Jumat, 20 April 2012

Kesaksian tentang Perahu Nabi Nuh

Kesaksian tentang Perahu Nabi Nuh
(Erabaru.or.id) - Sudah cukup banyak orang atau tim ekspedisi yang menemukan “Perahu Nabi Nuh” di puncak gunung Ararat. Ada yang didokumentasi, ada yang tidak. Berikut adalah cerita beberapa di antara mereka:
Ed Davis
Ed Davis, adalah seorang sarjana sekaligus tentara berkebangsaan Amerika yang menetap di utara Iran, pada 1943. Ketika mendaki puncak gunung Ararat, seorang berbangsa Qurdish yang menjadi pemandu pasukannya berkata, “Ya, di situlah kampung halaman dan tempat di mana orang tua saya tinggal. Di mana di puncaknya terdapat ‘Perahu Nuh’. Dan paman saya tahu di mana letaknya perahu itu.” Davis terkejut dan berkata, “Benar? Bisa saya diantar ke sana?” Pemandu itu berjanji akan mengenalkan dengan pamannya.
Suatu hari, pemandu itu membawa pamannya menemui Davis dan mengenalkan, namanya Abbas. “Pada masa ini, ‘Perahu Nuh’ masih tidak kelihatan. Dan apabila tiba saatnya nanti saya akan datang menjemput Anda,” kata Abbas. Beberapa bulan kemudian Abbas datang menjemput saya, “Kita boleh pergi sekarang....” Davis tidak buang waktu dan inilah saat yang paling ditunggu.
Mereka berdelapan mulai mendaki Ararat. Saat rombongan mendaki ke atas, mereka berhenti sejenak di telaga Perigi Ya’kub untuk berdoa. Selanjutnya mendaki agak jauh melalui jalan pintas agar perjalanan kami menjadi lebih cepat. Setelah beberapa hari mendaki, Abbas menyuruh kami semua agar saling mengikatkan tali antara satu dengan yang lain. Mereka mempunyai peralatan mendaki yang baik dan sesuai. Entah dari mana mereka semua mendapatkan alat itu. Kami tidur di dalam gua yang terdapat lukisan-lukisan purba.
Akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Pertama kali melihat “Perahu Nuh”, seolah-olah bagai sebongkah batu biru yang sangat besar. Semakin dekat barulah bentuknya semakin jelas. “Saya melihat bagian ujung bahtera itu sudah berlubang pecah mungkin bekas dikapak orang. Saya sungguh kagum dan sedikit kecewa karena tidak dapat menghampirinya. Hanya Tuhan saja yang tahu betapa ingin saya menyentuh dan berjalan-jalan di atasnya.” Abbas menerangkan bahwa perahu itu mempunyai kutukan. Ada sebagian orang yang telah terserang jantung dan mati di dalamnya.
Penjaga mengatakan mengenai “Perahu Nuh”, bahwa sejak turun temurun, Abbas tidak suka jika ada orang atau bangsa asing naik ke gunung itu untuk mencari atau meneliti “Perahu Nuh”. Dia bilang setiap orang yang naik ingin mengambil dan memecahkan bagian perahu untuk dibawa pulang. Sedangkan orang-orang Qurdish ini tidak mau perahu itu diotak-atik.
Sebenarnya sebagian dari barang-barang antik muatan “Perahu Nuh” telah diambil oleh nenek moyang Abbas sejak dulu. Saya sendiri melihat beberapa barang antik di rumahnya, seperti mangkuk besar setinggi 2 kaki setengah, tembikar, pinggan yang terbuat dari kulit kerang, piring pelita dan sebagainya. Mereka hanya mengizinkan Davis melihat saja. Abbas juga menerangkan, bahwa nenek moyangnya telah menemukan madu di dalam botol sewaktu ekspedisi bersama ilmuwan Turki. Dan sekarang madu itu telah dikirim ke Switzerland dan dinyatakan sebagai madu asli.

Ed Davis dan Ahmet Ali Arslan
Ahmet Ali Arslan
Ahmed Ali Arslan adalah pemimpin redaksi, koran Ahkbar, media berbahasa Turki di Washington DC. Ia pernah bekerja sebagai penyiar di stasiun radio Suara Amerika (VOA). Beliau juga seorang penasihat dan peneliti di Institut Sains dan International Technology Washington DC. “Keluarga saya berasal dari Aralik yang terletak di kaki gunung Ararat. Di situlah saya dibesarkan. Semenjak kecil saya telah naik ke gunung itu, mungkin sudah lebih dari 50 kali termasuk ekspedisi Navarra.”
Dia pernah mendampingi rombongan ekspedisi ilmuwan tahun 1989 untuk mencari kawasan jurang yang dikenal sebagai lembah Ahora di pinggir gunung itu. Lembah Ahora ini adalah satu lembah yang sangat curam dan bahaya. Oleh karena dia seorang warga negara Turki maka diberikan wewenang membuat strategi ke bagian-bagian tertentu di gunung Ararat, yang dikenal oleh satelit sebagai kawasan yang mungkin merupakan kawasan “Perahu Nuh”.
Sewaktu dia dekat dengan kawasan itu, lapisan es yang dipijaknya mulai bergerak dan ia tergelincir sejauh berpuluh-puluh kaki ke bawah jurang. Untunglah dia tidak terjatuh ke dalam lubang jurang. “Saat saya berdiri, di hadapan saya kira-kira 2.100 kaki, terlihat satu struktur bangunan yang terbuat dari kayu. Kira-kira beberapa ribu kaki dari puncak gunung. Cepat-cepat saya mengambil gambar. Saya yakin itulah ‘The Great Noah Ark’ yang menjadi pembicaraan banyak orang.”

Ronald Bennet
Ronald Bennet
Mr. Ronald Bennet adalah bekas wartawan dan juru foto Gedung Putih, tinggal di sebuah pelabuhan La Jolla, California US. Saat Presiden AS Jimmy Carter melawat ke Teheran, Iran dengan pesawat Air Force One, Ronald Bennet ikut dalam rombongan tersebut Rombongan bertolak dari Washington DC menuju Warsawa, Polandia pada 29 Desember 1977 dan kemudian ke Teheran pada 31 Desember 1977. Dalam perjalanan melintasi gunung Ararat, ia melihat sesuatu yang aneh.
“Saat peristiwa terjadi, kami dalam perjalanan dari Polandia menuju Teheran. Saat terbang di utara Turki, kami diminta memandang ke jendela. Pada saat yang bersamaan ada beberapa pesawat MIG Fulcrum USSR sedang mengiringi Air Force One yang kami tumpangi. Dari jendela tampak dengan jelas sebuah kotak panjang seperti perahu yang besar dan sebagian tertutup es."
Edward Behling
Tahun 1973 Edward Behling dari Amerika bergabung dengan tentara Angkatan Udara AS yang ditugaskan mengawal dan memberi perlindungan semasa kamp pembinaan tentara di Diaberker, sebelah tenggara gunung Ararat. Ia mempunyai kawan dari tentara Turki keturunan Qurdish yang bernama Mustafa. Behling dan Mustafa telah mendaki puncak Ararat pada bulan Mei 1973. Sebenarnya Mustafa sendiri pun sebelumnya tidak pernah melihat langsung “Perahu Nuh”. Dia berjanji membujuk pamannya yang juga bangsa Qurdish agar turut membawa dia melihat perahu tersebut. Meskipun awalnya keberatan, tapi akhirnya diantar juga asal tak membawa kamera.
Sang paman membawa mereka ke puncak Ararat. Behling merasakan seolah-olah sedang melalui sebuah lorong di celah-celah batu dan salju turun dengan amat lebat. Sang paman seolah-olah tahu dengan tepat semua jalan yang dilaluinya. Setelah beberapa lama berjalan menelusuri lorong batu dia merasa teramat letih dan berharap mereka akan berhenti untuk istirahat. Tiba-tiba Mustafa berpaling ke arah mereka dan menunjukkan sesuatu. Saya lihat di satu lembah 50 kaki ke bawah, terlihat sebuah benda hitam dan besar. Amat besar. Salju yang menutupi bagian atasnya telah mencair. Bagian depan perahu sudah pecah dan berlubang.
“Saya tidak melihat pintu satu pun. Dengan mata kepala sendiri, saya melihat benda sebesar itu terdampar di puncak gunung Ararat. Oleh karena kurangnya cahaya, lubang yang terdapat di perahu itu tidak terlihat dengan jelas. Perahu itu berwarna hitam. Tampak seperti satu kotak besar yang panjang. Saya hanya melihat 150-200 kaki saja, selebihnya badan perahu itu tertutup oleh salju. Saya lihat bagian ujung bahtera sudah dipecahkan. Ketebalan dinding kapal itu lebih kurang 18 inci.”
Paderi Kristian 
Paderi Kristian adalah seorang pastor Harold William dari Logansport, Indiana AS. Ada seorang kawannya, yakni seorang imigran Muslim yang berbangsa Armenia bernama Haji Yearam. Menurut ceritanya, ia tinggal di kaki gunung Ararat. Menurut sejarah, mereka adalah keturunan orang yang keluar dari “Perahu Nuh” dan tidak hijrah ke mana-mana. Keturunan Haji Yearam senantiasa tinggal di kaki gunung Ararat itu. Beberapa ratus tahun setelah “banjir besar”, anak cucu keturunannya mendaki puncak Ararat untuk memberi penghormatan dan melihat “Perahu Nuh”. Saat itu masih ada jalan menuju ke perahu itu dan entah bagaimana jalan itu telah hilang musnah dan tidak dapat dijumpai lagi hingga kini. Mungkin karena perubahan cuaca, gempa bumi, dan lain sebagainya.
Sewaktu H. Yearam masih kecil, ada beberapa orang asing datang ke rumahnya. Mereka ini adalah orang yang tidak percaya kitab suci. Mereka adalah ilmuwan, yang sedang dalam perjalanan melakukan ekspedisi untuk membuktikan bahwa cerita “The Great Noah Ark” itu hanya dongeng semata. Mereka kemudian mengupah Yearam untuk menjadi pemandu mendaki puncak Ararat. Waktu itu musim panas dan salju yang menutupi sebagian puncak Ararat telah mencair.
Setelah dengan susah payah mendaki, akhirnya mereka pun tiba di puncak. Dengan jelas “Perahu Nuh” terlihat. Seluruh bagian luar dan dalam perahu diselimuti syellek atau lacker serta bahan pengilat yang kuat dan tebal. Tidak terlihat adanya jendela, hanya terdapat sebuah pintu besar namun daun pintunya sudah tidak ada lagi. Para ilmuwan marah. Mereka mencoba meraih kayu bahtera tersebut, membuat api unggun dengan tujuan untuk membakar dan memusnahkan perahu tersebut. Anehnya dengan keadaan kekurangan peralatan segala usaha mereka sia-sia. Apalagi keadaan perahu itu sendiri keras seperti batu. Kayunya tidak bisa terbakar langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar