada dalil yang mengkhususkannya buat seluruh wanita, bagaimana sedangkan syari’at seluruhnya memestikan agar wanita tetap diam di dalam rumahnya, dan menghindari dari keluar dari dalam rumah kecuali karena dharurat, sesuai penjelasan yang telah lalu, Allah U memerintahkan isteri-isteri Nabi r agar selalu tinggal di dalam rumah mereka, dan Dia mengkhithabi mereka dengan hal itu sebagai pemuliaan bagi mereka, serta melarang mereka melakukan tabarruj, dan Dia memberitahukannya bahwa itu adalah perlakuan jahiliyyah pertama,” وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى ,”[182]
{ Ibnu ‘Athiyyah rahimahullah berkata : Dan yang nampak bagi saya bahwa Dia mengisyaratkan kepada Jahiliyyah yang mereka dapatkan, maka mereka diperintahkan agar pindah dari kebiasaan yang biasa mereka lakukan, yaitu kebiasaan sebelum turunnya syari’at berupa kebiasaan orang-orang kafir, karena sesungguhnya mereka itu dahulu tidak memiliki ghairah, sedangkan wanita tanpa berhijab, dan itu dinamakan jahiliyyah pertama ditinjau dari keadaan yang mereka jalani, dan bukan maknanya bahwa di sana ada jahiliyyah lain[183], nama jahiliyyah telah diberikan kepada masa sebelum Islam, mereka berkata : Jahiliy dalam jajaran para penyair, Ibnu Abbas mengatakan dalam Al Bukhari : saya mendengar bapakku pada zaman jahiliyyah berkata, dan yang lainnya.
Al Qurthubiy berkata dalam rangka mengomentari : ( Saya berkata : Dan ini adalah perkataan yang baik, namun ini dibantah bahwa orang-orang Arab adalah orang yang hidup kasar dan sulit pada umumnya, sedangkan bersenang-senang dan memperlihatkan perhiasan hanyalah ada pada zaman akhir-akhir dahulu, dan itu yang dimaksud dengan jahiliyyah uulaa, dan yang dimaksud  dari ayat adalah menyalahi wanita-wanita yang ada sebelum mereka, berupa berjalan dengan taghannuj, taksir, dan menampakan kecantikan kepada laki-laki, dan perbuatan yang lainnya yang tidak dibolehkan syari’at, dan itu mencakup perkataan semuanya, sehingga mereka harus tetap di rumahnya, dan bila ada keperluan mendesak untuk keluar, maka hendaklah keluar dengan pakaian yang tidak menarik dan dengan penutupan yang sempurna, Wallahul Muwaffiq.[184]
Al Qurthubiy berkata lagi :
Dikarenakan kebiasaan wanita-wanita Arab adalah biasa-biasa saja, dan mereka itu membuka wajah-wajahnya seperti yang dilakukan oleh budak, dan hal ini mengundang pandangan laki-laki kepadanya, dan pikiran pun melayang-layang tentang mereka, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya r agar memerintahkan mereka supaya mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya bila mereka hendak keluar untuk hajat-hajat mereka.[185]
·         Al Imam Abu Hayyan berkata : ( Adalah kebiasaan orang-orang arab wanitanya baik yang merdeka ataupun yang budak keluar dengan wajah terbuka, hanya mengenakan baju kurung dan kudung)
Beliau berkata juga : ( Yang nampak dari wanita pada zaman jahiliyyah adalah wajah)
Dan Abu hayyan menukil dari Al Laits, bahwa beliau berkata : ( Tabarrajatil mar’atu (wanita bertabarru) artinya : Dia menampakan kecantikannya dari wajahnya dan badannya)
Dan menukil dari Muqatil dalam tafsir makna tabarruj : ( Melipatkan kudung pada mukanya, namun tidak mengencangkannya)[186]
Al Hafidh menukil dalam Fathul Bari dari Al Farra’ perkataannya : ( Mereka pada zaman jahiliyyah wanitanya mengulurkan kudungnya dari belakangnya, dan membuka bagian depannya, maka mereka diperintahkan agar menutupi diri)[187]
Dan Al Imam Abu Hayyan menukil juga :
( Wanita-wanita Arab dahulu mereka itu membuka wajah-wajahnya seperti yang dilakukan oleh budak, dan hal ini mengundang pandangan laki-laki terhadapnya, maka Allah memerintahkan mereka agar mengulurkan jilbab-jilbabnya, supaya dengannya mereka menutupi wajah-wajahnya, dan dipahamilah perbedaan antara wanita-wanita merdeka dengan wanita-wanita budak)[188]
·         Al ‘Allamah Muhammad Anwar Al Kasymiri  Ad Duyubandiy rahimahullah telah menyebutkan ayat-ayat yang mempunyai hubungan dengan  macam-macam hijab yang diperintahakan, beliau berkata : Dan diantaranya adalah firman-Nya,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…………,”khithab di dalam ayat itu –meskipun khusus- namun hukumnya adalah umum, kemudian keluar untuk kebutuhan itu sama sekali bukan termasuk tabarruj jahiliyyah uula, karena tabarruj mereka itu adalah keluar rumah seperti laki-laki dengan penampilan yang tidak layak dan tidak menutupi diri.[189]
·         Dan beliau menukil perkataan tentang pembagian macam-masam hijab dari Al Hafidz Ibnu Hajar, bahwa sesungguhnya : Diantara hijab itu ada hijab dengan cara mengenakankan niqab ketika keluar, dan ini disebut hijab muka, dan yang kedua namanya hijab Al Asykhash,[190]yaitu diam di dalam rumah, Wallahu Alam.
·         Syaikh Ismail haqqa Al Burusawiy berkata : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu……artinya hendakalah kalian selalu berada di rumah wahai isteri-isteri Nabi, dan tetaplah di tempat tinggal kalian, dan khithab ini- meskipun khusus terhadap isteri-isteri Nabi- namun wanita yang lain masuk di dalamnya.[191]
·         Ar Raghib Al Ashfahaniy berkata ; (Tsaubun mubarrajun : Artinya digambar padanya bintang-bintang, maka dianggap keindahannya, dikatakan tabarrajatil mar’atu artinya diamenyerupainya dalam hal menampakan keindahan, dikatakan dhaharat min burjiha artinya muncul dari istananya, dan hal ini ditunjukan oleh Firman-Nya U,” dan tetaplah di rumah-rumah kalian, dan janganlah bertabarruj seperti tabarruj jahiliyyah uulaa,” dan firman-Nya,”dengan tidak bermaksud menampakan perhiasan,” dan barj adalah lapangnya mata dan indahnya sebagai penserupaan terhadap burj dalam dua hal itu.[192]
·         Asy Syaukani rahimahullah berkata : ( Dan mungkin saja yang dimaksud dengan jahiliyyah lain adalah apa yang terjadi pada islam berupa penyerupaan terhadap ahli jahiliyya baik dalam ucapan ataupun perlakuan, sehingga maknanya : dan janganlah kalian wahai muslimat bertabarruj setelah islam kalian dengan tabarruj yang menyerupai tabarruj jahiliyyah yang dahulu kalian alami dan yang dialami oleh wanita-wanita sebelum kalian, yaitu : janganlah kalian menimbulkan dengan perlakuan-perlakuan dan perkataan-perkataan kalian lakukan jahiliyyah yang menyerupai jahiliyyah yang sebelumnya.[193]
·         Al Alusi rahimahullah berkata : Dan yang dimaksud sesuai dengan seluruh Qira’at adalah perintah terhadap mereka radliyallahu ta’ala anhunna agar selalu tinggal di rumah, dan ini hal yang dituntut dari semua wanita, At Tirmidzi dan Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Masud t dari Nabi r berkata,”Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, dan keadaan dia sangat dekat dengan rahmat Rabbnya adalah ketika dia berada di dalam rumahnya,”[194]. Dan Al Bazzar meriwayatkan dari Anas t berkata : Para wanita datang kepada Rasulullah r, terus mereka berkata : Wahai Rasulullah, laki-laki mendapatkan keutamaan jihad fi sabilillah, maka apakah kami mempunyai amalan yang bisa menyamai keutamaan para mujahidin fi sabilillah Ta’ala ? Maka Beliau r berkata : Siapa orang di antara kalian diam duduk di rumahnya, maka sesungguhnya dia mendapatkan amalan para mujahidin fi sabilillah Ta’ala,”. Keluarnya wanita dari rumah bisa menjadi haram, bahkan bisa jadi menjadi dosa besar seperti keluar untuk ziarah kubur bila mafsadahnya besar, dan begitu juga termasuk dosa besar keluarnya meskipun untuk ke mesjid sedang dia telah mengenakan parfum dan bersolek bila fitnah dipastikan ada, namun bila diperkirakan ada fitnah maka ini termasuk haram namun bukan tergolong dosa besar. Bolehnya wanita keluar seperti untuk melaksanakan haji, menziarahi kedua orang tua, menjenguk orang sakit, ta’ziah kerabat yang meninggal dunia dan yang lainnya, dan ini hanya boleh dengan persyaratan yang disebutkan dalam pembahasannya.[195]
·         Syaikh Mushthafa Al Maraghi rahimahullah : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” yaitu diamlah di dalam rumah kalian, maka janganlah keluar tanpa ada kebutuhan, dan ini merupakan perintah bagi mereka dan yang lainnya.[196]
·         Al Maududiy  rahimahullah berkata : (Sesungguhnya tempat diam dan tempat tinggal wanita adalah di dalam rumahnya, dan tidaklah mereka itu digugurkan dari kewajiban-kewajiban di luar rumah melainkan agar mereka itu tetap berada di dalam rumahnya dengan tenang dan penuh wibawa, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup  sebagai ibu rumah tangga, adapun bila mereka mempunyai kebutuhan untuk keluar maka boleh bagi mereka keluar dari rumahnya dengan syarat menjaga sisi ‘iffah [197]dan rasa malu, pakaiannya tidak ada pancaran kilau, atau hiasan, atau sifat daya tarik yang mengundang pandangan terhadapnya, dan pada dirinya tidak ada keinginan untuk menampakan perhiasannya, mereka terkadang berusaha untuk membuka sedikit dari wajahnya dan saat yang lainnya membuka tangannya, dan janganlah dalam jalannya itu ada sesuatu yang bisa menarik dorongan gejolak hati, dan janganlah mereka mengenakan perhiasan-perhiasan yang gemerincing yang membisik pada pendengaran, janganlah mengangkat suaranya dengan maksud didengar orang, ya memang mereka boleh berbicara dalam hal yang dibutuhkan, namun dalam perkataannya itu wajib jangan mengandung unsur kelembutan, sendu, dan pada gaya bicaranya janganlah mengandung kehalusan, dan rasa memikat, semua batasan dan aturan ini – bila diperhatikan oleh wanita – mereka boleh keluar untuk kebutuhan-kebutuhannya.
·         Fadhilatusy Syaikh Husnain Muhammad Makhluf Mufti Negri Mesir yang lalu mengatakan : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” yaitu diamlah di rumah, maka janganlah keluar tanpa ada kebutuhan syar’iyyah, dan sebagaimana halnya mereka (isteri-isteri Nabi) adalah para wanita kaum mu’minin lainnya.
·         Beliau berkata lagi : Dan diantara  yang membolehkan mereka untuk keluar adalah : Melaksanakan ibadah haji, shalat di mesjid, menziarahi kedua orang tua, menjenguk orang yang sakit, dan berta’ziah kepada kerabat, serta berobat, dan hal lainnya dengan tentunya menjaga syarat-syaratnya yang diantaranya menutupi diri dan tidak bersolek.[198]
·         Al ‘Allamah Asy Syaikh Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata : Dalam ayat-ayat ini Allah melarang isteri-isteri Nabi Al Karim Ummahatul Mu’minin yang merupakan wanita yang paling baik serta paling suci dari melakukan khudlu’ dengan perkataan kepada laki-laki, dan khudlu’ itu adalah menghaluskan dan melembutkan perkataan, supaya mereka tidak dihasrati oleh orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan syahwat zina dan dia mengira bahwa mereka mengiakan keinginannya, dan Dia memerintahkan mereka agar tetap berada di dalam rumahnya, serta melarangnya dari melakukan tabrruj ala jahiliyyah, yaitu menampakan perhiasan dan kecantikan seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan perhiasan lainnya karena hal itu mendatangkan kerusakan yang sangat besar dan fitnah yang tiada terkira serta membangkitkan selera syahwat laki-laki untuk melakukan jalan menuju perzinahan. Dan bila Allah U menghati-hatikan Ummahatul Mu’minin dari hal-hal yang mungkar ini padahal mereka adalah wanita yang paling baik, paling beriman, dan paling cuci, maka wanita-wanita yang lainnya lebih utama sekali untuk mendapatkan peringatan, pengingkaran, dan kehawatiran dari terjerumus ke dalam sebab-sebab fitnah, semoga Allah U menjaga kami dan anda sekalian dari fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan bukti keumuman hukum itu bagi isteri-isteri Rasul r dan wanita lainnya adalah firman-Nya U dalam ayat ini,” dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya,” karena sesungguhnya perintah-perintah ini adalah umum buat isteri-isteri Nabi U dan wanita lainnya.[199]
·         Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iri hafidhahullah berkata : Dalam ayat yang mulia ini mengandung banyak dalil yang agung yang menekankan hukum hijab, dan menetapkannya, dan itu sebagai berikut :
·         Wanita mu’minah dilarang menghaluskan dan melembutkan suaranya bila berbicara dengan laki-laki yang bukan mahram dengannya.
·         Perkiraan adanya penyakit syahwat dalam hati sebagian orang yang beriman, dan ini merupakan illat (alasan hukum) dilarangnya wanita dari melembutkan dan menghaluskan suaranya bila berbicara.
·         Wajibnya membatasi ungkapan dan pembicaraan sekedar kebutuhan saja, yaitu wanita tidak melebihi pembicaraan bila berbicara dengan laki-laki yang bukan mahram dari batas ukuran paham, tidak boleh memperpanjang dan mengatakan hal yang tidak ada kaitannya, namun kata-katanya wajib dibatasi pada batas kebutuhan saja.
·         Diamnya wanita di dalam rumahnya, dan rumah merupakan tempat dia beraktifitas sesuai tabi’atnya, tidak boleh keluar kecuali karena kebutuhan yang mendesak, sebab rumah merupakan tempat pendidikan anak-anaknya, tempat melayani suaminya, dan beribadah kepada Rabbnya, serta zakat, dzikir kepada Allah U dan hal-ahal yang bisa mendekatkan kepada-Nya.
·         Haramnya bertabarruj, yaitu keluarnya wanita muslimah dari rumahnya dengan membuka wajahnya, juga menampakan kecantikannya tanpa ada perasaan kaku dan malu.

Sesungguhnya kelima dilalah pada  ayat ini dalam mengkhithabi Ummahatul Mu’minin radliyallahu anhunna, masing-masing dari yang lima itu menunjukan dengan fahwa (mafhum)nya atas kewajiban berhijab dan wajibnya atas wanita, hanyasannya para mubthilin (penyeru sufur) tidak berpendapat seperti itu, mereka mengatakan tentang ayat ini dan ayat sesudahnya : Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi r, dan ini khusus bagi mereka saja, serta tidak ada hubungan sama sekali dengan isteri-isteri, dan puteri-puteri kaum mu’minin,”. Dan ini adalah pendapat yang aneh dan mengundang ketawa…..
Kedua ayat ini perumpamaannya sama dengan ayat sumpahnya Allah U kepada Rasul-Nya r bahwa  seandainya beliau berbuat syirik tentu amalannya semua hapus, dan menjadi golongan orang-orang yang merugi dalam ayat surat Az Zumar, padahal sudah pada ma’lum bahwa Rasulullah r adalah ma’shum tidak mungkin bersumber darinya perbuatan syirik dan dosa lainnya, namun pembicaraan ini tidak lain termasuk dalam kategori,” kamu yang saya maksud, dan dengarkanlah wahai tetangga,” oleh sebab itu bila Rasulullah r yang begitu mulia dan agungnya melakukan syrik tentu amalannya hapus dan termasuk orang yang merugi, maka orang lain lebih utama, sebagaimana bahwa hijab seandainya diwajibkan atas isteri-isteri Nabi r sedang mereka adalah Ummahatul Mu’minin maka wanita yang lainnya lebih utama. Dan tampaknya bahwa sesungguhnya hijab itu bertentangan dengan kebiasaan orang arab pada zaman jahiliyyahnya, dan tidak tidak disyari’atkan tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, karena tidak mungkin dengan cara bertahap, maka tatkala disyari’atkan sekaligus itu menjadi hal yang sangat besar, maka Allah U memulainya dalam hal ini dengan   isteri-isteri Rasulullah r supaya tidak dikatakan- dan sungguh banyak yang mengatakannnya waktu itu sedang kota Madinah penuh dengan kenifakan dan orang-orang munafiq- : Lihatlah (Muhammad) dia mengharuskan isteri-isteri orang untuk tinggal di rumah dan berhijab, sementara Dia membiarkan isteri-isteri dan putri-putrinya pulang pergi mondar mandir bersenang-senang dengan kehidupan…..dan kata-kata lain yang biasa dikatakan oleh orang yang berpenyakit di dalam hatinya di setiap zaman dan tempat. Maka tatkala Allah U mengharuskannya kepada isteri-isteri Rasul-Nya r maka tidak ada peluang bagi wanita yang beriman kepada Allah U dan hari akhir untuk untuk sufur tidak mencontoh isteri-isteri Rasulullah r, sedang sufur itu tidak nampak pada isteri-isteri dan puteri-puterinya, dan inilah yang dikenal dikalangan ulama Ahli Ushul dengan nama qiyas jaliyy dan qiyas aula seperti haramnya memukul kedua orang tua dengan diqiyaskan pada mengucapkan ,”ah,” dalam firman-Nya U ,”Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya,”ah,” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkan lah kepada keduanya perkataan yang mulia,”.[200]

·         Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Sungguh Allah U telah mengiring taujih ini dengan taqwa, karena tidak ada yang komitmen dengan sifat-sifat yang terpuji ini kecuali orang-orang yang takut akan Allah U  dan bertaqwa kepada-Nya dari kalangan wanita, konteks ayat ini dituturkan kepada isteri-isteri Nab ir, namun apakah ada seorang  muslim yang mengatakan : Bahwa hukum ini khusus bagi isteri-isteri Nabi rsaja ? Dan bahwa wanita lain boleh melanggarnya ? ini perkataan yang tidak ada seorangpun  mengatakannya, dan (sesungguhnya) hukum itu patokannya adalah pada keumuman lafadz tidak pada khususnya sebab.
Dan semua ini nampak, karena ini semuanya  adalah hukum-hukum, etika-etika dan taujih-taujih dari Allah U kepada wanita muslimah agar selalu menjaga kehormatannya dan kesuciannya, dan untuk memutus segala sarana yang bisa mendekatkan kepada fitnah dan kejahatan, dan ini merupakan jalan orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir.
Dan adapun isteri-isteri Nabi r maka kandungan ayat adalah mengkhithabi mereka sebagai penghormatan dan pengagungan derajat mereka, padahal suatu hal yang jauh sekali timbulnya fitnah dari mereka dan para sahabat, karena kemulian dan keagungan mereka tidak sama seperti wanita lainnya, bukan dengan apa yang bisa menimbulkan fitnah dan kejahatan dari akibat badan dan kecantikan wanita, maka tidak ragu lagi bahwa mereka dengan wanita kaum muslimat dan mu’minat itu sama (dalam hal fitnah yang ditimbulkan oleh badan,pent), karena semuanya satu karakter yaitu tidak ma’shum, kami katakan semuanya satu karakter yaitu tidak ma’shum, karena tidak ada yang ma’shum seorang pun setelah Muhammad r, hanyasannya mereka itu adalah wanita yang paling bertaqwa, sebab mereka adalah isteri-isteri Rasulullah r, dan Allah telah menyatakan bahwa mereka itu adalah wanita-wanita thayyibat, dan mereka itu dibersihkan dari tuduhan perbuatan nista, semoga ridla Allah r, rahmat-Nya dan barakah-Nya r dilimpahkan kepada isteri-isteri beliau, puteri-puterinya, dan wanita muslimat dan mu’minat yang mengikuti mereka.[201]
·         Doktor As Sayyid Muhammad Ali An Namir  berkata : ( Dan untuk tujuan tertentu Allah menyandarkan rumah kepada wanita, dikarenakan wanita itu banyak tinggal di rumah, Allah r berfirman,”dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,”  padahal rumah itu milik suami, namun rumah itu disandarkan kepada wanita dikarenakan dia melakukan peran begitu besar di dalamnya)[202]
Wahai saudari yang mengulurkan purdah
Di lembah dan di tempat tinggi
Berbahagialah –aku tebusanmu- karena
Sengatan panas tindak menyakitimu
Dan tinggalkan kecenderungan kepada sufur
Dan peringanlah gangguan orang banyak
Harimau bila tetap di sarangnya
Siapa yang mengharapkan harimau ?
Sedangkan burung banyak terkena perangkap
para pemburu karena meninggalkan sarangnya.[203] [204]

Dalil Keempat

Untuk buku selengkapnya silahkan buka atau download di link berikut Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar