Jumat, 20 April 2012

SEJARAH 4 MAHZAB

SEJARAH 4 MAHZAB
November 22, 2007 | Category:Fiqh | Author: admin
Sebenarnya mazhab fiqih itu bukan hanya sebatas empat itu saja, tapi masih
banyak yang lainnya. Namun yang besar dan hingga hari ini masih eksis bisa
dikatakan memang keempat mazhab itu.
Sebenarnya setiap mazhab fiqih itu merupakan metode ilmiyah yang sangat
sistematis untuk bisa mensarikan hukum dari sekian banyak dalil baik dari
Al-Quran Al-Karim maupun sunnah yang berserakan. Ada sekian banyak kaidah
yang digunakan sesuai dengan nalar dan pemahaman para peletak dasar dari
setiap mazhab.

Hebatnya, masing-masing mazhab itu memang sangat kuat dalam berhujjah dan
tidak bisa dinafikan begitu saja kekuatan hujjah itu. Terkadang antara satu
mazhab dengan lainnya sering kita dapati perbedaan dan tapi tidak jarang
juga ada banyak persamaan dalam hasil akhirnya.
Semua itu bisa dipahami karena memang masing-masing mazhab bisa saja
menggunakan sudut pandang dan standar logika yang bervariasi. Tapi semuanya
tetap bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiyah.
Sejarah Mazhab
Sesungguhnya bila dirunut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak
zaman shahabat Rasulullah SAW. Misalnya mahzab Aisyah ra, mazhab Ibnu Mas’ud
ra, mazhab Ibnu Umar. Masing-masing memiliki kaidah tersendiri dalam
memahami nash Al-Quran Al-Karim dan sunnah, sehinga terkadang pendapat Ibnu
Umar tidak selalu sejalan dengan pendapat Ibnu Mas’ud atau Ibnu Abbas. Tapi
semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena masing-masing sudah melakukan
ijtihad.
Di masa tabi’in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh
orang yaitu Said bin Musayyib, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad,
Kharijah bin Zaid, Ibnu Hisyam, Sulaiman bin Yasan dan Ubaidillah. Termasuk
juga Nafi’ maula Abdullah bin Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-Qamah
bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru Al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan di kota
Bashrah ada Al-Hasan Al-Bashri.
Sejarah Empat Mazhab
Namun dari sekian banyak mazhab yang pernah ada, kira empat mazhab inilah
yang hingga hari ini tetap eksis karena mereka memang memiliki pengikut yang
besar dilengkapi dengan literatur yang banyak dan lengkap pada setiap zaman.
Secara singkat inilah diskripsi masing-masingnya :
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Dasar mazhab ini sebagaimana yang diletakkan oleh pendirinya, Al-Hanafiyah
(80-150 H) adalah Al-Quran Al-Karim, Sunnah Nabawiyah dan ijtihad dalam
pengertian yang luas. Diantaranya adalah qiyas, istihsan dan sebagainya.
Artinya jika nash Al-Quran Al-Karim dan sunnah secara jelas menyebutkan
suatu hukum, maka hukum itu disebut ‘diambil dari Al-Quran Al-Karim dan
sunnah’. Tetapi bila nash tadi hanya menyebutkan secara tidak langsung atau
hanya menyebutkan kaidah dasar berupa tujuan moral, ‘illat dan lain
sebagainya, maka pengambilan hukum tersebut disebut melalui qiyas.
Abu Hanifah terkenal sangat ketat dalam menerima hadits ahad. Apabila hadits
ahad itu kurang syaratnya, beliau cenderung menggunakan ijtihad. Dan tidak
seperti yang lain, beliau sering mengaitkan antara suatu nash dengan ‘illat,
hikmah, tujuan moral dan bentuk kemaslahatan lainnya yang dipahami beliau.
Secara faktual, pemikiran Al-Hanafiyah ini sangat mendalam dan rasional
2. Al-Malikiyah
Mazhab ini didirikan oleh Al-Imam Malik bin Anas bin Malik bin Amir
al-Asbahi (93 H - 179 H). dengan berdasarkan kepada Al-Quran Al-Karim,
sunnah, qiyas, Ijma` shahabi, tradisi orang Madinah, qaul shahabi, istihsan,
istishab, ‘urf, sadd azzarai’, muro’atul khilaf, mashlahah mursalah, dan
syar’u man qablana. Jadi acuannya adalah acuan kalangan ahli hadits yang
muncul di Hijaz.
Penggunaan qiyas jarang sekali dilakukan karena sebagai penduduk dan imam di
Madinah, beliau lebih banyak merujuk kepada perbuatan orang-orang Madinah
sebagai tempat awal mula syariat Islam di tegakkan. Sedangkan ratio dengan
menggunakan qiyas sangat jarang dilakukannya dan pernah beliau mengungkapkan
bahwa selama 10 tahun tidak pernah melakukan qiyas.
Salah satu yang dominan dari mazhab Malik ini adalah rujukan beliau kepada
praktek yang dilakukan penduduk Madinah yang bisa dikatakan sebagai sunnah
yang mutawatirah karena diriwayatkan secara massal dari generasi ke generasi
sehingga tertutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dari praktek
Rasulullah SAW. Namun kekurangannya adalah kalau terjadi perkembangan
fenomena sosial yang dahulu di masa Rasulullah SAW belum pernah terjadi.
3. Asy-Syafi’iyah
Mazhab ini didirikan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i yang nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Muhammad bin Idris (150 H-204 H).
Dasar-dasar dari mazhab beliau adalah merupakan perpaduan antara kekuatan
ijtihad ratio gaya Al-Hanafiyah dengan keaslian riwayat gaya Al-Malikiyah.
Dan Al-Imam Asy-Syafi’i memang murid langsung dari Al-Imam Malik di Madinah
setelah sebelumnya beliau bermukim di Iraq, di negeri pusat mazhab
Al-Hanafiyah.
Perpaduan dasar mazhab inilah yang membuat mazhab ini menjadi isitimewa,
seolah-olah merupakan perpaduan atau penggabungan dari kekuatan dua mazhab
sekaligus. Beliau menggunakan metode ahli hadits dalam kehati-hatiannya
menyeleksi hadits dan pada saat yang sama mengembangkan pemikiran ahli ra’yi
dalam menggali tujuan-tujuan moral dan ‘illat di balikhukum yang tampak
(literal), misalnya dengan bentuk penggunaan teologi qiyas.
Dalam perkembangan selanjutnya, Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi beberapa
pendapatnya yang terangkum dalam qaul qadim (pendapat lama) ketika beliau
masih di Iraq dengan beberapa koreksi yang terhimpun dalam qaul jadid
(pendapat baru) ketika beliau pindah ke Mesir.
4. Al-Hanabilah
Mazhab ini didirikan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal yang lahir tahun 164 H di
Baghdad.
Dasar mazhabnya adalah [1] Nushush yang terdiri dari Al-Quran Al-Karim,
sunnah dan nash ijma’. [2] fatwa para shahabat, [3] Apabila terjadi
perbedaan, maka beliau memilih yang paling dekat dengan Al-Quran Al-Karim
dan sunnah, [4] hadits-hadits mursal dan dha’if, [5] qiyas, [6] istihsan,
[7] sadd az-zara-i’, [8] istishab, [9] ibtal al-ja’l, dan [10] almaslahah
almursalah.
Imam malik menganggap bahwa fatwa para shahabat merupakan bagian dari
sunnah.
Beliau hidup di zaman aliran qaidah mu’tazilah sedang berkuasa dan bahkan
beliau sempat mengalami penyiksaan pisik lantaran menolak memfatwakan bahwa
Al-Quran Al-Karim adalah makhluq sesuai dengan maunya kalangan mu’tazilah
itu.
Sikap Kita Terhadap Pendapat Mazhab Yang Beraneka Ragam
Para imam mazhab tidak pernah mewajibkan manusia untuk memegang satu mazhab
saja sebagai syarat dari kebenaran syariat Islam. Bahkan perkataan mereka
yang terkenal adalah bahwa “pendapatku ini benar namun boleh jadi mengandung
kesalahan dan pendapat orang lain salah namun boleh jadi mengandung
kebenaran”. Sehingga fanatisme mazhab tidak pernah diajarkan oleh para
pendiri mazhab itu sendiri.
Seseorang boleh menerima hasil ijtihad dari suatu mazhab bila dirasa olehnya
lebih mendekati kepada kebenaran. Namun apabila ada orang yang ingin secara
menyeluruh mengikuti sebuah mazhab saja, maka orang itu tidak boleh
disalahkan. Apalagi bila dia tidak memiliki kemampuan dalam berijtihad dan
melakukan istimbath hukum sendiri.
Tetapi sebaliknya, memaksakan orang agar hanya berpegang kepada satu mazhab
saja juga bukan hal yang bisa dibenarkan, terutama bila orang tersebut
memiliki kapasitas dan kemampuan dalam mengistinbat hukum dari
sumber-sumbernya.
Sedangkan sama sekali tidak mengindahkan pendapat dari mazhab-mazhab fiqih
atau yang dikenal dengan anti mazhab (allaa mazhabiyah) justru sulit
dilakukan, karena syarat untuk boleh melakukan ijtihad secara mutlak cukup
berat sehingga hampir mustahil dilakukan oleh sembarang orang. Dan apabila
ada seseorang yang dinyatakan mampu serta layak untuk melakukan ijtihad,
pada dasarnya dia sedang merintis sebuah mazhab juga yaitu mazhabnya
sendiri.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
From: http://nurulhuda.uns.ac.id/?p=13



Sejarah Singkat Ilmu Ushul Fiqh

October 31, 2007 | Category:Fiqh | Author: admin
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad:
  • Madrasah ahlir-ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.
  • Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
  • Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks.
  • Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:
  • Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad.
  • Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i lah orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas untuk memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-ra’yi. Beliau lahir di Ghaza, pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy - salah seorang ulama Mekkah - untuk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun - meskipun tidak berturut-turut - beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ra (80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i memiliki pengetahuan tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh:
  • Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
  • Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
  • Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di antaranya:
  1. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
  2. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
  3. Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-270 H).
  4. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H).
  5. Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-478 H).
  6. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).
  7. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
  8. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).
  9. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).
  10. Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
  11. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
  12. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).
  13. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi (wafat 694 H).
  14. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H).
  15. Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
  16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H).
  17. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar