Untuk buku lengkap silahkan download disini
على مقالات أبي عمير وأبي إسحاق في مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض
Sokongan dan Sanggahan Terhadap Makalah Abu
‘Umair dan Abu Ishaq tentang Masalah Puasa Sunnah
pada Hari Sabtu
Oleh :
Abu Salma bin Yusuf bin Burhan al-Atsari
الحمد لله الذي لا إله إلا هو له الحمد في الأولى والآخرة، وله الحكم وإليه ترجعون، والصلاة والسلام
على النبي الكريم الذي كان يستفتح صلاته بقوله: الله رب جبريل وميكائيل وإسرافيل فاطر السموات
والأرض اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك دي من تشاء إلى صراط مستقيم، وعلى آله
وأصحابه ومن سار على هداهم من أهل الحق والدين إلى يوم البعث والنشور .. وبعد،،
Segala puji hanyalah milik Alloh yang tiada sesembahan yang haq untuk
disembah melainkan hanya diri-Nya, Dia-lah pemilik segala pujian dari
permulaan hingga akhir dan Dialah pemilik keputusan (hukum) serta hanya
kepada-Nyalah segalanya akan berpulang. Kesejahteraan dan keselamatan
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi yang mulia, yang senantiasa
membuka sholatnya dengan sabdanya : (Wahai) Alloh Rabb-nya Jibril, Mika`il
dan Israfil, pengatur langit dan bumi, tunjukilah aku dari segala hal yang
diperselisihkan kepada petunjuk dengan izin-Mu, (karena) sesungguhnya
Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Kau kehendaki kepada jalan
yang lurus. (Kesejahteraan dan keselamatan juga senantiasa) tercurahkan
kepada keluarga beliau, para sahabat beliau dan siapa saja yang meniti di atas
petunjuk mereka dari para pengikut kebenaran dan agama, hingga hari
pembangkitan (kiamat)... wa ba’du :
Sesungguhnya, ketika saya melihat saudara-saudara saya para penuntut ilmu
yang giat dan bersemangat, yang mereka menyibukkan diri dengan ilmu yang
bermanfaat dan ‘amal sholih, mereka sibukkan diri dengan pembahasanpembahasan
ilmiah dan dirosah (studi) fiqhiyyah tafshiliyyah, maka hati saya
sangat bergembira ria melihat hal ini. Terutama, ketika saudara-saudara saya
para penuntut ilmu Bandung, salafiyyin ITB yang –masya Alloh-, diantara
mereka adalah saudara saya yang mulia Abu ‘Umair dan Abu Ishaq as-Sundawi
hafizhahumallahu wa nafa’allohu bihima.
Adapun orang yang saya sebut terakhir, yaitu al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq ‘Umar
Munawwir, saya pernah bertemu dengan beliau ketika Dauroh Syar’iyyah fi
Masa`il Aqodiyyah wa Manhajiyyah di Lawang beberapa tahun silam. Dalam hal
ini, saya tidak meragukan lagi kapasitas keilmuan beliau, apalagi beliau telah
diberi amanat oleh al-Ustadz al-Karim Abu Haidar hafizhahullahu untuk
menggantikan beliau di dalam beberapa ta’lim yang beliau berhalangan hadir,
termasuk menggantikan beliau tatkala beliau berhalangan hadir di Dauroh
Syar’iyyah yang mendatangkan masyaikh Syam beberapa waktu yang lalu.
Adapun al-Akh al-Fadhil Abu ‘Umair, saya sebenarnya belum pernah bertemu
beliau. Namun saya mengenal beliau melalui dunia maya ini. Melihat dari tulisan
dan maqoolaat (makalah-makalah) beliau, maka saya tidak ragu lagi
mengatakan bahwa beliau adalah tholibul ‘ilmi yang mutamakkin (mumpuni),
yang semangat di dalam muthola’ah (menelaah) dan muroja’ah (mereferensi).
Oleh karena itu, saya sangat menyetujui beberapa ulasan beliau yang sangat
ilmiah, kecuali pada sebagian kecil masalah, khususnya dalam masalah hukum
puasa sunnah pada hari Sabtu.
Masalah yang kita bicarakan dan fokuskan kini, adalah masalah hukum puasa
sunnah pada hari Sabtu. Masalah ini sebenarnya telah saya susun beberapa
tahun silam [tepatnya kurang lebih 2 tahun silam] dalam artikel yang berjudul
“Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”, dimana dalam artikel ini saya lebih
banyak merujuk kepada buku Syaikhuna ‘Abul Harits Ali Hasan al-Halabi
hafizhahullahu yang berjudul Zahru Roudhi fi Hukmi Shiyaami Yaumis Sabti fi
Ghoyril Fardhi yang menurunkan takhrij hadits Alu Busr [hadits keluarga Busr
yang menjelaskan larangan puasa sunnah hari Sabtu] ini secara lengkap dan
mengumpulkan thuruq (jalur-jalur periwayatan)-nya sehingga sampai pada
kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih dan maqbul tanpa
menyisakan syak (keraguan) sedikitpun.
Kemudian Syaikh Abul Harits juga menjelaskan fiqhul hadits dan membantah
beberapa syubuhat dan argumentasi lawan yang menyatakan kebolehan
berpuasa sunnah pada hari Sabtu dari sisi ushul fiqh. Bagi yang ingin
mengetahui secara lengkap argumentasi beliau, maka silakan rujuk buku asli
beliau langsung atau silakan baca artikel saya yang sebagian besar merujuk
kepada buku beliau tersebut di dalam blog ini.
Saya sangat menghargai sekali adanya perbedaan dalam masalah ini, karena
ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah yang mu’tabar dari semenjak ulama
mutaqoddimin hingga muta`akhkhirin. Namun, suatu hal yang tidak dipungkiri,
bahwa jumhur ulama baik mutaqoddimin maupun muta`akhkhirin lebih
merajihkan pendapat akan kebolehan berpuasa hari Sabtu apabila tidak infirad
(bersendirian) dan tanpa takhshish (pengkhususan) dan ta’zhim (pengagungan).
Namun, kita tidak berpegang kepada pendapat jumhur, yang kita pegang adalah
Al-Qur’an dan hadits Nabi yang shahih –akan saya turunkan pembahasannya
nanti masalah ini, insya Alloh-.
Sebelum membahas ke ta’qib (sanggahan) terhadap ulasan al-Akh Abu ‘Umair
dan Abu Ishaq, saya akan memberikan sedikit ta’yid (sokongan) saya terhadap
ulasan mereka dan menurunkan beberapa muqoddimah ilmiah yang berkaitan
di dalam masalah khilaf semacam ini.
Ta’yid saya dalam hal ini adalah, bahwa ternyata –Allohu ‘alam- dari yang
tampak dari ulasan al-Akh Abu ‘Umair dan Abu Ishaq, mereka berdua
bersepakat bahwa hadits Alu Busr ini adalah hadits yang berterima isnadnya
dan shahih secara sanad tanpa menyisakan keraguan. Namun, perbedaan kami
adalah dari sisi fiqhul hadits...
Dalam masalah perbedaan mengenai hukum puasa sunnah pada hari Sabtu ini,
setidaknya ada tiga pendapat –yang bisa saya klasifikasikan- berdasarkan
referensi dan buku bacaan yang saya miliki, dan pendapat saya ini insya Alloh
sama dengan apa yang dipaparkan oleh al-Akh Abu Ishaq dan Abu ‘Umair,
walau tampaknya Abu ‘Umair sedikit memberikan tambahan penjelasan Abu
Ishaq yang menurut saya sudah terkandung di dalam klasifikasi Abu Ishaq, yaitu
:
Pendapat Pertama : Boleh berpuasa sunnah pada hari Sabtu secara mutlak,
tanpa maksud ta’zhim dan takhshish. Jadi, apabila hari Sabtu jatuh kepada hari
dimana seseorang biasa melakukan puasa sunnah, misalnya seperti puasa
Dawud, puasa hari putih (tanggal 13,14,15 setiap bulan Qomariah) atau puasapuasa
sunnah lainnya, termasuk juga puasa (yang dilakukan secara) ‘spontan’
yaitu puasa yang dilangsungkan tanpa diniatkan pada malam harinya, dan
ketika melihat pada hari Sabtu itu tidak ada makanan –misalnya-, maka ia
berpuasa pada hari Sabtu itu. Maka menurut pendapat pertama ini, semuanya
ini dibolehkan. Namun apabila dilakukan dengan mengkhususkan hari Sabtu
untuk berpuasa –padahal pengkhususan butuh dalil- ataupun
mengagungkannya –yang juga butuh dalil-, maka semua ulama sepakat akan
ketidakbolehannya. Karena hal ini termasuk bid’ah dan muhdats.
Pendapat Kedua : Boleh berpuasa sunnah pada hari Sabtu secara tidak
bersendirian dengan diiringi berpuasa sehari sebelum atau setelahnya. Dalam
hal ini, para ulama ada dua pendapat, yaitu :
- Mensyaratkan mutlak harus diiringi sehari sebelum atau setelahnya. Apabila
jatuh pada hari Sabtu puasa sunnah seperti puasa ‘Asyura`, ‘Arofah, puasa
hari-hari putih, puasa Dawud, atau semisalnya, mereka mengharuskan
mengiringinya dengan sehari sebelum dan setelahnya dan apabila tidak,
maka hukumnya terlarang.
- Mensyaratkan harus diiringi sehari sebelum atau setelahnya namun
memperbolehkan berpuasa secara bersendirian apabila jatuh pada hari
Sabtu puasa sunnah seperti puasa ‘Asyura`, ‘Arofah, puasa hari-hari putih,
puasa Dawud, atau semisalnya. Pendapat ini sekilas tampak sama dengan
pendapat pertama di atas, namun bedanya adalah apabila tidak ada sebab
seperti jatuhnya puasa sunnah pada hari Sabtu, maka mereka yang
berpegang dengan pendapat ini mengharuskan puasa sunnahnya pada hari
Sabtu untuk menyertainya dengan puasa sehari atau sebelumnya. Adapun
pendapat pertama di atas, maka boleh ia berpuasa sunnah tanpa sebab
selama tanpa ada maksud takhshish dan ta’zhim walaupun tidak diiringi
dengan sehari setelah atau sebelumnya.
Pendapat Ketiga : Tidak boleh berpuasa sunnah secara mutlak pada hari
Sabtu, walaupun tanpa diiringi maksud takhshish, ta’zhim, atau diiringi dengan
sehari sebelum atau setelahnya, dan walaupun jatuh pada hari Sabtu puasa
sunnah semisal puasa ‘Arofah, ‘Asyura`, hari-hari putih atau semisalnya.
Pendapat inilah yang diperpegangi oleh Imam al-Albani rahimahullahu dan
sebagian murid-murid beliau, yang menyebabkan kontroversi dan perdebatan
ilmiah yang panjang. Dan alhamdulillah, pendapat inilah yang sampai saat ini
penulis pegang karena hujjah yang penulis lihat –sampai saat ini- adalah yang
lebih kuat, sedangkan hujjah fihak lawan yang menyelisihi belum dapat
memuaskan penulis untuk meninggalkan pendapat ini.
Namun, bagaimanapun juga, masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah
ilmiyah yang seharusnya disikapi dengan sikap lapang dada dan besar hati,
tanpa ada sikap saling mencela, mendiskreditkan dan bahkan sampai menvonis
sesat atau bid’ah fihak yang berlawanan. Namun, ini juga bukan artinya semua
pendapat di atas adalah benar, ini artinya adalah tiap muslim dapat belajar
menelaah dan menganalisa pendapat yang benar menurut kadar kemampuan
dan pemahamannya.
Dalam masalah ini, sikap saling mengingkari dengan adab dan akhlaq ilmiyah
adalah yang dituju, bukannya malah bersikap stagnan pasrah dengan dalih ini
masalah khilafiyah lantas tidak ada upaya tarjih dan muthola’ah, ataupun sikap
keras fanatik menyalahkah fihak lawan dengan tuduhan-tuduhan keji dan
semangat fanatisme.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila saya turunkan beberapa kaidah
ilmiah di dalam mensikapi perbedaan atau perselisihan di antara sesama ahli
sunnah, apalagi perbedaan dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah.
Kaidah Pertama :
Kewajiban utama seorang muslim tatkala berselisih adalah mengembalikan
kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan ijma’ Shohabat. Adapun selain ketiga
ini adalah tidak ma’shum, bisa diterima dan bisa ditolak.
Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر
“Apabila kalian sedang berselisih tentang suatu apapun, maka kembalikanlah
perselisihan tersebut kepada Alloh [yaitu kepada Kitabullah] dan kepada
Rasulullah [yaitu kepada Sunnah beliau setelah beliau wafat] apabila kalian
benar-benar beriman kepada Alloh dan hari Akhir. (an-Nisa’ : 59).
Kaidah Kedua :
Tidak boleh bagi seorangpun keluar dari dilalah (penunjukan) yang qoth’i (pasti)
dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dan ijma’ ummat yang telah diketahui secara
yakin. Dilalah yang zhanni (tidak pasti) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah harus
dikembalikan kepada yang qath’i, dan yang mutasyabih (samar) dikembalikan
kepada yang muhkam (jelas).
Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب، وأخر متشاات فأما الذين في
قلوم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في
العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يتذكر إلا أولو الألباب
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS
Ali Imran : 7)
Kaidah Ketiga :
Perlu adanya sikap saling mengingkari dan meluruskan walaupun di dalam
masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, tanpa disertai dengan tajrih, tahdzir, tasyhir
atau bahkan sampai kepada tabdi’, tafsiq atau takfir. Karena kebenaran di sisi
Alloh itu adalah satu dan tak berbilang.
Syaikhul Islam kedua, Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullahu berkata :
((وقولهم "إن مسائل الخلاف لا إنكار فيها" ليس بصحيح؛ ...، وكيف يقول فقيه لا إنكار في المسائل
المختلف فيها والفقهاء من سائر الطوائف قد صرحوا بنقض حكم الحاكم إذا خالف كتابًا أو سنة وإن
كان قد وافق فيه بعض العلماء؟ وأما إذا لم يكن في المسألة سنة ولا إجماع وللاجتهاد فيها م ساغ لم
تنكر على م ن عمل ا مجتهدًا أو مقلدًا))
“Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada
pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih)
berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang banyak perselisihan di
dalamnya sedangkan para ahli fikih dari seluruh kelompok telah menunjukkan
dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim apabila menyelisihi
Kitabullah dan Sunnah walaupun keputusan tersebut selaras dengan pendapat
beberapa ulama? Adapun di dalam permasalahan itu tidak ada sunnah dan
ijma’ (yang menjelaskannya), maka diperbolehkan berijtihad di dalamnya dan
tidak diingkari orang yang mengamalkannya karena berijtihad ataupun
bertaklid.” ( I’lamul Muwaqqi’in, Juz III hal. 300)
Kaidah Keempat :
Terkadang perselisihan itu merupakan suatu keluasan dan rahmat dari Alloh.
Selama perselisihan itu adalah perselisihan yang mu’tabar di kalangan salaf dan
kholaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyebutkan di dalam
Majmu’ Fatawa 30/79 bahwa ada seorang yang menulis buku tentang masalah
ikhtilaaf lantas Imam Ahmad berkata :
أن رج ً لا صنف كتابًا في الاختلاف فقال أحمد: لا تس مه كتاب الاختلاف، ولكن سمه كتاب السعة
“Jangan kau namakan buku itu dengan buku ikhtilaf, tapi namakan buku itu
dengan buku sa’ah/keluasan.”
Kaidah Kelima :
Wajib mengikuti kebenaran walaupun menyelisihi pendapatnya setelah tampak
bahwa pendapat yang menyelisihinya adalah yang benar. Karena yang wajib
untuk diikuti adalah kebenaran, bukannya pendapat atau madzhab individuindividu
yang tidak ma’shum setinggi apapun derajatnya.
Alloh Ta’ala berfirman :
والذي جاء بالصدق وصدق به أولئك هم المتقون
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zumar : 33)
[Disarikan dari al-Qowa’id adz-Dzahabiyah fi Adabil Khilaf, Adabul Khilaf dan ar-
Rudud as-Salafiyyah secara ringkas dan bebas].
Setelah kita mengetahui tentang kaidah-kaidah khilaf yang singkat di atas, kini
mari kita memasuki pembahasan utama artikel ini, yaitu ta’qib terhadap ulasan
al-Akh Abu ‘Umair dan Abu Ishaq tentang masalah hukum puasa sunnah pada
hari Sabtu.
Ada beberapa poin ta’qib yang akan saya turunkan, yaitu :
- Syaikh Al-Albani adalah orang pertama yang memahami kata an-nahyu di
dalam hadits Alu Busr adalah sebagai haram mutlak, atau dengan kata lain
beliau menyelisihi jumhur.
- Hadits Alu Busr adalah hadits yang syadz atau menyelisihi hadits-hadits
lainnya yang lebih shahih sehingga harus dijama’.
- Dakwaan bahwa pendapat yang menguatkan larangan mutlak puasa sunnah
pada hari Sabtu menelantarkan hadits-hadits shahih lainnya
Inilah kurang lebih 3 poin utama yang akan saya jawab, yang mungkin jawaban
saya ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga masih banyak peluang untuk
mengoreksi dan menta’qib jawaban saya ini. Mungkin juga 3 poin di atas yang
saya sebut tidak menjawab semua musykilat (problematika) tentang
perselisihan dan perbedaan masalah ini, sehingga apa yang saya paparkan ini
tidak bisa menjawab sepenuhnya argumentasi fihak “lawan”. Namun, semoga
yang sedikit ini bisa sedikit memberikan gambaran ilmiah tentang hujjah yang
diperpegangi oleh mereka yang berpendapat bahwa puasa sunnah hari Sabtu
adalah terlarang.
Ta’qib 1 : Syaikh Al-Albani adalah orang pertama yang
memahami kata an-nahyu di dalam hadits Alu Busr adalah
sebagai haram mutlak, atau dengan kata lain beliau menyelisihi
jumhur.
Abu Ishaq berkata : “Namun perlu dicatat, para ulama sedari dulu hingga
sekarang yang menerima keabsahan hadits ini semuanya sepakat memahami
makna an-nahyu (larangan) dalam hadits ini adalah karahah, yakni karahah
tanzih (sesuatu yang makruh dan sangat dianjurkan untuk ditinggalkan). Al-
Imam Al-Albani rahimahullah dengan melihat zhahir hadits tersebut berpendapat
bahwa makna an-nahyu (larangan) dalam hadits ini adalah haram. Pemahaman
ini tentu sejalan dengan kaidah bahwa hukum asal suatu larangan adalah
haram. Namun demikian hal ini tidak bisa berlaku manakala ada qarinah yang
memalingkan makna larangan tersebut dari zhahir/tekstualnya. Barangkali
Imam Al-Albani rahimahullah merupakan yang pertama (?) yang memahami annahyu
dalam hadits ini dengan makna haram.”
Dan ucapan ini tampaknya disetujui oleh Abu ‘Umair dalam artikelnya yang
berjudul Ta’qib : Artikel “Khulashoh Puasa Sunnah Hari Sabtu”
Tanggapan :
Ucapan Abu Ishaq di atas, tatkala beliau menyebutkan “semuanya sepakat
memahami makna an-nahyu (larangan)...” mengisyaratkan seakan-akan
memahami makna an-Nahyu sebagai kaharah adalah suatu ijma’ (kesepakatan)
dan tidak ada yang menyelisihinya melainkan Imam al-Albani. Demikianlah yang
tersirat dari ucapan Abu Ishaq.
Hal ini serupa dengan apa yang didakwakan oleh Yahya Isma’il Ied dalam Al-
Qoulu ats-Tsabt fi Hukmi Shiyami Yaumis Sabti (hal. 12) yang mendakwakan
ijma’ bolehnya berpuasa pada hari Sabtu kemudian beliau berkata :
ولا نعلم بين الأمة خلافا سابقا من قبل
“Kami tidak tahu adanya perselisihan terdahulu di antara ummat sebelumnya.”
Menanggapi ucapan ini, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi mengomentari : “Aku benarbenar
heran sekali (dengan klaim/ucapan) ini, dan aku teringat dengan apa
yang diucapkan oleh orang terdahulu :
و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar
Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk
Tidaklah tersamar bagi orang yang menelaah tulisan-tulisan dan buku-buku ahli
ilmu, bahwa masalah yang sekarang kita sedang membahasnya dan
mengupasnya adalah masalah khilafiyyah. Khilaf di dalamnya adalah khilaf yang
telah dikenal, oleh karena itu tidak benar dakwaan bahwa orang yang
berpendapat dengan salah satu pendapat di dalamnya telah menyelisihi jama’ah
atau menentang ijma’, ataupun ucapan-ucapan semisal yang berangkat dari
sikap gegabah (tergesa-gesa) dan pembahasan yang minim.
Dan aku cukupkan untuk menetapkan adanya perselisihan di dalam masalah ini
dengan menukilkan tiga ucapan (ulama salaf), yaitu :
Pertama, Imam ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Ma’ani al-Atsaar (II/80)
setelah meriwayatkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu :
فذهب قوم إلى هذا الحديث, فكرهوا صوم يوم السبت تطوعا
“Para ulama berpendapat dengan hadits ini, dan mereka membenci berpuasa
tathawu’ (sunnah) pada hari Sabtu.”
Kedua, Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217) :
وأما الأيام المنهي عنها: فمنها أيضا متفق عليها منها مختلف فيها, أما المتفق عليها فيوم الفطر ويوم
الأضحى لثبوت النهي عن صيامها, وأما المختلف فيها فأيام التشريق ويوم الشك ويوم الجمعة ويوم
السبت والنصف الآخر من شعبان وصيام الدهر...
“Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang
masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri
dan Adhha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah
hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan
Sya’ban dan puasa Dahri…”
Beliau melanjutkan ucapannya (V/232),
وأما يوم السبت فالسبب في اختلافهم فيه: اختلافهم في تصحيح ما روي أنه عليه الصلاة والسلام, قال:
لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم...
“Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena
perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi
bahwasanya beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian”…”.
Ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha’ ash-Shirathal
Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan berpuasa pada
hari Sabtu :
وقد اختلف الأصحاب وسائر العلماء فيه
“Para sahabat dan seluruh ulama telah berselisih pendapat tentangnya.”
[Lihat Zahru Roudhi, hal. 7-10].
Saya berkata : Dakwaan al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq di atas kurang tepat.
Karena masalah ini adalah masalah ikhtilaf yang mu’tabar di kalangan umat
Islam baik salaf maupun kholaf. Ketiadaan atau kesulitan Abu Ishaq
menemukan salaf Imam al-Albani di dalam masalah ini bukanlah hujjah untuk
mendakwakan bahwa hal ini adalah ijma’. Apabila al-Akh Abu Ishaq
mengutarakan bahwa “mayoritas ulama (jumhur) memahami makna an-nahyu
(larangan) dalam hadits ini adalah karahah...” niscaya yang demikian lebih
selamat dan lebih benar, walaupun belum tentu lebih kuat dan lebih benar
dalilnya...
Ta’qib Ucapan Syaikh al-Utaibi
Adapun ulasan al-Akh Abu ‘Umair yang menukil dari artikel Syaikh Abu ‘Umar
Usamah ‘Athaya al-‘Utaibi yang berkata :
ومن كان عنده نقل عن عالم من القرون الثلاثة حرم صيام السبت في غير الفرض أو موافقة عادة أو يوم
استحب صومه أو بصيام يوم معه –قبله أو بعده- فليأت به مشكورًا
“Barangsiapa yang memiliki nukilan dari seorang ulama dari generasi tiga yang
utama, yang mengharamkan berpuasa pada hari Sabtu selain puasa wajib atau
puasa yang merupakan kebiasaannya atau hari yang disunnahkan berpuasa
padanya atau besertanya –sehari sebelum atau setelahnya-, maka harap
datangkanlah terima kasih.”
Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi hafizhahullahu juga berkata :
نعم نقلت الكراهة عن كثير من أهل العلم لكن إذا أفرد أو قصد تعظيمه، أما كراهة صومه مطلقًًا فلم
أقف عليه في كتب المتقدمين إلا في نقل الإمام الطحاوي -رحمه اللهُ- ، أما التحريم فلا أعلم من قال به.
465 ): "وأما / وقول شيخنا العلامة محمد بن صالح بن عثيمين - رحمه اللهُ - في الشرح الممتع ( 6
السبت؛ فقيل: إنه كالأربعاء والثلاثاء يباح، وقيل: إنه لا يجوز إلا في الفريضة، وقيل: إنه يجوز لكن
بدون إفراد."
فهذا القول من شيخنا لعله يريد به المعاصرين، أما من السابقين من أهل العلم فلم أقف على أحد نص
على عدم جواز صيام يوم السبت إذا قرن بغيره أو وافق عادة صيام.
“Iya, aku telah menukilkan karohah (berpuasa hari Sabtu) dari mayoritas ulama
namun apabila dilakukan secara bersendirian atau dengan maksud
pengagungan. Adapun karohah berpuasa pada hari Sabtu secara mutlak, aku
belum menemukannya di dalam buku-buku ulama terdahulu melainkan hanya
dari nukilan Imam ath-Thahawi rahimahullahu saja. Adapun pengharamannya
aku tidak mengetahui ada orang (salaf) yang berpendapat dengannya.
Mengenai ucapan Syaikh kami, al-‘Allamah Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin
rahimahullahu di dalam Syarhul Mumti’ (VI/456) : “Adapun (berpuasa sunnah
pada) hari Sabtu, ada yang berpendapat hari itu sama dengan hari Rabu atau
Selasa boleh hukumnya. Ada pula yang berpendapat tidak boleh hukumnya
kecuali puasa wajib saja, dan adapula yang berpendapat boleh namun secara
tidak bersendirian (diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya).
Ucapan ini dari syaikh kami mungkin yang beliau maksudkan adalah
(perselisihan) yang terjadi pada ulama kontemprer, adapun ulama terdahulu aku
belum menemukan adanya seorang ulama yang menashkan ketidakbolehan
berpuasa hari Sabtu apabila digandengkan dengan hari lainnya atau bertepatan
dengan puasa kebiasaannya.”
Demikianlah dakwaan Syaikh al-‘Utaibi dan pendapat ini sepertinya turut
diperpegangi oleh al-Akh Abu ‘Umair. Untuk menjawab hal ini, tampaknya
Syaikh Abu Mu’adz Ra`id Alu Thahir hafizhahullahu lebih layak untuk
menjawabnya. Berkata Syaikh Ra`id hafizhahullahu :
“Cukuplah Imam Thahawi sebagai pembawa nukilan dalam hal ini, dan beliau
telah dikenal akan kefaqihan dan pengetahuannya tentang ucapan-ucapan yang
mukhtalafin (saling berselisih) dan pembahasan ittifaq (konsensus) dan
khilafnya. Beliau rahimahullahu tidak menukilkan karohah berpuasa padanya
secara mutlak namun karohah berpuasa padanya dengan puasa tathowwu’
(sunnah). Hal ini berarti bahwa illat di dalam karohah hanya pada (puasa yang
bersifat) nafilah, sedangkan berpuasa pada hari Sabtu tidaklah disyariatkan
melainkan hanya puasa yang fardhu saja.
Adapun membawa makna karohah dari ucapan para imam salaf kepada makna
karohah tanzih bukan kepada makna haram adalah suatu kekeliruan, hal ini
telah diisyaratkan oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam I’lamul
Muwaqqi’in (I/39-43) dimana beliau berkata :
“Orang-orang kontemporer menafikan makna haram dari ucapan yang
dimutlakkan oleh para imam (salaf) dengan kata karohah, kemudian menjadi
mudah lafazh karohah atas mereka dan menjadi ringan maknanya atas mereka
sehingga sebagian mereka membawanya kepada pemahaman tanzih!!
Sebagian lainnya lagi lebih kelewatan lagi dengan memahami karohah sebagai
meninggalkan yang lebih utama. Hal seperti ini amat banyak sekali pada
penyelewengan mereka, hingga akhirnya muncullah dengan sebab ini
kekeliruan besar terhadap syariat dan terhadap para imam.”
Berkata Imam Ahmad tentang mengumpulkan dua orang wanita bersaudara
dalam satu akad : “akhrohuhu” (aku membencinya) dan beliau tidak berkata
Aqulu haramun (aku berpendapat haram hukumnya) karena madzhab beliau
ketika menyebutkan haram adalah dengan karahah dan beliau melakukan hal
ini sebagai bentuk waro’ (kehati-hatian) beliau dari memutlakkan lafazh haram.
Abul Qasim al-Khorqi berkata tentang nukilan dari Abi Abdillah (Imam Ahmad) :
Beliau yakrohu (benci) berwudhu’ dari wadah yang terbuat dari emas dan perak
dan madzhab beliau tidak memperbolehkan hal ini, kemudian beliau (Abul
Qasim) rahimahullahu menyebutkan contoh-contoh hal ini dari fikih imam yang
empat, kemudian beliau berkata :
وأطلق لفظ "الكراهة" لأنَّ الحرام يكرهه الله ورسوله، وقد قال تعالى عقيب ذكر ما حرمه من المحرمات
من عند قوله: وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه إلى قوله ولا تقل لهما أف ولا تنهرهما إلى قوله ولا
تقتلوا أولادكم خشية إملاق إلى قوله ولا تقربوا الزنا إلى قوله ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق
إلى قوله ولا تقربوا مال اليتيم إلى قوله ولا تقف ما ليس لك به علم إلى آخر الآيات ثم قال: "كل ذلك
كان سيئه عند ربك مكروهًا" وفي الصحيح: "إنَّ الله عز وجل كره لكم قيل وقال وكثرة السؤال
وإضاعة المال
Beliau memutlakkan lafazh karohah karena keharaman itu adalah apa yang
dibenci oleh Alloh dan Rasul-Nya. Alloh Ta’ala berfirman setelah menyebutkan
apa yang Ia haramkan dari perbuatan-perbuatan haram di dalam firman-Nya :
“Dan Tuhanmu memerintahkanmu supaya kamu jangan menyembah selain
Dia...” hingga firman-Nya : “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka...”
(QS Al-Isra’ : 23), firman-Nya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan…” (QS 17:31), firman-Nya : “Dan janganlah kamu
mendekati zina…” (QS 17:32), firman-Nya : “Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)
yang benar...” (QS 17:33), firman-Nya : “Dan janganlah kamu mendekati harta
anak yatim…” (QS 17:34), firman-Nya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…”(QS 17:36) hingga
akhir ayat, kemudian hingga firman_nya : “Semua itu kejahatannya amat dibenci
(makruuh) di sisi Tuhanmu” (QS 17:38). Di dalam Ash-Shahih Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla
membenci kalian (karoha lakum) desas-desus (qiila wa qoola), banyak bertanya
dan membuang-buang harta (boros).
Kaum salaf, mereka menggunakan kata karohah pada makna yang digunakan
oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu bermakna haram. Adapun kaum
muta`akhkhirin (kontemporer), mereka mengistilahkan karohah dengan
pengkhususan yang bukan termasuk keharaman atau kepada makna
meninggalkan lebih baik daripada melaksanakan, kemudian mereka bawa
ucapan para imam kepada istilah yang baru ini sehingga akhirnya mereka keliru
di dalam masalah ini. Yang lebih parah lagi kesalahanannya adalah mereka
yang membawa lafazh karohah atau la yanbaghi yang terdapat di dalam
Kalamullah atau Sunnah Rasulillah kepada makna istilahi baru ini...
[selesai ucapan Syaikh Alu Thohir dengan sedikit diringkas].
Saya berkata : Sungguh benar Syaikh Ro`id Alu Thohir hafizhahullahu, bahwa
atas indikasi apa mereka membawa ucapan para imam, terlebih lagi sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah jelas-jelas menunjukkan akan
larangannya kepada karohah tanzih?!!
Adapun nukilan Abu ‘Umair tentang para muhadditsin semisal Imam Nawawi,
Imam Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu As-Sakan yang
menshahihkan hadits Alu Busr namun memahaminya bahwa makna nahyu di
dalam hadits tersebut adalah karohah bukan haram, juga tidak menjadi hujjah
bahwa hal ini adalah ijma’ ulama. Bahkan yang menukil pendapat mereka ini
seharusnya menjelaskan, alasan apakah para ulama ini mentakwil makna
nahyu dalam hadits Busr ini sebagai karohah? Indikasi apakah yang mereka
gunakan untuk memalingkan hukum asal larangan adalah haram? Atau
benarkan para imam di atas memaksudkan kata karohah adalah sebagai
karohah tanzih bukan tahrim?!! Apa argumentasi anda atas hal ini?!! Padahal
telah jelas bahwa para imam salaf menggunakan kata karohah dengan maksud
keharaman, sebagaimana nukilan di atas.
Baiklah sekarang mari kita kupas hadits Alu Busr yang melarang berpuasa
sunnah hari Sabtu ini...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا فِي ما اْفتر ض اللَّه عَلي ُ ك م َفإِ ْ ن َل م يجِ د َأح د ُ ك م إِلَّا لِ حاءَ عِنبةٍ َأ و عود ش جرةٍ
َفْلي م ض غه))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan
atas kalian, jika kalian tidak mendapatkan apapun kecuali hanya kulit pohon
anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah.” [Hadits shahih, lihat pengumpulan
jalur-jalur periwayatannya oleh al-Muhaddits Syaikh ’Ali Hasan Al-Halabi dalam
Zahru Roudhi, atau di dalam artikel saya ”Kontroversi Puasa Sunnah Hari
Sabtu”]
Ada dua syarat di dalam beristidlal dengan hadits Nabi, yaitu :
1) Shihatud Dalil, yaitu selamatnya hadits dari ilal (penyakit-penyakit) yang
dapat menjadikannya dha’if.
2) Shihatul Istidlal, yaitu tidak bisa dibawa kepada yang bukan maksudnya.
Bagaimanakah dengan keadaan hadits Alu Busr di atas? Apakah memiliki dua
syarat di atas? Mari kita telaah bersama-sama :
Dari Sisi Shihatud Dalil :
Mereka yang memperbolehkan mutlak puasa sunnah hari Sabtu, menyebutkan
bahwa hadits Alu Busr tidak selamat dari cacat yang dapat mendha’ifkannya,
yaitu :
1. Haditsnya kidzbun (dusta). Ucapan ini disandarkan kepada Imam Malik.
2. Haditsnya mudhtarib (goncang, kacau), sebagaimana dikatakan oleh
Imam an-Nasa`iy juga dipegang oleh Lajnah ad-Da`imah yang menilai
hadits ini mudhtarib.
3. Haditsnya Syadz (ganjil), sebagaimana pendapat Syaikhul Islam bin
Taimiyah dan Faqihuz Zaman Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin.
4. Haditsnya Mansukh (dihapus hukumnya) sebagaimana dikatakan oleh
Imam Abu Dawud juga Syaikhul Islam.
Seluruh penilaian ini telah dijawab oleh Muhadditsul Ashr al-Imam al-Albani
rahimahullahu dan muridnya Syaikh ‘Ali Hasan dalam Zahru Roudhi, dan telah
saya nukil di dalam artikel saya sebelumnya “Kontroversi Puasa Sunnah Hari
Sabtu”, silakan dirujuk...
Kesimpulan : Hadits Alu Busr di atas shahih isnadnya dan matannya, tidak ada
illat yang dapat menjatuhkan derajatnya dari shahih. Bagi yang menyatakan
hadits ini lemah atau memiliki illat silakan menta’qib takhrij Syaikh Albani dan
Syaikh ‘Ali Hasan di sumber yang saya sebutkan.
Dari Sisi Shihatul Istidlal :
Mereka yang memperbolehkan puasa sunnah hari Sabtu berpendapat bahwa,
walaupun hadits Alu Busr shahih secara isnad namun belum tentu selamat dari
segi matannya. Karena secara zhahir akan berbenturan dengan hadits-hadits
lainnya yang shahih. Oleh karena itu, mereka menakwilkan zhahir hadits
sebagai berikut :
1. Boleh berpuasa pada hari Sabtu apabila diiringi dengan sehari sebelum atau
setelahnya (tidak infirod/bersendirian).
2. Boleh berpuasa pada hari Sabtu bersendirian apabila tanpa disertai dengan
takhshish (pengkhususan) ataupun qoshdu ta’zhim (dengan maksud
pengagungan).
Saya jawab : klaim di atas kurang tepat, karena menyelisihi zhahir hadits Alu
Busr dan membatalkan atau menggugurkan istitsna’ (pengecualian) pada hadits
Alu Busr di atas. Berikut ini adalah penjelasannya :
1. Lafazh Laa tashuumuu yawmas Sabti merupakan bentuk nahyu (larangan)
yang tegas. Di dalam kaidah ushul fiqh telah maklum dikatakan : Al-Ashlu fin
Nahyi an yadulla ‘alat tahriim (hukum asal di dalam larangan menunjukkan
keharamannya), wa qod yadullu an-Nahyu ‘alal karohah faqoth in iqtarona
bihi qoriinah tamna’u dilaalatahu ‘alat tahriim (terkadang larangan
menunjukkan kepada kemakruhan saja apabila disertai dengan indikasi yang
mencegah penunjukannya kepada keharaman), seperti misalnya hadits wa
iyyakum wal julusa fith thuruqot (jauhilah kalian duduk-duduk di jalanan),
kemudian Rasulullah mengizinkannya apabila memberikan kepada jalan
hak-haknya. Sekarang indikasi apakah yang mengharuskan memalingkan
kata laa tashuumuu yawmas sabti di atas kepada makna karohah tanzih
bukan tahrim?!!
2. Lafazh illa fiima ufturidho ‘alaikum merupakan istitsna’ dan istitsna’ itu dalil
at-tanawul (pemberi) yang mencakup seluruh macam atau jenis puasa yang
diwajibkan saja, seperti puasa Ramadhan, nadzar, kafarat dan qodho’.
Lantas darimana datangnya pemahaman bolehnya berpuasa pada hari
Sabtu apabila diiringi oleh sehari sebelumnya atau setelahnya, atau bahkan
membolehkan mutlak selama tanpa ada maksud takhshish dan ta’zhim.
Darimanakah datangnya pemahaman ini? Tentu saja pemahaman ini datang
dari jama’ hadits Alu Busr dengan hadits-hadits lainnya, akan datang
pembahasan hal ini dan jawabannya.
3. Lafazh fa in lam yajid ahadukum illa liha`a ‘inabatin aw ‘uuda syajarotin
falyamdhugh-hu merupakan penguat dan pencegah dari dipalingkannya
makna zhahir hadits kepada makna karohah tanzih.
Kesimpulan : hadits Alu Busr ini berterima dan shahih dari sisi istidlalnya,
walaupun masih ada beberapa celah berlanjutnya diskusi ini. Untuk itu mari kita
lanjutkan agar celah-celah ini semakin sempit dan kecil.
Apabila dikatakan, siapakah salaf antum di dalam masalah ini? Bukankah
para ulama salaf mayoritas mereka memperbolehkan berpuasa sunnah pada
hari Sabtu?
Maka saya jawab dengan menukil ta’qib Syaikh Alu Thohir kepada Syaikh
‘Abdul Hamid al-‘Arobi yang mempertanyakan hal senada ketika Syaikh Alu
Thohir membantah makalah Syaikh al-‘Utaibi :
“Sesungguhnya, pengetahuan akan nama-nama orang yang berselisih di dalam
suatu masalah ijtihadiyah bukanlah maksud yang dituju dari dzatnya, dan
sesungguhnya cukup untuk diketahui bahwa masalah ini termasuk masalahmasalah
yang diperbolehkan di dalamnya adanya khilaf dan khilaf di dalamnya
itu sudah berlangsung dari lama. Mungkin agar tidak ada lagi orang belakangan
yang berkata dengan perkataan yang tidak pernah didahului oleh orang
terdahulu, bukankah demikian?
Apabila demikian maksudnya, maka di dalam masalah kita ini telah tsabat
(tetap) adanya khilaf dan khilaf ini semenjak dulu. Lantas, apakah faidah ilmiah
pembahasan ini dengan mengetahui nama-nama orang yang berselisih di
dalamnya?!!” [selesai]
Saya berkata : karena hujjah itu bukan pada pendapat-pendapat mereka
namun hujjah adalah pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.
Syaikh Alu Thohir melanjutkan ucapannya kembali :
“Kemudian ada pertanyaan yang penting, yaitu apakah ketidaktahuan kita
terhadap (individu-individu) yang berselisih –aku tidak mengatakan
ketidaktahuan terhadap khilaf itu sendiri- memperbolehkan kita untuk
meninggalkan amal dari zhahir hadits?...”
Saya berkata : Demikianlah, semoga Alloh memberkahi Syaikh Alu Thohir,
apakah hanya karena kita tidak mengetahui siapakah nama dari salaf yang
berpegang dengan pendapat pengharaman puasa sunnah hari Sabtu, maka kita
meniadakannya adanya khilaf ini? Atau kita meniadakan zhahir hadits Alu Busr
ini? Atau kita berhak menakwilkan dan memalingkan makna zhahirnya?
Untuk lebih menyempurnakan faidah, akan saya turunkan beberapa kaidah
emas dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits yang disusun oleh Syaikh Zakaria
Ghulam Qodir al-Bakistani.
Kaidah
لا يصرف الدليل عن ظاهره بقول جمهور العلماء
“Tidak memalingkan dalil dari zhahirnya dengan ucapan mayoritas ulama”
Ucapan jumhur bukanlah hujjah, karena Alloh Azza wa Jalla tidaklah
memerintahkan kita untuk beribadah dengan ucapan jumhur. Maka tidak boleh
memalingkan hadits dari zhahirnya hanya karena jumhur memalingkan makna
dari zhahirnya, seperti misalnya : tidak boleh memalingkan zhahir perintah dari
makna wajib kepada makna dianjurkan/disukai hanya karena ucapan jumhur,
tidak boleh memalingkan larangan dari makna haram kepada makna makruh
hanya karena ucapan jumhur, tidak boleh memalingkan yang umum kepada
yang khusus hanya karena ucapan jumhur. Yang demikian ini karena ucapan
jumhur itu bukanlah hujjah sedangkan zhahir hadits itulah yang hujjah, maka
tidak boleh meninggakan suatu yang menjadi hujjah dengan sesuatu yang
bukan hujjah.
Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khon dalam Qowa’idut Tahdits berkata : “ketahuilah,
tidaklah memberikan pengaruh terhadap suatu khobar yang shahih amalan
mayoritas manusia yang menyelisihinya, karena ucapan orang banyak bukanlah
hujjah.”
Saya berkata : Tidak boleh memalingkan zhahir hadits Alu Busr dari larangan
akan keharamannya kepada makna karohah tanzih walaupun mayoritas orang
melakukannya.
Kaidah
يجب العمل بالدليل وإن لم يعرف أن أحدًا عمل به
“Wajib mengamalkan dalil walaupun tidak diketahui ada seseorang yang
mengamalkannya.”
Hadits adalah hujjah dengan sendirinya tidak memerlukan hujjah kepada
adanya seorang imam yang mengamalkannya. Apabila seseorang
mendapatkan hadits Nabi yang shahih, maka wajiblah ia mengamalkannya
sebagaimana para sahabat bersemangat mengamalkan hadits Nabi apabila
sampai kepada mereka, tanpa tawaquf, tanpa mencari hadits lain yang
kontradiktif, tidak ada yang mengatakan : apakah fulan dan fulan
mengamalkannya. Sekiranya mereka melihat orang yang berkata demikian,
niscaya mereka akan mengingkarinya dengan pengingkaran yang sangat.
Demikian pula dengan para tabi’in. Dan hal ini telah diketahui secara pasti bagi
mereka yang memiliki sedikit pengetahuan tentang ucapan dan perikehidupan
mereka.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata di dalam Ar-Ruuh (hal. 264) :
“Janganlah kau jadikan ketidaktahuanmu akan orang yang mengucapkan hadits
itu sebagai hujjah atas Alloh dan Rasul-Nya, namun berpeganglah dengan nash
dan janganlah lemah, ketahuilah sesungguhnya ada orang yang telah berkata
dengannya (hadits) secara pasti namun tidak sampai padamu (beritanya).”
Imam Al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Silsilah ash-Shahihah (no. 163)
: “Tidaklah memberikan pengaruh kepada suatu hadits dan tidak pula mencegah
dari mengamalkannya ketidaktahuan kita akan siapakah dari kalangan fuqoha
yang mengucapkannya. Karena tidak didapatkannya (orang yang berpegang
dengannya) tidak menunjukkan atas ketidakeksisannya.”
Saya berkata : Wajib mengamalkan hadits Alu Busr walaupun sekiranya tidak
ditemukan adanya seorangpun yang mengamalkannya.
Kaidah
يجب العمل بالدليل ولو خالفه من خالفه من السلف الصالح رضوان الله عليهم
“Wajib mengamalkan dalil walaupun kaum salafus shalih menyelisihinya.”
Wajib menolak setiap ucapan yang menyelisihi dalil walau siapapun dan
setinggi apapun derajat orang yang mengucapkannya, meskipun Khulafaur
Rasyidin terlebih lagi selain mereka yang lebih rendah tingkat keilmuannya,
karena Alloh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah bukan
mengikuti individu-individu tertentu.
Saya berkata : Walaupun seandainya kaum salaf menyelisihinya, maka tetap
wajib mengamalkan hadits Alu Busr karena hujjah itu ada pada zhahir hadits
sedangkan ucapan salaf itu bukanlah hujjah.
Kaidah
لا يشرع ترك الدليل وإن عمل الناس بخلافه
“Tidak disyariatkan meninggalkan dalil walaupun manusia mengamalkan
amalan yang menyelisihinya.”
Imam Ibnu Hazm berkata di dalam al-Muhalla (V/661) berkata : “Sesungguhnya
batasan syudzudz itu adalah apabila menyelisihi kebenaran, maka setiap orang
yang menyelisihi kebenaran di dalam suatu permasalahan, maka ia memiliki
pendapat yang syadz... al-Jama’ah, mereka adalah ahli kebenaran, walau tidak
beserta mereka para penduduk bumi melainkan hanya seorang saja, maka ialah
al-Jama’ah. Abu Bakr dan Hudzaifah radhialallahu ‘anhuma telah selamat
berdua saja, maka keduanya adalah al-jama’ah. Adapun seluruh penduduk
bumi selain keduanya dan selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam maka
termasuk ahli syudzudz dan furqoh.”
Saya katakan : tidak boleh meninggalkan dalil hadits Alu Busr yang shahih
walaupun mayoritas manusia mengamalkan hal yang menyelisihinya.
Demikianlah beberapa kaidah yang perlu dipegang di dalam mensikapi
perbedaan pendapat dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu ini. Dari
pembahasan ini masih menyisakan beberapa celah yang sebagiannya akan
saya usahakan untuk ditambal. Walaupun tidak semuanya.
Ta’qib 2 : Hadits Alu Busr adalah hadits yang syadz atau
menyelisihi hadits-hadits lainnya yang lebih shahih sehingga
harus dijama’.
Abu ‘Umair dan Abu Ihsaq bersepakat dengan saya bahwa hadits Alu Busr ini
berterima sanadnya tanpa ada keraguan sama sekali yang bisa menyelinap
sehingga menimbulkan keraguan akan keshahihannya. Namun kesepakatan
kami ini mungkin hanya sampai pada kesepakatan di dalam memandang shahih
hadits dari segi isnad saja. Adapun dari sini matan, apalagi masuk ke syaqqul
fiqhi-nya tampaknya memiliki perbedaan yang nyata.
Perbedaan ini akan semakin mengkerucut apabila hadits Alu Busr yang shahih
isnad ini dikonfrontasikan dengan hadits-hadits lainnya, sehingga perlu
mengkompromikan antara dalil-dalil tersebut yang akhirnya menimbulkan
konklusi yang berbeda-beda, bahkan Abu ‘Umair dan Abu Ishaq sendiri juga
berbeda di dalam konklusi hukum puasa sunnah hari Sabtu ini.
Mereka yang memperbolehkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu,
mengkonfrontasikan hadits Alu Busr dengan hadits-hadits berikut ini :
- Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha :
( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من الشهر السبت و الأحد و الإثنين ومن الشهر الآخر الثلاثاء
والأربعاء والخميس ) رواه الترمذي وقال حديث حسن
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berpuasa dalam suatu
bulan pada hari Sabtu, Ahad dan Senin, dan pada bulan lainnya pada
hari Selasa, Rabu dan Kamis.” (HR Turmudzi dan beliau berkata hasan
shahih.)
- Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
(...إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر ما كان يصوم من الأيام يوم السبت والأحد كان يقول إما يوما عيد
للمشركين وأنا أريد أن أخالفهم )
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih banyak
berpuasa pada Sabtu dan Ahad, beliau bersabda bahwa kedua hari ini
adalah hari iednya kaum musyrikin dan aku ingin menyelisihi mereka.”
- Hadits dari ‘Ubaid al-A’raj ia berkata, menceritakan neneknya bahwa
beliau pada suatu hari mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam dan beliau pada saat itu sedang makan siang dan hari itu hari
Sabtu, Rasulullah lalu memanggil beliau, “kemarilah, makanlah”. Beliau
menjawab : “aku lagi puasa.” Rasulullah bertanya padanya, “kemarin
kamu puasa?”, beliau menjawab : “tidak”. Rasulullah lalu bersabda
padanya : “makanlah, karena sesungguhnya puasa hari Sabtu itu, laa
laka wa laa ‘alaiki.” [akan datang maksud ucapan ini insya Alloh].
- Hadits Juwairiyah radhiyallahu ‘anha : Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam datang mengunjungi beliau pada hari Jum’at dan beliau
dalam keadaan berpuasa, lantas Nabi bertanya padanya : “Apakah kamu
kemarin berpuasa?” beliau menjawab : “tidak”, Rasulullah bertanya,
“Apakah kamu hendak berpuasa besok?”, Juwairiyah menjawab : “tidak”
lantas Nabi berkata, “berbukalah!”. (HR Bukhari).
- Hadits Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu :
( لا يصومن أحدكم يوم الجمعة إلا يومًا قبله أو بعده ) متفق عليه، فالذي بعده هو السبت
“Janganlah salah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jum’at
melainkan diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya.” (Muttafaq
‘alaihi), sedangkan hari setelahnya adalah hari Sabtu.
Apakah benar bahwa hadits-hadits di atas kontradiktif dengan hadits Alu Busr?
Berikut ini adalah jawaban dan ulasannya.
Hadits Pertama : Hadits Aisyah
Imam at-Turmudzi berkata di dalam Sunan-nya (746) :
Menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghoilan, menceritakan kepada kami
Abu Ahmad dan Mu’awiyah bin Hisyam, keduanya berkata : Sufyan
menceritakan kepada kami dari Manshur dari Khoitsamah dari Aisyah, beliau
berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من الشهر: السبت والأحد والاثنين ومن الشهر الآخر:
الثلاثاء والأربعاء والخميس
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dahulu berpuasa pada hari Sabtu, Ahad
dan Senin pada suatu bulan, dan pada hari Selasa, Rabu dan Kamis pada bulan
yang lain.”
Imam Turmudzi berkata : “Ini hadits hasan, telah meriwayatkan Ibnu Mahdi dari
Sufyan hadits ini namun tidak dia tidak memarfu’kannya.”
Imam Turmudzi juga meriwayatkan hadits ini di dalam Syama`il Muhammadiyah
(no. 260).
Syaikh al-Muhaddits ‘Ali Hasan al-Halabi berkomentar : “Sanad hadits ini dhaif
dengan illat terputusnya antara Khoitsamah dan Aisyah. Khoitsamah –dari
ketsiqohannya- sering memursalkan hadits sebagaimana dikatakan oleh al-
Hafizh dalam at-Taqrib. Imam Abu Dawud telah menegaskan di dalam Sunannya
(no. 2128) ketika menyanggah salah satu riwayatnya tentang ketiadaan
sima’ (mendengar) dari Aisyah, beliau berkata : “Khoitsamah tidak mendengar
dari Aisyah.”
Al-Munawi menukil di dalam Faidhul Qodir (V/227) dari Abdul Haq al-Isybili
ucapannya tentang penghasanan at-Turmudzi : “Dan illat hadits ini menghalangi
penshahihannya dan hadits ini diriwayatkan secara marfu’ mauquf, namun ia
memiliki illat. Ibnul Qoththon berkata : sepatutnya tentang mendengarnya
Khoitsamah dari Aisyah perlu dicari dan aku tidak mengetahui akan hal ini.”
Syaikh Ali Hasan berkata : “Abu Dawud telah menegaskan akan ketiadaan
mendengarnya Khoitsamah dari Aisyah. Maka hadits ini dhaif.”
Syaikh Al-Albani telah memaparkan hadits ini dan menshahihkannya di dalam
sejumlah buku-buku beliau, seperti Shahihul Jami’ (4971), al-Misykah (2059)
dan Mukhtashor asy- Syamail (hal. 164). Namun beliau tidak memasukkannya
ke dalam Shohih Sunan at-Turmudzi dan buku ini termasuk karya akhir beliau,
maka hal ini menunjukkan pendha’ifan beliau terhadap hadits ini sebagai sikap
terakhir. Hal ini dipertegas setelah Syaikh Ali menanyakan langsung kepada
Syaikh Albani tentang kedhaifan hadits ini, dan Syaikh Albani menyetujui akan
kedhaifan hadits ini. Hanya milik Allohlah taufiq.
Kesimpulan : hadits ini dhaif sanadnya dan tidak dapat digunakan sebagai
pengkontradiksi hadits Alu Busr yang shahih.
Hadits Kedua : Hadits Ummu Salamah
Dari Kuraib Maula Ibnu ‘Abbas beliau berkata, bahwa Ibnu ‘Abbas dan
sekumpulan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengutusku
kepada Ummu Salamah supaya aku bertanya kepada beliau : “hari-hari apakah
yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih banyak berpuasa?” beliau
menjawab : “hari Sabtu dan Ahad”. Lantas aku kembali kepada mereka dan aku
beritakan kepada mereka (hal ini) dan seakan-akan mereka mengingkarinya.
Lalu mereka semua pergi menemui Ummu Salamah dan berkata :
“Sesungguhnya kami mengutus orang ini kepada Anda untuk bertanya ini dan
ini dan engkau menjawab itu dan itu”. Ummu Salamah berkata : “Dia benar,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, hari yang lebih banyak
beliau berpuasa di dalamnya adalah pada hari Sabtu dan Ahad, dan beliau
bersabda :
إما يوما عيد للمشركين وأنا أريد أن أخالفهم
“Sesungguhnya dua hari ini adalah hari perayaan (‘ied) bagi kaum musyrikin,
dan aku ingin menyelisihi mereka.”
Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/324), Ibnu Khuzaimah (III/318), Ibnu Hibban (941),
Al-Hakim (I/436), Baihaqi (IV/303), Ath-Thobroni di dalam al-Kabir (53/283),
Ibnu Syahin di dalam an-Nasikh wal Mansukh (no. 399) dari Jalan ‘Abdullah bin
Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali dari Ayahnya dari Kuraib.
Imam Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zadul Ma’ad (II/78) : “Keshahihan hadits ini
perlu diteliti lagi, karena riwayatnya berasal dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali
bin Abi Tholib, dan beberapa haditsnya telah diingkari. Abdul Haq di dalam
Ahkam-nya berkata dari hadits Ibnu Juraij dari ‘Abbas bin ‘Abdillah bin ‘Abbas
[yang benar adalah ‘Abbas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas, demikian kata Syaikh ‘Ali
sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (VIII/260)] dari pamannya Al-Fadhl : Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengunjungi Abbas di kediaman kami, kemudian
beliau (Abdul Haq) berkata : sanadnya dhaif. Ibnul Qoththon berkata :
keadaannya sebagaimana yang disebutkan yaitu dhaif, dan perihal Muhammad
bin ‘Umar ini tidak diketahui.”
Kemudian Ibnul Qoththon melanjutkan : “Dia menyebutkan haditsnya ini dari
Ummu Salamah tentang puasa pada hari Sabtu dan Ahad, lalu beliau berkata :
‘Abdul Haq mendiamkannya sebagai tanda penshahihan terhadapnya,
sedangkan Muhammad bin ‘Umar ini tidak diketahui perihalnya, dan
meriwayatkan pula darinya anaknya yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar
sedangkan perihalnya juga tidak diketahui. Maka hadits ini aku pandang hasan,
wallohu a’lam.” Adz-Dzahabi berkata di dalam Al-Mizan (III/668) : “maksudnya
tidak sampai tingkatan shahih.” Syaikh ‘Ali berkomentar : “tidak pula (sampai
derajat) hasan!!!”
Syaikh al-‘Allamah al-Albani berkata di dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah
(no. 1099) : “Anda lihat bahwa Ibnul Qoththon dalam hal ini kontradiktif*
pendapatnya terhadap Ibnu ‘Umar ini, suatu ketika menghasankan haditsnya
dan kali ketika lain mendhaifkannya. Dan hal inilah yang menyebabkan hati
lebih condong kepada menilai akan kemajhulannya, apalagi haditsnya ini
menyelisihi zhahirnya dengan hadits shahih yang lafazhnya : Janganlah
berpuasa pada hari Sabtu... [beliau menyebutkan hadits Alu Busr]”
[* Syaikh Ali berkomentar terhadap ucapan Syaikh Albani yang mengatakan
Ibnul Qoththon kontradiktif : “kemudian merasuklah ke dalam hatiku untuk
menghilangkan kontradiktif yang nyata ini bahwa sesungguhnya telah hilang
pada kitab asal Ibnul Qoththon ini huruf “laa/tidak”, dimana ucapan asalnya
seharusnya “maka hadits ini “tidak” aku pandang hasan”, kemudian para penulis
dan pencetak buku menukilnya. Hal ini semakin menyokong penilaiannya
kepada perawi sebagai majhul, lantas bagaimana mungkin beliau
menghasankannya?!! Dan hal ini telah dikenal dari manhaj beliau]
Lalu beliau melanjutkan : “di dalam hadits ini ada illat lainnya, yaitu bahwa
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar perihalnya sama dengan perihal ayahnya,
tidak ada yang mentsiqqohkannya kecuali Ibnu Hibban. Ibnul Madini menilainya
sebagai “Wasath”, Al-Hafizh berkata tentangnya “Maqbul” yaitu sebagai
mutaba’ah (penyerta), apabila bukan sebagai mutaba’ah maka haditsnya lemah
sebagaimana beliau telah menegaskan hal ini di dalam muqoddimah.
Sedangkan hadits ini bukan sebagai mutabi’ dengan demikian haditsnya lemah.”
Ta’qib terhadap tashhih Syaikh Abu Umar al-Utaibi
Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi di dalam artikelnya Al-Qoul Qowim fi Istihbaabi
Shiyami Yaumis Sabti fi Ghoiril Fardhi min Ghoiri Takhshish walaa Qoshdu
Ta’zhim menshahihkan hadits Ummu Salamah ini dan menjadikan hadits ini
sebagai senjata andalan untuk dikontradiksiikan dengan hadits Alu Busr,
sehingga berimplikasi terhadap wajibnya jama’ terhadap kedua hadits ini.
Setelah beliau menurunkan takhrijnya dan 7 jalur riwayat serupa, beliau berkata
menghukumi hadits ini :
“Hadits ini sanadnya hasan dan sebagian besar imam menshahihkannya.
Berikut ini adalah biografi para perawinya : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar
bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Daruquthni dan Ibnu Khalfun
menilainya tsiqoh. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam ats-Tsiqoot dan
berkata : “yukhthi’ wa yukholif!” Ali bin Madini berkata : “dia wasath
(pertengahan)”. Adz-dzahabi dan Ash-Shofadi berkata : “sebagian huffazh
menilainya Sholihul Hadits”. Telah meriwayatkan darinya para imam besar,
Imam Bukhari menyebutnya di dalam at-Tarikh al-Kabir, Ibnu Abi Hatim di dalam
al-Jarh wat Ta’dil tidak menyebutkan jarh dan ta’dil kepadanya dan tidak pula
para ulama masa lalu yang menulis adh-Dhu’afa` menyebutkannya, bahkan
adz-Dzahabi menyebutnya di dalam al-Kasyif : “tsiqqoh”. Al-Hafizh berkata
tentangnya di dalam at-Taqrib : “maqbul, tidak maqbul pentsiqohan para imam
kepadanya.” Maka sekurang-kurang yang dapat dikatakan tentangnya adalah
shoduq dan beliau husnul hadits (haditsnya hasan).” [selesai ucapan Syaikh
‘Abu Umar].
Tanggapan :
Berkata Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir di dalam ta’qibnya kepada tashhih
Syaikh Abu Umar di atas :
“Bukanlah pembahasannya wahai saudara yang mulia apakah keadaan rawi ini
tsiqoh atau shoduq atau selainnya, namun yang jadi pembahasan adalah
apakah diterima tafarud (bersendirian)-nya hadits ini ataukah tidak?
Aku sodorkan untuk Anda ucapan para imam tentang penjelasan illatnya
tafarud dan kapan ia menjadikan hadits menjadi qodihah (buruk/tertolak) dan
kapan tidak.
Al-Hafizh Ibnu Sholah berkata : Apabila seorang rawi bersendirian di dalam
periwayatannya, maka dilihat keadaannya :
1. Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh dan dhabitnya,
maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud
(tertolak).
2. Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya, dan
hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak
diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang
bersendirian ini :
a. Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit sebelum
riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya
sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
b. Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan
bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh
haditsnya dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa
tingkatan :
Tingkatan Pertama : apabila rawi yang bersendirian tidak jauh dari
tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan dianggap
hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits
dhaif.
Tingkatan kedua : Apabila riwayat rawi yang bersendirian jauh dari
tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri ini, dan
dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.
Singkat kata, hadits yang diriwayatkan oleh tsiqoh syaikhon minasy syuyukh
bukan tsiqoh imaman haafizhan, sedangkan ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Umar ini tidak dinilai tsiqoh melainkan oleh sebagian kecil ulama, yang tidak
ada riwayat lain yang sederajat atau lebih kuat menyokongnya, maka haditsnya
bisa memiliki illat yang dapat mengingkari haditsnya. Oleh karena itu Ibnu Hajar
menyebutnya maqbul (diterima) sebagai mutaba’ah, apabila tidak maka
haditsnya lemah, sedangkan hadits ini bukan sebagai mutaba’ah maka lemah
haditsnya. Oleh karena itu ucapan Abu ‘Umar al-Utaibi tidak diterima karena
menyelisihi istilah dan kaidah ahli ilmu dalam bidang ini. [selesai di sini ucapan
Syaikh Abu Mu’adz dengan sedikit ringkasan dan perubahan redaksi].
Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi berkata kembali :
Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu : Daruquthni
menilainya tsiqoh sebagaimana di dalam Su`alaat Burqooni (hal. 22), dan
meriwayatkan jama’ah tsiqqoot diantaranya adalah Yahya bin Sa’id al-Anshori,
Sufyan ats-Tsauri, Muhammad bin Musa al-Fithri, Yahya bin Ayyub al-Mishri,
Ibnu Juraih, Ibnu Ishaq dan tiga orang anaknya. Ibnu Hibban menyebutkannya
di dalam ats-Tsiqot dan Turmudzi menyebutkan di dalam haditsnya (no 171) :
“ghorib hasan”.
Adz-Dzahabi berkata di dalam al-Mizan: Beliau adalah salah satu pembesar di
Madinah, dan beliau mirip dengan kakeknya Imam ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu
‘anhu, aku tidak melihat ada masalah dengan beliau dan tidak pula aku melihat
ada pembicaraan pada beliau. Ashhabus Sunan yang empat meriwayatkan dari
beliau. Termasuk yang diingkari dari beliau adalah hadits Ibnu Juraij dari beliau
dari ‘Abbas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas dari pamannya al-Fadhl, beliau berkata :
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengunjungi kediaman kami, hadits ini
dikeluarkan oleh an-Nasa`i dan dipapatkan oleh ‘Abdul Haq di dalam Ahkamul
Wustha dan beliau berkata mengomentarinya : “isnadnya dha’if”. Ibnul Qoththon
berkata : “hadits ini sebagaimana yang disebutkan olehnya yaitu dha’if tidak
diketahui perihalnya Muhammad bin ‘Umar.”
Di dalam ucapan adz-Dzahabi rahimahullahu, “termasuk yang diingkari
haditsnya” perlu ditelaah ulang, karena Ibnul Qoththon mencacat hadits ini di
dalam Bayanul Wahm wal Iiham-nya pada no 1100 dengan dua illat (cacat),
yaitu ‘Abbas bin ‘Ubaidillah tidak diketahui perihalnya dan beliau mencacat
Muhammad bin ‘Umar...
Akan tetapi ‘illat hadits ini adalah terputusnya antara ‘Abbas bin ‘Ubaidillah
dengan Fadhl bin ‘Abbas, karena riwayat ‘Abbas bin ‘Ubaidillah dari Fadhl bin
‘Abbas adalah munqotho’ah (terputus) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hazm
di dalam al-Muhalla. ‘Abbas padanya terdapat jahalah (tidak diketahui
keadaannya) maka tidaklah dibawa Muhammad bin ‘Umar yang tsiqqoh sebagai
tabi’ah (penyerta) hadits.
Adz-Dzahabi berkata di dalam al-Kasyif : “Tsiqqoh”, dan al-Hafizh menilainya di
dalam at-Taqrib : “shoduq”. Yang benar Muhammad bin ‘Umar adalah tsiqqoh.
Kuraib Maula Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah tsiqqoh, termasuk
perawi jama’ah (ahli hadits).
Maka tampaklah dari pembahasan sebelumnya, bahwa sanad hadits ini
sekurang-kurangnya hasan dilihat dari keadannya, para jama’ah imam ahli
hadits telah menshahihkannya sebagaimana akan datang penjelasannya.
Adapun pencacatan Syaikh kami al-‘Allamah al-Albani rahimahullahu terhadap
hadits ini dengan penilaian majhul-nya ‘Abdullah bin Muhammad dan bapaknya
(Muhammad bin ‘Umar) adalah suatu kesalahan, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya penukilannya dari para imam akan biografi mereka.
Syaikh al-Albani rahimahullahu mutaroddid (berubah-ubah pendapatnya) di
dalam mendha’ifkan hadits ini. Sebelumnya beliau menilainya hasan di dalam
Shahihul Jami’ dan di dalam ta’liq (komentar) beliau atas Shahih Ibnu
Khuzaimah... kemudian beliau dha’ifkan di dalam Adh-Dha’ifah (no. 1099), lalu
beliau menulis di dalam al-Irwa’ : “sanad hadits ini didhaifkan oleh ‘Abdul Haq al-
Isybili di dalam al-Ahkam al-Wustho dan pendapat inilah yang rajih menurutku,
dikarenakan di dalam hadits ini adalah perawi yang tidak diketahui perihalnya
sebagaimana telah aku jelaskan di dalam al-Ahadits ash-Dha’ifah...”
Lalu beliau berkata di dalam al-Hasyiyah (catatan kaki) : “Aku telah
menghasankannya di dalam komentarku atas Shahih Ibnu Khuzaimah (2168)
dan mungkin inilah yang paling dekat (dengan kebenaran)...” Kemudian
berlangsunglah aktivitas syaikh rahimahullahu yang mendhaifkan hadits ini.
Yang benar adalah pendapat syaikh rahimahullahu di dalam ta’liqnya atas
Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahihul Jami’, dan hadits ini hasan lidzatihi,
bahkan ulama yang menshahihkannya maka ia memiliki sisi penshahihan yang
kuat sekali...
Diantara para imam yang menshahihkannya : Al-Hakim dan disepakati oleh adz-
Dzahabi. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah menshahihkannya. Ibnu Muflih
berkata di dalam al-Furu’ (III/92) : “para jama’ah menshahihkannya dan
sanadnya jayyid.” Ibnu Hajar al-Haitsami menshahihkannya di dalam al-Fatawa.
Ibnul Qoththon al-Fasi menghasankannya di dalam Bayanul Wahm wal Iiham
(IV/269), dan Syaikh al-Albani di dalam pendapat yang beliau taroju’ darinya.
Pendhaifan Syaikh al-Albani terhadap hadits ini telah disetujui oleh Ibnul Qoyyim
rahimahullahu, beliau berkata : “keshahihan hadits ini perlu ditelaah lagi, karena
hadits ini dari riwayat Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib, dan sebagian
hadits beliau ini diingkari.”
Saya (Abu ‘Umar al-Utaibi) : Aku telah menjelaskan hal ini ketika menukilkan
ucapan adz-Dzahabi, yaitu bahwasanya tidak ada lagi celah untuk dapat
mengingkari (hadits) Muhammad bin ‘Umar. Dan yang lebih aneh lagi adalah
apa yang dinukil oleh al-Munawi di dalam Faidhul Qodir dan al-Husaini di dalam
al-Bayan wat Ta’rif (II/154) dari Adz-Dzahabi bahwasanya beliau berkata
tentang hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “munkar dan para
perawinya tsiqqoh”
Maka tidak ada lagi celah untuk mengingkari hadits ini wallohu a’lam. [selesai di
sini ucapan Syaikh Abu ‘Umar Usamah al-Utaibi hafizhahullahu di Al-Qoul
Qowim fi Istihbaabi Shiyami Yaumis Sabti fi Ghoiril Fardhi min Ghoiri Takhshish
walaa Qoshdu Ta’zhim].
Ta’qib Ucapan Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi
Pertama, tidak ada kontradiktif di dalam ucapan Imam adz-Dzahabi antara
ucapan beliau “diantara perawi yang diingkari haditsnya” dengan ucapan
“tsiqqoh”, karena tsiqqoh terkadang datang dengan (hadits) yang diingkari
sebagaimana telah berlalu di dalam ta’qib sebelumnya, oleh karena itulah adz-
Dzahabi mengatakan “munkar, walaupun perawinya tsiqqot” sebagaimana yang
dinukilkan al-Munawi di dalam Faidhul Qodir (V/168) dan al-Husaini di dalam al-
Bayan wat Ta’rif (II/154).
Kedua, Adapun ucapan Ibnu Hajar : “Shoduq” maka maksudnya adil yang tidak
jauh (maknanya) dari shoduq. Akan tetapi perawi yang berada pada tingkatan
ini maka keadaannya ini dapat dianggap haditsnya apabila selaras dengan
dhobithin (para perawi yang dhabith) dan terkadang tidak dhabith. Suyuthi
berkata : “shoduq atau posisinya shidq atau la ba’sa bihi.” Al-Iroqi menambahlan
: “atau ma`mun atau khiyar atau laysa bihi ba’sun.” Ibnu Abi Hatim berkata :
“barangsiapa yang disebutkan padanya hal ini maka ia termasuk perawi yang
ditulis haditsnya namun diteliti keadaannya, dan posisinya adalah posisi kedua.”
Ibnu Sholah berkata : “Hal ini sebagaimana yang beliau utarakan, karena
ungkapan (ibarat) ini tidak dirasa sampai pada dhobith maka dianggaplah
haditsnya apabila selaras dengan dhobithin sebagaimana telah berlalu
penjelasannya di awal pembahasan ini.” (Tadribur Rawi I/292 dengan tahqiq
dan ta’liq DR. Ahmad ‘Umar Hasyim).
Berkata pula tentangnya Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Zaadul Ma’ad
(II/78-79) di dalam ta’liq beliau atas hadits Ummu Salamah “keshahihan hadits
ini perlu ditelaah lagi, karena hadits ini dari riwayat Muhammad bin ‘Umar bin
‘Ali bin Abi Tholib, dan sebagian hadits beliau ini diingkari.”
Ketiga, Ucapan Syaikh yang mulia, Abu ‘Umar al-Utaibi : “maka yang shahih
adalah Muhammad bin ‘Umar adalah tsiqoh” yang berangkat dari pemahaman
beliau terhadap kata “tsiqoh” yang diucapkan para ulama perlu ditelaah lagi.
Yang benar derajat Muhammad bin ‘Umar ini adalah shoduq yang tidak
dianggap haditsnya kecuali apabila selaras dengan riwayat dhobithin sedangkan
riwayat tersebut tidak ada!!! Atau bisa pula dikatakan bahwa beliau adalah
tsiqqoh namun diingkari sebagian haditsnya. Bagaimana kita bisa merasa aman
dengan hadits ini sedangkan hadits ini bersendirian di dalam riwayatnya?!! Oleh
karena itulah Ibnul Qoththon mengatakan : ‘tidak diketahui perihal beliau.”
Keempat, adapun masalah para tsiqqot yang meriwayatkan dari beliau, maka ini
bukanlah termasuk ta’dil!!! Suyuthi berkata : “Apabila seorang rawi yang adil
meriwayatkan dari selainnya maka ini bukanlah termasuk ta’dil menurut
mayoritas ulama dari ahli hadits dan selain mereka, dan memang benar akan
kebolehan riwayat seorang yang adil dari seorang yang tidak adil, namun hal ini
bukanlah mengandung pengertian bahwa riwayat darinya merupakan ta’dil
terhadapnya. Kami meriwayatkan dari Sya’bi bahwa beliau berkata :
“menceritakan kepada kami al-Harts dan aku bersaksi demi Alloh bahwa dirinya
adalah kadzdzab (seorang pendusta besar).” Meriwayatkan pula al-Hakim dan
selain beliau dari Ahmad bin Hanbal bahwa beliau melihat Yahya bin Ma’in
sedang menulis shahifah (lembaran) Ma’mar dari Aban dari Anas, apabila
manusia melihatnya maka ia menyembunyikannya. Lantas Ahmad berkata
kepadanya : “Anda menulis shahifah Ma’mar dari Aban dari Anas, sedangkan
Anda tahu bahwa shahifah itu maudhu’ (palsu). Apabila ada seorang berkata
padamu, Anda mengkritik Aban tapi Anda koq masih menulis haditsnya (apa
jawab Anda)?!” Yahya bin Ma’in menjawab : “Wahai Aba Abdillah, aku menulis
shahifah ini sedangkan aku hafal seluruh isinya dan aku tahu bahwa shahifah ini
adalah maudhu’, agar tidak ada orang yang datang dan merubah Aban menjadi
Tsabit lalu ia meriwayatkannya (dan mengkalimnya) dari Ma’mar dari Tsabit dari
Anas. Dengan demikian akan aku katakan padanya, Kamu telah berdusta,
karena sesungguhnya shahifah ini dari Ma’mar dari Abad bukan dari Tsabit.”...
(Tadribur Rawi I/266-267).
Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir berkomentar : Aku katakan, inilah perihal
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali dan bapaknya, keduanya
bersendirian (tafarud) di dalam riwayat ini, lantas bagaimana bisa berhujjah
dengannya?!! Hadits ini jika keduanya tidak menyelisihi seorangpun atau
riwayat selain keduanya, namun keduanya menyelisihi hadits para perawi
tsiqqoot dhobithin yang meriwayatkan hadits : “janganlah kalian berpuasa pada
hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian...” dan tidaklah mungkin
mengkompromikan kedua riwayat ini, karena hadits Ummu Salamah ini adalah
hadits yang diingkari dikarenakan bersendiriannya riwayat Abdullah bin
Muhammad bin Umar dan bapaknya serta kedua riwayatnya menyelisihi hadits
yang lebih tsiqot. Allohu a’lam.
Adapun telaah yang dilakukan oleh Syaikh Abi ‘Umar al-Utaibi, yang
menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Umar dan bapaknya, tidaklah tepat. Beliau telah merancukan sebagian
pembaca dan beliau mengira bahwa hal ini merupakan penguat hadits...
padahal tidak demikian keadaannya. Telah jelas pada para pembaca ketika
membaca nukilan al-Utaibi dari ucapan para huffazh tentang perawi hadits ini
bahwasanya beliau hanyalah menguatkan apa yang selaras dengan
pendapatnya dari ucapan para huffazh ini, dan beliau merasa terheran-heran
dan mendha’ifkan pendapat yang menyelisihinya dengan suatu hal yang tidak
dapat diterima dan tanpa burhan dan hujjah. Telaahlah ucapan beliau maka
Anda akan mendapatkan secara nyata hal ini. [selesai ucapan Syaikh Abu
Mu’adz di dalam ta’qibnya terhadap artikel Syaikh Abu ‘Umar dengan sedikit
diringkas dan penyederhanaan].
Saya berkata : Pertama, dari telaah dan pembahasan ilmiah di atas, lebih
tampak di dalam pandangan saya bahwa pendapat yang rajih adalah apa yang
dipaparkan Imam al-Albani sebagai taroju’ beliau sekaligus pendapat beliau
yang terakhir. Bahwa hadits Ummu Salamah ini adalah hadits yang bermasalah
pada dua orang rawinya, yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar dan
bapaknya, dimana para ulama ahli hadits lebih condong menilai mereka sebagai
shoduq atau tsiqqoh namun diingkari sebagian haditsnya. Hal ini menunjukkan
bahwa hadits mereka ini maqbul apabila selaras dengan hadits yang lebih
dhabith dan tsiqqoh dan sebagai mutaba’ah, namun pada realitanya hadits ini
tidak memiliki mutabi’ bahkan menyelisihi hadits yang lebih dhabith dan tsiqqoh.
Maka, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai pengkontradiksi hadits Alu Busr,
karena derajatnya tidak sama kuat dan shahih.
Kedua, ‘ala Fardhi shihhatil Hadits maka hadits ini tidak kontradikitf dengan
hadits Alu Busr. Karena hadits Ummu Salamah ini berupa fi’lu (perbuatan) Nabi
sedangkan hadits Alu Busr berupa qoulu (ucapan) Nabi. Maka di dalam kaidah
ushul fiqh dikatakan al-Qoulu muqoddam ‘alal Fi’li (Ucapan Nabi lebih
didahulukan daripada perbuatan).
Ketiga, ‘ala fardhi shihhatil hadits juga, hadits Ummu Salamah membuahkan al-
Ibahah (kebolehan) sedangkan hadits Alu Busr membuahkan al-Hadhr
(peringatan/larangan), di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan al-Hadhr muqoddam
‘alal Ibahah (larangan lebih didahulukan daripada kebolehan).
Ada beberapa contoh dalam tathbiq kaidah ini yang serupa, seperti :
- Larangan Nabi dari minum dengan berdiri padahal ada riwayat beliau
pernah minum sambil berdiri. Maka larangan tersebut adalah bagi kita
(ummat Islam) dan kebolehan tesebut hanya bagi beliau sebagai suatu
kekhususan.
- Larangan Nabi untuk berpuasa wishol padahal beliau melakukannya. Hal
ini menunjukkan larangan bagi selain beliau dan kebolehan hanya bagi
beliau sebagai suatu kekhususan.
- Larangan Nabi untuk menikah tanpa mahar kepada kaum mukminin
sedangkan beliau menikahi wanita yang menyerahkan dirinya kepada
Nabi tanpa mahar. Maka hal ini haram bagi kaum mukminin dan boleh
bagi Nabi sebagai suatu kekhususan
Dan masih banyak lagi contohnya. Di dalam mensikapi puasa sunnah hari
Sabtu ini, maka sangat mungkin menerapkan hal ini ‘ala fardhi shihhatil hadits.
Namun kenyataannya hadits ini tidak shahih namun dha’if karena tafarud
(bersendirian)-nya sebagaiman ulasan sebelumnya. Maka tidaklah tepat
mendahulukan hadits Ummu Salamah yang bermasalah untuk
mempermasalahkan hadits Alu Busr. Allohu a’lam.
Hadits Ketiga : Hadits ‘Ubaid al-A’raj
Dari ‘Ubaid al-A’raj beliau berkata : Nenekku menceritakan padaku bahwasanya
beliau mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada hari Sabtu dan
ketika itu Rasulullah sedang makan siang. Lalu Rasulullah berkata : “kemarilah,
mari makan”. Nenekku menjawab : “aku sedang berpuasa”. Rasulullah bertanya
pada beliau : “apakah anda kemarin berpuasa?”, nenekku menjawab, “tidak”.
Lalu Rasulullah bersabda padanya : “makanlah, karena berpuasa pada hari
Sabtu itu laa laka wa laa ‘alaika.” [akan datang penjelasan ucapan ini, pen]
Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/368) dari jalan Yahya bin Ishaq dari Ibnu Lahi’ah,
dari Musa bin Wardan, dari ‘Ubaid al-A’raj. Diriwayatkan pula oleh Ahmad
(VI/368) dari jalan Hasan bin Musa dari Ibnu Lahi’ah dari Musa bin Wardan dari
‘Umair bin Jubair Maula Khorijah bahwasanya ada seorang wanita... (beliau
menyebutkan isi hadits tanpa asbabul wurud-nya).
Syaikh ‘Ali berkomentar : Barangsiapa menyatakan keshahihan hadits ini atau
hasannya, sesungguhnya ia menshahihkan darinya marfu’ qouli tanpa asbabul
wurud-nya. Lihat Al-Bayan wat Ta’rif fi Asbabi Wurudil Hadits (II/400) karya al-
Husaini.
Al-Haitsami (III/198) berkata tentang sanad pertama : “Di dalamnya terdapat
Ibnu Lahi’ah, dan ada pembicaraan tentangnya. Úbaid al-A’raj tidak dikenal.”
Beliau berkata tentang sanad kedua : “’Umair ini aku tidak mengenalnya.”
Kedua isnad hadits ini berporos pada Ibnu Lahi’ah, beliau ini tsiqqoh hanya saja
hafalannya buruk setelah buku-bukunya terbakar. Dan riwayat Yahya dari beliau
sebelum hal ini (terbakarnya buku) dan setelahnya adalah berasal dari ‘Ubaid
al-‘A’raj pada satu ketika dan dari ‘Umair bin Jubair pada kali lain. Dan
keduanya tidak dikenal. [di dalam Ta’jil al-Manfa’ah hal. 321 sepatutnya
tawaqquf terhadapnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah fi dalam al-Iqtidho’ (II/474) mendhaifkannya.
Faidah : Syaikh Abul Harits ‘Ali Hasan memiliki buku yang berjudul ad-Dala`il
ar-Rofi’ah fi Dzikri man Shihhat Riwayatuhum ‘an Ibnu Lahi’ah yang
menjelaskan tafshil (perincian) riwayat dari Ibnu Lahi’ah yang shahih riwayatnya
sebanyak hampir sebanyak 15 riwayat.
Syaikh ‘Ali Hasan berkata :
Kemudian aku melihat ada jalan yang mauquf : Diriwayatkan oleh Nasa’i di
dalam al-Kubro (55/a/12) sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (IV/294-
no.5195) dari Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad [beliau adalah Abu ‘Abdil Malik
al-Qurosyi al-Busri] dari Ishaq bin Ibrahim [beliau adalah Abun Nashri al-
Faradisi] dari Abu Muthi’ Mu’awiyah bin Yahya : memberitakan padaku Arthah
beliau berkata : Aku mendengar Abu ‘Amir al-Alhani [beliau adalah ‘Abdullah bin
Ghobir] berkata : Aku mendengar Tsauban maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ditanya tentang berpuasa pada hari Sabtu dan beliau menjawab :
Tanyakan pada ‘Abdullah bin Busr, kemudian ‘Abdullah bin Busr ditanya tentang
hal ini lalu beliau menjawab :
صيام يوم السبت لا لك ولا عليك
“Berpuasa pada hari Sabtu itu, laa laka wa laa ‘alayka.”
Syaikh ‘Ali berkomentar : sanadnya hasan mauquf. Boleh jadi salah seorang
perawi yang tadinya majhul yang menyebabkan wahm hadits ini bias terangkat
menjadi marfu’. Wallohu a’lam.
Dan makna yang dikehendaki di dalam hadits ini –wallohu a’lam- adalah :
لا لك أجر في صيامه ولا عليك حرج من تركه
“Tidak ada ganjaran (pahala) berpuasa di dalamnya dan tidak ada dosa
meninggalkannya.” Dan lafazh ini lebih dekat dengan maksud al-man’u
(mencegah).
Yang dekat/serupa dengan makna lafazh ini adalah apa yang diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin asy-Syakhir beliau berkata, disebutkan pada Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Salam seorang lelaku yang berpuasa dahri : “Laa Shooma
wa laa afthor” (Dia tidaklah berpuasa dan tidak pula berbuka), [maksudnya ia
tidak mendapatkan pahala puasa dan tidak pula merasakan nikmatnya berbuka,
Allohu a’lam].
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad (IV/25), Nasa’i (IV/206), Darimi (I/351),
Ibnu Majah (I/544) dan selainnya dari jalan Qotadah, dari Muthorrif, dari
bapaknya. Sanad hadits ini shohih. Sedangkan telah maklum secara
kesepakatan bahwa berpuasa dahri itu terlarang.
Saya berkata : Dengan demikian, kata laa laka wa laa ‘alayka adalah lebih
dekat kepada makna mencegah dan melarang, sebagaimana dalam hadits
‘Abdullah bin asy-Syakhir di atas.
Hadits Keempat dan Kelima : Hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh
Dari Juwairiyah binti al-Harits radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam mengunjungi beliau pada hari Jum’at sedangkan beliau
(Juwairiyah) dalam keadaan berpuasa. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bertanya kepadanya : “Apakah anda kemarin berpuasa?” beliau menjawab :
“tidak”, Nabi bertanya kembali : “apakah anda besok [hari Sabtu] bermaksud
puasa?”, beliau menjawab “tidak”. Lalu nabi bersabda padanya : “berbukalah”.
Hadits shahih riwayat al-Bukhari (III/92).
Di dalam lafazh hadits dari Abu Hurairoh secara marfu’ : “... Janganlah kalian
mengkhususkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali
puasa yang biasa kalian lakukan.” HR Bukhari (III/92) dan Muslim (II/801).
Di dalam lafazh lain dari Abu Hurairoh pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda : “Janganlah salah seorang dari kalian berpuasa pada hari
Jum’at melainkan diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya.” (Muttafaq
‘alaihi), sedangkan hari setelahnya adalah hari Sabtu.
Untuk menjawab kontradiksi hadits ini dengan hadits Alu Busr, maka jawaban
Syaikhuna Abul Harits al-Halabi hafizhahullahu tampak telah mencukupi. Beliau
berkata :
”Adapun hadits pertama (Juwairiyah), maka jawabannya adalah –untuk
membantah kontradiktifnya- dengan gambaran yang bermacam-macam,
sebagian gambaran ini mencakup masalah dari pokoknya, yaitu :
Pertama : Bahwasanya hadits Juwairiyah –dan juga hadits Abu Hurairohkeduanya
tidak kuat untuk digunakan sebagai pengkontradiksi hadits larangan,
karena tujuan yang diperoleh dari kedua hadits tersebut adalah kebolehan
berpuasa hari Sabtu jika disertai puasa hari Jum’at, dan kebolehan ini adalah
sebagai penyerta, tidak berdiri sendiri. Orang yang berpuasa di hari Jum’at
boleh memilih diantara hari Sabtu atau Kamis (sebagai penyertanya).
Suatu kebolehan jika kontradiktif dengan larangan, maka yang didahulukan
adalah larangan bukan kebolehannya karena larangan itu lebih kuat dan lebih
tsabat hujjahnya, sebagai contoh adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam :
إَِذ َأم رت ُ ك م بَِأ مرٍ َفْأت وا مِنه ما ا ست َ ط عت م وإَِذ ن هيت ُ ك م ع ن َأ مرٍ َفانت ه وا
“Jika aku perintahkan kalian terhadap sesuatu maka laksanakanlah semampu
kalian dan jika aku melarang kalian terhadap sesuatu maka jauhilah” (HR.
Bukhari (77/9) dan Muslim (1337) dari Abu Hurairoh).
Tidaklah samar lagi –dalam menimbang hadits ini- bahwa suatu larangan tidak
ada pilihan padanya. Adapun perintah, maka dikerjakan sesuai dengan
kemampuannya. Perkara yang kami tolak pembahasannya dan sanggah
kontradiktifnya, tidak ada padanya perkara yang lebih rendah, hanya saja
sesungguhnya ghoyah (tujuan)nya –sebagaimana yang telah kusebutkanadalah
kebolehan. Maka apakah kontradiktif antara larangan yang sharih
(terang) dengan hanya kebolehan mukhoyyar (yang dapat dipilih)??
Larangan menurut ulama ushul adalah : “Suatu susunan ucapan yang
menunjukkan tuntutan menahan diri dari suatu perbuatan.” (Irsyadul Fuhul hal.
109 karya asy-Syaukani). Mendahulukan suatu larangan dari perintah ketika
mengkompromikannya telah dikenal dari Salafus Shalih. Ath-Thayalisi
meriwayatkan dalam Musnad-nya (no. 1922) dari jalan Yunus bin ‘Ubaid dari
Ziyaad bin Hubair, ia berkata : “Ibnu ‘Umar ditanya tentang seseorang yang
bernadzar berpuasa pada hari Jum’at, lantas beliau menjawab :
أمرنا بوفاء الندر و ينا عن صوم هذا اليوم
“Kami diperintahkan untuk memenuhi nadzar namun kami dilarang untuk
berpuasa pada hari itu”. Sanadnya hasan (lihat Tuhfatul Asyraf (IX/346) dan
komentar Ibnu Hajar terhadap atsar ini).
Hal ini menunjukkan dalamnya pemahaman Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu, dan
(hal ini menunjukkan) bagaimana beliau mendahulukan larangan ketimbang
perintah di saat mengkompromikannya, karena suatu larangan tidak ada pilihan
padanya. Sebagaimana telah kusebutkan –dan kuulangi lagi- bahwa (hadits)
pengkontradiktif di sini menunjukkan suatu ‘kebolehan’ bukan selainnya!!
Sepatutnya mengarahkan pandangan pembahasan ini pada sisi di bawah ini :
Bahwasanya permasalahan ini turut dipengaruhi oleh kejadian hari Arofah pada
tahun 1408 H. dimana hari itu bertepatan dengan hari Arofah, dan pendapat
mengenainya beraneka ragam.
Sesungguhnya fadhilah (keutamaan) yang warid tentang berpuasa hari ‘Arofah
adalah keutamaan yang besar dan agung, puasa arofah dapat menghapuskan
dosa setahun sebelumnya dan setahun berikutnya (sebagaimana diriwayatkan
oleh Muslim (1162) dari Abu Qotadah, dan juga dari sejumlah sahabat). Lantas,
apakah berpuasa pada hari ini menyelisihi larangan yang datang dari (hadits)
larangan berpuasa hari sabtu?? Ataukah kita berhenti dari puasa dan
meninggalkan ganjaran yang agung ini??
Aku menjawab : Tidak ragu lagi menurut ahli ilmi agar mendahulukan larangan
di atas kebolehan jika keduanya berkumpul pada satu jalan –sebagaimana telah
berlalu penjelasannya-, dan sebagai penerang serta memperkuat hal ini adalah
hadits yang tsabat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau
melarang berpuasa hari arofah di tanah arofah.
Lantas apakah perbedaan di antara kedua larangan ini??
Larangan berpuasa pada hari Sabtu walaupun bertepatan dengan hari Arofah!
Larangan berpuasa pada hari Arofah bagi orang-orang yang berada di tanah
Arofah!
Kedua gambaran ini berhimpun di dalam ketetapan ganjaran bagi orang yang
berpuasa pada hari ‘Arofah, dan ganjarannya adalah penghapus dosa dua
tahun.
Demikian pula keduanya juga berhimpun di dalam larangan, pertama :
dikarenakan hari itu bertepatan dengan hari Sabtu, dan yang kedua :
dikarenakan berada di ‘Arofah. Dan kedua larangan ini adalah bersifat khusus
dan terperinci.
Oleh karena itulah, adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lamin Nubalaa’
(684/10): “Barang siapa yang berpuasa pada hari Arofah di tanah Arofah,
sedangkan ia mengetahui larangannya, dan mengetahui bahwasanya
Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa di tanah ‘Arofah,
demikian pula tidak ada seorang sahabatpun melaksanakannya, maka dari apa
yang kami ketahui, dia tidak benar, wallahu a’lam”
Ibnu Hazm telah menguatkan kebolehan berpuasa Arofah di hari ‘Arofah dalam
al-Muhalla (VII/17-19), dan beliau mendha’ifkan hadits yang datang tentang
larangannya –padahal haditsnya shahih dan tetap - dan beliau menukil dari
Sayyidah ‘Aisyah bahwasnya ‘Aisyah berpuasa pada hari haji!! Aku (Syaikh Ali)
berkata : tidaklah tetap hadits ini darinya sebagaimana ucapan al-Haitsami di
dalam al-Majma’ (III/189) karena sanadnya terputus lagi lemah, dan ia
menyebutkan pula dari jalan yang lain, namun aku tidak mendapati sanadnya
diketahui tsabat pula dari ‘A`isyah.
Dia menukil pula dari al-Hasan bahwasanya ‘Utsman berpuasa pada hari yang
panas yang menaungi dirinya!! Padahal Hasan tidaklah mendengar dari
‘Utsman sebagaimana ucapan al-Alla’i dalam Jami’ at-Tahshil hal. 162.
Yahya bin Ied juga ikut terpedaya dengan atsar Sayyidah ‘Aisyah dalam al-Qoul
ats-Tsabt hal. 6 dengan turut berdalil dengannya. Ketahuilah, sesungguhnya ia
mengkontradiksikan dirinya ketika menetapkan di dalam substansi
perkataannya tentang ketetapan larangan berpuasa pada hari ‘Arofah di tanah
Arofah, kemudian dirinya menukil pendapat Ibnu Hazm di atas!!
Dan serupa juga (dengan perkataan adz-Dzahabi di atas) ialah barang siapa
yang berpuasa pada hari sabtu sedangkan ia mengetahui larangannya ketika
berketepatan dengan puasa hari-hari yang utama seperti hari ‘Asyuura’ atau
‘Arofah ataupun selainnya. Segala puji hanya milik Allah.
Dari penjelasan yang telah lewat, para imam telah menunjukkan bahwa
larangan tidaklah tegak melainkan setelah kebolehan sebagaimana dikatakan
oleh al-Hazimi dalam al-I’tibaar (hal. 126) dan Imam ath-Thahawi sebagaimana
dinukil darinya oleh az-Zaila’iy dalam Nashbu ar-Rooyah (II/234) dan beliau
menetapkannya.
Kedua : Bahwasanya nash hadits tentang larangan berpuasa pada hari Sabtu
menetapkan jazmun bin nafyi qoothi’un (secara tegas penafian yang pasti), yaitu
: “…kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Pengecualian ini
memasukkan jenis-jenis puasa sunnah seluruhnya ke dalam wilayah larangan,
baik puasa sunnah maupun tathowwu’, kecuali puasa wajib maka boleh
berpuasa di hari itu –dan tidak bagi selain puasa wajib-.
Dapat dikatakan di sini : Apakah puasa hari Sabtu adalah –sebagai sesuatu
yang dapat dipilih- setelah berpuasa pada hari Jum’at bagi orang yang
melaksanakannya adalah sesuatu yang wajib ataukah sunnah? Mayoritas akan
menjawab : sunnah! Yang menunjukkan hal ini adalah dikeluarkannya hari
Sabtu bagi orang yang berpuasa di hari Jum’at ketika tidak ada pilihan dalam
menyelesaikannya adalah kita dilarang darinya.
Ketiga : Bahwasanya termasuk tarjiihaat (pendapat pilihan yang dikuatkan) oleh
para ulama adalah menjadikan salah satu dari kedua hadits sebagai nash dan
qoul, dan yang satunya disandarkan padanya istidlal dan ijtihad, maka yang
pertama adalah lebih rajih.
Al-Hazimi berkata di dalam al-I’tibar (hal. 11), dan az-Zaila’iy menukil darinya
dan menetapkannya di dalam Nashbu ar-Royah (III/289), dan demikian pula
pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Fath (I/590). Realitanya kami tidak
menentang penetapan hadits ini, berikut ini penjelasan sempurnanya :
Larangan berpuasa selain puasa wajib pada hari Sabtu adalah sharihun
nashiyun jaliyun (teksnya sangat terang sekali) (diantara sisi tarjih adalah
“mendahulukan perkara yang terang hukumnya ketimbang yang tidak terang”
(Irsyadul Fuhul hal. 279)), sedangkan hadits yang membolehkan dijadikan dalil
dengan nash yang diistinbathkan darinya kebolehan sebagai penyerta (puasa
Jum’at saja). Dan yang sangat jelas adalah bahwa penyerta ini terkadang dapat
diterima, namun selama tidak menyelisihi yang lebih sharih dan terang.
Keempat : Serupa dengan yang telah lewat adalah apa yang disebutkan oleh
para ulama dari segi manthuq (pemahaman teks) dan mafhum (pemahaman
konteks)-nya :
Seorang yang berdalil tentang kebolehan berpuasa pada hari Sabtu dengan
hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh, sesungguhnya ia berdalil dengan mafhum
yang mengisyaratkannya sebagai penyerta akan kebolehannya, sedangkan
hadits Alu Busr sharih (terang) larangannya dari sisi manthuq-nya.
“Beristidlal dengan mafhum tidak dapat menjadi hujjah kecuali jika selamat dari
kontradiksi.” Sebagaimana diutarakan oleh adz-Dzahabi dalam Muktashar
Sunan al-Baihaqi yang menukil arinya az-Zaila`iy di dalam Nashbu ar-Royah
(I/57).
Tambahan Penting : Yahya bin Ied mengklaim dalam al-Qoul ats-Tsabt hal. 7
bahwa hadits Juwairiyah manthuq-nya tidak ada perselisihan di dalamnya, dan
hari berikutnya setelah Jum’at adalah hari Sabtu. Hal ini adalah perkataan
bathil, yang dibangun di atas ketidakfahaman terhadap ucapan ulama ushul
tentang al-Manthuq dan al-Mafhum, sebagai penerang hal ini, aku berkata :
Asy-Syaukani berkata dalam Irsyadul Fuhul hal. 178 : “al-Manthuq adalah apa
yang ditunjukkan oleh lafazh di dalam konteks suatu ucapan, yang menjadi
hukum dari yang disebutkan/diucapkan dan hal dari keadaannya. Al-Mafhum
adalah apa yang ditunjukkan oleh lafazh tidak di dalam konteks suatu ucapan,
yaitu yang menjadi hukum bukan yang disebutkan dan hal dari keadannya.
Kesimpulannya, bahwasanya lafazh merupakan acuan bagi makna yang dipetik
darinya, terkadang dipetik darinya dari segi ucapan yang jelas dan terkadang
dari segi isyarat saja. Yang pertama merupakan manthuq dan yang kedua
merupakan mafhum.” Selesai ucapan –rahimahullahu- sampai di sini.
Di dalam ucapan ini terdapat bantahan yang padat yang mematahkan klaim
Yahya Ied yang menyatakan hadits Juwairiyah sebagai manthuq!! Bagaimana
mungkin dikatakan manthuq padahal hadits Juwiriyah ini tidak menggiring
keterangan hukum puasa hari Sabtu secara bebas (berdiri sendiri) namun
sebagai penyerta, sebagaimana asy-Syaukani mengisyaratkannya dengan
ucapannya : “yaitu yang menjadi hukum adalah selain yang disebutkan dan hal
dari keadaannya”. Hal ini merupakan ’ainul qoul tentang hadits Juwairiyah.
Adapun hadits Alu Busr menggiring kepada keterangan hukum berpuasa hari
Sabtu secara bebas (berdiri sendiri) dengan shighat yang kuat dan mapan yang
tidak dapat dibawa kepada kemungkinan lain. Hal ini secara sendirinya
membatalkan ucapan Yahya ied dari asasnya.
Kelima : Sebagai penguat penjelasan sebelumnya, dan sebagai penjelas bagi
ilmu serta tambahan faidah, kami berkata : Hadits Juwairiyah di dalamnya
terdapat hukum berpuasa pada hari Jum’at yang mengandung dua gambaran :
yaitu bisa jadi beserta hari Kamis atau bisa jadi hari Sabtu. Sedangkan hadits
keluarga Busr datang dengan keterangan ketidakbolehan berpuasa pada hari
Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan. Kami telah menetapkan –sebelumnyabahwa
hadits Juwairiyah sesungguhnya diistidlalkan dari mafhum-nya bukan
dari manthuq-nya, sebaliknya hadits keluarga Busr.
Keenam : Imam Syaukani membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul
Fuhul hal. 146-147) sebagai penetap bahwa pengecualian termasuk shighat
terkuat dalam mengkhususkan yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan
sebagian dari yang masuk ke dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits keluarga
Busr adalah termasuk pengkhusus yang kuat karena nash-nya terang, jelas lagi
sharih dengan menyebutkan pelarangan berpuasa pada hari Sabtu, kecuali
puasa yang wajib. Adapun hadits-hadits lain yang menyebutkan puasa hari
Jum’at bergandengan dengan puasa hari Kamis ataupun Sabtu, atau haditshadits
lainnya yang menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa
Dawud, peny.), ataupun hadits yang menjelaskan berpuasa tiga hari setiap bulan
(puasa hari putih, peny.), kesemua hadits ini adalah dalil yang umum
dibandingkan hadits keluarga Busr. Karena hadits keluarga Busr di dalamnya
terdapat larangan dari segala jenis puasa seluruhnya kecuali yang telah
diwajibkan. Tanpa ragu lagi, bahwa hadits-hadits tersebut yang telah
ditunjukkan seluruhnya datang bukan sebagai puasa yang wajib.
[Selesai di sini ucapan Syaikh Abul Harits ’Ali Hasan hafizhahullahu di dalam
Zahru Roudhi halaman 54-64]
Sebagai tambahan faidah akan saya nukilkan penjelasan Imam al-Albani
mengenai hal ini. Beliau rahimahullahu berkata :
”Barangsiapa yang berpuasa pada hari Jum’at tanpa hari Kamis, maka ia harus
berpuasa pada hari Sabtu karena hal ini menjadi wajib, untuk menyelamatkan
diri dari dosa akibat penyelisihan berpuasa pada hari jum’at secara
bersendirian. Dia dalam keadaan ini masuk ke dalam keumuman sabda Nabi
Shallallahu ’alaihi wa Salam tentang hadits (larangan puasa hari) Sabtu :
”kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Namun hal ini hanya berlaku bagi
orang yang berpuasa hari Jum’at namun ia lalai akan larangan bersendirian
berpuasa pada hari itu. Adapun bagi orang yang mengetahui akan larangannya
maka ia tidak boleh berpuasa pada hari itu, karena ia dalam keadaan ini
berpuasa yang tidak diwajibkan atasnya. Maka keadaan ini tidak masuk ke
dalam keumuman hadits yang telas disebutkan. Dari sini diketahui jawabannya
bahwa apabila berbarengan hari Jum’at dengan hari fadhilah (yaitu jatuhnya
puasa sunnah pada hari Jum’at) maka tidak boleh bersendirian berpuasa
padanya sebagaimana sekiranya bertepatan dengan hari Sabtu, karena puasa
ini tidak menjadi wajib atasnya” [selesai, dinukil dari al-Qouluts Tsabt fi Hurmati
Yaumis Sabti oleh Abu Sanad Muhammad].
Demikian inilah dalil-dalil dan argumentasi yang membantah dalil dan dakwaan
ta’arudh antara hadits Alu Busr dengan hadits-hadits lainnya dari fihak yang
memperbolehkan berpuasa sunnah pada haru Sabtu. Dan masih ada lagi celah
lain yang masih dapat didiskusikan, akan kami tambal pada pembahasan
berikutnya. Bagi yang kurang puas dengan ta’qib kami di atas, silakan
menyanggahnya dengan ta’qib ilmiah dari sisi syaqqul hadits dan syaqqul fiqhi.
Allohu a’lam
Ta’qib 3 : Dakwaan bahwa pendapat yang menguatkan larangan
mutlak puasa sunnah pada hari Sabtu menelantarkan haditshadits
shahih lainnya
Ini dakwaan yang telah tersebar, dan fihak yang memperbolehkan berpuasa
sunnah pada hari Sabtu menjadikan hal ini sebagai salah satu argumentasi
mereka. Mereka beranggapan, bahwa menguatkan larangan puasa sunnah
pada hari Sabtu maka akan menelantarkan hadits-hadits shahih semisal hadits
Juwairiyah dan Abu Hurairoh –radhiyallahu ‘anhum- tentang puasa sunnah hari
Jum’at [sebagaimana telah berlalu penyebutannya], hadits puasa putih (ayyamul
Baidh tiap pertengahan bulan Hijriah), hadits puasa Senin Kamis, hadits puasa
Dawud dan hadits-hadits yang menjelaskan puasa fadhilah lainnya semisal
puasa Asyura, Arafah, dll.
Benarkah klaim ini? Mari kita kupas sedikit demi sedikit. Syaikhuna Abul Harits
‘Ali Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Atsari berkata : “Bahwasanya nushush syar’iyyah
(dalil-dalil syar’i) tidak seluruhnya turun dalam satu siyaq (bentuk) dan satu
waktu, maka seharusnyalah dikompromikan antara dalil yang diduga seakanakan
kontradiktif –padahal realitanya tidaklah kontradiktif- tanpa
membenturkannya antara dalil yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana
masalah kita ini [masalah puasa sunnah hari Sabtu, pent]. Barangsiapa yang
mengkontradiksikan hadits larangan puasa sunnah pada hari Sabtu dengan
hadits yang siyaq-nya menunjukkan nafilah atau istihbab (sunnah) saja, maka
ini adalah ‘ainul munaqodhoh (penentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u
(kompromi) dan inipun sangat jauh dari (metode yang benar). Aku (Syaikh ‘Ali)
katakan : semua aspek yang telah aku jelaskan sebelumnya adalah untuk
menolak adanya dugaan kontradiktif antara hadits larangan dengan lainnya
yang dihadapkan padanya.” [selesai ucapan Syaikh sampai di sini dari Zahru
Roudhi hal. 70).
Untuk itu ada baiknya kiranya kita menelaah dulu sekilas apa itu at-Ta’arudh
atau at-Tanaqudh (kontradiksi) di dalam Ushul Fiqh. Imam Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu di dalam Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 454) berkata : “At-
Ta’arudh secara bahasa artinya adalah at-Taqobul (saling berlawanan) dan at-
Tamanu’ (saling bertentangan). Secara Istilah artinya adalah ‘dua dalil yang
saling bertentangan dimana salah satu dari keduanya menyelisihi lainnya.’ Bab
yang sekarang sedang kita bahas ini, tidaklah kurang urgennya daripada bab
qiyas, karena (bab ini) sangat urgen sekali dimana orang bisa jadi menduga
bahwa ada di dalam kitabullah atau sunnah Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam ada yang saling kontradiksi dan bertentangan, padahal Alloh berfirman
(yang artinya) : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? kalau
sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS an-Nisa` : 82). Maka dianjurkan
untuk tadabbur (merenung/menelaah) dan menjelaskan bahwa dengan
tadabbur tidak mungkin akan ditemukan adanya pertentangan selama-lamanya.
Adapun pertentangan yang terdapat diantara ayat adalah karena zhahirnya
yang berangkat dari kurangnya ilmu seseorang atau kurangnya pemahaman
atau juga karena sikap peremehannya karena tidak mau mentadabburi (Al-
Qur’an dan as-Sunnah). Adapun apabila menyatukan tadabbur dan ilmu serta
kefahaman maka sesungguhnya tidaklah mungkin akan ditemukannya adanya
pertentangan sedikitpun di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasululllah Shallallahu
‘alaihi wa Salam selamanya...” [selesai di sini ucapan al-Imam].
Kemudian al-Imam sang Faqihuz Zaman menerangkan bahwa macamnya
Ta’arudh itu ada 4 macam, yaitu :
Macam Pertama : kedua dalil sama-sama dalil yang ‘am (umum) maka ada 4
keadaan :
1. Apabila memungkinkan untuk menjama’ (mengkompromikan) antara
keduanya kepada keadaan yang tidak saling bertentangan, maka wajib
dijama’. Misalnya firman Alloh Ta’ala (yang artinya) : “Dan Sesungguhnya
kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-
Syuro : 52) dengan firman-Nya (yang artinya) : “Sesungguhnya kamu tidak
dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai” (QS al-
Qoshosh : 56). Maka kompromi kedua ayat tersebut adalah, ayat pertama
dimaksudkan dengannya adalah hidayah dilalah ilal haq (petunjuk untuk
mengarahkan kepada kebenaran atau dengan istilah lain hidayah bayan wa
irsyad, -pent) dan ini tsabit dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ayat yang kedua, dimaksudkan dengannya adalah hidayah taufiq lil ‘amal
dan ini hanyalah hak prerogatif Alloh Ta’ala yang tidak dimiliki oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan selain beliau.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarh-nya (hal. 45)
menjelaskan : “Anda dapatkan bahwa ada sebagian ulama
mengkompromikan antara kedua dalil (yang kontradiktif) dengan begitu
mudah dan terangnya. Anda temukan ada sebagian ulama tidak mampu
mengkompromikannya, dan ada juga dapat anda temukan ulama lainnya
mengkompromikan nushush (dalil-dalil) namun dengan cara yang
memaksakan diri jauh (dari hakikatnya). Yang demikian ini adalah
dikarenakan ilmu dan kefahaman yang dianugerahkan-Nya kepada
seseorang (berbeda-beda tingkatnya, -pent.).
2. Apabila tidak dapat dijama’, dalil yang datang belakangan (dianggap)
sebagai nasikh (penghapus) apabila diketahui tarikh (sejarahnya), maka
diamalkan tanpa mengamalkan yang pertama (yang mansukh/dihapus).
Sebagai contoh hal ini adalah firman Alloh Ta’ala (yang artinya) :
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (memberi
makan fakir miskin), maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (QS al-Baqoroh : 184), ayat ini
menunjukkan adanya pilihan antara memberi makan (orang miskin) atau
berpuasa dengan tetap menguatkan (anjuran) untuk berpuasa. Dan firman-
Nya (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (QS al-Baqoroh : 185), ayat ini menunjukkan kewajiban
puasa secara spesifik yang harus ditunaikan oleh selain orang yang sakit
dan tidak dalam keadaan safar, dan wajib menggantinya (pada hari yang
lain). Dikarenakan ayat ini datang belakangan maka ia menjadi nasikh
(penghapus) ayat sebelumnya sebagaimana ditunjukkan oleh hadits
Salamah bin al-Akwa’ yang tsabit di dalam Shahihain dan selainnya.
3. Apabila tidak diketahui tarikh-nya maka diamalkan yang rajih (tarjih) apabila
ada murojjih-nya. Contohnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam : “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka
hendaklah ia berwudhu” (HR Abu Dawud (181), Turmudzi (82) dan Nasa’i
(I/216) dari hadits Busroh). Nabi juga pernah ditanya oleh seorang lelaki
yang memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab
: “Tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” (HR Ahmad dan
selainnya).
Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam Syarh-nya (hal. 460-461) menjelaskan
sebagai berikut :
“Jadi, kita punya dua hadits di sini. Hadits pertama “Barangsiapa yang
menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu”. Sabda
Nabi “barangsiapa yang menyentuh” ini adalah ‘am (umum), dan sabdanya
“falyatawadhdho’ (maka hendaklah ia berwudhu)”, huruf lam di sini adalah
sebagai perintah dan hukum asal di dalam perintah adalah wajib.
Hadits yang kedua, Nabi juga pernah ditanya oleh seorang lelaki yang
memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab :
“tidak” yaitu tidak wajib wudhu’, “karena sesungguhnya ia hanyalah bagian
dari tubuhmu.” Apakah mungkin jama’ diterapkan di sini?
Jawab : menurut apa yang diutarakan oleh penulis di sini (penulis adalah
Imam Ibnu Utsaimin sendiri, pent.) tidak mungkin dilakukan jama’, dan apabila
kita tidak dapat melakukan jama’ maka kita melakukan tarjih. Dan yang rajih
adalah hadits yang pertama, yaitu sabdanya “Barangsiapa yang menyentuh
dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” dengan empat segi
alasan :
Pertama, karena lebih berhati-hati. Karena apabila anda berwudhu’ setelah
anda memegang kemaluan anda, maka tidak bakal ada orang yang
mengatakan anda telah bersalah. Apabila anda tidak berwudhu’ niscaya
akan ada orang yang berkata “kamu telah salah dan sholatmu tidak sah”.
Maka berwudhu’ lebih hati-hati dan sikap hati-hati itu lebih utama
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang
berhati-hati dari syubhat maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya”
(Muttafaq ‘alaihi dari Nu’man bin Basyir) dan sabdanya : “Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi
(2518) dan beliau mengatakannya hasan shahih. Imam al-Albani
menshahihkannya di dalam Shahihul Jami’ : 3377.2278).
Kedua, karena hadits ini lebih banyak jalur periwayatannya. Sudah maklum
diketahui bahwa hadits yang banyak jalan periwayatannya pastilah lebih kuat
dibandingkan dengan hadits yang tidak banyak jalan periwayatannya.
Ketiga, ulama yang menshahihkannya lebih banyak. Apabila suatu hadits
banyak yang menshahihkannya maka hal ini merupakan dalil atas kekuatan
hadits ini dikarenakan banyaknya yang menshahihkannya.
Keempat, dikarenakan hadits ini berpindah dari asalnya dan di dalamnya
ada tambahan ilmu. Ini juga merupakan sebab-sebab tarjih dimana
dirajihkan yang berpindah dari asalnya ketimbang yang tidak, karena dalam
hal ini ada tambahan ilmu. Sabda Nabi di dalam hadits “Barangsiapa yang
menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” dan
sabdanya “tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu”, manakah
diantaranya keduanya yang selaras dengan asal? Yang kedua. Hadits yang
pertama berpindah dari asalnya karena asalnya adalah tidak wajib, lantas
menunjukkan kepada wajib karena berpindah dari salanya. Dan berpindah
dari hukum asal besertanya ada tambahan ilmu, karena yang pertama tetap
dalam keadaan asalnya seakan-akan ia tidak tahu adanya perubahan.
Contoh lain hal ini yang dapat diindera adalah : apabila datang pada anda
seorang lelaki berkata : “Zaid berdiri”, datang lagi orang lain dan berkata :
“Zaid belum berdiri”, maka yang kedua ini tetap dalam asalnya dan asalnya
adalah tidak berdiri, adapun yang pertama berpindah dari asal. Jadi, pada
orang yang pertama ada tambahan pengetahuan sedangkan orang yang
kedua tidak mengetahui realitanya. Dari hal inilah muncul suatu kaidah yaitu
al-Mutsbit muqoddamun ‘alan Nafyi (“yang ditetapkan lebih dahulukan
daripada yang ditiadakan.”)
Saya berkata : Masalah yang dicontohkan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin ini bisa
dijama’ sebagaimana pernyataan Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam paragraf
berikutnya, bahwa ada sebagian ulama yang menyatakan masih bisanya hal
ini dijama’. Hal ini menunjukkan akan perbedaan ulama di dalam menimbang
hal-hal yang memungkinkan untuk dijama’ ataukah tidak. Akan datang
penjelasannya lebih lengkap dalam mulhaq tanggapan saya kepada al-Akh
al-Fadhil Abu Ishaq.
4. Apabila tidak didapatkan adanya murojjih maka wajiblah tawaqquf
(mendiamkan) dan apabila tidaklah didapatkan hadits semisal yang shahih.
Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam Syarh-nya (hal. 462) menjelaskan : “Apabila
tidak didapatkan adanya murojjih setelah tiga tahapan tadi, yaitu jama’,
naskh dan tarjih, maka wajib untuk tawaqquf. Akan tetapi, haruslah kita
ketahui bahwa ketiga tahapan tersebut adalah sesuatu yang nisbi (tidak
baku), yaitu bisa jadi ada seseorang tidak memungkinkan baginya
melakukan jama’ namun mungkin bagi lainnya, bisa jadi seseorang
mengetahuio tarikh-nya sehingga ia berpandangan yang kedua adalah
nasikh sedangkan yang lainnya tidak tahu, bisa jadi seseorang mengetahui
ada murojjih-nya namun yang lainnya tidak tahu. Hal ini hakikatnya adalah
perkara yang nisbi...”
Macam Kedua : Kedua dalil sama-sama dalil yang ‘khash (khusus) maka ada 4
keadaan (yang sama dengan dalil yang sama-sama ‘am, contoh penerapannya
lihat buku Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul hal. 464-468, -pent .)
1. Apabila memungkinkan untuk menjama’ (mengkompromikan) antara
keduanya kepada keadaan yang tidak saling bertentangan, maka wajib
dijama’.
2. Apabila tidak dapat dijama’, dalil yang datang belakangan (dianggap)
sebagai nasikh (penghapus) apabila diketahui tarikh (sejarahnya).
3. Apabila tidak diketahui tarikh-nya maka diamalkan yang rajih (tarjih) apabila
ada murojjih-nya.
4. Apabila tidak didapatkan adanya murojjih maka wajiblah tawaqquf
(mendiamkan) dan apabila tidaklah didapatkan hadits semisal yang shahih.
Macam Ketiga : Yang kontradiktif adalah dalil yang satunya ‘am dan yang
satunya khash, maka yang ‘am dikhususkan dengan yang khash.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Syarh-nya menjelaskan : “Apabila
dalil yang khash menunjukkan atas suatu hukum dan yang ‘am juga
menunjukkan suatu hukum, maka menjama’ keduanya adalah suatu hal yang
mungkin, dikarenakan dalil yang ‘am menunjukkan hukum pada keseluruhan
bentuknya sedangkan yang khash mengeluarkan sebagian bentuk dari hukum
ini, jadi hingga tidak kontradiktif lagi, karena keduanya menjadi madlul-nya
khash...” [lihat contoh penerapannya lebih lengkap dalam Syarhul Ushul hal.
468-471].
Saya berkata : Ini diantara metode yang digunakan Syaikh Abul Harits di dalam
menjama’ hadits larangan puasa hari Sabtu dengan hadits yang –diklaimmemperbolehkannya.
Akan datang penjelasannya lengkapnya setelah ini.
Macam Keempat : Yang kontradiktif adalah dua dalil yang sama-sama lebih
‘am pada satu sisi sekaligus juga lebih khash pada sisi lainnya. Dalam hal ini
ada tiga keadaan :
1. Apabila dapat menerapkan dalil yang mentakhshish (mengkhususkan)
keumuman salah satu dari dua dalil dengan lainnya, maka hendaklah
ditakhshish. Contohnya adalah firman Alloh Ta’ala (yang artinya) : “Orangorang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. ” (QS al-Baqoroh : 234) dan firman-Nya (yang artinya) : “Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.” (QS ath-Tholaq : 4). Ayat yang pertama,
khusus di dalam wanita yang ditinggal mati suaminya namun umum di dalam
kehamilan dan selainnya. Ayat yang kedua, khusus di dalam kehamilan dan
umum di dalam keadaan janda (ditinggal mati suaminya) dan selainnya.
Akan tetapi dalil menunjukkan untuk mentakhshish keumuman ayat yang
pertama dengan ayat yang kedua. Oleh karena itulah Sabi’ah al-Aslamiyah
melahirkan setelah ditinggal wafat suaminya selama beberapa malam lantas
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengizinkannya untuk menikah lagi
(Muttafaq ‘alaihi).
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata di dalam Syarh-nya (hal. 473) :
“Ucapan “Akan tetapi dalil menunjukkan untuk mentakhshish keumuman
ayat yang pertama dengan ayat yang kedua” yaitu (mentakhshihs)
keumuman ayat pertama (yang memasukkan kondisi) hamil dan tidak hamil
dengan ayat kedua yaitu masa iddah wanita hamil adalah sampai ia
melahirkan baik karena ia ditinggal mati oleh suaminya atau selainnya
(seperti dicerai misalnya, -pent.). Oleh karena itulah dikatakan “dalil
menunjukkan untuk mentakhshish keumuman ayat yang pertama dengan
ayat yang kedua”.”
Ucapan “Sabi’ah al-Aslamiyah melahirkan setelah ditinggal wafat suaminya
selama beberapa malam lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
mengizinkannya untuk menikah lagi”maksudnya yaitu, belum sempurna 4
bulan 10 hari Nabi mengizinkannya untuk menikah lagi.”
2. Apabila tidak dapat menerapkan dalil yang mentakhshish (mengkhususkan)
keumuman salah satu dari dua dalil dengan lainnya maka dilakukan tarjih.
Contohnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Apabila salah
seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah duduk sampai sholat
dua rakaat” dan sabdanya : “tidak ada sholat selepas subuh sampai terbitnya
matahari dan tidak ada sholat selepas ashar sampai terbenamnya matahari”.
Hadits yang pertama menunjukkan kekhususan di dalam tahiyatul Masjid
namun umum di dalam waktu, sedangkan hadits kedua menunjukkan
kekhususan di dalam waktu dan umum di dalam sholat termasuk sholat
tahiyatul Masjid dan selainnya. Akan tetapi yang rajih adalah mentakhsish
keumuman hadits kedua dengan hadits pertama, yaitu dibolehkannya
tahiyatul masjid pada waktu-waktu yang dilarang umumnya sholat di
dalamnya. Sesungguhnya kami rajihkan hal ini dengan alasan mentakhshish
keumuman hadits kedua diperbolehkan pada selain tahiyatul Masjid seperti
mengganti sholat fardhu dan mengulang sholat jama’ah maka dilemahkan
keumumannya.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarh-nya (hal. 477)
menjelaskan : “Apabila ada seseorang setelah sholat Ashar dia teringat
bahwa sholat zhuhurnya tadi tanpa berwudhu’, maka kami katakan padanya
: “sholatlah kamu sekarang”, dan yang merajihkannya adalah sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “maka hendaklah ia sholat apabila
ia mengingatnya” (potongan hadits muttafaq ‘alaihi), maka yang umum
dikalahkan. Demikian pula dengan “mengulangi sholat jama’ah”, seperti
apabila anda telah sholat di satu masjid kemudian anda pergi ke masjid lain
dan anda dapatkan jama’ah sedang sholat, maka sholatkan bersama
mereka, sebagai pengejawantahan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“apabila kalian berdua sholat di dalam perajalanan kalian, kemudian kalian
tiba di masjid yang jama’ah tengah sholat padanya, maka sholatlah bersama
mereka karena akan terhitung sebagai nafilah bagi kalian.” (HR Abu Dawud
(575), Turmudzi (219), Nasa’i (II/112) dan selainnya)...”
3. Apabila tidak dapat menerapkan dalil dan tidak pula merajihkan keumuman
salah satunya dengan yang kedua, maka wajib mengamalkan kedua-duanya
di dalam bagian yang tidak saling kontradiktif fan tawaqquf di dalam
gambaran yang ada kontradiktif padanya. Namun, tidaklah mungkin ada
kontradiktif diantara dalil-dalil pada satu masalah yang sama yang tidak
dapat dijama’, dinaskh ataupun ditarjih, karena dalil-dalil itu tidak ada yang
kontradiktif (pada realitanya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah
menerangkan dan menyampaikan, namun bisa jadi hal ini terjadi
dikarenakan pemahaman seorang mujtahid yang kurang, wallohu a’lam.
[selesai di sini ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu secara diringkas dari kitab Syarhul
Ushul min ‘Ilmil Ushul hal. 454-481. lebih lengkap silakan rujuk kitab yang bermanfaat tersebut.
Lihat pula pembahasan yang sama dalam kitab-kitab Ushul Fiqh lainnya].
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan atau
kontradiksi nyata antara hadits Alu Busr dengan hadits lainnya. Karena dalam
hal ini, metode jam’u sekaligus tarjih dapat digunakan. Apabila ditanyakan :
Metode jam’u manakah yang digunakan dalam hal ini? Risalah ini bagian kedua
telah menyebutkannya, namun tidak ada salahnya apabila saya nukil kembali,
yaitu :
Syaikh Abul Harits dalam bantahan poin ke-6 berkata “Imam Syaukani
membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul Fuhul hal. 146-147) sebagai
penetap bahwa pengecualian termasuk shighat terkuat dalam mengkhususkan
yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan sebagian dari yang masuk ke
dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits keluarga Busr adalah termasuk
pengkhusus yang kuat karena nash-nya terang, jelas lagi sharih dengan
menyebutkan pelarangan berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang wajib.
Adapun hadits-hadits lain yang menyebutkan puasa hari Jum’at bergandengan
dengan puasa hari Kamis ataupun Sabtu, atau hadits-hadits lainnya yang
menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa Dawud, peny.),
ataupun hadits yang menjelaskan berpuasa tiga hari setiap bulan (puasa hari
putih, peny.), kesemua hadits ini adalah dalil yang umum dibandingkan hadits
keluarga Busr. Karena hadits keluarga Busr di dalamnya terdapat larangan dari
segala jenis puasa seluruhnya kecuali yang telah diwajibkan. Tanpa ragu lagi,
bahwa hadits-hadits tersebut yang telah ditunjukkan seluruhnya datang bukan
sebagai puasa yang wajib.” [lihat Zahru Roudhi hal 64]. Maka yang demikian ini
tidak menelantarkan salah satu dari kedua dalil.
Sekarang apabila kita menggunakan metode jam’u dengan memalingkan lafazh
hadits dari zhahir-nya dengan menggunakan indikasi hadits-hadits yang
dianggap sebagai pengkontradiksi hadits larangan, yaitu memahami hadits Alu
Busr sebagai berikut :
1. Memalingkan makna nahyu dalam hadits ini kepada karohah tanzih dan
bahkan kepada makna ibahah (mubah).
2. Memalingkan zhahir hadits Alu Busr kepada pemahaman larangan akan
tegak apabila dilakukan secara infirad (bersendirian), tidak diiringi dengan
sehari sebelum dan setelahnya.
3. Memalingkan zhahir hadits Alu Busr kepada pemahaman larangan akan
tegak apabila dilakukan dengan maksud takhshish dan ta’zhim.
Berikut ini adalah tanggapan dan jawaban terhadap argumentasi di atas.
Pertama, memalingkan makna nahyu kepada karohah tanzih atau bahkan
ibahah memerlukan qorinah yang kuat di dalamnya. Karena apabila tidak, maka
akan terlantarlah maksud hadits larangan (Alu Busr) ini dan seakan-akan sabda
Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tidaklah berfaidah.
Telah maklum di dalam kaidah Ushul Fiqh bahwa larangan itu membuahkan
keharaman kecuali apabila ada qorinah yang memalingkannya. Imam asy-Syafi’i
di dalam ar-Risalah, sebagaimana dinukil oleh az-Zarkasyi (az-Ziriksyi) dalam
al-Bahrul Muhith (II/426) berkata : ”Apa yang dilarang oleh Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wa Salam maka hal ini menunjukkan keharaman sampai
datangnya suatu dilalah (dalil yang menunjukkan) bahwa maksud dari larangan
ini bukanlah tahrim.” Imam Syafi’i di dalam al-Umm, kitab Shifatul Amri wan
Nahyi juga berkata : ”larangan dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam
apabila suatu yang telah dilarang maka haram hukumnya sampai datang dalil
yang menunjukkan akan ketidakharamannya.”
Telah dipaparkan terdahulu pada risalah bagian pertama, bahwa hadits Alu Busr
ini memiliki larangan yang kuat dan mantap yang apabila larangannya harus
dipalingkan dari zhahirnya maka haruslah dengan qorinah yang kuat. Berikut ini
akan saya turunkan lagi penjelasannya sebagai penguat dan penambah faidah :
4. Lafazh Laa tashuumuu yawmas Sabti merupakan bentuk nahyu (larangan)
yang tegas. Di dalam kaidah ushul fiqh telah maklum dikatakan : Al-Ashlu fin
Nahyi an yadulla ‘alat tahriim (hukum asal di dalam larangan menunjukkan
keharamannya), wa qod yadullu an-Nahyu ‘alal karohah faqoth in iqtarona
bihi qoriinah tamna’u dilaalatahu ‘alat tahriim (terkadang larangan
menunjukkan kepada kemakruhan saja apabila disertai dengan indikasi yang
mencegah penunjukannya kepada keharaman), seperti misalnya hadits wa
iyyakum wal julusa fith thuruqot (jauhilah kalian duduk-duduk di jalanan),
kemudian Rasulullah mengizinkannya apabila memberikan kepada jalan
hak-haknya. Sekarang indikasi apakah yang mengharuskan memalingkan
kata laa tashuumuu yawmas sabti di atas kepada makna karohah tanzih
bukan tahrim?!!
5. Lafazh fa in lam yajid ahadukum illa liha`a ‘inabatin aw ‘uuda syajarotin.
Lafazh ini merupakan tasydid (penguat) yang pasti di dalam larangan. Kata
lihaa`u inabatin (kulit pohon anggur) atau ‘uuda syajarotin (ranting pohon)
menunjukkan bahwa kedua hal ini bukanlah makanan yang umum/lazim
dikonsumsi manusia, namun Rasulullah tetap memerintahkan untuk
memakannya sebagai ifthar (buka puasa) agar seseorang tidak berpuasa
pada hari Sabtu. Bukankah telah maklum bahwa ucapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam itu tidak ada yang sia-sia dan ucapan beliau itu adalah
ucapan yang ringkas namun padat maknanya. Lantas apa faidah sabda
beliau di atas apabila perintah untuk makan kulit dan ranting pohon ini hanya
membuahkan kepada makruh, yang apabila diamalkan tidak apa-apa namun
apabila ditinggalkan mendapatkan pahala. Ini artinya jam’u seperti ini yang
semula hendak menghindarkan terlantarnya hadits-hadits Nabi yang lainnya,
malah menyebabkan terlantarnya hadits ini dan menelantarkan maknamakna
yang ada di dalamnya. Allohumma.
6. Lafazh Falyamdhugh-hu (maka kunyahlah), dengan lam amr yang berarti
perintah. Telah maklum bahwa hukum asal perintah itu adalah wajib kecuali
ada dalil yang memalingkannya. Sekarang dalil apakah yang memalingkan
perintah ini? Perintah ini merupakan perintah untuk mengunyah kulit dan
ranting pohon (kayu) yang bukan merupakan makanan manusia, sebagai
tasydid untuk membatalkan puasa seseorang yang berpuasa pada hari
Sabtu. Lantas, apakah memalingkan kewajiban di sini kepada sunnah atau
mubah untuk berpuasa sunnah pada hari Sabtu tidak menelantarkan makna
lafazh dalam hadits ini?
Jadi, memalingkan zhahir larangan di sini haruslah membutuhkan qorinah
(indikasi) yang sangat kuat sehingga tidak menelantarkan makna lafazh hadits
dari lisan yang ma’shum, seorang yang ucapannya adalah jami’ul kalim (ringkas
namun padat makna) yang tidak mungkin beliau mengucapkan sesuatu yang
sia-sia, yang mana zhahir-nya dapat dipalingkan kepada bukan yang ditangkap
oleh indera pada lahiriyah ucapan beliau.
Kedua, memalingkan makna hadits kepada yang tidak tampak darinya, yaitu
larangannya dibawa kepada apabila puasa dilakukan secara infirad
(bersendirian). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan jelas
menyatakan :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا فِي ما اْفتر ض اللَّه عَلي ُ ك م))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan
atas kalian.”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menggunakan lafazh larangan
sebagaimana Rasulullah melarang puasa hari Jum’at. Apabila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا َأ ْ ن ت ص وم و ي وما َقبَله َأ و ي وما ب ع دُه))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang kalian
lakukan dengan sehari sebelum dan setelahnya.” maka tepatlah klaim di atas
tanpa perlu melakukan pemalingan-pemalingan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Hadits larangan
berpuasa pada hari Sabtu di atas tidak boleh diartikan dengan larangan apabila
bersendirian, tidak digandeng dengan hari lain. Karena lafazh hadits tersebut
adalah :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا فِي ما اْفتر ض اللَّه عَلي ُ ك م))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan
atas kalian.”
Sedangkan istitsna` (pengecualian) itu adalah dalil tanawul (yang mencakup
semuanya selain yang dikecualikan), maka hadits tersebut mencakup segala
bentuk puasa (yang diwajibkan).
Apabila tidak demikian dan larangan yang dimaksud adalah puasa secara
bensendirian, tidak digandeng dengan hari sebelum dan setelahnya, tentu (nabi)
tidak akan menyebutkan puasa yang wajib sebagai pengecualiannya. Karena
tidak mengandung makna bersendirian maka pengecualian dalam hadits ini
merupakan dalil masuknya segala hal yang tidak dikecualikan. Berbeda dengan
hadits berpuasa pada hari Jum’at yang menjelaskan larangan jika dikerjakan
dengan bersendirian, tidak digandeng dengan hari-hari lain.” (Iqtidha’ ash-
Shirathal Mustaqim : II/572).
Imam al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah (hal. 406) :
“Seandainya bentuk puasa yang digandeng tidak dilarang, tentu digunakan
untuk mengecualikan larangan tersebut lebih utama daripada pengecualian
dengan puasa yang diwajibkan, sebab syubhat tentang keumuman hadits di
atas lebih jauh dari keumuman puasa yang digandeng. Maka jika pengecualian
yang ada hanyalah pada puasa yang diwajibkan, berarti selain itu tidak ada
yang dikecualikan sebagaimana yang telah jelas.”
Saya berkata : Hal ini yang menyebabkan Imam al-Albani rahimahullahu tidak
menjama’ hadits Alu Busr dengan hadits lainnya, dikarenakan beliau
beranggapan bahwa apabila jam’u dilakukan maka akan menghilangkan atau
membatalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan ini merupakan
penghalang dilakukannya jam’u. Kemudian, tarjih yang beliau lakukan tidak
menelantarkan seluruh hadits yang dikontradiksikan, bahkan bisa tarjih yang
beliau lakukan bisa mengamalkan sebagian besar hadits-hadits tersebut tanpa
adanya kontradiksi.
Ketiga : memalingkan zhahir hadits kepada pengkhususan menjadi terlarang
apabila dilakukan dengan takhshish dan ta’zhim. Pendapat ini sebenarnya
berangkat dari jam’u dengan hadits Ummu Salamah dan ‘A`isyah sebagaimana
telah dikemukakan pada risalah bagian 2 sekaligus bantahannya. Lafazh hadits
Alu Busr ini adalah shahih tanpa menyisakan adanya syak sedikitpun dan hadits
yang shahih adalah hujjah binafsihi (hujjah dengan sendirinya), tanpa perlu
melihat apakah ada imam atau ulama sebelumnya yang pernah
mengamalkannya. Sedangkan hadits yang dikontradiksikan, yaitu hadits Ummu
Salamah dan ‘A`isyah, maka kedua hadits ini adalah hadits yang dha’if tidak
dapat digunakan untuk berhujjah apalagi untuk dikontradiksikan dengan hadits
yang shahih.
Membawa pemahaman hadits larangan kepada takhsish dan ta’zhim
merupakan bentuk pengkhususan yang memerlukan dalil dan tidak ada dalilnya
di dalam hal ini kecuali hanya implikasi dari jam’u yang dilakukan dengan haditshadits
lainnya. Telah dikemukakan pada ulasan sebelumnya sebagiannya,
bahwa tidak ada kontradiksi yang nyata pada hadits larangan dengan hadits
yang membolehkan –akan datang penjelasan rincinya setelah ini-, sehingga
dengan demikian, mengkhususkan larangan pada tanpa takhsish dan ta’zhim
tidaklah tepat. Allohu a’lam.
Sebelum menginjak ke pembahasan lebih lengkap, akan saya rangkumkan
beberapa poin penguatan hadits larangan (hadits Alu Busr) dibandingkan hadits
yang dikontradiksikan, dalam beberapa poin berikut :
1. Kaidah : an-Nahyu yaqtadhi at-Tahrim (larangan membuahkan keharaman)
apabila tidak ada qorinah (indikasi) yang memalingkannya. Dan yang rajih –
menurut kami- adalah tidak ada qorinah yang kuat yang dapat memalingkan
nahyu di sini menjadi karohah apalagi ibahah, bahkan memalingkannya
menjadi karohah tanzih terlebih lagi ibahah akan membatalkan makna hadits
nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang shahih dan seakan-akan menyatakan
bahwa lafazh nabi dalam hadits ini sia-sia. Allohu a’lam.
2. Kaidah : al-Istitsna’ dalilut Tanawul (pengecualian itu dalil yang mencakup
semuanya kecuali yang dikecualikan). Hadits Alu Busr jelas-jelas secara
tegas menunjukkan bahwa dilarang berpuasa pada hari Sabtu illa fiima
ufturidha ‘alaikum (kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian). Maka
konsekuensinya, semua puasa pada hari Sabtu terlarang kecuali hanya
puasa yang wajib saja, karena istitsna´di sini memasukkan semua jenis
puasa nafilah dan mustahabbah kecuali puasa wajib saja. Memalingkan
maknanya kepada tanpa infirad maka membatalkan sabda Nabi yang mulia
ini.
3. Kaidah : al-Manthuq muqoddam ‘alal Mafhum (makna lafazh yang tersurat
lebih didahulukan daripada makna yang tersirat). Hadits Alu Busr yang
melarang puasa sunnah hari Sabtu adalah hadits yang jelas manthuq-nya
dan tegas larangannya untuk tidak berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa
yang diwajibkan disertai dengan tasydid (penguatan) untuk berbuka dengan
kayu dan ranting pohon, padahal keduanya ini bukan makanan yang lazim
dikonsumsi. Sedangkan hadits yang dikontradiksikan yaitu hadits Juwairiyah
dan Abu Hurairoh berbicara tentang larangan puasa hari Jum’at secara
bersendirian atau bukan pada puasa yang biasa dilakukan. Kedua hadits ini
hanya difahami darinya secara mafhum tentang bolehnya berpuasa pada
haru Sabtu. Demikian pula dengan hadits-hadits lainnya semisal hadits
puasa Dawud, hadits ayyamul baidh (hari-hari putih), hadits nafilah seperti
puasa ‘Asyura` dan ‘Arofah, dan lain-lainnya. Kesemua hadits ini diistidlalkan
dari mafhum-nya bukan dari manthuq-nya. Maka, al-Manthuq muqoddamun
‘ala Mafhum.
4. Kaidah : an-Nahyu muqoddamun ‘alal Amri (larangan lebih didahulukan
ketimbang perintah), demikian yang dikatakan oleh Imam asy-Syaukani
dalam Irsyadul Fuhul (II/390). Lantas bagaimana apabila an-Nahyu
dikontradiksikan dengan al-ibahah (kebolehan)? Telah jelas bahwa hadits
Alu Busr menunjukkan larangan yang tegas, sedangkan hadits yang
dikontradiksikannya hanyalah membuahkan ibahah saja, bukan perintah.
Apabila larangan lebih didahulukan ketimbang perintah, bagaimana lagi
dengan kebolehan?!
5. Kaidah : idza ta’aarodho qoulaani baynal karoohah wat tahriim fayurojjihu al-
Qoula bit Tahriim (apabila dua pendapat saling kontradiksi antara yang
menyatakan makruh dan haram, maka dikuatkan yang mengharamkannya).
Karena hukum asal larangan adalah haram, maka mengembalikan ke asal
adalah lebih utama. Terlebih lagi apabila tidak ada qorinah yang dapat
memalingkannya menjadi karohah. Dan alhamdulillah tidak ada dalil yang
kuat untuk memalingkan hadits Alu Busr –menurut pendapat kami- dari
tahrim menjadi karohah.
6. Kaidah : al-Hazhir muqoddamun ‘alal Mubih (dalil melarang lebih
didahulukan daripada dalil yang membolehkan). Demikianlah yang
dijelaskan oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Ahkaamu Ahlidz
Dzimmah (I/529), yang mana hal ini menurut beliau dikarenakan tiga alasan :
(1) menguatkan hukum asal larangan, (2) sikap kehati-hatian supaya tidak
jatuh kepada keharaman dan (3) mengembalikan kepada hukum asalnya
yang haram. Telah jelas bahwa hadits Alu Busr adalah dalil al-Hazhir
sedangkan hadits-hadits yang dikontradiksikan adalah dalil al-Mubih, maka
al-Hazhir muqoddamun ‘alal Mubih.
7. Kaidah : Dalil Naqil ‘anil Ashli muqoddamun min dalil mabqi ‘alayhi (dalil
yang berpindah dari hukum asalnya lebih didahulukan daripada dalil yang
masih tetap dalam asalnya), sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu
‘Utsaimin pada macam ta’arudh pertama antara dua dalil yang ‘am pada
macam ketiga bagian ke-4 di atas, beliau menyatakan bahwa dalil yang
beranjak dari asalnya itu lebih memiliki tambahan ilmu daripada yang tetap.
Secara asal, diperbolehkan berpuasa pada semua hari-hari yang ada,
namun ada yang berpindah/berubah dari asalnya menjadi haram, semisal
berpuasa pada hari iedain, tasyriq, yaumu syak termasuk juga hari Sabtu
serta hari Jum’at secara bersendirian. Maka dalil yang berpindah dari asal
lebih didahulukan daripada yang tetap dalam asalnya.
8. Kaidah : al-Khash yaqdhi ‘alal ‘am (yang khusus menetapkan bagi yang
umum) sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(I/89) atau Bina` al-‘Am ‘alal Khosh (dalil yang umum dibangun di atas dalil
yang khusus) sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syaukani dalam Irsyadul
Fuhul (163). Imam Syaukani menjelaskan : “Dan telah ada ketetapan
bahwasanya dalil yang khusus lebih kuat daripada dalil yang umum
sedangkan dalil yang lebih kuat itulah yang lebih dirajihkan. Selain itu, dalil
yang umum jika dikerjakan akan menelantarkan dalil yang khusus
sedangkan menjalankan yang khusus tidak akan menelantarkan yang
umum...” Telah diketahui bahwa hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh -yang
dikontradiksikan dengan hadits Alu Busr- menjelaskan puasa hari Jum’at
yang disertai dengan dua bentuk, disertai dengan hari Kamis atau disertai
dengan hari Sabtu. Sedangkan hadits Alu Busr secara tegas menjelaskan
larangan puasa hari Sabtu kecuali yang diwajibkan. Telah dijelaskan bahwa
hadits Juwairiyah mengandung pemahaman secara tidak langsung
(mafhum) sedangkan hadits Alu Busr mengandung pemahaman langsung
(manthuq). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hadits Alu Busr lebih
khusus dan spesifik di dalam melarang hari Sabtu sedangkan hadits
Juwairiyah lebih umum dan bersifat mukhoyar (boleh dipilih) antara disertai
hari Kamis atau Sabtu. Maka, hadits Alu Busr dapat mengeluarkan shuroh
(bentuk) hari Sabtu karena lebih spesifik daripada hadits Juwairiyah. Allohu
a’lam.
Demikian inilah beberapa segi penguatan hadits Alu Busr dibandingkan hadits
yang dianggap memperbolehkan. Untuk menyempurnakan faidah, maka akan
saya turunkan beberapa contoh berikut ini :
1. Puasa seorang isteri tanpa izin suaminya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Tidak halal bagi seorang
wanita berpuasa sedangkan suaminya ada tanpa izinnya…” (HR Bukhari).
Seandainya ada seorang wanita hendak melakukan puasa nafilah, puasa
‘Arofah atau ‘Asyura` misalnya, yang ganjarannya sangat luar biasa, namun
ia melakukannya tanpa izin suaminya, apakah boleh ia melakukannya?
Jawabnya tentu saja tidak boleh, karena ia menyelisihi larangan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka dalam hal ini didahulukan larangan atas
sunnah. Allohu a’lam.
2. Puasa pertengahan bulan Sya’ban.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Apabila telah masuk
pertengahan bulan Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa...” (HR Abu
Dawud dan Turmudzi, dishahihkan al-Albani). Apabila ada seseorang ia
hendak melakukan puasa Senin Kamis atau puasa Dawud pada
pertengahan bulan Sya’ban ini padahal ini bukanlah kebiasaannya, bolehkan
ia melakukannya? Jawabnya adalah tidak boleh, karena ia menyelisihi dalil
larangan dari Nabi, karena larangan didahulukan atas kebolehan.
3. Puasa pada hari Tasyriq
Telah tsabat larangan berpuasa pada hari tasyriq. Apabila ada seseorang
yang biasa melakukan puasa Dawud, atau Senin Kamis –misalnya-,
bolehkah ia melakukan puasanya pada hari Tasyriq? Jawabnya tentu saja
tidak boleh. Karena larangan lebih didahulukan daripada kebolehan.
4. Puasa ‘Arofah bagi orang yang berada di ‘Arofah
Puasa ‘Arofah sangat besar sekali ganjarannya, karena diampuni dosa kita
setahun sebelum dan setelahnya. Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu ketika
ditanya oleh ‘Ikrimah tentang berpuasa ‘Arofah di ‘Arofah, beliau berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang berpuasa ‘Arofah di
‘Arofah” (HR an-Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Bukhari dalam
Tarikh al-Kabir, dll –lihat perincian takhrijnya dalam Zahru Roudhi hal. 74-82
dan penilaiannya yang minimal dikatakan hasan). Apakah dalam hal ini jika
ada seseorang berpuasa ‘Arofah di tanah ‘Arofah benarkah puasanya?
Imam adz-Dzahabi di dalam Siyaru ‘Alamin Nubala’ (X/684) menyatakan
bahwa puasanya tidak benar. Hal ini dikarenakan ia menyelisihi hadits
larangan Nabi yang shahih.
Saya berkata : dari keempat contoh di atas, kenapa kita tidak menerapkan hal
yang serupa pula pada hadits larangan berpuasa hari Sabtu? Bukankah hadits
Alu Busr juga shahih sebagaimana hadits-hadits larangan di atas? Bukankah
hadits Alu Busr sama-sama merupakan larangan yang tegas sebagaimana
hadits-hadits di atas yang dikontradiksikan dengan hadits-hadits nafilah atau
sunnah?!
@ @ÕzÜß
الرد على تعقيب أبي اسحاق حول مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض
MULHAQ (TAMBAHAN)
BANTAHA TERHADAP TA’QIB ABU ISHAQ SEPUTAR
MASALAH PUASA SUNNAH HARI SABTU
Berikut ini jawaban atas sanggahan al-Akh al-Ustadz yang singkat namun padat
dan berat untuk dijawab. Saya harus menunda sekian lama untuk menjawab
sanggahan beliau karena beberapa sebab, diantaranya selain kesibukan yang
melanda, juga karena sangat minimnya referensi yang saya miliki untuk merujuk
pasca saya tinggal di Malang. Namun, mudah-mudahan yang sedikit ini bisa
sedikit menjadi jawaban yang sangat singkat yang tidak ‘mengenyangkan dan
tidak pula dapat menghilangkan dahaga’. Namun, sesuatu yang tidak dapat
diamalkan seluruhnya tidak ditinggalkan sebagiannya.
Tanggapan 1 : Bersandar dengan pemahaman salaf
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : “Hanya saja ada satu hal yang saya ingin
kita sepakat terlebih dahulu. Yaitu apakah yang dimaksud dengan manhaj salaf
dalam arti sikap atau implementasinya dalam segala sisi termasuk masalah fiqih
dan ushul fiqih? Sejauh mana kita akan menggunakan atau bersandar pada
ucapan atau pemahaman mereka? Ini tentu merupakan kaedah yang harus
dipegang, karena di sanalah kita akan memulai merajut kata putus untuk setiap
permasalahan.”
Jawab :
Tentu saja kita harus berpegang kepada manhaj salaf dalam semua sisi. Baik
aqidah, manhaj, ibadah, akhlaq, fiqh dan lain sebagainya. Dan tidak ada
perbedaan antara kita di dalam masalah ini. Mungkin al-Akh al-Ustadz Abu
Ishaq memahami perkataan saya di dalam masalah yang sedang kita
diskusikan ini keluar dari konteksnya, dengan melihat bahwa saya belum dapat
menunjukkan siapakah salaf saya atau salaf mereka yang berpegang dengan
pendapat larangan puasa sunnah pada hari Sabtu secara mutlak. Sebagiannya
telah saya singgung pada risalah saya yang pertama, namun insya Alloh akan
saya jelaskan kembali secara lebih terperinci agar tidak menimbulkan
kesalahfahaman, seakan-akan mereka yang berpegang dengan pemahaman ini
adalah pemahaman yang muhdats yang tidak dikenal melainkan setelah abad
14 hijriah ini –akan tampak zhahir ucapan ini dari al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq
pada paragraf-paragraf berikutnya-.
Demikian pula klaim Syaikh Yahya bin Isma’il Ied dalam bukunya al-Qoulu ats-
Tsabti yang dibantah oleh Syaikh Abul Harits ‘Ali Hasan al-Halabi, dan Syaikh
Abu ‘Umar al-Utaibi dalam risalahnya yang berjudul al-Qoulul Qowim yang
dibantah oleh Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir dan Syaikh ‘Ali Ridha.
Tanggapan 2 : Hanya ada Dua kesimpulan : makruh dan mubah!!!
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Saya hanya coba meresapi, bahwa
masalah hukum puasa pada hari sabtu telah populer semenjak jaman dahulu.
Berpulang pada satu hadits dan berujung pada dua kesimpulan, boleh dan
makruh. Kesimpulan ini tentunya didasarkan pada pemahaman mereka akan
hadits tersebut serta semua hadits terkait dengan segala argumentasi
pendukungnya. Ternukil dengan sempurna sampai abad 20 tiba.
Al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq juga berkata : “Penghukuman haram berpuasa
sunnah pada hari sabtu dengan semata bersandar pada zhahir lafazh adalah
tidak pernah dikenal sama sekali sebelum abad 20 bahkan di kalangan madzab
zhahiri sekalipun! Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka
yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali
sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14
abad lamanya.
Kitab-kitab dirayah hadits dan fiqih sudah mudawwan, aqwal ulama sudah jelas
tertulis dan sempurna diwariskan, maka siapakah atau dimanakah anda jumpai
pendahulu anda yang mengatakan bahwa larangan ini bermakna haram?
Bahkan mereka yang menolak hadits ini semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qayyim pun berujung pada kesimpulan yang sama –‘ala fardhi sihhatihi- dengan
para ulama lain yang menerima hadits ini.”
Jawab :
Ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq “Saya hanya coba meresapi, bahwa
masalah hukum puasa pada hari sabtu telah populer semenjak jaman dahulu.
Berpulang pada satu hadits dan berujung pada dua kesimpulan, boleh dan
makruh” perlu ditelaah kembali. Ada beberapa catatan yang perlu diberikan di
sini.
Kesimpulan yang dipetik dari hasil peresapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq yang
berujung pada kesimpulan ibahah dan karohah tampaknya perlu dikritisi
kembali. Saya telah menunjukkan pada risalah bagian pertama ucapan Syaikh
Abul Harits al-Halabi di dalam menyanggah Syaikh Yahya Ied dan ta’qib Syaikh
Alu Thohir terhadap risalah Syaikh al-Utaibi mengenai masalah ini. Namun
untuk lebih memperjelas hal ini, maka akan saya turunkan ucapan Imam ath-
Thohawi rahimahullahu yang menyebutkan akan adanya khilaf dalam masalah
ini dimana al-Akh Abu Ishaq mengklaim bahwa hanya ada dua ujung
kesimpulan yaitu ibahah dan karohah tanzih.
Berkata Imam ath-Thohawi dalam Syarh Ma’anil Atsar (II/79-80) tentang puasa
hari Sabtu yang bukan wajib :
فذهب قوم إلى هذا الحديث ، فكرهوا صوم يوم السبت تطوعا . وخالفهم في ذلك آخرون ، فلم يروا
بصومه بأسا وكان من الحجة عليهم في ذلك ، أنه قد جاء الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
أنه ى عن صوم يوم الجمعة إلا أن يصام قبله يوم ، أو بعده يوم , وقد ذكرنا ذلك بأسانيده ، فيما
تقدم من كتابنا هذا ، فاليوم الذي بعده ، هو يوم السبت , ففي هذه الآثار المروية في هذا ، إباحة صوم
يوم السبت تطوعا ، وهي أشهر وأظهر في أيدي العلماء من هذا الحديث الشاذ ، الذي قد خالفها .
“Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan hadits ini, maka mereka
membenci [sengaja saya menterjemahkan dengan kata membenci bukan
memakruhkan, karena kedua hal ini beda sebagaimana akan datang
penjelasannya, pent.] puasa sunnah pada hari Sabtu. Sedangkan yang lainnya
menyelisihi mereka dan memandang puasa di dalamnya tidak mengapa, dan
diantara yang menjadi dalil mereka atas pendapat ini adalah hadits yang datang
dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau melarang
berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila diiringi dengan puasa sehari sebelum
atau setelahnya. Kami telah menyebutkannya dengan sanadnya di dalam buku
ini sebelumnya. Hari setelahnya adalah hari Sabtu. Maka di dalam atsar yang
diriwayatkan ini menunjukkan bolehnya bepuasa sunnah pada hari Sabtu dan
adalah pendapat yang paling masyhur dan tampak di tengah-tengah para ulama
bahwa hadits ini (larangan puasa hari Sabtu) adalah syadz yang menyelisihi
atsar di atas.
Ucapan Imam ath-Thohawi : “Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan
hadits ini, maka mereka membenci puasa sunnah pada hari Sabtu. Sedangkan
yang lainnya menyelisihi mereka dan memandang puasa di dalamnya tidak
mengapa” menunjukkan bahwa ada ulama yang berpendapat dengan larangan
mutlak (haram). Dan ucapan Imam ath-Thohawi rahimahullahu yang
menyebutkan فكرهوا (mereka membenci) yang dimaksud adalah karohah lit tahrim
bukan karohah lit tanzih. Berikut ini penjelasannya :
Pertama : Makna hadits yang menunjukkan larangan secara mutlak dengan
tegas dan terang, sebagaimana telah berlalu penjelasannya.
Kedua : Bahwasanya Imam ath-Thohawi sendiri mengetahui bahwa hadits ini
menunjukkan dilalah secara zhahir kepada larangan, sebagaimana dalam
ucapan beliau “Maka di dalam atsar yang diriwayatkan ini menunjukkan
bolehnya bepuasa sunnah pada hari Sabtu dan adalah pendapat yang paling
masyhur dan tampak di tengah-tengah para ulama bahwa hadits ini (larangan
puasa hari Sabtu) adalah syadz yang menyelisihi atsar di atas” dimana beliau
menghukumi hadits ini dengan syadz dikarenakan adanya hadits yang
memperbolehkan berpuasa pada hari Sabtu, sedangkan hadits larangan
menyelisihinya dengan mengharamkan puasa pada hari Sabtu, maka beliau
menghukuminya sebagai syadz. Penilaian syadz ini telah dijawab dalam risalah
bagian 2 dan pada artikel “Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”.
Ketiga : Sesungguhnya al-Ahnaaf (ulama bermadzhaf Hanafiyah) apabila
memutlakkan kata karohah maka maknanya adalah haram, dan telah maklum
bahwa Imam ath-Thohawi rahimahullahu termasuk salah satu pembesar
madzhab Hanafiyah. Imam al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Tahdzirus
Saajid :
والكراهة عن الحنفية إذا أطلقت فهي للتحريم كما هو معروف لديهم
“Karohah menurut Hanafiyyah apabila dimutlakkan maka bermakna
pengharaman sebagaimana telah dikenal di kalangan mereka.”
Keempat : Sesungguhnya kaum salaf shalih secara umum, apabila mereka
memutlakkan kata karohah maka maknanya adalah haram. Terkadang mereka
memaksudkannya sebagai karohah tanzih namun seringkali ketika mereka
memutlakkannya kepada sesuatu maka maksudnya adalah haram. Hal ini
sebagai salah satu bentuk tawaru’ (kehati-hatian) mereka di dalam
mengharamkan sesuatu, dan yang asal menurut mereka pada ucapan makruh
atau karohah maka maknanya adalah haram.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata di dalam I’lamul Muwaqqi’in (I/43) :
“Kaum salaf, mereka menggunakan kata karohah pada makna yang digunakan
oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu bermakna haram. Adapun kaum
muta`akhkhirin (kontemporer), mereka mengistilahkan karohah dengan
pengkhususan yang bukan termasuk keharaman atau kepada makna
meninggalkan lebih baik daripada melaksanakan, kemudian mereka bawa
ucapan para imam kepada istilah yang baru ini sehingga akhirnya mereka keliru
di dalam masalah ini. Yang lebih parah lagi kesalahanannya adalah mereka
yang membawa lafazh karohah atau la yanbaghi yang terdapat di dalam
Kalamullah atau Sunnah Rasulillah kepada makna istilahi baru ini...”
Perhatikan pula ucapan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217)
di bawah ini :
وأما الأيام المنهي عنها: فمنها أيضا متفق عليها منها مختلف فيها, أما المتفق عليها فيوم الفطر ويوم
الأضحى لثبوت النهي عن صيامها, وأما المختلف فيها فأيام التشريق ويوم الشك ويوم الجمعة ويوم
السبت والنصف الآخر من شعبان وصيام الدهر...
“Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang
masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri
dan Adhha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah
hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan
Sya’ban dan puasa Dahri…”
Beliau melanjutkan ucapannya (V/232),
وأما يوم السبت فالسبب في اختلافهم فيه: اختلافهم في تصحيح ما روي أنه عليه الصلاة والسلام, قال:
لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم...
“Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena
perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi
bahwasanya beliau bersabda : Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian…”
Ucapan beliau di atas adalah ucapan yang mutlak, bahwa puasa sunnah pada
hari Sabtu adalah termasuk hari yang diperselisihkan oleh para ulama. Adapun
membatasi perselisihannya hanya pada dua ujung saja, yaitu makruh dan
mubah, maka ini tentu saja pembatasan yang jauh dari yang dimaksud.
Bahkan yang lebih umum lagi dari hal ini adalah ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu sendiri, dimana beliau berkata dalam Iqtidha’ ash-
Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan
berpuasa pada hari Sabtu :
وقد اختلف الأصحاب وسائر العلماء فيه
“Para sahabat dan seluruh ulama telah berselisih pendapat tentangnya.”
Bagaimana bisa ucapan mutlak Syaikhul Islam di atas hanya dibatasi pada dua
macam perselisihan saja, yaitu hanya berujung pada makruh dan mubah?!!
Lebih jauh lagi, ulama kontemporer kita, sang faqih di zaman ini, Imam Ibnu
’Utsaimin rahimahullahu, beliau berkata di dalam Syarh Zadil Mustaqni’ :
وأما السبت فقيل إنه كالأربعاء والثلاثاء يباح صومه. وقيل إنه لا يجوز إلا في الفريضة. وقيل إنه يجوز
لكن بدون إفراد
“Adapun hari Sabtu, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya hari ini
seperti hari Rabu dan Selasa boleh berpuasa di dalamnya. Ada lagi yang
berpendapat, tidak boleh berpuasa di dalamnya kecuali hanya yang diwajibkan,
ada lagi yang berpendapat boleh selama tidak bersendirian.”
Perhatikan ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin ketika beliau menyebutkan pendapat
yang tidak memperbolehkan kecuali hanya puasa wajib. Ini menunjukkan bahwa
sang faqihuz zaman sendiri mengetahui bahwa khilaf di dalam masalah ini
mu’tabar.
Apabila ada yang berpendapat sebagaimana klaim Syaikh al-Utaibi
hafizhahullahu yang menyatakan ucapan Imam Ibnu Utsaimin di atas adalah
dimaksudkan untuk khilaf yang terjadi pada ulama kontemporer saja, maka
ucapan beliau tertolak. Syaikh Alu Thohir membantahnya dengan menyatakan
bahwa ucapan Imam Utsaimin ini mutlak dan tidak ada qoyyid yang
memaksudkan bahwa ucapan beliau hanyalah untuk khilaf ulama kontemporer
saja. Ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin di atas umum baik khilaf yang terjadi pada
mutaqoddimin maupun muta’akhkhirin.
Sebagai penerang bahwa maksud ucapan beliau ini umum bagi khilaf antara
ulama terdahulu maupun kontemporer adalah ucapan beliau rahimahullahu
ketka beliau ditanya mengenai hukum puasa sunnah dan wajib pada hari Sabtu
selain Ramadhan. Beliau menjawab :
لا بأس به وأن الحديث الوارد فيه حديث شاذ مخالف للأحاديث الصحيحة ومن شرط العمل بالحديث
أن لا يكون شاذًا لأن عدم الشذوذ شرط لصحة الحديث ولكونه حسنًا وما ليس بصحيح ولا حسن لا
يجوز العمل به وإلى هذا ذهب جماعة من العلماء السابقين والمعاصرين ومنهم من قال إن صومه لا يجوز
لأن النبي صلى الله عليه وسلم ى عن ذلك وقال : لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم
ومنهم من فصل أو فرق بين أن يصومه منفردًا أو يصوم يومًا قبله أو يومًا بعده وهذا هو المشهور من
مذهب الإمام أحمد ابن حنبل رحمه الله
“Tidak mengapa hukumnya dan hadits yang menjelaskan tentang larangan
haditnya syadz menyelisihi hadits-hadits yang shahih lainnya. Termasuk syarat
mengamalkan hadits adalah hadits tersebut haruslah tidak syadz karena
ketiadaan syadz merupakan syarat shahihnya sebuah hadits atau hasannya,
namun hadits ini tidak shahih dan tidak pula hasan dan tidak boleh
mengamalkannya. Kepada inilah mayoritas para ulama terdahulu dan
kontemporer berpendapat, namun diantara mereka ada yang berpendapat
tidak boleh (puasa hari Sabtu) karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang
diwajibkan atas kalian”, adapula diantara mereka yang memperinci dan
memilah-milah antara orang yang berpuasa hari Sabtu secara bersendirian
dengan yang menyertainya dengan puasa sehari sebelum atau setelahnya. Dan
pendapat inilah yang masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu.”
Perhatikan ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu yang bercetak tebal
“diantara mereka ada yang...”. setelah sebelumnya beliau menyebutkan
mayoritas ulama terdahulu dan kontemporer... maka, Imam Ibnu Utsaimin
sendiri menyatakan bahwa khilaf dalam masalah ini mu’tabar dan tidak hanya
berujung pada dua saja, yaitu makruh dan mubah sebagaimana didakwakan al-
Akh al-Ustadz Abu Ishaq, wallohu a’lam.
Taruhlah dakwaan al-Akh Abu Ishaq ini benar, hanya ada dua kesimpulan, yaitu
mubah dan makruh. Namun ada dua hal yang harus dijelaskan oleh beliau,
yaitu :
1. Bagaimana dan dengan argumentasi seperti apakah, makna nahyu
dalam hadits Alu Busr yang tegas dan memiliki tasydid untuk berbuka
dengan kulit dan ranting pohon berubah menjadi mubah?!! Padahal
pemalingan nahyu itu paling banter seringkali hanya berpindah pada
karohah tanzih saja, dan itupun butuh qorinah yang kuat. Sekarang
bagaimana bisa nahyu yang jazm lagi qoth’i ini berubah menjadi mubah
(boleh dilakukan atau ditinggalkan) padahal telah jelas bahwa hadits Alu
Busr ini hadits yang shahih dan telah dimaklumi bahwa hadits shahih itu
hujjah binafsihi.
2. Bagaimana beliau bisa dengan yakin menempatkan semua kata karohah
pada ucapan para ulama yang didakwakannya semua telah mudawwan
dan jelas dan ternukil dengan sempurna sampai abad XX, seluruhnya
bermakna karohah tanzih.
Apabila beliau bisa menjelaskan kedua hal ini dengan jelas, ilmiah, terperinci
dan disertai dengan nukilan ulama, maka niscaya sangat mungkin bagi saya
meninggalkan pendapat yang sekarang saya pegang ini.
Tanggapan 3 : Pendapat tahrim adalah pendapat tidak dikenal sama sekali
sebelum abad 20.
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : “Penghukuman haram berpuasa sunnah
pada hari sabtu dengan semata bersandar pada zhahir lafazh adalah tidak
pernah dikenal sama sekali sebelum abad 20 bahkan di kalangan madzab
zhahiri sekalipun! Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka
yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali
sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14
abad lamanya. Kitab-kitab dirayah hadits dan fiqih sudah mudawwan, aqwal
ulama sudah jelas tertulis dan sempurna diwariskan, maka siapakah atau
dimanakah anda jumpai pendahulu anda yang mengatakan bahwa larangan ini
bermakna haram?
Bahkan mereka yang menolak hadits ini semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qayyim pun berujung pada kesimpulan yang sama –‘ala fardhi sihhatihi- dengan
para ulama lain yang menerima hadits ini.”
Al-Akh Abu Ishaq juga berkata : “Berpulang pada hadits yang sama, muncul
kemudian pendapat ketiga tentu dengan kesimpulan yang berbeda, yaitu haram.
Argumentasi yang digunakan hanya 2 macam: pertama zhahir lafazh,
kedua jama’ dengan hadits lain yang ternyata pada kenyataannya adalah
tarjih. Menariknya, argumentasi ini juga dipakai oleh sebagian ulama jaman
dahulu semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, tapi kesimpulannya berbeda,
mereka menolak hadits ini karena tidak mungkin dijama’ dan tidak berterima
juga jika diunggulkan dalam tarjih, namun ‘ala fardhi sihhatihi mereka berujung
pada salah satu dari dua kesimpulan yang ada, yaitu makruh. Semuanya
selaras dengan apa yang ternukil secara sempurna sampai abad 20 tiba.”
Jawab :
Pandangan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas perlu ditelaah kembali.
Mengklaim bahwa pendapat tahrim dalam puasa sunnah pada hari Sabtu
sebagai pendapat pendapat baru (muhdats) yang tidak dikenal setelah abad ke-
20 adalah suatu klaim yang menurut saya terlalu jauh dan berlebihan. Bahkan
konsekuensi dari ucapan ini seakan-akan menyatakan bahwa pendapat yang
diperpegangi oleh Imam al-Albani ini adalah pendapat yang muhdats, hal ini
tersirat dalam ucapan beliau :
“Nah, satu hal yang saya kira kita sepakat, apabila sampai kepada kita
bahwa sedari dulu hingga kini para ulama terbagi ke dalam dua
pendapat, maka tidak boleh bagi kita mendatangkan pendapat ketiga.
Dalilnya adalah hadits yang penggalannya digunakan oleh Al-Akh Abu
Salma sebagai header blognya, yaitu:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة
“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang berada di
atas kebenaran sampai datang hari kiamat.” (Ash-Shahihah No. 270)
Ini berarti kebenaran ada diantara salah satu dari dua pendapat
tersebut sepanjang masa. Jika kemudian muncul pendapat ketiga,
maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang
berarti hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini
berarti tidak ada kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang
kosong dari mereka yang tegak di atas kebenaran. Atau pendapat
ketiga itulah yang salah sejak awalnya, dan ini tentunya yang lebih
berterima. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.”
Saya berkata : Syaikhuna Salim bin Ied al-Hilali di dalam Dauroh 1427 silam di
Ciloto Bogor, ketika membahas mengenai ilmu tafsir pada hari terakhir, beliau
sempat menjelaskan tentang masalah khilaf. Apabila khilaf yang warid dari salaf
hanya dua pendapat saja, kemudian datang orang belakangan membawa pendapat
baru, maka pendapat yang baru ini adalah pendapat bid’ah!!! Menilik ucapan al-
Akh al-Ustadz Abu Ishaq yang mengatakan “Jika kemudian muncul pendapat
ketiga, maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang berarti
hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini berarti tidak ada
kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang kosong dari mereka yang tegak di
atas kebenaran” menunjukkan bahwa al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq memahami
bahwa pendapat tahrim yang diperpegangi Imam al-Albani ini adalah pendapat
muhdats yang beliau adakan pada abad ke-20 ini tanpa ada salaf sebelumnya.
Padahal pada risalah saya bagian pertama dan tiga telah saya singung jawabannya
sekilas masalah ini.
Saya benar-benar harus mengernyitkan dahi ketika membaca ucapan al-Akh al-
Ustadz Abu Ishaq ini. Apabila benar dakwaan beliau ini maka mau tidak mau kita
harus mengatakan bahwa Imam al-Albani dan orang-orang yang merajihkan
pendapat beliau berarti telah jatuh kepada suatu pendapat bid’ah –walau tidak
semua orang yang teratuh kepada kebid’ahan otomatis menjadi ahlu bid’ah-. Ini
konsekuensi dari ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas walaupun beliau tidak
menegaskan hal ini.
Padahal, saya belum menemukan dakwaan sebagaimana yang didakwakan oleh
al-Ustadz Abu Ishaq ini dari para ulama yang memperbolehkan berpuasa sunnah
hari Sabtu, yang menulis artikel-artikel seputar masalah ini yang turut membantah
pendapat tahrim ini. Mungkin bisa saya katakan bahwa, Allohu a’lam, bahwa al-Akh
Abu Ishaqlah orang yang pertama, atau orang yang secara tegas menyatakan
bahwa “Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka yang
sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali
sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14
abad lamanya”!!!
Baiklah, barokallohu fikum ya ustadz atas ta’qib antum yang berat dan sulit dijawab
ini. Namun insya Alloh, saya akan berupaya menjawabnya dengan memaparkan
pandangan para ulama di dalam masalah ini.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di dalam Iqtidha’ ash-
Shirathal Mustaqim (II/572) :
ولا يقال: يحمل النهي على إفراده: لأنَّ لفظه "لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم" والاستثناء
دليل التناول، وهذا يقتضي أنَّ الحديث يعم صومه على كل وجه؛ وإلا لو أريد إفراده لما دخل الصوم
المفروض ليستثنى فإنه لا إفراد فيه، فاستثناؤه دليل على دخول غيره، بخلاف يوم الجمعة فإنه بين أنه إنما
ى عن إفراده، وعلى هذا: فيكون الحديث إما شاذًا غير محفوظ، وإما منسوخًا…
“(Hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu) tidak boleh diartikan dengan
larangan apabila bersendirian, karena lafazh hadits itu berbunyi : “Janganlah
kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian.”
Sedangkan istitsna` (pengecualian) itu adalah dalil tanawul (yang mencakup
semuanya selain yang dikecualikan, pent.), maka hadits tersebut mencakup
segala bentuk puasa (yang diwajibkan). Apabila tidak demikian dan apabila
larangan yang dimaksud adalah larangan secara bensendirian (tidak digandeng
dengan hari sebelum dan setelahnya, pent.), tentu (nabi) tidak akan menyebutkan
puasa yang wajib sebagai pengecualiannya. Karena tidak mengandung makna
bersendirian maka pengecualian dalam hadits ini merupakan dalil masuknya
segala hal yang tidak dikecualikan. Berbeda dengan hadits berpuasa pada hari
Jum’at yang Rasulullah menjelaskan larangannya jika dikerjakan dengan
bersendirian. Oleh karena itulah hadits ini bisa jadi syadz atau ghoiru mahfuzh
(tidak shahih), atau bisa jadi juga mansukh...”
Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Hasyiah ‘ala Tahdzibis
Sunan (VII/50) :
قوله في الحديث: "لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم" دليل على: المنع من صومه في غير
الفرض مفردًا أو مضافًا؛ لأنَّ الاستثناء دليل التناول، وهو يقتضي: أنَّ النهي عنه يتناول كل صور صومه
إلا صورة الفرض، ولو كان إنما يتناول صورة الإفراد؛ لقال: "لا تصوموا يوم السبت إلا أن تصوموا يومًا
قبله أو يومًا بعده" كما قال في الجمعة!! ...وقد ثبت صوم يوم السبت مع غيره بما تقدم من الأحاديث
وغيرها؛ كقوله في يوم الجمعة "إلا أن تصوموا يومًا قبله أو يومًا بعده" فدلَّ على أنَّ الحديث غير محفوظ
وأنه شاذ!!
Sabda beliau di dalam hadits : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu
melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian” merupakan dalil petunjuk atas
larangan berpuasa yang bukan wajib di hari Sabtu baik secara bersendirian
maupun bergandengan (dengan hari lain). Karena istitsna` itu merupakan dalil
tanawul, dan dalil tanawul ini menghukumi bahwa larangan puasa hari Sabtu itu
mencakup semua bentuk puasa kecuali hanya puasa yang wajib saja. Kalau ia
juga mencakup bentuk puasa secara bersendirian, maka niscaya Rasulullah
bersabda : ”Janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali diikuti oleh berpuasa
sehari sebelum dan setelahnya” sebagaimana sabda beliau tentang puasa hari
Jum’at!!... Namun telah tetap adanya puasa pada hari Sabtu yang disertai hari
lainnya sebagaimana telah berlalu penyebutan hadits-haditsnya, seperti sabda
Nabi tentang puasa hari Jum’at : “kecuali puasa yang diikuti oleh berpuasa
sehari sebelum dan setelahnya.” Hal ini menunjukkan bahwa hadits (larangan)
ini ghoiru mahfuzh dan haditsnya syadz...”
Dari paparan kedua imam di atas kita dapat beristifadah darinya :
1. Dari zhahir hadits menunjukkan akan larangan, karena Syaikhul Islam dan
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu menyebutkan kata larangan dengan
shighat umum, sedangkan telah ma’ruf bahwa larangan itu littahrim.
2. Keduanya berpendapat bahwa istitsna` dalam hadits ini mencakup semua
bentuk puasa kecuali yang wajib.
3. Keduanya berpendapat bahwa zhahir hadits menunjukkan larangan
berpuasa pada hari Sabtu baik secara bersendirian maupun secara
bergandengan dengan hari-hari lain. Bahkan keduanya membantah
pendapat yang menyatakan larangan hanya untuk bersendirian saja.
4. Keduanya menghukumi hadits larangan ini ghoiru mahfuzh, syadz dan atau
mansukh.
Syaikh ‘Ali Hasan dan Syaikh Ro`id Alu Thohir menyatakan bahwa kedua imam
ini ‘ala fardhi shihhati hadits tentulah akan berpegang pada zhahir hadits
larangan, namun mereka menghukumi hadits ini sebagai syadz dan ghoiru
mahfuzh. Telah lewat pembahasannya bahwa hadits ini shahih dalam artikel
“Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”. Dakwaan Syadz terhadap hadits ini
telah dijawab oleh al-Imam al-Albani dan Syaikh ‘Ali Hasan dan selain mereka
berdua. Sedangkan hadits shahih itu hujjah binafsihi, tidak membutuhkan
adanya seorang imam yang mengamalkannya agar bisa dijadikan hujjah atau
diamalkan. Dan ini adalah kaidah yang telah ma’ruf di kalangan ahli hadits.
Jadi, letak perbedaannya adalah : Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim meng’ilal
(mencacat) hadits larangan dengan syadz dan ghoiru mahfuzh, dan hadits
syadz itu merupakan bagian dari hadits dha’if, sedangkan Imam al-Albani yang
telah mengumpulkan thuruqul haditsnya, meyakini akan keshahihan hadits ini,
dan beliau tidak menjama’ hadits larangan ini dikarenakan apabila dijama’ akan
berbuntut pada ditelantarkannya makna istitsna´ dan tasydidun nahyi dalam
larangan ini, sehingga seakan-akan sabda Nabi tersebut menjadi tidak
bermakna.
Apabila dikatakan : “Siapakah salaf Imam al-Albani di dalam masalah tahrim
ini? Bukankah para salaf yang berbeda dalam masalah ini hanya berujung pada
dua kesimpulan saja, yaitu makruh dan mubah?”
Maka saya jawab, hal ini telah berlalu penjelasannya pada risalah bagian ketiga,
yaitu para imam yang menyebutkan tentang adanya perselisihan ini, semisal
Imam ath-Thohawi, Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah rahimahumullahu
menyebutkan akan adanya khilaf di dalam masalah ini secara umum dan tidak
membatasi hanya pada dua kesimpulan makruh dan mubah. Juga telah dijawab
bahwa tidak selamanya makna makruh itu adalah littanzih, karena seringkali
para salaf memahami kata karohah itu sebagai tahrim. Jadi kesimpulannya,
tidak dapat dibatasi bahwa para salaf berselisih di dalam masalah ini hanya
berujung pada dua kesimpulan yaitu makruh (lit tanzih) dan mubah saja.
Apabila dikatakan : “Bisakah anda sebutkan siapa salaf yang mentahrim
puasa sunnah pada hari Sabtu?”
Maka saya jawab, dari nukilan terdahulu terutama pada risalah saya yang ketiga
telah jelas, bahwa khilaf di dalam masalah ini telah mu’tabar dan tidak hanya
berujung pada dua kesimpulan makruh tanzih dan mubah. Namun sangat
mungkin adanya para salaf yang menghukumi keharamannya. Menyebutkan
orang perorang, fulan dan fulan bukanlah hal yang dituju di dalam hal ini, namun
cukuplah bahwa ada khilafiyah dalam masalah ini baik semenjak dahulu sampai
sekarang. Yang menjadi hujjah bagi kita bukanlah ucapan-ucapan fulan dan
fulan dari salaf atau kholaf, namun yang menjadi hujjah adalah dalil-dalil dari
hadits Nabi.
Bukankah pendapat Syaikhul Islam dan Imam Ibnul Qoyyim rahimahumallohu di
atas apabila mereka tidak mencacat haditsnya niscaya mereka akan berpegang
pada zhahir hadits yaitu larangan? Bahkan lebih jauh lagi, hadits Nabi yang
shahih itu adalah hujjah binafsihi (hujjah dengan sendirinya dari dzatnya), tidak
membutuhkan adanya seorang imam yang mengamalkannya.
Imam al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah
:
لا يضر الحديث ولا يمنع العمل به عدم العلم بمن قال به من الفقهاء ، لأن عدم الوجدان لا يدل على
عدم الوجود
“Tidaklah menjadikan suatu hadits itu cacat dan tidaklah mencegah untuk
mengamalkannya ketidaktahuan kita akan siapa dari kalangan fuqoha’ yang
berpendapat dengannya, karena ketiadaan akan orang yang berpegang
dengannya tidak otomotis menunjukkan akan ketiadaan hadits tersebut.”
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata pula di dalam I’lamul Muwaqqi’in :
إذا كان عند الرجل الصحيحان أو أحدهما أو كتاب من سنن رسول الله صلَّى اللَّه عَليهِ و سلَّ م موثوق بما
فيه فهل له أن يفتي بما يجده ؟، فقالت طائفة من المتأخرين : ليس له ذلك لأنه قد يكون منسوخًا أو له
معارض أو يفهم من دلالته خلاف ما دل عليه فلا يجوز له العمل ولا الفتيا به حتى يسأل أهل الفقه
والفتيا . وقالت طائفة بل له أن يعمل به ويفتي به بل يتعين عليه كما كان الصحابة يفعلون إذا بلغهم
الحديث عن رسول الله صلَّى اللَّه عَليهِ و سلَّ م وحدث به بعضهم بعضًا بادروا إلى العمل به من غير توقف
ولا بحث عن معارض ولا يقول أحد منهم قط : هل عمل ذا فلان وفلان ، ولو رأوا من يقول ذلك
لأنكروا عليه أشد الإنكار وكذلك التابعون وهذا معلوم بالضرورة لمن له أدنى خبرة بحال القوم وسيرم
وطول العهد بالسنة ، ... ولو كانت سنن رسول الله صلَّى اللَّه عَليهِ و سلَّ م لا يسوغ العمل ا بعد
صحتها حتى يعمل ا فلان أو فلان لكان قول فلان أو فلان عيارًا على السنن ، ومزكيا لها ، وشرطًا في
العمل ا ، وهذا من أبطل الباطل وقد أقام الله الحجة برسوله دون آحاد الأمة وقد أمر النبي صلَّى اللَّه
عَليهِ و سلَّ م بتبليغ سنته ودعا لمن بلَّغها ، فلو كان من بلغته لا يعمل ا حتى يعمل ا الإمام فلان والإمام
فلان لم يكن في تبليغها فائدة وحصل الاكتفاء بقول فلان وفلان
“Apabila ada pada seseorang suatu hadits shahihain, atau hadits salah satu dari
shahihain (yaitu diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Muslim saja, pent.) atau
dari kitab Sunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah tetap
keshahihannya, apakah ia boleh dengan serta merta menfatwakan hadits yang
ia peroleh? Sekelompok ulama kontemprer berpendapat tidak boleh langsung
menerimanya, karena bisa jadi hadits itu mansukh atau ada hadits
pengkontradiksinya, atau difahami dari penunjuk hadits menyelisihi dengan apa
yang dimaksud oleh hadits itu, maka tidak boleh mengamalkannya dan
menfatwakannya sampai ditanyakan kepada ahli fikih dan ahli fatwa.
Sekelompok ulama lainnya berpendapat : Bahkan wajib atasnya
mengamalkannya dan berfatwa dengannya, bahkan wajib atasnya menta’yinnya
sebagaimana para sahabat mengamalkan hadits apabila telah sampai kepada
mereka suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mereka
sampaikan kepada satu dengan lainnya dan mereka bersegera untuk
mengamalkannya tanpa bertawaquf (mendiamkannya) dulu, atau mencari dulu
dalil yang kontradiksi dengannya. Bahkan tidak ada satupun diantara mereka
yang mengatakan : “apakah Fulan dan Fulan mengamalkannya?”, apabila
mereka melihat ada orang yang berkata seperti ini maka mereka akan ingkari
mereka dengan pengingkaran yang amat sangat, demikian pula dengan para
Tabi’in. Hal ini adalah suatu hal yang telah ma’lum bidh dharurah bagi mereka
yang mengetahui sedikit saja keadaan dan sejarah para sahabat dan tabi’in dan
masa interaksi mereka yang panjang dengan sunnah... Seandainya sunnahsunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak diperbolehkan
mengamalkannya walaupun shahih sampai diamalkan oleh Fulan dan Fulan,
maka niscaya ucapan Fulan dan Fulan merupakan cela bagi sunnah,
pensucinya dan syarat untuk mengamalkannya, dan ini merupakan kebatilan
yang paling batil padahal Alloh menegakkan hujjah dengan Rasul-Nya bukan
dengan orang perorang dari umat ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah
memerintahkan untuk menyampaikan sunnahnya dan menyeru bagi yang
menyampaikannya, sekiranya tidak perlu menyampaikanya sampai imam Fulan
dan Fulan mengamalkannya, maka niscaya tidak ada faidahnya menyampaikan
hadits dan cukuplah dengan ucapan Fulan dan Fulan.”
Penjelasan para imam di atas menunjukkan bahwa hadits itu hujjah binafsihi
tidak membutuhkan amalan seorang imam baik salaf maupun kholaf yang
mengamalkannya untuk bisa menjadikannya sebagai hujjah atau bisa
diamalkan. Bahkan ini lebih tinggi daripada mempertanyakan “siapa salaf anda”,
karena yang diterima dan diambil di sini adalah ucapan para imamnya dan
penghulu salaf, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri.
Keshahihan suatu hadits baik sanad dan matan menunjukkan secara yakin
bahwa hadits itu adalah benar-benar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam yang mana Rasulullah menyabdakannya dengan Bahasa Arab yang
fasih, yang bisa difahami secara mudah baik oleh orang awam maupun alimnya,
yang sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah jawami’ul kalim, dan
semua ucapan beliau membuahkan faidah dan tidak ada yang sia-sia.
Sebagai tambahan pula, bisa dikatakan bahwa salaf kita di dalam masalah ini
adalah para sahabat yang meriwayatkan hadits ini. Karena tidaklah mungkin
para sahabat –yang telah jelas akan keshahihan sanadnya- ketika
meriwayatkan sebuah hadits, mereka tidak mengamalkan hadits tersebut.
Karena apabila tidak maka ini tentu saja merupakan celaan. Para sahabat yang
menjadi salaf kita dalam masalah ini adalah ‘Abdullah bin Busr, saudari beliau
Shamma’ binti Busr, dan bapak keduanya Busr bin Abu Busr al-Mazini serta
Abu ‘Umamah al-Bahili Shuday bin ‘Ajlan radhiyallahu ‘anhum.
Lebih kuatnya lagi, adalah sebuah riwayat berikut : Diriwayatkan oleh Nasa’i di
dalam al-Kubro (55/a/12) sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (IV/294-
no.5195) dari Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad [beliau adalah Abu ‘Abdil Malik
al-Qurosyi al-Busri] dari Ishaq bin Ibrahim [beliau adalah Abun Nashri al-
Faradisi] dari Abu Muthi’ Mu’awiyah bin Yahya : memberitakan padaku Arthah
beliau berkata : Aku mendengar Abu ‘Amir al-Alhani [beliau adalah ‘Abdullah bin
Ghobir] berkata : Aku mendengar Tsauban maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ditanya tentang berpuasa pada hari Sabtu dan beliau menjawab :
Tanyakan pada ‘Abdullah bin Busr, kemudian ‘Abdullah bin Busr ditanya tentang
hal ini lalu beliau menjawab :
صيام يوم السبت لا لك ولا عليك
“Berpuasa pada hari Sabtu itu, tidak ada bagimu dan tidak wajib atasmu.”
Ucapan ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu “Laa laka wa ‘alaika” tidak
bermaksud pembolehan, oleh karena itulah Imam Nasa’i meletakkan atsar
mauquf ini di dalam bab : “an-Nayhu ‘an Yaumis Sabti”.
Dan lafazh “laa laka wa ‘alayka” ini serupa dengan lafazh hadits :
م ن صام الدهر فلا صام ولا أفطر
“Barangsiapa yang berpuasa dahr (selamanya) maka tidak (dianggap) berpuasa
dan tidak pula berbuka.” Padahal telah maklum bahwa puasa dahr itu hukumnya
terlarang.
Jadi, bukanlah suatu hal yang mengada-ada apabila kami mengatakan bahwa
Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Busr adalah salaf kami di dalam masalah ini.
Jadi, menyatakan bahwa kami tidak punya salaf di dalam masalah ini adalah
pendapat yang tidak tepat dan berangkat dari minimnya penelaahan dan
pembahasan serta terlalu tergesa-gesa di dalam menghukumi sesuatu.
Jika dikatakan : “Kitab-kitab para ulama telah mudawwan dan tidak
ditemukan satupun dari mereka yang menyebutkan nama ulama salaf yang
memahami larangan di sini sebagai tahrim.”
Maka saya jawab, dikarenakan kitab-kitab para ulama telah mudawan-lah
akhirnya para ulama hadits belakangan dapat dengan lebih mudah mengecek
jalur-jalur periwayatan hadits sehingga semakin memperjelas rantai sanad
periwayatan, apakah kuat ataukah tidak. Sehingga apabila telah tampak suatu
hadits itu shahih, maka hadits itu akan menjadi hujjah binafsihi tidak
memerlukan seorang imam untuk mengamalkannya supaya ia bisa menjadi
hujjah untuk diamalkan. Dari kitab-kitab para ulama yang mudawan-lah akhirnya
dapat ditelaah ucapan-ucapan para imam terdahulu di dalam masalah ini,
sehingga tampaklah bahwa mereka mayoritas menganggap larangan di sini
bersifat makruh karena mereka mencacat hadits Alu Busr ini, imma sebagai
hadits kidzb, mansukh, syadz, mudhtarib, ghoiru mahfuzh, atau bentuk
pencatatan lainnya. Karena pengilallan inilah akhirnya mereka melakukan tarjih :
al-Ashoh muqoddamun ‘ala ash-Shahih (yang lebih shahih lebih didahulukan
ketimbang yang shahih) dan suatu hadits yang shahih yang menyelisihi hadits
yang lebih shahih darinya maka hadits tersebut dianggap syadz. Oleh karena
itulah banyak para imam terdahulu melemahkan hadits ini sehingga mereka
sampai kepada kesimpulan mubah.
Kemudian, mengetahui nama-nama imam tertentu yang memahami larangan di
sini sebagai tahrim bukanlah suatu hal yang dapat merubah hakikat bahwa
masalah ini telah tsabat khilaf di dalamnya –sebagaimana penjelasan yang telah
lalu-. Mengetahui nama-nama imam tertentu bukanlah merupakan pokok yang
dikehendaki, namun mengetahui bahwa masalah ini adalah masalah khilaf yang
telah tsabat terjadi semenjak salaf hingga kholaf itulah yang dituju. Tidak wajib
atas kita mengetahui nama-nama imam yang berpendapat demikian, namun
yang penting adalah adanya ulama salaf yang berpendapat dengan pendapat
ini, dan inilah yang dituju walaupun tidak ada para ulama yang menyebutkan
namanya. Terlebih, para imam salaf sendiri mereka semua telah bersepakat,
bahwa ‘in shohhal hadits fahuwa madzhabiy’ (apabila telah shahih sebuah
hadits maka itu adalah madzhabku). Dengan demikian, mengklaim bahwa
pendapat tahrim adalah pendapat yang diada-adakan semenjak abad XX dan
tidak dikenal sebelumnya, adalah tuduhan yang terlalu berlebihan kiranya dan
tidak tepat. Kiranya ucapan Syaikh Ali lebih layak untuk mensifati tuduhan ini
sebagai, ucapan yang berangkat dari minimnya penelaahan dan kurangnya
pemahaman. Allohu a’lam bish showab.
Tanggapan 4 : Makruh tanzih atau makruh haram?
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Jika dikatakan, bukankah para ulama
jaman dahulu ketika mengatakan makruh maknanya adalah haram?
Pertama, perkataan ini perlu dikaji kembali. Mereka yang menghukumi makruh,
dalam sebagian kondisi juga menggunakan kata makruh untuk makna tanzih.
Jadi tidak mutlak kata makruh yang mereka gunakan harus bermakna haram.
Kedua, mereka yang mengatakan makruh, berujung pada kesimpulan seperti ini
dengan alasan jama’ yang sebenarnya dengan semua hadits yang ada, ini
semakin membuktikan bahwa yang dimaksud dengan makruh di sana bukanlah
haram. Lain halnya dengan mereka yang berpendapat haram, jama’ yang
mereka lakukan pada hakekatnya adalah tarjih, sebab kaedah yang
digunakan adalah kaedah tarjih bukan kaedah jama’. Sehingga klaim bahwa
kata makruh yang digunakan para ulama jaman dahulu sebagai haram di sini
adalah tidak berterima. Suatu usaha yang bagus untuk mencari pendahulu
(salaf) namun sayang dimulai dengan jalan atau cara yang berbeda dengan
mereka.”
Jawab :
Tidak dipungkiri, bahwa ketika para ulama salaf mengatakan kata makruh, maka
bisa jadi ia bermaksud haram (dan ini adalah asal) dan bisa jadi ia bermaksud lit
tanzih (ini adalah pemalingan dari asal yang memerlukan qorinah). Apabila kita
menelaah ucapan para Imam dalam masalah ini, tidak dipungkiri ada yang
memaksudkannya sebagai tanzih dan adapula yang memaksudkannya sebagai
tahrim. Adapun nukilan dari Imam ath-Thohawi telah berlalu penjelasannya
pada risalah bagian ketiga, yaitu yang lebih tepat kata karohah yang beliau
maksudkan adalah lit tahrim. Demikianlah yang dijelaskan oleh Syaikh Ro`id Alu
Thohir, Syaikh Abu Hisamuddin ath-Thorfawi, Syaikh Abu Abdillah Luqman al-
Ajurri, Syaikh Abul Baro’ ‘Ali Ridho, dll hafizhahumullahu. Bahkan, Syaikhuna
‘Ali Hasan al-Halabi menukilkan riwayat ath-Thahawi, Ibnu Rusyd dan Syaikhul
Islam, tanpa mengomentari kata karohah yang beliau nukil. Hal ini seakan-akan
menunjukkan bahwa beliau ketika menukilkannya faham bahwa thullabul ilmi
atau ahli ilmi yang membaca ulasannya memahami bahwa maksud karohah
dalam nukilan tersebut maknanya adalah lit tahrim. Allohu a’lam.
Tanggapan 5 : Al-Jam’u Muqoddamun ‘alat Tarjih
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Alasan jama’ dengan menggunakan
kaedah al-qaulu muqaddamun ‘ala al-fi’lu serta al-hazhiru muqaddamun ‘ala almubihu
adalah keliru. Kedua kaedah yang digunakan adalah kaedah tarjih
bukan kaedah jama’. Silakan lihat di Syarhu Al-Kaukab Al-Munir (4/617).
Hanya dua pilihan, ganti kata jama’ dengan kata tarjih yang berarti sejak awal
sudah berfikir adu unggul yang berarti hadits-hadits lain harus gugur, diabaikan,
dan tidak diamalkan. Dan tentu ini bertentangan dengan apa yang ditetapi oleh
salafus shalih bahwa selagi masih bisa diusahakan jama’ maka jangan ditarjih.
Al-Imam Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (276) mengatakan: “Dan diantara
syarat tarjih yang harus jelas terpenuhi adalah apabila sudah tidak
dimungkinkan lagi dilakukan jama’ diantara dua hal yang kontradiksi tentunya
dengan cara yang berterima. Apabila jama’ ini masih dimungkinkan maka inilah
yang harus dilakukan dan tidak boleh sama sekali menerapkan tarjih.”
Jawab :
Tidak dipungkiri, memang secara asal al-Jam’u muqoddamun ‘alat Tarjih.
Namun telah kita fahami pula bahwa tidak semua dalil yang diduga
bertentangan maka bisa dijama’. Suatu hal yang telah ma’ruf –sebagaimana di
dalam nukilan masalah ini pada risalah ke-3, bahwa para ulama terkadang
berbeda di dalam memandang kondisi dimungkinkannya jama’.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal.
45) menjelaskan : “Anda dapatkan bahwa ada sebagian ulama
mengkompromikan antara kedua dalil (yang kontradiktif) dengan begitu mudah
dan terangnya. Anda temukan ada sebagian ulama tidak mampu
mengkompromikannya, dan ada juga dapat anda temukan ulama lainnya
mengkompromikan nushush (dalil-dalil) namun dengan cara yang memaksakan
diri jauh (dari hakikatnya). Yang demikian ini adalah dikarenakan ilmu dan
kefahaman yang dianugerahkan-Nya kepada seseorang (berbeda-beda
tingkatnya, -pent.).”
Sebagai contohnya adalah berikut, kita tentu masih ingat penjelasan Imam Ibnu
‘Utsaimin seputar masalah tarjih (sebagaimana di dalam risalah ke-3), dimana
beliau mencontohkan masalah pada bab tarjih ini adalah masalah “massu adzdzakar”
(menyentuh kemaluan). Ada dua hadits yang tampak saling kontradiktif
di dalam masalah ini, yaitu : sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia
berwudhu” (HR Abu Dawud (181), Turmudzi (82) dan Nasa’i (I/216) dari hadits
Busroh) dan hadits ketika Nabi ditanya oleh seorang lelaki yang memegang
dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab : “Tidak,
sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” (HR Ahmad dan selainnya).
Tidak asing bagi kita bahwa masalah menyentuh kemaluan ini apakah
membatalkan wudhu’ atau tidak merupakan masalah khilafiyah yang mu’tabar.
Para ulama di dalam masalah ini terbagi menjadi banyak pendapat,
diantaranya :
1. Mereka yang menyatakan bahwa kedua riwayat di atas bisa dijama’. Syaikh
Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullahu diantara yang berpendapat
bisanya kedua hadits di atas dijama’. Beliau berpendapat bahwa kedua
hadits di atas sama-sama kuat dan masih mungkin untuk dilakukan jama’
agar tidak menelantarkan salah satu hadits. Beliau pernah ditanya dengan
pertanyaan berikut : “Apakah menyentuh aurot itu membatalkan wudhu’?”
Lantas beliau menjawab :
“Terjadi khilaf (perselisihan) yang masyhur antara ahli ilmu (ulama) di dalam
masalah menyentuh aurot ini. Yang wajib adalah mengamalkan seluruh
dalil-dalil ini keseluruhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
TUVWXYZ [\ ذآ _` a` “Barangsiapa menyentuh aurotnya maka hendaknya ia
berwudhu” dan beliau juga pernah ditanya tentang menyentuh aurot, lantas
beliau menjawab : bc` defg h إ V ه k ه “Aurotmu itu tidak lain sama dengan
bagian tubuhmu yang lain”.
Syaikhul Islam dan jumhur ulama berpendapat bahwasanya apabila
seseorang menyentuh aurotnya yang merupakan bagian dari tubuh manusia
sebagaimana menyentuh tangan atau kakinya, maka ini merupakan
menyentuh tanpa diiringi syahwat dan apabila dimaksudkan menyentuh
bagian tersebut dengan sengaja maka dikatakan tidaklah ia melakukannya
melainkan karena syahwat, maka jumhur ulama menyelaraskan seluruh
dalil-dalil yang ada dan mengamalkan seluruhnya.
Mereka berpendapat : Menyentuh aurot dengan syahwat membatalkan
wudhu’ dan menyentuhnya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu’,
karena sabda Nabi ‘alaihi Sholatu wa Salam “Aurotmu itu tidak lain sama
dengan bagian tubuhmu yang lain”, merupakan isyarat menyentuh yang
tidak membatalkan apabila menyentuhnya sebagaimana menyentuh bagian
tubuh lainnya [yaitu tanpa diiringi syahwat, pent.]. (dari Mi`ah Fatawa Lifadhilatisy
Syaikh Masyhur, http://www.aqsasalafi.com, Markaz lit tahmil (Download Center), Ruknul
Masya`ikh asy-Syaam)
2. Ada juga yang menjama’, apabila menyentuh langsung tanpa suatu alas
atau lapisan maka batal wudhu’nya, namun apabila tidak menyentuh
langsung, misalnya dilapisi kain atau semisalnya, maka wudhu’nya tidak
batal.
3. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’
dengan alasan hadits yang menyatakan kemaluan hanyalah bagian dari
tubuh kalian telah mansukh.
4. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan tidak membatalkan
wudhu’ dengan alasan hadits yang memerintahkan untuk wudhu’lah yang
mansukh.
5. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’
dengan lebih merajihkan hadits perintah untuk wudhu’. Sebagaimana contoh
yang disebutkan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam buku
beliau Syarhul Ushul. Beliau merajihkannya dengan alasan : lebih berhatihati,
yang menshahihkannya lebih banyak, lebih banyak jalur
periwayatannya dan naqil ‘anil ashli (berpindah dari asalnya).
Nah, dalam masalah ini para ulama sendiri telah berbeda pendapat, diantara
yang menjama’, memansukh ataupun merajihkan. Hal ini semua karena
pandangan dan analisa yang berbeda-beda antara ulama satu dengan lainnya.
Sebenarnya ada beberapa syarat yang juga perlu dipenuhi agar jama’ bisa
ditegakkan dan diterapkan, diantaranya :
1. Jama’ tidak bisa diterapkan apabila salah satu dalilnya tidak tsabat atau
dha’if sanadnya.
2. Jama’ bisa dilakukan apabila kedua dalil dianggap sama-sama kuat baik
sanad maupun dilalah matannya.
3. Jama’ tidak boleh dilakukan dengan penakwilan yang jauh dari
hakikatnya, dengan takalluf dan ta’assuf.
4. Jama’ bisa dilakukan apabila memungkinkan mengamalkan kedua dalil
yang dianggap kontradiktif dan tidak menelantarkan salah satu dari
keduanya, karena inilah maksud dilakukannya jama’, yaitu i’malud
dalilaian wa tarku min ihmali ahadihim (mengamalkan semua dalil dan
menghindarkan ditelantarkan salah satu dari kedua dalil tersebut,)
Demikianlah diantara syarat-syarat untuk bisa menerapkan jama’, apabila tidak
dapat maka tahapan berikutnya-lah yang ditempuh.
Imam al-Albani rahimahullahu dan yang mendukung pendapat beliau,
berpandangan bahwa hadits Alu Busr tidak dapat dikompromikan (jama’)
dengan hadits-hadits yang dihadapkan padanya dengan beberapa alasan.
Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadits pengkontradiksi terjelas yang dihadapkan kepada hadits Alu
Busr, sebenarnya adalah hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah, karena
kedua hadits ini membicarakan puasa hari Sabtu secara langsung. Adapun
hadits Juwiriyah, Abu Hurairoh dan selainnya, maka bukanlah hadits yang
menjelaskan secara langsung puasa hari Sabtu. Padahal, sebagaimana telah
disebutkan pada risalah sebelumnya, hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah
ini adalah hadits yang tidak cukup kuat untuk dijadikan pengkontradiksi, karena
sanadnya lemah dan bermasalah. Sehingga jama’ dengan kedua hadits ini tidak
dapat diterapkan. Berbeda dengan para ulama yang memperbolehkan puasa
sunnah hari Sabtu, mereka menjama’ dan mereka menganggap kedua hadits ini
shahih, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Kedua : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan
hadits-hadits nafilah (semisal hadits puasa Arafah, Asyura’, Dawud, Ayyamul
Baidh, dll) atau hadits Juwiriyah yang membicarakan larangan puasa hari
Jum’at, yang tidak secara tegas menyebutkan puasa hari Sabtu, namun
pemahaman yang diistinbathkan dari mafhum-nya, maka tidak cukup kuat untuk
dijadikan pengkontradiksi. Hal ini serupa dengan kejadian seorang isteri yang
berpuasa nafilah tanpa izin suaminya, atau seorang yang berpuasa sunnah
pada pertengahan Sya’ban yang bukan kebiasaannya, atau seorang yang
berpuasa sunnah (Senin Kamis atau Dawud) pada hari tasyriq, kenapa perkara
ini tidak dikontradiksikan dan dijama’ pula? Bukankah kedua keadaan ini sama
dalam hal larangan dan ketetapan?!
Larangannya yaitu sama-sama warid hadits yang melarang puasa pada hari
Sabtu (kecuali yang wajib) dengan adanya larangan wanita berpuasa (sunnah)
tanpa izin suaminya, atau larangan berpuasa (yang bukan kebiasaannya) pada
pertengahan Sya’ban, atau larangan puasa pada hari tasyriq. Ketetapannya
yaitu puasa nafilah itu besar pahalanya dan sunnah Nabi yang mulia yang
dianjurkan untuk diamalkan.
Lantas mengapa hanya larangan puasa hari Sabtu saja yang dikhususkan di
dalam jama’ dengan hadits-hadits yang dianggap kontradiksi, sedangkan
larangan yang lainnya tidak? Padahal larangan dan ketetapannya sama?
Kecuali, apabila anda menguatkan hadits Aisyah dan Ummu Salamah dan
meyakini akan ketsabatannya, maka tentu saja jama’ hadits Alu Busr dengan
kedua hadits ini dapat dilakukan.
Ketiga : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan
hadits-hadits nafilah merupakan ‘ainul munaqodhoh (pertentangan yang nyata)
terhadap manhaj jam’u, sebagaimana diutarakan oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-
Halabi hafizhahullahu : “Barangsiapa yang mengkontradiksikan hadits larangan
puasa sunnah pada hari Sabtu dengan hadits yang siyaq-nya menunjukkan
nafilah atau istihbab (sunnah) saja, maka ini adalah ‘ainul munaqodhoh
(penentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u (kompromi) dan inipun sangat
jauh (dari metode yang benar).” [Zahru Roudhi hal. 70]
Syaikh Abul Harits benar, karena siyaq pertentangan yang tidak sama kuat
tidaklah menunjukkan adanya kontradiksi di sana, sehingga perlu melakukan
jam’u di dalamnya.
Keempat : Jam’u yang memalingkan makna hadits Alu Busr kepada makna
larangan apabila dilakukan secara bersendirian, maka ini berarti membatalkan
istitna’ dalam hadits yang secara tegas hanya membatasi pada puasa yang
diwajibkan saja. Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa sabda Nabi yang
jawami’ul kalim itu tidaklah berfaidah atau sia-sia. Dan inilah yang Imam al-
Albani berusaha untuk menghindarkannya, sebagaimana argumentasi beliau di
dalam Hiwar al-Imam al-Albani ma’a al-‘Allamah al-‘Abbad haula Shiyami
Yaumis Sabti. Inilah yang mencegah untuk dilakukannya jam’u.
Kelima : Tidak semua pendapat yang menguatkan tahrim berpuasa sunnah
pada hari Sabtu berpegang pada kaidah tarjih, karena yang lebih awal daripada
itu adalah, membawa yang ‘am kepada yang khash, dan menurut Syaikh Abul
Harits, hadits Alu Busr ini tegas menunjukkan kekhususan dengan ta’yin
larangan hari Sabtu, sedangkan hadits Juwairiyah yang dihadapkan padanya
tidak demikian. Namun bersifat ‘am dan mukhoyar antara pengiringan dengan
hari Kamis atau Sabtu, dan ta’yinnya adalah Jum’at. Oleh karena itu : yang
khusus menetapkan yang umum. Allohu a’lam.
Keenam : Tidak mutlak bahwa tarjih di dalam hal ini otomatis menelantarkan
hadits-hadits nafilah lainnya atau hadits Juwairiyah. Bahkan hadits-hadits
tersebut bisa diamalkan kedua-duanya sebagiannya.
Sebagai contoh, apabila hari Asyura’ atau ‘Arofah jatuh pada hari Sabtu, maka
didahulukan larangan puasa sunnah hari Sabtu. Dalam hal ini ada dua faidah
yang didapatkan, yaitu kita insya Alloh akan mendapatkan pahala atas ketaatan
kita terhadap perintah Rasulullah yang melarang puasa sunnah pada hari Sabtu
dan kita juga insya Alloh akan mendapatkan pahala atas niat kita untuk
berpuasa pada hari ‘Arofah atau ‘Asyura’ tersebut. Demikianlah jam’u yang
dilakukan oleh ulama yang menguatkan larangan.
Contoh berikutnya, apabila seseorang biasa melakukan puasa Dawud, maka ia
bisa melakukan puasanya selain pada hari Sabtu, maka ia tetap dapat
melakukan puasanya dan mendapatkan pahala atasnya –insya Alloh- dan ia
juga akan mendapatkan pahala atas kehati-hatiannya terjatuh kepada larangan
Nabi berpuasa pada hari Sabtu. Allohu a’lam.
Contoh lagi, pendapat ini juga tidak menelantarkan hadits Juwairiyah
seluruhnya, karena seseorang yang hendak berpuasa pada hari Jum’at, maka ia
dapat mengiringinya dengan hari Kamis, sedangkan memilih antara hari Sabtu
dan Kamis adalah suatu hal yang mukhoyar (opsional), sedangkan tentu saja
yang sharih larangannya lebih didahulukan daripada kebolehan yang bersifat
opsional. Allohu a’lam.
Dengan demikian, diharapkan isykalat kita bisa sedikit terjawab walaupun tidak
sempurna dan semuanya bisa dijawab. Insya Alloh kita lanjutkan lagi pada
tanggapan berikutnya yang akan lebih menyempurnakan pembahasan.
Tanggapan 6 : Qiyas Dengan Tasmiyah Ketika Wudhu’
Al-Akh Al-Ustadz Abu Ishaq berkata :
“Pernah mendengar hadits:
لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه
“Tidak ada sholat jika tanpa wudhu, dan tidak ada wudhu jika tanpa
mengucapkan bismillah”?
Ditinjau dari sisi sanadnya, hadits ini juga ‘penuh masalah’ seperti halnya hadits
Abdullah bin Busr yang ‘penuh masalah.’
Analogi dengan kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada
zhahir hadits ini bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu?
Adakah ulama yang berpendapat demikian?
Bukankah mereka yang menerima keabsahan hadits ini tidak ada yang semata
bersandar pada zhahir lafazh yang begitu tegas dan lugasnya selugas redaksi
hadits Ibnu Busr, bahkan jauh lebih lugas dan berpendapat bahwa basmalah
merupakan syarat sahanya wudhu seperti halnya wudhu merupakan syarat
shanya sholat? Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini hanya
mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja?
Bukankah mereka yang berpendapat haramnya puasa hari sabtu dengan
berpegang pada zhahir hadits pun hanya mengatakan bahwa basmalah itu
wajib –dan ini juga tidak tepat-, serta tidak menghukumi sebagai syarat sah
wudhu’? (periksa Tamamul Minnah hlm. 89).
Akankah kita gunakan semua argument pihak yang mengatakan haram puasa
sunnah hari sabtu pada masalah pengucapan bismillah sebelum wudhu’?!
Zhahir hadits ini mengharuskan posisi basmalah terhadap wudhu sama dengan
posisi wudhu terhadap sholat, dengan dalil adanya wawu yang merupakan
dilalah iqtiran. Falyatafadhdhol untuk mendatangkan qaul ulama mana di mana
yang mengatakan bahwa basmalah merupakat syarat shah wudhu. “
Jawab :
Qiyas yang dihadapkan oleh al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq dalam hal ini –insya
Alloh- akan menjadi hujjah lana (yang memperkuat argumen kami) dan hujjah
‘alahi (yang melemahkan pendapat beliau). Saya katakan, dalam masalah
tasmiyah (mengucapkan basmalah) ketika akan wudhu’ ini, para ulama salaf
dan kholaf berbeda pendapat di dalamnya. Untuk itu mari kita telaah pandangan
para ulama tentangnya. Hal ini sekaligus dalil yang akan mematahkan klaim al-
Akh Abu Ishaq yang mengatakan “Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini
hanya mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja”,
padahal apabila kita menelaah uraian para ulama, maka akan jelaslah bahwa
para ulama sedari dulu ada yang menyatakan wajibnya tasmiyah ketika akan
wudhu’ bahkan menganggap wudhu’ tanpa tasmiyah tidak sah. Insya Alloh akan
saya turunkan sebagian penjelasannya.
Dikarenakan al-Akh Abu Ishaq menyarankan untuk memeriksa Tamamul
Minnah, maka kita telaah dulu Tamamul Minnah dan Fiqhus Sunnah lalu kita
lanjutkan dengan kitab-kitab fikih para ulama lainnya di dalam masalah ini.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu memasukkan tasmiyah sebagai sunnahsunnah
di dalam wudhu’, beliau berkata di dalam Fiqhus Sunnah, bab al-
Wudhu’, pada pembahasan Sunanul Wudhu’ (hal. 34) sebagai berikut :
“Sunanul Wudhu’ yaitu yang telah tsabat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam dari ucapan dan perkataan beliau yang tidak harus (dikerjakan) dan tidak
diingkari orang yang meninggalkannya. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
(1) Tasmiyah (mengucap basmalah) pada permulaan wudhu’. Hadits-hadits
yang datang di dalam tasmiyah ketika wudhu’ adalah hadits-hadits yang dha’if,
namun penghimpunan (banyaknya hadits tentang hal ini) menambah
kekuatannya yang menunjukkan bahwa hal ini memiliki asal...” [lihat Fiqhus
Sunnah, hal. 34].
Imam al-Albani rahimahullahu di dalam Tamamul Minnah mengomentari
sebagai berikut :
“Aku (Syaikh al-Albani) berkata : Lebih kuat lagi adalah hadits yang datang dari
Abu Hurairoh secara marfu’ dengan lafazh لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه
(yang artinya) “Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu’ dan tidak ada
wudhu’ bagi orang yang belum menyebut nama Alloh.” (Shohih Sunan Abi
Dawud no. 90). Apabila penulis (yaitu Syaikh Sayyid Sabiq, pent.) mengakui
bahwa hadits ini qowiy (kuat), maka seharusnya beliau berpendapat dengan
apa yang ditunjukkan oleh zhahir hadits, yaitu wajibnya tasmiyah, sedangkan
tidak ada dalil yang dapat menetapkan untuk keluar dari zhahir-nya dimana
perintah di dalamnya dibawa kepada istihbab (sunnah) saja. Telah tsabat akan
kewajibannya dan ini merupakan madzhab Zhahiriyah, Ishaq dan salah satu
riwayat dari Ahmad. Shiddiq Khan dan Syaukani lebih memilih pendapat ini
(yang mewajibkan tasmiyah, pent.) dan pendapat inilah yang benar insya Alloh
Ta’ala. Rujuklah Sailul Jarar (I/766-77) [karya Imam Syaukani, pent.]” (Lihat
Tamamul Minnah, hal. 89).
Bagi yang memperhatikan ucapan Imam al-Albani rahimahullahu di atas,
jelaslah bahwa telah ada ulama dari salaf dan kholaf yang berpendapat akan
wajibnya tasmiyah ketika wudhu’. Dan ini adalah konsekuensi dari zhahir hadits
Abu Hurairoh di atas, dan barangsiapa yang menganggapnya shahih, maka
wajib mengamalkannya dan memahami sebagaimana zhahirnya, kecuali
apabila ada qorinah yang memalingkannya sedangkan qorinah ini tidak ada.
Sebenarnya satu nukilan dari Imam al-Albani ini telah cukup untuk mematahkan
klaim al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq hafizhahullahu. Dan pernyataan beliau pada
akhir kalimatnya sangat benar, yaitu “Zhahir hadits ini mengharuskan posisi
basmalah terhadap wudhu sama dengan posisi wudhu terhadap sholat, dengan
dalil adanya wawu yang merupakan dilalah iqtiran.” Dengan demikian,
barangsiapa yang tidak bertasmiyah ketika wudhu’ maka wudhu’nya tidak sah.
Demikian ini pembahasannya lebih jauh...
Al-‘Allamah Alu Bassam rahimahullahu berkata di dalam Taudhihul Ahkam
ketika mensyarah hadits Abu Hurairoh yang terdapat di dalam Bulughul Marom
(hadits no. 18 dalam bab Wudhu’ ini) :
“Derajat hadits ini adalah hadits dha’if namun ada jalan-jalan lainnya yang
menguatkannya. Berkata al-Hafizh di dalam at-Talkhish : “Ahmad berkata :
“tidak ada di dalamnya syariat yang tetap dan semua yang diriwayatkan di
dalam bab ini (tasmiyah) tidaklah kuat.” Al-‘Uqoili berkata : “Sanad-sanad hadits
di dalam bab ini di dalamnya terdapat kelemahan (layyin)”. Ahmad berkata
ketika ditanya tentang tasmiyah : “Aku tidak tahu di dalam hal ini ada hadits
yang shahih.” Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata : “Sesungguhnya hadits ini
tidak shahih.” Kemudian Ibnu Hajar berkata : “Yang tampak, pengumpulan
hadits-haditsnya dapat menguatkannya dan menunjukkan bahwa hal ini ada
asalnya.” Asy-Syaukani berkata : “tidak ragu lagi, bahwa banyaknya jalan-jalan
periwayatan hadits ini dapat menjadikannya untuk berhujjah, dan telah
menghasankannya Ibnu Sholah dan Ibnu Katsir.” (Syaikh Alu Bassam berkata)
Dan diantara yang menshahihkan hadits ini adalah : Al-Mundziri, Ibnul Qoyyim,
Ash-Shon’ani, Syaukani dan Ahmad Syakir.” (lihat Taudhihul Ahkam hal. 227)
Kemudian Syaikh Alu Bassam rahimahullahu menjelaskan beberapa faidah
yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut :
1. Wajibnya mengucapkan bismillah di permulaan wudhu’.
2. Zhahir hadits ini menafikan sahnya wudhu’ bagi yang tidak mengucapkan
basmalah.
3. Hadits ini dengan banyaknya jalannya maka shalih untuk dijadikan hujjah,
oleh karena itu para fuqoha’ dari madzhab kami mewajibkan tasmiyah
ketika wudhu’ apaila ia ingat dan tidak wajib (mengulang) apabila ia lupa.
(Lihat Taudhihul Ahkam hal 228).
Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani adalah diantara para ulama yang tegastegas
menyebutkan akan wajibnya tasmiyah, beliau berkata di dalam as-Daroriy
al-Mudhiyyah Syarh ad-Durorul Bahiyyah (matan dan syarh oleh Imam
Syaukani), Bab Ahkamil Wudhu’ (hal. 40-42) :
Matannya berbunyi :
يجب على كل مكلف أن يسمي إذا ذكر ويتمضمض ويستنشق...
“Wajib atas setiap mukallaf (ketika berwudhu’, pent.) untuk bertasmiyah apabila ia
ingat, berkumur dan beristinsyaq…”
Di dalam mensyarh ini, Imam asy-Syaukani rahimahullahu berkata :
“Aku berkata: adapun wajibnya tasmiyah, maka sisi (pendalilannya) adalah
hadits yang datang dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda : “Tidak ada sholat bagi orang
yang tidak berwudhu’ dan tidak ada wudhu’ bagi orang yang belum menyebut
nama Alloh”, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Turmudzi di
dalam al-‘Ilal, Baihaqi, Ibnu Sakkan dan al-Hakim, dan tidak ada di dalam
sanadnya yang dapat menjatuhkannya dari tingkatan i’tibar (diterima), hadits ini
juga punya jalan-jalan lainnya dari hadits Abu Hurairoh yang dikeluarkan
Daruquthni dan Baihaqi, dan dikeluarkan pula yang serupa oleh Ahmad dan
Ibnu Majah dari Sa’id bin Zaid dan dari hadits Abu Sa’id. Yang lainnya
mengeluarkan yang serupa dari hadits Aisyah, Sahl bin Sa’d, Abu Sabroh, ‘Ali
dan Anas.
Tidak disangsikan dan diragukan lagi bahwa hadits ini dapat terangkat sehingga
menjadi dapat berhujjah dengannya, bahkan dengan hadits pertama saja sudah
cukup untuk dijadikan hujjah karena derajatnya yang hasan, lantas bagaimana
lagi jika banyak hadits-hadits lainnya yang warid dalam makna yang sama?
Dengan demikian tidaklah perlu lagi memperpanjang takhrijnya dan pendapat
tentangnya telah ma’ruf. Hadits ini telah menerangkan dengan gamblang
penafian wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah, dan dengan
demikian hadits ini membuahkan faidah syarat yang mengharuskan
ketiadaannya (tasmiyah) meniadakan (wudhu’) dikarenakan sifatnya yang wajib,
maka sesungguhnya inilah yang paling sedikit dapat dipetik faidahnya dari
hadits ini.
Adapun mentaqyid (membatasi) wajibnya tasmiyah hanya pada saat ingat
adalah implikasi dari jama’ hadits ini dengan hadits “barangsiapa yang
berwudhu’ dan menyebut basmalah maka ia sebagai pensuci seluruh tubuhnya,
dan barangsiapa berwudhu’ dan tidak menyebut basmalah maka ia sebagai
pensuci anggota tubuh yang dibasuh dengan wudhu’ saja.” Dikeluarkan oleh
Daruquthni dan Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, namun di dalam sanadnya ada perawi
yang matruk, dikeluarkan oleh Baihaqi dari hadits Ibnu Mas’ud dan di dalamnya
juga ada perawi yang matruk, Meriwayatkan pula Daruquthni dan Baihaqi dari
hadits Abu Hurairoh namun di dalamnya ada dua kelemahan... “ (Lihat as-
Daroriy al-Mudhiyyah hal. 40-42).
Di dalam Subulus Salam Syarh Bulughul Marom (jilid 1, Babul Wudhu’, hadits
no.18-19), Al-Imam Muhammad Isma’il al-Amir ash-Shon’ani rahimahullahu
setelah menjelaskan status hadits tasmiyah dari nukilan para ulama beserta
jalan-jalan hadits lainnya, beliau berkata : “Di dalam banyaknya ucapan-ucapan
(pendapat dalam masalah ini), hanya saja riwayat-riwayat ini saling menguatkan
sebagian dengan sebagian lainnya sehingga tetap menjadikannya kuat, oleh
karena itulah Ibnu Abi Syaibah mengatakan : “telah tsabat bagi kami bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam benar-benar menyabdakannya.” Apabila anda
telah mengetahui hal ini, maka hadits ini menunjukkan akan disyariatkannya
tasmiyah ketika berwudhu’. Zhahir sabda Nabi : “Laa Wudhu’a” berarti tidak sah
dan (dianggap) tidak berwudhu’ tanpa (ucapan) basmalah karena asal di dalam
nafi (peniadaan) adalah hakikatnya.” (Lihat Subulus Salam hal 52).
Syaikh Fahd bin ‘Abdurrahman asy-Syuwayib dalam Shifatu Wudhu’in Nabiy
Shallallahu ‘alaihi wa Salam (hal. 17-18) di dalam mensifatkan sifat wudhu’ Nabi
menyebutkan tasmiyah setelah niat, beliau berkata : “Dari Abu Hurairoh
Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
Tidak ada wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah.” Dikeluarkan
oleh Ibnu Majah no 399, Turmudzi no 26, Abu Dawud no. 101 dan selainnya.
Berkata Syaikh al-Albani : “Hadits Shahih” di dalam Shahihul Jami’ (no. 7444).
Imam Ahmad berpendapat di dalam salah satu dari dua pendapatnya
bahwasanya tasmiyah ini wajib di dalam segala hal, baik wudhu’, mandi dan
tayamum. Dan ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Abu Bakr dan
Madzhab Hasan serta Ishaq. Hal ini disebutkan oleh penulis al-Mughni (I/84)
dan menyebutkan dalilnya hadits yang terdahulu. Ibnu Qudamah berkata :
“Apabila kita berpendapat dengan wajibnya tasmiyah maka meninggalkannya
secara sengaja menyebabkan thoharoh-nya tidak sah, karena meninggalkan
yang wajib di dalam thoharoh serupa dengan meninggalkan niat. Namun apabila
ia meninggalkannya karena lupa maka thoharohnya tetap sah (sebagaimana di
dalam referensi yang telah lewat) dan inilah yang kami rajih-kan. Adapun Ibnu
Taimiyah rahimahullahu, beliau berpendapat akan kewajibannya apabila
haditsnya itu shahih sebagaimana yang terdapat di dalam kitabnya al-Iman, dan
hadits ini adalah hadits yang shahih maka menjadilah pendapat beliau
rahimahullahu mewajibkannya.
Di dalam Shahihain dari Anas Radhiyallahu ‘anhu berkara : Ada sebagian
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencari air wudhu’ maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Apakah ada salah seorang diantara
kalian mempunyai air?” lalu beliau meletakkan tangannya di dalam air sembari
bersabda : “Berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah” Lantas aku melihat
air keluar memancar dari sela-sela jari jemari beliau sehingga mereka semua
orang berwudhu sampai orang terakhir diantara mereka. Tsabit berkata : Aku
bertanya kepada Anas : “Berapa orang yang kamu lihat (berwudhu’)?”, Ia
menjawab : “sekitar 70 orang.” Dikeluarkan oleh Bukhari (I/236), Muslim
(VIII/411) dan Nasa’i (no. 78).
Adapun yang kami berpendapat dengannya di dalam hadits kedua ini adalah
sabda Nabi : “beliau bersabda : berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah”.
Adapun siapa yang berpendapat bahwa tasmiyah hukumnya hanya sunnah
mu’akkadah saja, maka mereka telah menyandarkan kepada pendapat bahwa
hadits yang warid di dalam masalah ini dha’if (yaitu hadits, tidak ada wudhu’...)
sedangkan (realitanya) hadits ini shahih sebagaimana telah kami jelaskan,
maka mereka ini tidak punya hujjah dan kamilah yang memiliki hujjah. Wallohu
a’lam. Maka hukumnya adalah wajib sebagaimana yang kami jelaskan, adapun
orang yang lupa melakukannya maka hendaklah ia bertasmiyah ketika ia ingat.”
(Lihat Shifatu Wudhu’in Nabiy, hal. 17-18)
Bahkan, Syaikh ‘Abdul Azhim Badawi hafizhahullahu di dalam Al-Wajiz fi Fiqhis
Sunnah, Kitab ath-Thoharoh, bab al-Wudhu’ (hal. 32) memasukkan tasmiyah
sebagai syarat sahnya wudhu’.
Al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu di dalam Mulakhosh al-
Fiqhiyyah, Kitab ath-Thoharoh, bab Ahkamul Wudhu’ (hal. 43) mengatakan :
“Para ulama telah berbeda pendapat di dalam hukum tasmiyah pada permulaan
wudhu’, apakah ia hukumnya sunnah ataukah wajib? Hal ini menurut mayoritas
adalah suatu hal yang disyariatkan dan tidak sepatutnya meninggalkannya,
maka hendaklah mengucapkan bismillah dan apabila ditambah ar-Rahman ar-
Rahim maka tidaklah mengapa...”
Dari paparan para ulama di atas, telah jelas bahwa masalah tasmiyah ini adalah
adalah suatu khilaf yang mu’tabar semenjak salaf dan kholaf. Bagi mereka yang
menyatakan akan ketidakwajibannya, maka mereka berpandangan bahwa
hadits tasmiyah ini dha’if dan tidak kuat dijadikan hujjah, sedangkan bagi
mereka yang menshahihkan hadits ini, maka haruslah mengambil zhahir hadits
ini, bahwa tasmiyah adalah wajib hukumnya, dan meninggalkan suatu yang
wajib di dalam wudhu’ maka wudhu’-nya tidak sah.
Dengan demikian, maka masalah tasmiyah yang dicontohkan oleh al-Akh al-
Ustadz Abu Ishaq ini merupakan hujjah bagi kami, bahwa para ulama yang
menshahihkan hadits ini maka haruslah mengambil zhahir lafazh hadits ini,
kecuali apabila ada qorinah yang memalingkan dari zhahirnya sedangkan
qorinah itu tidak ada.
Oleh karena itu, pertanyaan Abu Ishaq yang mengatakan “Analogi dengan
kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada zhahir hadits ini
bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu? Adakah ulama yang
berpendapat demikian?” Maka dengan mudah dapat dijawab –sebagaimana
paparan di atas, bahwa iya! Kita pegang zhahir hadits bahwa apabila tidak
membaca bismillah maka tidak sah wudhu’nya. Dan ulama yang berpendapat
demikian tidaklah sedikit, baik dari kalangan salaf maupun kholaf. Apabila Abu
Ishaq menganalogkan hal ini dengan masalah puasa sunnah hari Sabtu yang
tengah kita diskusikan di sini, maka ini menjadi hujjah yang memperkuat
argumen kami, alhamdulillah.
Tanggapan 7 : Tidak Memalingkan Yang Zhahir dengan Mayoritas Ucapan
Ulama
Al-Akh al-Habib memberikan catatan terhadap kaidah yang saya nukil dari buku
Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits. Catatan beliau sungguh sangat bermanfaat
dan benar sekali, dan catatan yang beliau berikan merupakan tambahan
sekaligus koreksi buat saya. Saya sangat bersepakat terhadap al-Akh Abu
Ishaq bahwa “Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-
Salafus Shalih”, dan ini adalah perkara yang niscaya.
Adapun pendapat yang saya pegang –yaitu merajihkan tahrim dalam masalah
puasa sunnah hari Sabtu- sebagaimana telah berlalu penjelasannya, tidaklah
menyelisihi kaidah salaf dan manhaj salaf dalam hal ini. Bahkan insya Alloh
selaras dengan kaidah dan manhaj mereka, sebagaimana sebagiannya telah
saya turunkan penjelasannya. Ketiadaan penyebutan nama-nama salaf
bukanlah artinya tidak ada salafnya atau pendapat yang kami pegang ini adalah
pendapat baru yang tidak dikenal kecuali setelah abad ke-20 ini.
Tidak dipungkiri, kaidah-kaidah yang saya nukil tersebut tidaklah mutlak. Kaidah
tersebut saya nukil di sini karena berkorelasi dengan pembahasan dan tentunya
tidak dapat dibawa kepada konteks yang tidak tepat. Dalam pembahasan ini,
tampak pada saya bahwa zhahir hadits Alu Busr adalah tegas dan kuat, tidak
dapat dipalingkan melainkan harus dengan qorinah yang lebih kuat, sedangkan
qorinah yang digunakan tidak cukup kuat untuk memalingkan zhahir-nya.
Kecuali apabila al-Akh Abu Ishaq menguatkan hadits Ummu Salamah dan
Aisyah yang notabene merupakan pengkontradiksi yang kuat dalam hal ini,
maka bisa dimungkinkan dilakukannya pemalingan makna dari zhahir sebagai
implikasi dari jama’.
Namun, apabila al-Akh Abu Ishaq berpegang dengan pendapat bahwa hadits
Ummu Salamah dan Aisyah ini tidak shahih dan tidak kuat untuk dijadikan dalil,
maka mau tidak mau untuk memalingkan hadits Alu Busr dengan hadits
Juwairiyah dan hadits puasa nafilah lainnya tidak cukup kuat. Oleh karena itulah
Abu Ishaq harus menurunkan pembahasan masalah hadits-hadits yang
dikontradiksikan ini dulu, baru menginjak ke masalah jama’ atau tarjih di
dalamnya. Apabila Abu Ishaq menguatkan penshahihan hadits Aisyah dan
Ummu Salamah, maka ta’qib terhadap pendhaifan Syaikh ‘Ali dan Ra’id Alu
Thahir sangatlah diperlukan…
Adapun masalah puasa kafarat dan nadzar apakah termasuk bagian dari puasa
fima ufturidha ‘alaikum, maka ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun,
yang menjadi catatan di sini, para ulama yang memasukkan puasa nadzar,
kaffarah dan qodho’ ke dalam fima ufturidha ‘alaikum tidaklah keluar dari zhahir.
Karena, mereka yang memasukkan jenis dan macam puasa ini ke dalamnya
memahami bahwa macam puasa tersebut termasuk bagian dari puasa faridhah.
Maka, tentu saja tidak menyelisihi lafazh fima ufturidha ‘alaikum tersebut. Oleh
karena itulah tidak heran apabila kita melihat pendapat Imam al-Albani yang
menyatakan bahwa, barangsiapa berpuasa sunnah pada hari Jum’at dan ia lupa
atau lalai belum berpuasa pada hari Kamis, maka ia wajib berpuasa pada hari
Sabtu. Karena menurut Imam al-Albani rahimahullah, terlarang hukumnya
berpuasa sunnah pada hari Jum’at secara bersendirian, apabila ia lupa
berpuasa pada hari Kamis yang merupakan mukhoyyar (pilihan), maka ia harus
berpuasa pada hari Sabtu dan puasanya pada hari Sabtu (sebagai pengiring
hari Jum’at) menjadi wajib statusnya sehingga masuk ke dalam fima ufturidha
‘alaikum.
Al-Muhim (yang penting) di sini adalah, selama bisa difahami dengan dalil yang
kuat bahwa puasa tersebut adalah puasa wajib, maka masuk ke dalam lafazh
fima ufturidha ‘alaikum. Allohu A’lam. Adapun hadits yang dinukil oleh al-Akh
Abu Ishaq tidaklah membatasi hanya puasa Ramadhan saja yang merupakan
puasa wajib, namun perlulah kiranya menelaah dalil-dalil lainnya dalam masalah
ini dan perlunya pembahasan tersendiri.
Tanggapan 8 : Mengamalkan Dalil Walaupun Salaf Shalih Menyelisihinya
Al-Akh Al-Karim Abu Ishaq berkata :
Ucapan beliau ini didasari kaedah:
يجب العمل بالدليل ولو خالفه من خالفه من السلف الصالح رضوان الله عليهم
“Wajib mengamalkan dalil walaupun kaum salafus shalih menyelisihinya.”
Allahumma! Kaedah ini tentu perlu pencermatan sempurna agar tidak salah
dalam menerapkan dan melangkah. Kaedah ini tidak bisa diterapkan seperti
zhahirnya. Jika demikian, maka benarlah mereka yang menolak mengikuti
manhaj salaf dengan alasan yang penting adalah mengamalkan dalil dan
ucapan salaf bukanlah hujjah.
Salaf yang mana atau dalam kondisi bagaimana yang menyelisihi dan dianggap
bukan hujjah? Apakah berlaku secara mutlak ataukah tidak? Perlu perincian
tentunya sebelum kita menggunakan kaedah ini.
Bukankah kita senantiasa mendengung-dengungkan Al-Kitab was Sunnah bi
Fahmi Salafil Ummah!? Maka bagaimana implementasi kaedah ini dengan apa
yang kita suarakan secara lantang itu? Kembali kepada kaedah awal yang saya
bawakan di atas yang diambil dari buku yang sama dan bab yang sama,
يجب فهم الدليل على ما فهمه السلف الصالح
“Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-Salafus Shalih.”
Dan bandingkan juga dengan sederet kaedah lain di bab Qaulush Shahabi,
masih di buku yang sama. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.
Jawab :
Apa yang dipaparkan oleh Abu Ishaq adalah benar adanya, bahwa tidak mutlak
kaidah ini bisa digunakan dalam segala kondisi. Saya menukil kaidah di atas
tentu saja di dalam pembahasan yang sedang kita diskusikan ini maka
penempatannya juga harus di dalam masalah yang kita diskusikan ini.
Bukankah sering kita dengar ucapan :
لك ّ ل مقال مقام و لك ّ ل مقام مقال
“Setiap ucapan itu ada tempatnya (konteksnya) dan setiap tempat
(pembahasan) itu ada ucapannya (tersendiri).”
Demikian pula dengan kaidah yang saya gunakan, yaitu “Wajib mengamalkan
dalil walaupun salaf shalih menyelisihinya”. Kaidah ini tentu saja tidak
berbenturan dengan kaidah “wajib memahami dalil dengan apa yang difahami
oleh salaf shalih.” Karena kedua konteks ini berbeda. Dalam hal ini, kaidah
pertama selaras dengan mendahulukan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ketimbang lainnya, sedangkan kaidah kedua wajibnya mendahulukan
pemahaman salaf shalih dibandingkan pemahaman selainnya. Dan kaidah ini
sangat butuh perincian dan tidak mutlak sebagaimana adanya. Saya setuju
dengan al-Akh Abu Ishaq bahwa perincian-perincian di dalam masalah ini
sangatlah penting. Dikarenakan kaidah di atas tidak saya turunkan dengan
perinciannya secara lengkap, maka bisa jadi pemahaman kaidah di atas akan
bisa diselewengkan.
Telah berlalu di dalam risalah sebelumnya, nukilan dari al-Imam Ibnul Qoyyim di
dalam I’lamul Muwaqqi’in akan wajibnya mengamalkan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam walaupun tidak ada imam yang mengamalkannya.
Bahkan hal ini merupakan manhajnya para sahabat dan tabi’in ridhwanullah
‘alaihim ajma’in. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu juga berkata di dalam ash-
Showa’iqul Mursalah (III/1063) : “Dahulu ’Abdullah bin ‘Abbas berhujjah di dalam
masalah haji tamattu’ dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
dan beliau perintahkan para sahabatnya untuk melakukannya. Para sahabat
beliau berkata kepadanya : Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar melakukan haji
secara bersendirian dan tidak melakukan tamattu’, maka tatkala jumlah mereka
semakin banyak Ibnu ‘Abbas berkata : “Nyaris saja turun bebatuan dari atas
langit menimpa kalian, aku berkata kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersabda, kalian malah berkata Abu Bakr dan ‘Umar
berkata…” dan yang semisal pula adalah ‘Abdullah bin ‘Umar ketika haji
tamattu’ beliau memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya, namun
sahabatnya berkata : “Sesungguhnya bapakmu (‘Umar bin Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu) melarangnya!” Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Aku tanya,
Rasulullah kah yang lebih berhak kalian tiru ataukah ‘Umar?”
Dan contoh dalam hal ini sangatlah banyak. Hal ini menunjukkan bahwa ucapan
Rasulullah haruslah lebih didahulukan daripada siapapun setinggi apapun
derajatnya. Karena hujjah itu berada di lisan Rasulullah bukan di lisan orangorang
selain beliau. Hal ini bukanlah artinya kita memahami bahwa, ucapan
sahabat bukanlah hujjah sama sekali. Tidak! Sekali-kali bukan demikian
maksudnya! Ucapan sahabat dapat menjadi hujjah, berikut ini adalah
penjelasan singkatnya :
1. Ucapan sahabat yang tidak ada nash-nya (dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) –
walaupun tidak masyhur- dianggap sebagai hujjah apabila tidak ada sahabat
lainnya yang menyelisihinya.
2. Ucapan sahabat apabila masyhur tersebar luas dan tidak ada seorang
sahabatpun yang menyelisinya maka dianggap sebagai ijma’ dan hujjah.
3. Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah yang tidak ada asal
di dalamnya, maka tidaklah dikedepankan ucapan sebagian dari sebagian
lainnya.
4. Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah kepada dua
pendapat, maka pendapat yang di dalamnya ada salah seorang dari
Khulafa`ur Rasyidin adalah lebih rajih dibandingkan selainnya.
5. Para sahabat lebih mengetahui tentang suatu riwayat dibandingkan
selainnya.
6. Apabila seorang sahabat menyelisihi apa yang ia riwayatkan, maka yang
dianggap (dijadikan dalil) adalah apa yang ia riwayatkan bukan yang ia
fahami.
(Lihat pembahasan ini secara detailnya di Ushulul Fiqhi ‘ala Manhaj Ahlil
Hadits bab Qoulu ash-Shohabiy).
Apabila ucapan para sahabat saja memiliki persyaratan tertentu untuk bisa
dijadikan dalil, terlebih lagi ucapan selain sahabat. Namun, bagaimanapun tidak
diingkari bahwa para salaf shalih adalah mereka yang lebih ‘alim tentang suatu
dalil, pendapat mereka lebih a’lam, aslam dan ahkam dibandingkan selainnya.
Namun, hal ini tidaklah seratus persen demikian, karena mereka juga sama
dengan manusia lainnya, terkadang salah dan terkadang benar, walaupun
kesalahan mereka jauh lebih sedikit dibandingkan lainnya.
Yang harus digarisbawahi di sini adalah, pembahasan kita di sini bukanlah
berbicara tentang ijma’us salaf yang tidak syak lagi merupakan hujjah. Namun
yang kita bicarakan di sini adalah pendapat orang perorang dari salaf. Tentu
saja ucapan orang perorang dari salaf bukanlah hujjah. Dan yang menjadi
hujjah itu adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Dengan demikian, mendahulukan Sunnah Rasulullah Shallalallahu ‘alaihi wa
Salam adalah suatu kewajiban sedangkan mengikuti ucapan (orang perorang)
dari salaf shalih tidak wajib, dan ini sendiri merupakan bagian dari manhaj salaf.
Tidak menerima ucapan salaf shalih bukan artinya tidak menerima manhaj salaf,
bahkan menolak ucapan salaf shalih yang menyelisihi hujjah termasuk bagian
dari manhaj salaf, yang salaf sendiri mengamalkannya.
Dengan demikian mudah-mudahan menjadi jelas apa saya paparkan
sebelumnya dari kaidah yang saya nukil di atas. ‘Ala kulli hal, suatu ucapan itu
ada tempat pembahasannya tersendiri dan suatu pembahasan tentulah ada
ucapannya tersendiri.
Jangan sampai ada yang kembali berfikir, bahwa pendapat yang merajihkan
tahrim di dalam puasa sunnah hari Sabtu adalah pendapat yang la salafa lahu
(tidak ada salafnya), pendapat yang baru (muhdats), yang baru muncul pada
abad XX Masehi atau XIV Hijriah!!! Sehingga, untuk menguatkan pendapat yang
tidak ada salafnya ini maka kaidah di atas digunakan. Sekali-kali tidak
demikian!! Ini adalah suatu fikiran yang tidak benar, berangkat dari minimnya
penelaahan dan kurangnya pemahaman. Masalah ini telah dijawab pada risalah
sebelumnya dan mudah-mudahan telah mencukupi.
Penutup
Demikian inilah sekelumit tentang tanggapan dan ta’qib (sanggahan) saya
kepada al-Akh al-Habib, saudara yang saya cintai karena Alloh, senior saya
dalam hal amal dan ilmu, Abu Ishaq Umar Munawwir as-Sundawi hafizhahullahu
wa nafa’allohu bihi. Saya tidak bisa pungkiri, bahwa ta’qib beliau kepada risalah
saya, walaupun ringkas dan singkat adanya namun merupakan ta’qib yang
berat. Saya banyak mengambil faidah dan manfaat darinya.
Tiada tujuan saya di dalam masalah ta’qib menta’qib ini melainkan untuk
mencari al-Haq. Saya telah kemukakan kepada al-Akh al-Karim Abu Ishaq
beberapa waktu silam ketika beliau menelpon saya, bahwa saya sangat butuh
ifadah dari beliau yang mungkin beliau bisa mendatangkan hujjah yang lebih
kuat sehingga saya dapat meninggalkan pendapat yang saya pegang ini.
Tidak ada maksud dan tujuan dari diskusi ini melainkan untuk mencari
kebenaran, meningkatkan semangat dan gairah untuk belajar dan muthola’ah
kitab-kitab ilmu yang sarat faidah dan manfaat, dan untuk meramaikan kajiankajian
ilmiah yang selama ini sudah mulai –sedikit banyak- dilupakan dan
ditinggalkan umat. Yang ada kebanyakan mereka malah sibuk dengan sikap
saling mencela, menjelekkan, menfitnah dan semacamnya yang berangkat dari
fanatisme buta dan kebodohan.
Sungguh indah dan tepat apa yang diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu di dalam al-Majmu’ 24/172) yang mengatakan :
وقد كان العلماء من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إذا تنازعوا في الأمر اتبعوا أمر الله تعالى في قوله:
"فإ ْ ن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إ ْ ن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن
تأوي ً لا"، وكانوا يتناظرون في المسألة مناظرة مشاورة ومناصحة، وربما اختلف قولهم في المسألة العلمية
والعملية مع بقاء الألفة والعصمة وأخوة الدين...
“Adalah para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka,
apabila berselisih di dalam suatu perkara, mereka ikuti perintah Alloh Ta’ala di
dalam firman-Nya (yang artinya) : “Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Mereka
dahulu sering berdiskusi di dalam suatu masalah dengan dialog, musyawarah
dan munashohah (sikap saling menasehati). Betapa banyak perbedaan
pendapat dari mereka di dalam permasalahan ‘ilmiyah dan ‘amaliyah namun
dengan tetap saling bersatu, menjaga kehormatan dan ukhuwwah fid dien…”
Saya di dalam menyusun ini, tidak ada keinginan untuk membela pendapat
Imam al-Albani salah maupun benar, atau fanatik kepada beliau. Sama sekali
tidak!!! Saya mencintai beliau sebagai salah satu imam besar di zaman ini,
namun hal ini tidaklah menjadikan beliau ma’shum dari kesalahan-kesalahan.
Saya juga mencintai Imam Ibnu ‘Utsaimin yang berseberangan dengan beliau di
dalam masalah ini. Saya juga mencintai para ulama dan thullabul ‘ilmi yang turut
berdiskusi ilmiah di dalam masalah ini, menyumbangkan ilmu dan
pembahasannya secara mendalam yang benar-benar sarat akan faidah dan
manfaat, seperti Syaikhuna ‘Ali Hasan al-Halabi, Syaikh ‘Ali Ridha, Syaikh Ra’id
Alu Thahir, Syaikh Luqman Abu ‘Abdillah al-Anshori, Syaikh Abu ‘Umar al-
Utaibi, Syaikh Abul Baro’ al-Kinani, Syaikh ‘Abdul Hamid al-‘Arobi dan selain
mereka hafizhahumullahu. Dan janganlah masalah ini dijadikan sebagai sarana
untuk berpecah belah dan saling mencela.
-
Saya sangat salut kepada saudara-saudara saya penuntut ilmu di Bandung,
terutama para ikhwah salafiyah alumnus ITB Bandung yang menyibukkan diri
mereka untuk ilmu yang bermanfaat dan tidak menyibukkan diri dengan qilla wa
qoola dan desas-desus dari para futtan (penyebar fitnah) dan munaffirin yang
berpakaian dan berkedok salafiyyah namun amal dan ilmu mereka jauh darinya.
Semoga semangat ilmiah seperti ini senantiasa terpelihara dan kita tetap
istiqomah di manhaj yang lurus dan salim ini. Amien ya Robbal ‘Alamien.
Saya juga perlu menghaturkan permintaan maaf kepada semua fihak, terutama
al-Akh al-Habib Abu Ishaq apabila ada kata-kata yang tidak berkenan atau
salah, harap kiranya dikoreksi dan diluruskan dengan cara yang baik dan
hikmah. Kepada ikhwah lainnya juga, saya sangat mengharapkan saran dan
tegur sapa, kritik dan ta’qib ilmiah yang membangun dan bermanfaat, agar
semakin bertambah kecintaan kita dan ilmu kita di dalam meniti manhaj ilmiah
yang mulia ini.
Segala yang benar dari risalah ini adalah hanya dari Alloh dan kema’shuman itu
milik Alloh semata yang diberikan hanya kepada Rasul dan Nabi-Nya, dan
segala yang salah dari risalah ini berasal dari diri saya dan syaithan yang
senantiasa mengintai dan menyeru agar mengikuti langkahnya, na’udzu billahi
min syururi anfusina wa min sayyi’ati a’malina wa min waswasi syayathina.
وجزى الله تعالى كلَّ من شارك في هذا النقاش العلمي، وش جع عليه، وأسأله تعالى أن يوفقنا لما يرضاه،
وأن يسدد أقوالنا وأعمالنا، وأن يرزقنا الإخلاص وتجريد المتابعة.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
وصل اللهم على سيدنا محمد وعلى آله و صحبه وسلم.
Diselesaikan tanggal 15 Shofar 1428 bertepatan dengan 5 Maret 2007 di Malang
Muhibbukum Fillah
Al-Faqir ila’ Afwa Robbihi
Abu Salma bi Burhan bin Yusuf al-Atsari
Daftar Bacaan :
- Ad-Darooriy al-Mudhiyyah Syarh as-Durorul Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali
asy-Syaukani, tanpa tahun, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon.
- Al-Wadhih fi Ushulil Fiqhi lil Mubtadi`in, DR. Muhammad Sulaiman ‘Abdullah
al-Asyqor, cetakan IV, 1412 H/1996 M, Darun Nafa`is, Amman, Yordanina.
- Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, ‘Abdul Azhim Badawi, cetakan I,
1416 H/1995 M, Dar Ibnu Rojab, Dimyathi, Mesir.
- Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid 1, tanpa tahun, Darul Fath lil I’lam ar-
Arobiy, Kairo, Mesir.
- Puasa Sunnah Hukum dan Keutamaannya, (terjemahan dari Shiyamut
Tathowwu’ Fada`il wa Ahkam), Usamah ‘Abdul Aziz, pent. Abillah, Lc.,
cetakan I, 1425 H/2005 M, Darul Haq, Jakarta, Indonesia.
- Subulus Salam Syarh Bulughul Maram min Jam’i Adillatil Ahkam,
Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shon’ani, Juz 1, tanpa tahun, Maktabah
al-Hidayah (terbitan lokal), Surabaya, Indonesia.
- Shifatu Wudhu’ an-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Fahd bin
‘Abdurrahman as-Syuwayib, cetakan IV, 1407 H/1986 M, Darul Hijrah lin
Nasyr wat Tauzi’, Riyadh, KSA.
- Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul, Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Cetakan
I, 1425 H/2003 M, Darul Aqidah, Iskandaria & Kairo, Mesir.
- Syarh Manzhumah al-Baiquniyah fi Mustholahil Hadits, Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, cetakan I, 1423 H/2002 M, Dar ats-Tsuroya lin Nashr wat
Tauzi’, Riyadh, KSA.
- Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Muhammad Nashiruddin al-
Albani, cet II, Darur Royah, didownload dari http://www.waqfeya.com.
- Zahru Roudhi fi Hukmi Shiyami Yaumas Sabti fi Ghoiril Fardhi, ‘Ali bin Hasan
bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid al-Halabi, cetakan I, 1412 H/1996 M, Darul Asholah,
Zarqo, Yordania.
- Al-I’lam bianna Shouma as-Sabti fin Nafli laysa biharam, Abul Bara’ al-
Kinani, didownload dari http://www.ahlalhdeeth.com
- Al-Qoulul Mubram fi Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Abdil Bari ‘Abdul Hamid al-
‘Arobi, http://www.sahab.net
- Al-Qoul ats-Tsabt fi Hurmati Shiyami Yaumas Sabti Munazhoroh ‘Ilmiyyah
haula Hukmi Shiyami Yaumas Sabti, Abu Sanad Muhammad, didownload
dari http://www.sahab.net
- Al-Qoulu ats-Tsabt fi Ma’na Haditsin Nahyi ‘an Shiyami Yaumas Sabti, Abu
‘Abdirrahman ‘Athiyah Bayazid, http://www.barq.com
- Al-Qoulu ats-Tsabit fi Hukmi Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Ubaidah Mahmud,
- Al-Qoul al-Qowim fi Istihbabi Shiyami Yayma as-Sabti fi Ghoyril Fardhi min
Ghoyri Takhshish wa Qoshdi Ta’zhim, Abu ‘Umar Usamah bin ‘Athoya bin
‘Utsman al-‘Utaibi, didownload dari http://www.otiby.net
- At-Tanbi’ah wat Ta’rifah fi Ahkami Shiyami Yauma ‘Arofah, Syaikh Salim bin
“ied al-Hilali, http://www.islamfuture.net
- Hiwar Baina asy-Syaikh al-Albani wa asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad
haula Shiyami Yaumas Sabti, ditranskrip oleh Syaikh Luqman Abu ‘Abdillah
al-Anshari al-Ajurri, didownload dari http://www.ajurry.com
- Inkarus Shomat ‘ala Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Abdillah Nashiruddin asy-
Syafi’i, http://www.sahab.ws/3853
- Jawabus Syaikh Muhammad al-Hammud an-Najdi fi Hukmi Shiyami Yaumas
Sabti, http://www.alathary.net
- Madzahibu Ahlil ‘Ilmi fi Ifradi Yaumis Sabti bish Shiyam, Al-Amin al-Haj
Muhammad, http://islamadvice.com
- Shiyamus Sabti La Yajuz illa fil Faridhah : Ta’qib Syaikh ‘Ali Ridha ‘ala
Maqulati Syaikh Abi ‘Umar al-Utaibi, http://www.sahab.net
- Tanbih Dzawil ‘Uquli as-Sadidah ila Hukmi Shoumis Sabti fi Ghoyri Faridhah,
Abu Hisamuddin ath-Thorfawi {dikirim oleh al-Akh Abu Aqil}.
- Ta’qib Syaikh Abi Mu’adz Ro`id Alu Thohir ‘ala Maqulatani Syaikh Abu ‘Umar
al-Utaibi wa Syaikh ‘Abdul Hamid al-‘Arobi
- Ta’qib Syaikh Abu ‘Abdillah al-Ajurri Ridha ‘ala Maqulati Syaikh Abi ‘Umar al-
Utaibi, http://www.sahab.net
- Waqofaat wa Masa`il Haula Yawmi ‘Arofah, http://www.saaid.net
- Yasyro’u Shiyama Yauma ‘Arofah wa in Wafaqo Yaumas Sabti, DR.
Hisamuddin ‘Afanah, http://www.yasaloonak.net
- Dan artikel-artikel lainnya seputar masalah puasa sunnah hari Sabtu di
beberapa wesbite.
على مقالات أبي عمير وأبي إسحاق في مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض
Sokongan dan Sanggahan Terhadap Makalah Abu
‘Umair dan Abu Ishaq tentang Masalah Puasa Sunnah
pada Hari Sabtu
Oleh :
Abu Salma bin Yusuf bin Burhan al-Atsari
الحمد لله الذي لا إله إلا هو له الحمد في الأولى والآخرة، وله الحكم وإليه ترجعون، والصلاة والسلام
على النبي الكريم الذي كان يستفتح صلاته بقوله: الله رب جبريل وميكائيل وإسرافيل فاطر السموات
والأرض اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك دي من تشاء إلى صراط مستقيم، وعلى آله
وأصحابه ومن سار على هداهم من أهل الحق والدين إلى يوم البعث والنشور .. وبعد،،
Segala puji hanyalah milik Alloh yang tiada sesembahan yang haq untuk
disembah melainkan hanya diri-Nya, Dia-lah pemilik segala pujian dari
permulaan hingga akhir dan Dialah pemilik keputusan (hukum) serta hanya
kepada-Nyalah segalanya akan berpulang. Kesejahteraan dan keselamatan
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi yang mulia, yang senantiasa
membuka sholatnya dengan sabdanya : (Wahai) Alloh Rabb-nya Jibril, Mika`il
dan Israfil, pengatur langit dan bumi, tunjukilah aku dari segala hal yang
diperselisihkan kepada petunjuk dengan izin-Mu, (karena) sesungguhnya
Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Kau kehendaki kepada jalan
yang lurus. (Kesejahteraan dan keselamatan juga senantiasa) tercurahkan
kepada keluarga beliau, para sahabat beliau dan siapa saja yang meniti di atas
petunjuk mereka dari para pengikut kebenaran dan agama, hingga hari
pembangkitan (kiamat)... wa ba’du :
Sesungguhnya, ketika saya melihat saudara-saudara saya para penuntut ilmu
yang giat dan bersemangat, yang mereka menyibukkan diri dengan ilmu yang
bermanfaat dan ‘amal sholih, mereka sibukkan diri dengan pembahasanpembahasan
ilmiah dan dirosah (studi) fiqhiyyah tafshiliyyah, maka hati saya
sangat bergembira ria melihat hal ini. Terutama, ketika saudara-saudara saya
para penuntut ilmu Bandung, salafiyyin ITB yang –masya Alloh-, diantara
mereka adalah saudara saya yang mulia Abu ‘Umair dan Abu Ishaq as-Sundawi
hafizhahumallahu wa nafa’allohu bihima.
Adapun orang yang saya sebut terakhir, yaitu al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq ‘Umar
Munawwir, saya pernah bertemu dengan beliau ketika Dauroh Syar’iyyah fi
Masa`il Aqodiyyah wa Manhajiyyah di Lawang beberapa tahun silam. Dalam hal
ini, saya tidak meragukan lagi kapasitas keilmuan beliau, apalagi beliau telah
diberi amanat oleh al-Ustadz al-Karim Abu Haidar hafizhahullahu untuk
menggantikan beliau di dalam beberapa ta’lim yang beliau berhalangan hadir,
termasuk menggantikan beliau tatkala beliau berhalangan hadir di Dauroh
Syar’iyyah yang mendatangkan masyaikh Syam beberapa waktu yang lalu.
Adapun al-Akh al-Fadhil Abu ‘Umair, saya sebenarnya belum pernah bertemu
beliau. Namun saya mengenal beliau melalui dunia maya ini. Melihat dari tulisan
dan maqoolaat (makalah-makalah) beliau, maka saya tidak ragu lagi
mengatakan bahwa beliau adalah tholibul ‘ilmi yang mutamakkin (mumpuni),
yang semangat di dalam muthola’ah (menelaah) dan muroja’ah (mereferensi).
Oleh karena itu, saya sangat menyetujui beberapa ulasan beliau yang sangat
ilmiah, kecuali pada sebagian kecil masalah, khususnya dalam masalah hukum
puasa sunnah pada hari Sabtu.
Masalah yang kita bicarakan dan fokuskan kini, adalah masalah hukum puasa
sunnah pada hari Sabtu. Masalah ini sebenarnya telah saya susun beberapa
tahun silam [tepatnya kurang lebih 2 tahun silam] dalam artikel yang berjudul
“Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”, dimana dalam artikel ini saya lebih
banyak merujuk kepada buku Syaikhuna ‘Abul Harits Ali Hasan al-Halabi
hafizhahullahu yang berjudul Zahru Roudhi fi Hukmi Shiyaami Yaumis Sabti fi
Ghoyril Fardhi yang menurunkan takhrij hadits Alu Busr [hadits keluarga Busr
yang menjelaskan larangan puasa sunnah hari Sabtu] ini secara lengkap dan
mengumpulkan thuruq (jalur-jalur periwayatan)-nya sehingga sampai pada
kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih dan maqbul tanpa
menyisakan syak (keraguan) sedikitpun.
Kemudian Syaikh Abul Harits juga menjelaskan fiqhul hadits dan membantah
beberapa syubuhat dan argumentasi lawan yang menyatakan kebolehan
berpuasa sunnah pada hari Sabtu dari sisi ushul fiqh. Bagi yang ingin
mengetahui secara lengkap argumentasi beliau, maka silakan rujuk buku asli
beliau langsung atau silakan baca artikel saya yang sebagian besar merujuk
kepada buku beliau tersebut di dalam blog ini.
Saya sangat menghargai sekali adanya perbedaan dalam masalah ini, karena
ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah yang mu’tabar dari semenjak ulama
mutaqoddimin hingga muta`akhkhirin. Namun, suatu hal yang tidak dipungkiri,
bahwa jumhur ulama baik mutaqoddimin maupun muta`akhkhirin lebih
merajihkan pendapat akan kebolehan berpuasa hari Sabtu apabila tidak infirad
(bersendirian) dan tanpa takhshish (pengkhususan) dan ta’zhim (pengagungan).
Namun, kita tidak berpegang kepada pendapat jumhur, yang kita pegang adalah
Al-Qur’an dan hadits Nabi yang shahih –akan saya turunkan pembahasannya
nanti masalah ini, insya Alloh-.
Sebelum membahas ke ta’qib (sanggahan) terhadap ulasan al-Akh Abu ‘Umair
dan Abu Ishaq, saya akan memberikan sedikit ta’yid (sokongan) saya terhadap
ulasan mereka dan menurunkan beberapa muqoddimah ilmiah yang berkaitan
di dalam masalah khilaf semacam ini.
Ta’yid saya dalam hal ini adalah, bahwa ternyata –Allohu ‘alam- dari yang
tampak dari ulasan al-Akh Abu ‘Umair dan Abu Ishaq, mereka berdua
bersepakat bahwa hadits Alu Busr ini adalah hadits yang berterima isnadnya
dan shahih secara sanad tanpa menyisakan keraguan. Namun, perbedaan kami
adalah dari sisi fiqhul hadits...
Dalam masalah perbedaan mengenai hukum puasa sunnah pada hari Sabtu ini,
setidaknya ada tiga pendapat –yang bisa saya klasifikasikan- berdasarkan
referensi dan buku bacaan yang saya miliki, dan pendapat saya ini insya Alloh
sama dengan apa yang dipaparkan oleh al-Akh Abu Ishaq dan Abu ‘Umair,
walau tampaknya Abu ‘Umair sedikit memberikan tambahan penjelasan Abu
Ishaq yang menurut saya sudah terkandung di dalam klasifikasi Abu Ishaq, yaitu
:
Pendapat Pertama : Boleh berpuasa sunnah pada hari Sabtu secara mutlak,
tanpa maksud ta’zhim dan takhshish. Jadi, apabila hari Sabtu jatuh kepada hari
dimana seseorang biasa melakukan puasa sunnah, misalnya seperti puasa
Dawud, puasa hari putih (tanggal 13,14,15 setiap bulan Qomariah) atau puasapuasa
sunnah lainnya, termasuk juga puasa (yang dilakukan secara) ‘spontan’
yaitu puasa yang dilangsungkan tanpa diniatkan pada malam harinya, dan
ketika melihat pada hari Sabtu itu tidak ada makanan –misalnya-, maka ia
berpuasa pada hari Sabtu itu. Maka menurut pendapat pertama ini, semuanya
ini dibolehkan. Namun apabila dilakukan dengan mengkhususkan hari Sabtu
untuk berpuasa –padahal pengkhususan butuh dalil- ataupun
mengagungkannya –yang juga butuh dalil-, maka semua ulama sepakat akan
ketidakbolehannya. Karena hal ini termasuk bid’ah dan muhdats.
Pendapat Kedua : Boleh berpuasa sunnah pada hari Sabtu secara tidak
bersendirian dengan diiringi berpuasa sehari sebelum atau setelahnya. Dalam
hal ini, para ulama ada dua pendapat, yaitu :
- Mensyaratkan mutlak harus diiringi sehari sebelum atau setelahnya. Apabila
jatuh pada hari Sabtu puasa sunnah seperti puasa ‘Asyura`, ‘Arofah, puasa
hari-hari putih, puasa Dawud, atau semisalnya, mereka mengharuskan
mengiringinya dengan sehari sebelum dan setelahnya dan apabila tidak,
maka hukumnya terlarang.
- Mensyaratkan harus diiringi sehari sebelum atau setelahnya namun
memperbolehkan berpuasa secara bersendirian apabila jatuh pada hari
Sabtu puasa sunnah seperti puasa ‘Asyura`, ‘Arofah, puasa hari-hari putih,
puasa Dawud, atau semisalnya. Pendapat ini sekilas tampak sama dengan
pendapat pertama di atas, namun bedanya adalah apabila tidak ada sebab
seperti jatuhnya puasa sunnah pada hari Sabtu, maka mereka yang
berpegang dengan pendapat ini mengharuskan puasa sunnahnya pada hari
Sabtu untuk menyertainya dengan puasa sehari atau sebelumnya. Adapun
pendapat pertama di atas, maka boleh ia berpuasa sunnah tanpa sebab
selama tanpa ada maksud takhshish dan ta’zhim walaupun tidak diiringi
dengan sehari setelah atau sebelumnya.
Pendapat Ketiga : Tidak boleh berpuasa sunnah secara mutlak pada hari
Sabtu, walaupun tanpa diiringi maksud takhshish, ta’zhim, atau diiringi dengan
sehari sebelum atau setelahnya, dan walaupun jatuh pada hari Sabtu puasa
sunnah semisal puasa ‘Arofah, ‘Asyura`, hari-hari putih atau semisalnya.
Pendapat inilah yang diperpegangi oleh Imam al-Albani rahimahullahu dan
sebagian murid-murid beliau, yang menyebabkan kontroversi dan perdebatan
ilmiah yang panjang. Dan alhamdulillah, pendapat inilah yang sampai saat ini
penulis pegang karena hujjah yang penulis lihat –sampai saat ini- adalah yang
lebih kuat, sedangkan hujjah fihak lawan yang menyelisihi belum dapat
memuaskan penulis untuk meninggalkan pendapat ini.
Namun, bagaimanapun juga, masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah
ilmiyah yang seharusnya disikapi dengan sikap lapang dada dan besar hati,
tanpa ada sikap saling mencela, mendiskreditkan dan bahkan sampai menvonis
sesat atau bid’ah fihak yang berlawanan. Namun, ini juga bukan artinya semua
pendapat di atas adalah benar, ini artinya adalah tiap muslim dapat belajar
menelaah dan menganalisa pendapat yang benar menurut kadar kemampuan
dan pemahamannya.
Dalam masalah ini, sikap saling mengingkari dengan adab dan akhlaq ilmiyah
adalah yang dituju, bukannya malah bersikap stagnan pasrah dengan dalih ini
masalah khilafiyah lantas tidak ada upaya tarjih dan muthola’ah, ataupun sikap
keras fanatik menyalahkah fihak lawan dengan tuduhan-tuduhan keji dan
semangat fanatisme.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila saya turunkan beberapa kaidah
ilmiah di dalam mensikapi perbedaan atau perselisihan di antara sesama ahli
sunnah, apalagi perbedaan dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah.
Kaidah Pertama :
Kewajiban utama seorang muslim tatkala berselisih adalah mengembalikan
kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan ijma’ Shohabat. Adapun selain ketiga
ini adalah tidak ma’shum, bisa diterima dan bisa ditolak.
Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر
“Apabila kalian sedang berselisih tentang suatu apapun, maka kembalikanlah
perselisihan tersebut kepada Alloh [yaitu kepada Kitabullah] dan kepada
Rasulullah [yaitu kepada Sunnah beliau setelah beliau wafat] apabila kalian
benar-benar beriman kepada Alloh dan hari Akhir. (an-Nisa’ : 59).
Kaidah Kedua :
Tidak boleh bagi seorangpun keluar dari dilalah (penunjukan) yang qoth’i (pasti)
dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dan ijma’ ummat yang telah diketahui secara
yakin. Dilalah yang zhanni (tidak pasti) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah harus
dikembalikan kepada yang qath’i, dan yang mutasyabih (samar) dikembalikan
kepada yang muhkam (jelas).
Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب، وأخر متشاات فأما الذين في
قلوم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في
العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يتذكر إلا أولو الألباب
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS
Ali Imran : 7)
Kaidah Ketiga :
Perlu adanya sikap saling mengingkari dan meluruskan walaupun di dalam
masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, tanpa disertai dengan tajrih, tahdzir, tasyhir
atau bahkan sampai kepada tabdi’, tafsiq atau takfir. Karena kebenaran di sisi
Alloh itu adalah satu dan tak berbilang.
Syaikhul Islam kedua, Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullahu berkata :
((وقولهم "إن مسائل الخلاف لا إنكار فيها" ليس بصحيح؛ ...، وكيف يقول فقيه لا إنكار في المسائل
المختلف فيها والفقهاء من سائر الطوائف قد صرحوا بنقض حكم الحاكم إذا خالف كتابًا أو سنة وإن
كان قد وافق فيه بعض العلماء؟ وأما إذا لم يكن في المسألة سنة ولا إجماع وللاجتهاد فيها م ساغ لم
تنكر على م ن عمل ا مجتهدًا أو مقلدًا))
“Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada
pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih)
berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang banyak perselisihan di
dalamnya sedangkan para ahli fikih dari seluruh kelompok telah menunjukkan
dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim apabila menyelisihi
Kitabullah dan Sunnah walaupun keputusan tersebut selaras dengan pendapat
beberapa ulama? Adapun di dalam permasalahan itu tidak ada sunnah dan
ijma’ (yang menjelaskannya), maka diperbolehkan berijtihad di dalamnya dan
tidak diingkari orang yang mengamalkannya karena berijtihad ataupun
bertaklid.” ( I’lamul Muwaqqi’in, Juz III hal. 300)
Kaidah Keempat :
Terkadang perselisihan itu merupakan suatu keluasan dan rahmat dari Alloh.
Selama perselisihan itu adalah perselisihan yang mu’tabar di kalangan salaf dan
kholaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyebutkan di dalam
Majmu’ Fatawa 30/79 bahwa ada seorang yang menulis buku tentang masalah
ikhtilaaf lantas Imam Ahmad berkata :
أن رج ً لا صنف كتابًا في الاختلاف فقال أحمد: لا تس مه كتاب الاختلاف، ولكن سمه كتاب السعة
“Jangan kau namakan buku itu dengan buku ikhtilaf, tapi namakan buku itu
dengan buku sa’ah/keluasan.”
Kaidah Kelima :
Wajib mengikuti kebenaran walaupun menyelisihi pendapatnya setelah tampak
bahwa pendapat yang menyelisihinya adalah yang benar. Karena yang wajib
untuk diikuti adalah kebenaran, bukannya pendapat atau madzhab individuindividu
yang tidak ma’shum setinggi apapun derajatnya.
Alloh Ta’ala berfirman :
والذي جاء بالصدق وصدق به أولئك هم المتقون
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zumar : 33)
[Disarikan dari al-Qowa’id adz-Dzahabiyah fi Adabil Khilaf, Adabul Khilaf dan ar-
Rudud as-Salafiyyah secara ringkas dan bebas].
Setelah kita mengetahui tentang kaidah-kaidah khilaf yang singkat di atas, kini
mari kita memasuki pembahasan utama artikel ini, yaitu ta’qib terhadap ulasan
al-Akh Abu ‘Umair dan Abu Ishaq tentang masalah hukum puasa sunnah pada
hari Sabtu.
Ada beberapa poin ta’qib yang akan saya turunkan, yaitu :
- Syaikh Al-Albani adalah orang pertama yang memahami kata an-nahyu di
dalam hadits Alu Busr adalah sebagai haram mutlak, atau dengan kata lain
beliau menyelisihi jumhur.
- Hadits Alu Busr adalah hadits yang syadz atau menyelisihi hadits-hadits
lainnya yang lebih shahih sehingga harus dijama’.
- Dakwaan bahwa pendapat yang menguatkan larangan mutlak puasa sunnah
pada hari Sabtu menelantarkan hadits-hadits shahih lainnya
Inilah kurang lebih 3 poin utama yang akan saya jawab, yang mungkin jawaban
saya ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga masih banyak peluang untuk
mengoreksi dan menta’qib jawaban saya ini. Mungkin juga 3 poin di atas yang
saya sebut tidak menjawab semua musykilat (problematika) tentang
perselisihan dan perbedaan masalah ini, sehingga apa yang saya paparkan ini
tidak bisa menjawab sepenuhnya argumentasi fihak “lawan”. Namun, semoga
yang sedikit ini bisa sedikit memberikan gambaran ilmiah tentang hujjah yang
diperpegangi oleh mereka yang berpendapat bahwa puasa sunnah hari Sabtu
adalah terlarang.
Ta’qib 1 : Syaikh Al-Albani adalah orang pertama yang
memahami kata an-nahyu di dalam hadits Alu Busr adalah
sebagai haram mutlak, atau dengan kata lain beliau menyelisihi
jumhur.
Abu Ishaq berkata : “Namun perlu dicatat, para ulama sedari dulu hingga
sekarang yang menerima keabsahan hadits ini semuanya sepakat memahami
makna an-nahyu (larangan) dalam hadits ini adalah karahah, yakni karahah
tanzih (sesuatu yang makruh dan sangat dianjurkan untuk ditinggalkan). Al-
Imam Al-Albani rahimahullah dengan melihat zhahir hadits tersebut berpendapat
bahwa makna an-nahyu (larangan) dalam hadits ini adalah haram. Pemahaman
ini tentu sejalan dengan kaidah bahwa hukum asal suatu larangan adalah
haram. Namun demikian hal ini tidak bisa berlaku manakala ada qarinah yang
memalingkan makna larangan tersebut dari zhahir/tekstualnya. Barangkali
Imam Al-Albani rahimahullah merupakan yang pertama (?) yang memahami annahyu
dalam hadits ini dengan makna haram.”
Dan ucapan ini tampaknya disetujui oleh Abu ‘Umair dalam artikelnya yang
berjudul Ta’qib : Artikel “Khulashoh Puasa Sunnah Hari Sabtu”
Tanggapan :
Ucapan Abu Ishaq di atas, tatkala beliau menyebutkan “semuanya sepakat
memahami makna an-nahyu (larangan)...” mengisyaratkan seakan-akan
memahami makna an-Nahyu sebagai kaharah adalah suatu ijma’ (kesepakatan)
dan tidak ada yang menyelisihinya melainkan Imam al-Albani. Demikianlah yang
tersirat dari ucapan Abu Ishaq.
Hal ini serupa dengan apa yang didakwakan oleh Yahya Isma’il Ied dalam Al-
Qoulu ats-Tsabt fi Hukmi Shiyami Yaumis Sabti (hal. 12) yang mendakwakan
ijma’ bolehnya berpuasa pada hari Sabtu kemudian beliau berkata :
ولا نعلم بين الأمة خلافا سابقا من قبل
“Kami tidak tahu adanya perselisihan terdahulu di antara ummat sebelumnya.”
Menanggapi ucapan ini, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi mengomentari : “Aku benarbenar
heran sekali (dengan klaim/ucapan) ini, dan aku teringat dengan apa
yang diucapkan oleh orang terdahulu :
و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar
Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk
Tidaklah tersamar bagi orang yang menelaah tulisan-tulisan dan buku-buku ahli
ilmu, bahwa masalah yang sekarang kita sedang membahasnya dan
mengupasnya adalah masalah khilafiyyah. Khilaf di dalamnya adalah khilaf yang
telah dikenal, oleh karena itu tidak benar dakwaan bahwa orang yang
berpendapat dengan salah satu pendapat di dalamnya telah menyelisihi jama’ah
atau menentang ijma’, ataupun ucapan-ucapan semisal yang berangkat dari
sikap gegabah (tergesa-gesa) dan pembahasan yang minim.
Dan aku cukupkan untuk menetapkan adanya perselisihan di dalam masalah ini
dengan menukilkan tiga ucapan (ulama salaf), yaitu :
Pertama, Imam ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Ma’ani al-Atsaar (II/80)
setelah meriwayatkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu :
فذهب قوم إلى هذا الحديث, فكرهوا صوم يوم السبت تطوعا
“Para ulama berpendapat dengan hadits ini, dan mereka membenci berpuasa
tathawu’ (sunnah) pada hari Sabtu.”
Kedua, Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217) :
وأما الأيام المنهي عنها: فمنها أيضا متفق عليها منها مختلف فيها, أما المتفق عليها فيوم الفطر ويوم
الأضحى لثبوت النهي عن صيامها, وأما المختلف فيها فأيام التشريق ويوم الشك ويوم الجمعة ويوم
السبت والنصف الآخر من شعبان وصيام الدهر...
“Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang
masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri
dan Adhha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah
hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan
Sya’ban dan puasa Dahri…”
Beliau melanjutkan ucapannya (V/232),
وأما يوم السبت فالسبب في اختلافهم فيه: اختلافهم في تصحيح ما روي أنه عليه الصلاة والسلام, قال:
لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم...
“Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena
perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi
bahwasanya beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian”…”.
Ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha’ ash-Shirathal
Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan berpuasa pada
hari Sabtu :
وقد اختلف الأصحاب وسائر العلماء فيه
“Para sahabat dan seluruh ulama telah berselisih pendapat tentangnya.”
[Lihat Zahru Roudhi, hal. 7-10].
Saya berkata : Dakwaan al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq di atas kurang tepat.
Karena masalah ini adalah masalah ikhtilaf yang mu’tabar di kalangan umat
Islam baik salaf maupun kholaf. Ketiadaan atau kesulitan Abu Ishaq
menemukan salaf Imam al-Albani di dalam masalah ini bukanlah hujjah untuk
mendakwakan bahwa hal ini adalah ijma’. Apabila al-Akh Abu Ishaq
mengutarakan bahwa “mayoritas ulama (jumhur) memahami makna an-nahyu
(larangan) dalam hadits ini adalah karahah...” niscaya yang demikian lebih
selamat dan lebih benar, walaupun belum tentu lebih kuat dan lebih benar
dalilnya...
Ta’qib Ucapan Syaikh al-Utaibi
Adapun ulasan al-Akh Abu ‘Umair yang menukil dari artikel Syaikh Abu ‘Umar
Usamah ‘Athaya al-‘Utaibi yang berkata :
ومن كان عنده نقل عن عالم من القرون الثلاثة حرم صيام السبت في غير الفرض أو موافقة عادة أو يوم
استحب صومه أو بصيام يوم معه –قبله أو بعده- فليأت به مشكورًا
“Barangsiapa yang memiliki nukilan dari seorang ulama dari generasi tiga yang
utama, yang mengharamkan berpuasa pada hari Sabtu selain puasa wajib atau
puasa yang merupakan kebiasaannya atau hari yang disunnahkan berpuasa
padanya atau besertanya –sehari sebelum atau setelahnya-, maka harap
datangkanlah terima kasih.”
Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi hafizhahullahu juga berkata :
نعم نقلت الكراهة عن كثير من أهل العلم لكن إذا أفرد أو قصد تعظيمه، أما كراهة صومه مطلقًًا فلم
أقف عليه في كتب المتقدمين إلا في نقل الإمام الطحاوي -رحمه اللهُ- ، أما التحريم فلا أعلم من قال به.
465 ): "وأما / وقول شيخنا العلامة محمد بن صالح بن عثيمين - رحمه اللهُ - في الشرح الممتع ( 6
السبت؛ فقيل: إنه كالأربعاء والثلاثاء يباح، وقيل: إنه لا يجوز إلا في الفريضة، وقيل: إنه يجوز لكن
بدون إفراد."
فهذا القول من شيخنا لعله يريد به المعاصرين، أما من السابقين من أهل العلم فلم أقف على أحد نص
على عدم جواز صيام يوم السبت إذا قرن بغيره أو وافق عادة صيام.
“Iya, aku telah menukilkan karohah (berpuasa hari Sabtu) dari mayoritas ulama
namun apabila dilakukan secara bersendirian atau dengan maksud
pengagungan. Adapun karohah berpuasa pada hari Sabtu secara mutlak, aku
belum menemukannya di dalam buku-buku ulama terdahulu melainkan hanya
dari nukilan Imam ath-Thahawi rahimahullahu saja. Adapun pengharamannya
aku tidak mengetahui ada orang (salaf) yang berpendapat dengannya.
Mengenai ucapan Syaikh kami, al-‘Allamah Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin
rahimahullahu di dalam Syarhul Mumti’ (VI/456) : “Adapun (berpuasa sunnah
pada) hari Sabtu, ada yang berpendapat hari itu sama dengan hari Rabu atau
Selasa boleh hukumnya. Ada pula yang berpendapat tidak boleh hukumnya
kecuali puasa wajib saja, dan adapula yang berpendapat boleh namun secara
tidak bersendirian (diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya).
Ucapan ini dari syaikh kami mungkin yang beliau maksudkan adalah
(perselisihan) yang terjadi pada ulama kontemprer, adapun ulama terdahulu aku
belum menemukan adanya seorang ulama yang menashkan ketidakbolehan
berpuasa hari Sabtu apabila digandengkan dengan hari lainnya atau bertepatan
dengan puasa kebiasaannya.”
Demikianlah dakwaan Syaikh al-‘Utaibi dan pendapat ini sepertinya turut
diperpegangi oleh al-Akh Abu ‘Umair. Untuk menjawab hal ini, tampaknya
Syaikh Abu Mu’adz Ra`id Alu Thahir hafizhahullahu lebih layak untuk
menjawabnya. Berkata Syaikh Ra`id hafizhahullahu :
“Cukuplah Imam Thahawi sebagai pembawa nukilan dalam hal ini, dan beliau
telah dikenal akan kefaqihan dan pengetahuannya tentang ucapan-ucapan yang
mukhtalafin (saling berselisih) dan pembahasan ittifaq (konsensus) dan
khilafnya. Beliau rahimahullahu tidak menukilkan karohah berpuasa padanya
secara mutlak namun karohah berpuasa padanya dengan puasa tathowwu’
(sunnah). Hal ini berarti bahwa illat di dalam karohah hanya pada (puasa yang
bersifat) nafilah, sedangkan berpuasa pada hari Sabtu tidaklah disyariatkan
melainkan hanya puasa yang fardhu saja.
Adapun membawa makna karohah dari ucapan para imam salaf kepada makna
karohah tanzih bukan kepada makna haram adalah suatu kekeliruan, hal ini
telah diisyaratkan oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam I’lamul
Muwaqqi’in (I/39-43) dimana beliau berkata :
“Orang-orang kontemporer menafikan makna haram dari ucapan yang
dimutlakkan oleh para imam (salaf) dengan kata karohah, kemudian menjadi
mudah lafazh karohah atas mereka dan menjadi ringan maknanya atas mereka
sehingga sebagian mereka membawanya kepada pemahaman tanzih!!
Sebagian lainnya lagi lebih kelewatan lagi dengan memahami karohah sebagai
meninggalkan yang lebih utama. Hal seperti ini amat banyak sekali pada
penyelewengan mereka, hingga akhirnya muncullah dengan sebab ini
kekeliruan besar terhadap syariat dan terhadap para imam.”
Berkata Imam Ahmad tentang mengumpulkan dua orang wanita bersaudara
dalam satu akad : “akhrohuhu” (aku membencinya) dan beliau tidak berkata
Aqulu haramun (aku berpendapat haram hukumnya) karena madzhab beliau
ketika menyebutkan haram adalah dengan karahah dan beliau melakukan hal
ini sebagai bentuk waro’ (kehati-hatian) beliau dari memutlakkan lafazh haram.
Abul Qasim al-Khorqi berkata tentang nukilan dari Abi Abdillah (Imam Ahmad) :
Beliau yakrohu (benci) berwudhu’ dari wadah yang terbuat dari emas dan perak
dan madzhab beliau tidak memperbolehkan hal ini, kemudian beliau (Abul
Qasim) rahimahullahu menyebutkan contoh-contoh hal ini dari fikih imam yang
empat, kemudian beliau berkata :
وأطلق لفظ "الكراهة" لأنَّ الحرام يكرهه الله ورسوله، وقد قال تعالى عقيب ذكر ما حرمه من المحرمات
من عند قوله: وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه إلى قوله ولا تقل لهما أف ولا تنهرهما إلى قوله ولا
تقتلوا أولادكم خشية إملاق إلى قوله ولا تقربوا الزنا إلى قوله ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق
إلى قوله ولا تقربوا مال اليتيم إلى قوله ولا تقف ما ليس لك به علم إلى آخر الآيات ثم قال: "كل ذلك
كان سيئه عند ربك مكروهًا" وفي الصحيح: "إنَّ الله عز وجل كره لكم قيل وقال وكثرة السؤال
وإضاعة المال
Beliau memutlakkan lafazh karohah karena keharaman itu adalah apa yang
dibenci oleh Alloh dan Rasul-Nya. Alloh Ta’ala berfirman setelah menyebutkan
apa yang Ia haramkan dari perbuatan-perbuatan haram di dalam firman-Nya :
“Dan Tuhanmu memerintahkanmu supaya kamu jangan menyembah selain
Dia...” hingga firman-Nya : “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka...”
(QS Al-Isra’ : 23), firman-Nya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan…” (QS 17:31), firman-Nya : “Dan janganlah kamu
mendekati zina…” (QS 17:32), firman-Nya : “Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)
yang benar...” (QS 17:33), firman-Nya : “Dan janganlah kamu mendekati harta
anak yatim…” (QS 17:34), firman-Nya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…”(QS 17:36) hingga
akhir ayat, kemudian hingga firman_nya : “Semua itu kejahatannya amat dibenci
(makruuh) di sisi Tuhanmu” (QS 17:38). Di dalam Ash-Shahih Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla
membenci kalian (karoha lakum) desas-desus (qiila wa qoola), banyak bertanya
dan membuang-buang harta (boros).
Kaum salaf, mereka menggunakan kata karohah pada makna yang digunakan
oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu bermakna haram. Adapun kaum
muta`akhkhirin (kontemporer), mereka mengistilahkan karohah dengan
pengkhususan yang bukan termasuk keharaman atau kepada makna
meninggalkan lebih baik daripada melaksanakan, kemudian mereka bawa
ucapan para imam kepada istilah yang baru ini sehingga akhirnya mereka keliru
di dalam masalah ini. Yang lebih parah lagi kesalahanannya adalah mereka
yang membawa lafazh karohah atau la yanbaghi yang terdapat di dalam
Kalamullah atau Sunnah Rasulillah kepada makna istilahi baru ini...
[selesai ucapan Syaikh Alu Thohir dengan sedikit diringkas].
Saya berkata : Sungguh benar Syaikh Ro`id Alu Thohir hafizhahullahu, bahwa
atas indikasi apa mereka membawa ucapan para imam, terlebih lagi sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah jelas-jelas menunjukkan akan
larangannya kepada karohah tanzih?!!
Adapun nukilan Abu ‘Umair tentang para muhadditsin semisal Imam Nawawi,
Imam Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu As-Sakan yang
menshahihkan hadits Alu Busr namun memahaminya bahwa makna nahyu di
dalam hadits tersebut adalah karohah bukan haram, juga tidak menjadi hujjah
bahwa hal ini adalah ijma’ ulama. Bahkan yang menukil pendapat mereka ini
seharusnya menjelaskan, alasan apakah para ulama ini mentakwil makna
nahyu dalam hadits Busr ini sebagai karohah? Indikasi apakah yang mereka
gunakan untuk memalingkan hukum asal larangan adalah haram? Atau
benarkan para imam di atas memaksudkan kata karohah adalah sebagai
karohah tanzih bukan tahrim?!! Apa argumentasi anda atas hal ini?!! Padahal
telah jelas bahwa para imam salaf menggunakan kata karohah dengan maksud
keharaman, sebagaimana nukilan di atas.
Baiklah sekarang mari kita kupas hadits Alu Busr yang melarang berpuasa
sunnah hari Sabtu ini...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا فِي ما اْفتر ض اللَّه عَلي ُ ك م َفإِ ْ ن َل م يجِ د َأح د ُ ك م إِلَّا لِ حاءَ عِنبةٍ َأ و عود ش جرةٍ
َفْلي م ض غه))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan
atas kalian, jika kalian tidak mendapatkan apapun kecuali hanya kulit pohon
anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah.” [Hadits shahih, lihat pengumpulan
jalur-jalur periwayatannya oleh al-Muhaddits Syaikh ’Ali Hasan Al-Halabi dalam
Zahru Roudhi, atau di dalam artikel saya ”Kontroversi Puasa Sunnah Hari
Sabtu”]
Ada dua syarat di dalam beristidlal dengan hadits Nabi, yaitu :
1) Shihatud Dalil, yaitu selamatnya hadits dari ilal (penyakit-penyakit) yang
dapat menjadikannya dha’if.
2) Shihatul Istidlal, yaitu tidak bisa dibawa kepada yang bukan maksudnya.
Bagaimanakah dengan keadaan hadits Alu Busr di atas? Apakah memiliki dua
syarat di atas? Mari kita telaah bersama-sama :
Dari Sisi Shihatud Dalil :
Mereka yang memperbolehkan mutlak puasa sunnah hari Sabtu, menyebutkan
bahwa hadits Alu Busr tidak selamat dari cacat yang dapat mendha’ifkannya,
yaitu :
1. Haditsnya kidzbun (dusta). Ucapan ini disandarkan kepada Imam Malik.
2. Haditsnya mudhtarib (goncang, kacau), sebagaimana dikatakan oleh
Imam an-Nasa`iy juga dipegang oleh Lajnah ad-Da`imah yang menilai
hadits ini mudhtarib.
3. Haditsnya Syadz (ganjil), sebagaimana pendapat Syaikhul Islam bin
Taimiyah dan Faqihuz Zaman Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin.
4. Haditsnya Mansukh (dihapus hukumnya) sebagaimana dikatakan oleh
Imam Abu Dawud juga Syaikhul Islam.
Seluruh penilaian ini telah dijawab oleh Muhadditsul Ashr al-Imam al-Albani
rahimahullahu dan muridnya Syaikh ‘Ali Hasan dalam Zahru Roudhi, dan telah
saya nukil di dalam artikel saya sebelumnya “Kontroversi Puasa Sunnah Hari
Sabtu”, silakan dirujuk...
Kesimpulan : Hadits Alu Busr di atas shahih isnadnya dan matannya, tidak ada
illat yang dapat menjatuhkan derajatnya dari shahih. Bagi yang menyatakan
hadits ini lemah atau memiliki illat silakan menta’qib takhrij Syaikh Albani dan
Syaikh ‘Ali Hasan di sumber yang saya sebutkan.
Dari Sisi Shihatul Istidlal :
Mereka yang memperbolehkan puasa sunnah hari Sabtu berpendapat bahwa,
walaupun hadits Alu Busr shahih secara isnad namun belum tentu selamat dari
segi matannya. Karena secara zhahir akan berbenturan dengan hadits-hadits
lainnya yang shahih. Oleh karena itu, mereka menakwilkan zhahir hadits
sebagai berikut :
1. Boleh berpuasa pada hari Sabtu apabila diiringi dengan sehari sebelum atau
setelahnya (tidak infirod/bersendirian).
2. Boleh berpuasa pada hari Sabtu bersendirian apabila tanpa disertai dengan
takhshish (pengkhususan) ataupun qoshdu ta’zhim (dengan maksud
pengagungan).
Saya jawab : klaim di atas kurang tepat, karena menyelisihi zhahir hadits Alu
Busr dan membatalkan atau menggugurkan istitsna’ (pengecualian) pada hadits
Alu Busr di atas. Berikut ini adalah penjelasannya :
1. Lafazh Laa tashuumuu yawmas Sabti merupakan bentuk nahyu (larangan)
yang tegas. Di dalam kaidah ushul fiqh telah maklum dikatakan : Al-Ashlu fin
Nahyi an yadulla ‘alat tahriim (hukum asal di dalam larangan menunjukkan
keharamannya), wa qod yadullu an-Nahyu ‘alal karohah faqoth in iqtarona
bihi qoriinah tamna’u dilaalatahu ‘alat tahriim (terkadang larangan
menunjukkan kepada kemakruhan saja apabila disertai dengan indikasi yang
mencegah penunjukannya kepada keharaman), seperti misalnya hadits wa
iyyakum wal julusa fith thuruqot (jauhilah kalian duduk-duduk di jalanan),
kemudian Rasulullah mengizinkannya apabila memberikan kepada jalan
hak-haknya. Sekarang indikasi apakah yang mengharuskan memalingkan
kata laa tashuumuu yawmas sabti di atas kepada makna karohah tanzih
bukan tahrim?!!
2. Lafazh illa fiima ufturidho ‘alaikum merupakan istitsna’ dan istitsna’ itu dalil
at-tanawul (pemberi) yang mencakup seluruh macam atau jenis puasa yang
diwajibkan saja, seperti puasa Ramadhan, nadzar, kafarat dan qodho’.
Lantas darimana datangnya pemahaman bolehnya berpuasa pada hari
Sabtu apabila diiringi oleh sehari sebelumnya atau setelahnya, atau bahkan
membolehkan mutlak selama tanpa ada maksud takhshish dan ta’zhim.
Darimanakah datangnya pemahaman ini? Tentu saja pemahaman ini datang
dari jama’ hadits Alu Busr dengan hadits-hadits lainnya, akan datang
pembahasan hal ini dan jawabannya.
3. Lafazh fa in lam yajid ahadukum illa liha`a ‘inabatin aw ‘uuda syajarotin
falyamdhugh-hu merupakan penguat dan pencegah dari dipalingkannya
makna zhahir hadits kepada makna karohah tanzih.
Kesimpulan : hadits Alu Busr ini berterima dan shahih dari sisi istidlalnya,
walaupun masih ada beberapa celah berlanjutnya diskusi ini. Untuk itu mari kita
lanjutkan agar celah-celah ini semakin sempit dan kecil.
Apabila dikatakan, siapakah salaf antum di dalam masalah ini? Bukankah
para ulama salaf mayoritas mereka memperbolehkan berpuasa sunnah pada
hari Sabtu?
Maka saya jawab dengan menukil ta’qib Syaikh Alu Thohir kepada Syaikh
‘Abdul Hamid al-‘Arobi yang mempertanyakan hal senada ketika Syaikh Alu
Thohir membantah makalah Syaikh al-‘Utaibi :
“Sesungguhnya, pengetahuan akan nama-nama orang yang berselisih di dalam
suatu masalah ijtihadiyah bukanlah maksud yang dituju dari dzatnya, dan
sesungguhnya cukup untuk diketahui bahwa masalah ini termasuk masalahmasalah
yang diperbolehkan di dalamnya adanya khilaf dan khilaf di dalamnya
itu sudah berlangsung dari lama. Mungkin agar tidak ada lagi orang belakangan
yang berkata dengan perkataan yang tidak pernah didahului oleh orang
terdahulu, bukankah demikian?
Apabila demikian maksudnya, maka di dalam masalah kita ini telah tsabat
(tetap) adanya khilaf dan khilaf ini semenjak dulu. Lantas, apakah faidah ilmiah
pembahasan ini dengan mengetahui nama-nama orang yang berselisih di
dalamnya?!!” [selesai]
Saya berkata : karena hujjah itu bukan pada pendapat-pendapat mereka
namun hujjah adalah pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.
Syaikh Alu Thohir melanjutkan ucapannya kembali :
“Kemudian ada pertanyaan yang penting, yaitu apakah ketidaktahuan kita
terhadap (individu-individu) yang berselisih –aku tidak mengatakan
ketidaktahuan terhadap khilaf itu sendiri- memperbolehkan kita untuk
meninggalkan amal dari zhahir hadits?...”
Saya berkata : Demikianlah, semoga Alloh memberkahi Syaikh Alu Thohir,
apakah hanya karena kita tidak mengetahui siapakah nama dari salaf yang
berpegang dengan pendapat pengharaman puasa sunnah hari Sabtu, maka kita
meniadakannya adanya khilaf ini? Atau kita meniadakan zhahir hadits Alu Busr
ini? Atau kita berhak menakwilkan dan memalingkan makna zhahirnya?
Untuk lebih menyempurnakan faidah, akan saya turunkan beberapa kaidah
emas dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits yang disusun oleh Syaikh Zakaria
Ghulam Qodir al-Bakistani.
Kaidah
لا يصرف الدليل عن ظاهره بقول جمهور العلماء
“Tidak memalingkan dalil dari zhahirnya dengan ucapan mayoritas ulama”
Ucapan jumhur bukanlah hujjah, karena Alloh Azza wa Jalla tidaklah
memerintahkan kita untuk beribadah dengan ucapan jumhur. Maka tidak boleh
memalingkan hadits dari zhahirnya hanya karena jumhur memalingkan makna
dari zhahirnya, seperti misalnya : tidak boleh memalingkan zhahir perintah dari
makna wajib kepada makna dianjurkan/disukai hanya karena ucapan jumhur,
tidak boleh memalingkan larangan dari makna haram kepada makna makruh
hanya karena ucapan jumhur, tidak boleh memalingkan yang umum kepada
yang khusus hanya karena ucapan jumhur. Yang demikian ini karena ucapan
jumhur itu bukanlah hujjah sedangkan zhahir hadits itulah yang hujjah, maka
tidak boleh meninggakan suatu yang menjadi hujjah dengan sesuatu yang
bukan hujjah.
Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khon dalam Qowa’idut Tahdits berkata : “ketahuilah,
tidaklah memberikan pengaruh terhadap suatu khobar yang shahih amalan
mayoritas manusia yang menyelisihinya, karena ucapan orang banyak bukanlah
hujjah.”
Saya berkata : Tidak boleh memalingkan zhahir hadits Alu Busr dari larangan
akan keharamannya kepada makna karohah tanzih walaupun mayoritas orang
melakukannya.
Kaidah
يجب العمل بالدليل وإن لم يعرف أن أحدًا عمل به
“Wajib mengamalkan dalil walaupun tidak diketahui ada seseorang yang
mengamalkannya.”
Hadits adalah hujjah dengan sendirinya tidak memerlukan hujjah kepada
adanya seorang imam yang mengamalkannya. Apabila seseorang
mendapatkan hadits Nabi yang shahih, maka wajiblah ia mengamalkannya
sebagaimana para sahabat bersemangat mengamalkan hadits Nabi apabila
sampai kepada mereka, tanpa tawaquf, tanpa mencari hadits lain yang
kontradiktif, tidak ada yang mengatakan : apakah fulan dan fulan
mengamalkannya. Sekiranya mereka melihat orang yang berkata demikian,
niscaya mereka akan mengingkarinya dengan pengingkaran yang sangat.
Demikian pula dengan para tabi’in. Dan hal ini telah diketahui secara pasti bagi
mereka yang memiliki sedikit pengetahuan tentang ucapan dan perikehidupan
mereka.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata di dalam Ar-Ruuh (hal. 264) :
“Janganlah kau jadikan ketidaktahuanmu akan orang yang mengucapkan hadits
itu sebagai hujjah atas Alloh dan Rasul-Nya, namun berpeganglah dengan nash
dan janganlah lemah, ketahuilah sesungguhnya ada orang yang telah berkata
dengannya (hadits) secara pasti namun tidak sampai padamu (beritanya).”
Imam Al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Silsilah ash-Shahihah (no. 163)
: “Tidaklah memberikan pengaruh kepada suatu hadits dan tidak pula mencegah
dari mengamalkannya ketidaktahuan kita akan siapakah dari kalangan fuqoha
yang mengucapkannya. Karena tidak didapatkannya (orang yang berpegang
dengannya) tidak menunjukkan atas ketidakeksisannya.”
Saya berkata : Wajib mengamalkan hadits Alu Busr walaupun sekiranya tidak
ditemukan adanya seorangpun yang mengamalkannya.
Kaidah
يجب العمل بالدليل ولو خالفه من خالفه من السلف الصالح رضوان الله عليهم
“Wajib mengamalkan dalil walaupun kaum salafus shalih menyelisihinya.”
Wajib menolak setiap ucapan yang menyelisihi dalil walau siapapun dan
setinggi apapun derajat orang yang mengucapkannya, meskipun Khulafaur
Rasyidin terlebih lagi selain mereka yang lebih rendah tingkat keilmuannya,
karena Alloh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah bukan
mengikuti individu-individu tertentu.
Saya berkata : Walaupun seandainya kaum salaf menyelisihinya, maka tetap
wajib mengamalkan hadits Alu Busr karena hujjah itu ada pada zhahir hadits
sedangkan ucapan salaf itu bukanlah hujjah.
Kaidah
لا يشرع ترك الدليل وإن عمل الناس بخلافه
“Tidak disyariatkan meninggalkan dalil walaupun manusia mengamalkan
amalan yang menyelisihinya.”
Imam Ibnu Hazm berkata di dalam al-Muhalla (V/661) berkata : “Sesungguhnya
batasan syudzudz itu adalah apabila menyelisihi kebenaran, maka setiap orang
yang menyelisihi kebenaran di dalam suatu permasalahan, maka ia memiliki
pendapat yang syadz... al-Jama’ah, mereka adalah ahli kebenaran, walau tidak
beserta mereka para penduduk bumi melainkan hanya seorang saja, maka ialah
al-Jama’ah. Abu Bakr dan Hudzaifah radhialallahu ‘anhuma telah selamat
berdua saja, maka keduanya adalah al-jama’ah. Adapun seluruh penduduk
bumi selain keduanya dan selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam maka
termasuk ahli syudzudz dan furqoh.”
Saya katakan : tidak boleh meninggalkan dalil hadits Alu Busr yang shahih
walaupun mayoritas manusia mengamalkan hal yang menyelisihinya.
Demikianlah beberapa kaidah yang perlu dipegang di dalam mensikapi
perbedaan pendapat dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu ini. Dari
pembahasan ini masih menyisakan beberapa celah yang sebagiannya akan
saya usahakan untuk ditambal. Walaupun tidak semuanya.
Ta’qib 2 : Hadits Alu Busr adalah hadits yang syadz atau
menyelisihi hadits-hadits lainnya yang lebih shahih sehingga
harus dijama’.
Abu ‘Umair dan Abu Ihsaq bersepakat dengan saya bahwa hadits Alu Busr ini
berterima sanadnya tanpa ada keraguan sama sekali yang bisa menyelinap
sehingga menimbulkan keraguan akan keshahihannya. Namun kesepakatan
kami ini mungkin hanya sampai pada kesepakatan di dalam memandang shahih
hadits dari segi isnad saja. Adapun dari sini matan, apalagi masuk ke syaqqul
fiqhi-nya tampaknya memiliki perbedaan yang nyata.
Perbedaan ini akan semakin mengkerucut apabila hadits Alu Busr yang shahih
isnad ini dikonfrontasikan dengan hadits-hadits lainnya, sehingga perlu
mengkompromikan antara dalil-dalil tersebut yang akhirnya menimbulkan
konklusi yang berbeda-beda, bahkan Abu ‘Umair dan Abu Ishaq sendiri juga
berbeda di dalam konklusi hukum puasa sunnah hari Sabtu ini.
Mereka yang memperbolehkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu,
mengkonfrontasikan hadits Alu Busr dengan hadits-hadits berikut ini :
- Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha :
( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من الشهر السبت و الأحد و الإثنين ومن الشهر الآخر الثلاثاء
والأربعاء والخميس ) رواه الترمذي وقال حديث حسن
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berpuasa dalam suatu
bulan pada hari Sabtu, Ahad dan Senin, dan pada bulan lainnya pada
hari Selasa, Rabu dan Kamis.” (HR Turmudzi dan beliau berkata hasan
shahih.)
- Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
(...إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر ما كان يصوم من الأيام يوم السبت والأحد كان يقول إما يوما عيد
للمشركين وأنا أريد أن أخالفهم )
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih banyak
berpuasa pada Sabtu dan Ahad, beliau bersabda bahwa kedua hari ini
adalah hari iednya kaum musyrikin dan aku ingin menyelisihi mereka.”
- Hadits dari ‘Ubaid al-A’raj ia berkata, menceritakan neneknya bahwa
beliau pada suatu hari mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam dan beliau pada saat itu sedang makan siang dan hari itu hari
Sabtu, Rasulullah lalu memanggil beliau, “kemarilah, makanlah”. Beliau
menjawab : “aku lagi puasa.” Rasulullah bertanya padanya, “kemarin
kamu puasa?”, beliau menjawab : “tidak”. Rasulullah lalu bersabda
padanya : “makanlah, karena sesungguhnya puasa hari Sabtu itu, laa
laka wa laa ‘alaiki.” [akan datang maksud ucapan ini insya Alloh].
- Hadits Juwairiyah radhiyallahu ‘anha : Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam datang mengunjungi beliau pada hari Jum’at dan beliau
dalam keadaan berpuasa, lantas Nabi bertanya padanya : “Apakah kamu
kemarin berpuasa?” beliau menjawab : “tidak”, Rasulullah bertanya,
“Apakah kamu hendak berpuasa besok?”, Juwairiyah menjawab : “tidak”
lantas Nabi berkata, “berbukalah!”. (HR Bukhari).
- Hadits Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu :
( لا يصومن أحدكم يوم الجمعة إلا يومًا قبله أو بعده ) متفق عليه، فالذي بعده هو السبت
“Janganlah salah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jum’at
melainkan diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya.” (Muttafaq
‘alaihi), sedangkan hari setelahnya adalah hari Sabtu.
Apakah benar bahwa hadits-hadits di atas kontradiktif dengan hadits Alu Busr?
Berikut ini adalah jawaban dan ulasannya.
Hadits Pertama : Hadits Aisyah
Imam at-Turmudzi berkata di dalam Sunan-nya (746) :
Menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghoilan, menceritakan kepada kami
Abu Ahmad dan Mu’awiyah bin Hisyam, keduanya berkata : Sufyan
menceritakan kepada kami dari Manshur dari Khoitsamah dari Aisyah, beliau
berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من الشهر: السبت والأحد والاثنين ومن الشهر الآخر:
الثلاثاء والأربعاء والخميس
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dahulu berpuasa pada hari Sabtu, Ahad
dan Senin pada suatu bulan, dan pada hari Selasa, Rabu dan Kamis pada bulan
yang lain.”
Imam Turmudzi berkata : “Ini hadits hasan, telah meriwayatkan Ibnu Mahdi dari
Sufyan hadits ini namun tidak dia tidak memarfu’kannya.”
Imam Turmudzi juga meriwayatkan hadits ini di dalam Syama`il Muhammadiyah
(no. 260).
Syaikh al-Muhaddits ‘Ali Hasan al-Halabi berkomentar : “Sanad hadits ini dhaif
dengan illat terputusnya antara Khoitsamah dan Aisyah. Khoitsamah –dari
ketsiqohannya- sering memursalkan hadits sebagaimana dikatakan oleh al-
Hafizh dalam at-Taqrib. Imam Abu Dawud telah menegaskan di dalam Sunannya
(no. 2128) ketika menyanggah salah satu riwayatnya tentang ketiadaan
sima’ (mendengar) dari Aisyah, beliau berkata : “Khoitsamah tidak mendengar
dari Aisyah.”
Al-Munawi menukil di dalam Faidhul Qodir (V/227) dari Abdul Haq al-Isybili
ucapannya tentang penghasanan at-Turmudzi : “Dan illat hadits ini menghalangi
penshahihannya dan hadits ini diriwayatkan secara marfu’ mauquf, namun ia
memiliki illat. Ibnul Qoththon berkata : sepatutnya tentang mendengarnya
Khoitsamah dari Aisyah perlu dicari dan aku tidak mengetahui akan hal ini.”
Syaikh Ali Hasan berkata : “Abu Dawud telah menegaskan akan ketiadaan
mendengarnya Khoitsamah dari Aisyah. Maka hadits ini dhaif.”
Syaikh Al-Albani telah memaparkan hadits ini dan menshahihkannya di dalam
sejumlah buku-buku beliau, seperti Shahihul Jami’ (4971), al-Misykah (2059)
dan Mukhtashor asy- Syamail (hal. 164). Namun beliau tidak memasukkannya
ke dalam Shohih Sunan at-Turmudzi dan buku ini termasuk karya akhir beliau,
maka hal ini menunjukkan pendha’ifan beliau terhadap hadits ini sebagai sikap
terakhir. Hal ini dipertegas setelah Syaikh Ali menanyakan langsung kepada
Syaikh Albani tentang kedhaifan hadits ini, dan Syaikh Albani menyetujui akan
kedhaifan hadits ini. Hanya milik Allohlah taufiq.
Kesimpulan : hadits ini dhaif sanadnya dan tidak dapat digunakan sebagai
pengkontradiksi hadits Alu Busr yang shahih.
Hadits Kedua : Hadits Ummu Salamah
Dari Kuraib Maula Ibnu ‘Abbas beliau berkata, bahwa Ibnu ‘Abbas dan
sekumpulan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengutusku
kepada Ummu Salamah supaya aku bertanya kepada beliau : “hari-hari apakah
yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih banyak berpuasa?” beliau
menjawab : “hari Sabtu dan Ahad”. Lantas aku kembali kepada mereka dan aku
beritakan kepada mereka (hal ini) dan seakan-akan mereka mengingkarinya.
Lalu mereka semua pergi menemui Ummu Salamah dan berkata :
“Sesungguhnya kami mengutus orang ini kepada Anda untuk bertanya ini dan
ini dan engkau menjawab itu dan itu”. Ummu Salamah berkata : “Dia benar,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, hari yang lebih banyak
beliau berpuasa di dalamnya adalah pada hari Sabtu dan Ahad, dan beliau
bersabda :
إما يوما عيد للمشركين وأنا أريد أن أخالفهم
“Sesungguhnya dua hari ini adalah hari perayaan (‘ied) bagi kaum musyrikin,
dan aku ingin menyelisihi mereka.”
Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/324), Ibnu Khuzaimah (III/318), Ibnu Hibban (941),
Al-Hakim (I/436), Baihaqi (IV/303), Ath-Thobroni di dalam al-Kabir (53/283),
Ibnu Syahin di dalam an-Nasikh wal Mansukh (no. 399) dari Jalan ‘Abdullah bin
Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali dari Ayahnya dari Kuraib.
Imam Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zadul Ma’ad (II/78) : “Keshahihan hadits ini
perlu diteliti lagi, karena riwayatnya berasal dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali
bin Abi Tholib, dan beberapa haditsnya telah diingkari. Abdul Haq di dalam
Ahkam-nya berkata dari hadits Ibnu Juraij dari ‘Abbas bin ‘Abdillah bin ‘Abbas
[yang benar adalah ‘Abbas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas, demikian kata Syaikh ‘Ali
sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (VIII/260)] dari pamannya Al-Fadhl : Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengunjungi Abbas di kediaman kami, kemudian
beliau (Abdul Haq) berkata : sanadnya dhaif. Ibnul Qoththon berkata :
keadaannya sebagaimana yang disebutkan yaitu dhaif, dan perihal Muhammad
bin ‘Umar ini tidak diketahui.”
Kemudian Ibnul Qoththon melanjutkan : “Dia menyebutkan haditsnya ini dari
Ummu Salamah tentang puasa pada hari Sabtu dan Ahad, lalu beliau berkata :
‘Abdul Haq mendiamkannya sebagai tanda penshahihan terhadapnya,
sedangkan Muhammad bin ‘Umar ini tidak diketahui perihalnya, dan
meriwayatkan pula darinya anaknya yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar
sedangkan perihalnya juga tidak diketahui. Maka hadits ini aku pandang hasan,
wallohu a’lam.” Adz-Dzahabi berkata di dalam Al-Mizan (III/668) : “maksudnya
tidak sampai tingkatan shahih.” Syaikh ‘Ali berkomentar : “tidak pula (sampai
derajat) hasan!!!”
Syaikh al-‘Allamah al-Albani berkata di dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah
(no. 1099) : “Anda lihat bahwa Ibnul Qoththon dalam hal ini kontradiktif*
pendapatnya terhadap Ibnu ‘Umar ini, suatu ketika menghasankan haditsnya
dan kali ketika lain mendhaifkannya. Dan hal inilah yang menyebabkan hati
lebih condong kepada menilai akan kemajhulannya, apalagi haditsnya ini
menyelisihi zhahirnya dengan hadits shahih yang lafazhnya : Janganlah
berpuasa pada hari Sabtu... [beliau menyebutkan hadits Alu Busr]”
[* Syaikh Ali berkomentar terhadap ucapan Syaikh Albani yang mengatakan
Ibnul Qoththon kontradiktif : “kemudian merasuklah ke dalam hatiku untuk
menghilangkan kontradiktif yang nyata ini bahwa sesungguhnya telah hilang
pada kitab asal Ibnul Qoththon ini huruf “laa/tidak”, dimana ucapan asalnya
seharusnya “maka hadits ini “tidak” aku pandang hasan”, kemudian para penulis
dan pencetak buku menukilnya. Hal ini semakin menyokong penilaiannya
kepada perawi sebagai majhul, lantas bagaimana mungkin beliau
menghasankannya?!! Dan hal ini telah dikenal dari manhaj beliau]
Lalu beliau melanjutkan : “di dalam hadits ini ada illat lainnya, yaitu bahwa
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar perihalnya sama dengan perihal ayahnya,
tidak ada yang mentsiqqohkannya kecuali Ibnu Hibban. Ibnul Madini menilainya
sebagai “Wasath”, Al-Hafizh berkata tentangnya “Maqbul” yaitu sebagai
mutaba’ah (penyerta), apabila bukan sebagai mutaba’ah maka haditsnya lemah
sebagaimana beliau telah menegaskan hal ini di dalam muqoddimah.
Sedangkan hadits ini bukan sebagai mutabi’ dengan demikian haditsnya lemah.”
Ta’qib terhadap tashhih Syaikh Abu Umar al-Utaibi
Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi di dalam artikelnya Al-Qoul Qowim fi Istihbaabi
Shiyami Yaumis Sabti fi Ghoiril Fardhi min Ghoiri Takhshish walaa Qoshdu
Ta’zhim menshahihkan hadits Ummu Salamah ini dan menjadikan hadits ini
sebagai senjata andalan untuk dikontradiksiikan dengan hadits Alu Busr,
sehingga berimplikasi terhadap wajibnya jama’ terhadap kedua hadits ini.
Setelah beliau menurunkan takhrijnya dan 7 jalur riwayat serupa, beliau berkata
menghukumi hadits ini :
“Hadits ini sanadnya hasan dan sebagian besar imam menshahihkannya.
Berikut ini adalah biografi para perawinya : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar
bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Daruquthni dan Ibnu Khalfun
menilainya tsiqoh. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam ats-Tsiqoot dan
berkata : “yukhthi’ wa yukholif!” Ali bin Madini berkata : “dia wasath
(pertengahan)”. Adz-dzahabi dan Ash-Shofadi berkata : “sebagian huffazh
menilainya Sholihul Hadits”. Telah meriwayatkan darinya para imam besar,
Imam Bukhari menyebutnya di dalam at-Tarikh al-Kabir, Ibnu Abi Hatim di dalam
al-Jarh wat Ta’dil tidak menyebutkan jarh dan ta’dil kepadanya dan tidak pula
para ulama masa lalu yang menulis adh-Dhu’afa` menyebutkannya, bahkan
adz-Dzahabi menyebutnya di dalam al-Kasyif : “tsiqqoh”. Al-Hafizh berkata
tentangnya di dalam at-Taqrib : “maqbul, tidak maqbul pentsiqohan para imam
kepadanya.” Maka sekurang-kurang yang dapat dikatakan tentangnya adalah
shoduq dan beliau husnul hadits (haditsnya hasan).” [selesai ucapan Syaikh
‘Abu Umar].
Tanggapan :
Berkata Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir di dalam ta’qibnya kepada tashhih
Syaikh Abu Umar di atas :
“Bukanlah pembahasannya wahai saudara yang mulia apakah keadaan rawi ini
tsiqoh atau shoduq atau selainnya, namun yang jadi pembahasan adalah
apakah diterima tafarud (bersendirian)-nya hadits ini ataukah tidak?
Aku sodorkan untuk Anda ucapan para imam tentang penjelasan illatnya
tafarud dan kapan ia menjadikan hadits menjadi qodihah (buruk/tertolak) dan
kapan tidak.
Al-Hafizh Ibnu Sholah berkata : Apabila seorang rawi bersendirian di dalam
periwayatannya, maka dilihat keadaannya :
1. Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh dan dhabitnya,
maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud
(tertolak).
2. Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya, dan
hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak
diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang
bersendirian ini :
a. Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit sebelum
riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya
sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
b. Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan
bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh
haditsnya dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa
tingkatan :
Tingkatan Pertama : apabila rawi yang bersendirian tidak jauh dari
tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan dianggap
hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits
dhaif.
Tingkatan kedua : Apabila riwayat rawi yang bersendirian jauh dari
tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri ini, dan
dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.
Singkat kata, hadits yang diriwayatkan oleh tsiqoh syaikhon minasy syuyukh
bukan tsiqoh imaman haafizhan, sedangkan ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Umar ini tidak dinilai tsiqoh melainkan oleh sebagian kecil ulama, yang tidak
ada riwayat lain yang sederajat atau lebih kuat menyokongnya, maka haditsnya
bisa memiliki illat yang dapat mengingkari haditsnya. Oleh karena itu Ibnu Hajar
menyebutnya maqbul (diterima) sebagai mutaba’ah, apabila tidak maka
haditsnya lemah, sedangkan hadits ini bukan sebagai mutaba’ah maka lemah
haditsnya. Oleh karena itu ucapan Abu ‘Umar al-Utaibi tidak diterima karena
menyelisihi istilah dan kaidah ahli ilmu dalam bidang ini. [selesai di sini ucapan
Syaikh Abu Mu’adz dengan sedikit ringkasan dan perubahan redaksi].
Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi berkata kembali :
Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu : Daruquthni
menilainya tsiqoh sebagaimana di dalam Su`alaat Burqooni (hal. 22), dan
meriwayatkan jama’ah tsiqqoot diantaranya adalah Yahya bin Sa’id al-Anshori,
Sufyan ats-Tsauri, Muhammad bin Musa al-Fithri, Yahya bin Ayyub al-Mishri,
Ibnu Juraih, Ibnu Ishaq dan tiga orang anaknya. Ibnu Hibban menyebutkannya
di dalam ats-Tsiqot dan Turmudzi menyebutkan di dalam haditsnya (no 171) :
“ghorib hasan”.
Adz-Dzahabi berkata di dalam al-Mizan: Beliau adalah salah satu pembesar di
Madinah, dan beliau mirip dengan kakeknya Imam ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu
‘anhu, aku tidak melihat ada masalah dengan beliau dan tidak pula aku melihat
ada pembicaraan pada beliau. Ashhabus Sunan yang empat meriwayatkan dari
beliau. Termasuk yang diingkari dari beliau adalah hadits Ibnu Juraij dari beliau
dari ‘Abbas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas dari pamannya al-Fadhl, beliau berkata :
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengunjungi kediaman kami, hadits ini
dikeluarkan oleh an-Nasa`i dan dipapatkan oleh ‘Abdul Haq di dalam Ahkamul
Wustha dan beliau berkata mengomentarinya : “isnadnya dha’if”. Ibnul Qoththon
berkata : “hadits ini sebagaimana yang disebutkan olehnya yaitu dha’if tidak
diketahui perihalnya Muhammad bin ‘Umar.”
Di dalam ucapan adz-Dzahabi rahimahullahu, “termasuk yang diingkari
haditsnya” perlu ditelaah ulang, karena Ibnul Qoththon mencacat hadits ini di
dalam Bayanul Wahm wal Iiham-nya pada no 1100 dengan dua illat (cacat),
yaitu ‘Abbas bin ‘Ubaidillah tidak diketahui perihalnya dan beliau mencacat
Muhammad bin ‘Umar...
Akan tetapi ‘illat hadits ini adalah terputusnya antara ‘Abbas bin ‘Ubaidillah
dengan Fadhl bin ‘Abbas, karena riwayat ‘Abbas bin ‘Ubaidillah dari Fadhl bin
‘Abbas adalah munqotho’ah (terputus) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hazm
di dalam al-Muhalla. ‘Abbas padanya terdapat jahalah (tidak diketahui
keadaannya) maka tidaklah dibawa Muhammad bin ‘Umar yang tsiqqoh sebagai
tabi’ah (penyerta) hadits.
Adz-Dzahabi berkata di dalam al-Kasyif : “Tsiqqoh”, dan al-Hafizh menilainya di
dalam at-Taqrib : “shoduq”. Yang benar Muhammad bin ‘Umar adalah tsiqqoh.
Kuraib Maula Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah tsiqqoh, termasuk
perawi jama’ah (ahli hadits).
Maka tampaklah dari pembahasan sebelumnya, bahwa sanad hadits ini
sekurang-kurangnya hasan dilihat dari keadannya, para jama’ah imam ahli
hadits telah menshahihkannya sebagaimana akan datang penjelasannya.
Adapun pencacatan Syaikh kami al-‘Allamah al-Albani rahimahullahu terhadap
hadits ini dengan penilaian majhul-nya ‘Abdullah bin Muhammad dan bapaknya
(Muhammad bin ‘Umar) adalah suatu kesalahan, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya penukilannya dari para imam akan biografi mereka.
Syaikh al-Albani rahimahullahu mutaroddid (berubah-ubah pendapatnya) di
dalam mendha’ifkan hadits ini. Sebelumnya beliau menilainya hasan di dalam
Shahihul Jami’ dan di dalam ta’liq (komentar) beliau atas Shahih Ibnu
Khuzaimah... kemudian beliau dha’ifkan di dalam Adh-Dha’ifah (no. 1099), lalu
beliau menulis di dalam al-Irwa’ : “sanad hadits ini didhaifkan oleh ‘Abdul Haq al-
Isybili di dalam al-Ahkam al-Wustho dan pendapat inilah yang rajih menurutku,
dikarenakan di dalam hadits ini adalah perawi yang tidak diketahui perihalnya
sebagaimana telah aku jelaskan di dalam al-Ahadits ash-Dha’ifah...”
Lalu beliau berkata di dalam al-Hasyiyah (catatan kaki) : “Aku telah
menghasankannya di dalam komentarku atas Shahih Ibnu Khuzaimah (2168)
dan mungkin inilah yang paling dekat (dengan kebenaran)...” Kemudian
berlangsunglah aktivitas syaikh rahimahullahu yang mendhaifkan hadits ini.
Yang benar adalah pendapat syaikh rahimahullahu di dalam ta’liqnya atas
Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahihul Jami’, dan hadits ini hasan lidzatihi,
bahkan ulama yang menshahihkannya maka ia memiliki sisi penshahihan yang
kuat sekali...
Diantara para imam yang menshahihkannya : Al-Hakim dan disepakati oleh adz-
Dzahabi. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah menshahihkannya. Ibnu Muflih
berkata di dalam al-Furu’ (III/92) : “para jama’ah menshahihkannya dan
sanadnya jayyid.” Ibnu Hajar al-Haitsami menshahihkannya di dalam al-Fatawa.
Ibnul Qoththon al-Fasi menghasankannya di dalam Bayanul Wahm wal Iiham
(IV/269), dan Syaikh al-Albani di dalam pendapat yang beliau taroju’ darinya.
Pendhaifan Syaikh al-Albani terhadap hadits ini telah disetujui oleh Ibnul Qoyyim
rahimahullahu, beliau berkata : “keshahihan hadits ini perlu ditelaah lagi, karena
hadits ini dari riwayat Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib, dan sebagian
hadits beliau ini diingkari.”
Saya (Abu ‘Umar al-Utaibi) : Aku telah menjelaskan hal ini ketika menukilkan
ucapan adz-Dzahabi, yaitu bahwasanya tidak ada lagi celah untuk dapat
mengingkari (hadits) Muhammad bin ‘Umar. Dan yang lebih aneh lagi adalah
apa yang dinukil oleh al-Munawi di dalam Faidhul Qodir dan al-Husaini di dalam
al-Bayan wat Ta’rif (II/154) dari Adz-Dzahabi bahwasanya beliau berkata
tentang hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “munkar dan para
perawinya tsiqqoh”
Maka tidak ada lagi celah untuk mengingkari hadits ini wallohu a’lam. [selesai di
sini ucapan Syaikh Abu ‘Umar Usamah al-Utaibi hafizhahullahu di Al-Qoul
Qowim fi Istihbaabi Shiyami Yaumis Sabti fi Ghoiril Fardhi min Ghoiri Takhshish
walaa Qoshdu Ta’zhim].
Ta’qib Ucapan Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi
Pertama, tidak ada kontradiktif di dalam ucapan Imam adz-Dzahabi antara
ucapan beliau “diantara perawi yang diingkari haditsnya” dengan ucapan
“tsiqqoh”, karena tsiqqoh terkadang datang dengan (hadits) yang diingkari
sebagaimana telah berlalu di dalam ta’qib sebelumnya, oleh karena itulah adz-
Dzahabi mengatakan “munkar, walaupun perawinya tsiqqot” sebagaimana yang
dinukilkan al-Munawi di dalam Faidhul Qodir (V/168) dan al-Husaini di dalam al-
Bayan wat Ta’rif (II/154).
Kedua, Adapun ucapan Ibnu Hajar : “Shoduq” maka maksudnya adil yang tidak
jauh (maknanya) dari shoduq. Akan tetapi perawi yang berada pada tingkatan
ini maka keadaannya ini dapat dianggap haditsnya apabila selaras dengan
dhobithin (para perawi yang dhabith) dan terkadang tidak dhabith. Suyuthi
berkata : “shoduq atau posisinya shidq atau la ba’sa bihi.” Al-Iroqi menambahlan
: “atau ma`mun atau khiyar atau laysa bihi ba’sun.” Ibnu Abi Hatim berkata :
“barangsiapa yang disebutkan padanya hal ini maka ia termasuk perawi yang
ditulis haditsnya namun diteliti keadaannya, dan posisinya adalah posisi kedua.”
Ibnu Sholah berkata : “Hal ini sebagaimana yang beliau utarakan, karena
ungkapan (ibarat) ini tidak dirasa sampai pada dhobith maka dianggaplah
haditsnya apabila selaras dengan dhobithin sebagaimana telah berlalu
penjelasannya di awal pembahasan ini.” (Tadribur Rawi I/292 dengan tahqiq
dan ta’liq DR. Ahmad ‘Umar Hasyim).
Berkata pula tentangnya Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Zaadul Ma’ad
(II/78-79) di dalam ta’liq beliau atas hadits Ummu Salamah “keshahihan hadits
ini perlu ditelaah lagi, karena hadits ini dari riwayat Muhammad bin ‘Umar bin
‘Ali bin Abi Tholib, dan sebagian hadits beliau ini diingkari.”
Ketiga, Ucapan Syaikh yang mulia, Abu ‘Umar al-Utaibi : “maka yang shahih
adalah Muhammad bin ‘Umar adalah tsiqoh” yang berangkat dari pemahaman
beliau terhadap kata “tsiqoh” yang diucapkan para ulama perlu ditelaah lagi.
Yang benar derajat Muhammad bin ‘Umar ini adalah shoduq yang tidak
dianggap haditsnya kecuali apabila selaras dengan riwayat dhobithin sedangkan
riwayat tersebut tidak ada!!! Atau bisa pula dikatakan bahwa beliau adalah
tsiqqoh namun diingkari sebagian haditsnya. Bagaimana kita bisa merasa aman
dengan hadits ini sedangkan hadits ini bersendirian di dalam riwayatnya?!! Oleh
karena itulah Ibnul Qoththon mengatakan : ‘tidak diketahui perihal beliau.”
Keempat, adapun masalah para tsiqqot yang meriwayatkan dari beliau, maka ini
bukanlah termasuk ta’dil!!! Suyuthi berkata : “Apabila seorang rawi yang adil
meriwayatkan dari selainnya maka ini bukanlah termasuk ta’dil menurut
mayoritas ulama dari ahli hadits dan selain mereka, dan memang benar akan
kebolehan riwayat seorang yang adil dari seorang yang tidak adil, namun hal ini
bukanlah mengandung pengertian bahwa riwayat darinya merupakan ta’dil
terhadapnya. Kami meriwayatkan dari Sya’bi bahwa beliau berkata :
“menceritakan kepada kami al-Harts dan aku bersaksi demi Alloh bahwa dirinya
adalah kadzdzab (seorang pendusta besar).” Meriwayatkan pula al-Hakim dan
selain beliau dari Ahmad bin Hanbal bahwa beliau melihat Yahya bin Ma’in
sedang menulis shahifah (lembaran) Ma’mar dari Aban dari Anas, apabila
manusia melihatnya maka ia menyembunyikannya. Lantas Ahmad berkata
kepadanya : “Anda menulis shahifah Ma’mar dari Aban dari Anas, sedangkan
Anda tahu bahwa shahifah itu maudhu’ (palsu). Apabila ada seorang berkata
padamu, Anda mengkritik Aban tapi Anda koq masih menulis haditsnya (apa
jawab Anda)?!” Yahya bin Ma’in menjawab : “Wahai Aba Abdillah, aku menulis
shahifah ini sedangkan aku hafal seluruh isinya dan aku tahu bahwa shahifah ini
adalah maudhu’, agar tidak ada orang yang datang dan merubah Aban menjadi
Tsabit lalu ia meriwayatkannya (dan mengkalimnya) dari Ma’mar dari Tsabit dari
Anas. Dengan demikian akan aku katakan padanya, Kamu telah berdusta,
karena sesungguhnya shahifah ini dari Ma’mar dari Abad bukan dari Tsabit.”...
(Tadribur Rawi I/266-267).
Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir berkomentar : Aku katakan, inilah perihal
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali dan bapaknya, keduanya
bersendirian (tafarud) di dalam riwayat ini, lantas bagaimana bisa berhujjah
dengannya?!! Hadits ini jika keduanya tidak menyelisihi seorangpun atau
riwayat selain keduanya, namun keduanya menyelisihi hadits para perawi
tsiqqoot dhobithin yang meriwayatkan hadits : “janganlah kalian berpuasa pada
hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian...” dan tidaklah mungkin
mengkompromikan kedua riwayat ini, karena hadits Ummu Salamah ini adalah
hadits yang diingkari dikarenakan bersendiriannya riwayat Abdullah bin
Muhammad bin Umar dan bapaknya serta kedua riwayatnya menyelisihi hadits
yang lebih tsiqot. Allohu a’lam.
Adapun telaah yang dilakukan oleh Syaikh Abi ‘Umar al-Utaibi, yang
menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Umar dan bapaknya, tidaklah tepat. Beliau telah merancukan sebagian
pembaca dan beliau mengira bahwa hal ini merupakan penguat hadits...
padahal tidak demikian keadaannya. Telah jelas pada para pembaca ketika
membaca nukilan al-Utaibi dari ucapan para huffazh tentang perawi hadits ini
bahwasanya beliau hanyalah menguatkan apa yang selaras dengan
pendapatnya dari ucapan para huffazh ini, dan beliau merasa terheran-heran
dan mendha’ifkan pendapat yang menyelisihinya dengan suatu hal yang tidak
dapat diterima dan tanpa burhan dan hujjah. Telaahlah ucapan beliau maka
Anda akan mendapatkan secara nyata hal ini. [selesai ucapan Syaikh Abu
Mu’adz di dalam ta’qibnya terhadap artikel Syaikh Abu ‘Umar dengan sedikit
diringkas dan penyederhanaan].
Saya berkata : Pertama, dari telaah dan pembahasan ilmiah di atas, lebih
tampak di dalam pandangan saya bahwa pendapat yang rajih adalah apa yang
dipaparkan Imam al-Albani sebagai taroju’ beliau sekaligus pendapat beliau
yang terakhir. Bahwa hadits Ummu Salamah ini adalah hadits yang bermasalah
pada dua orang rawinya, yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar dan
bapaknya, dimana para ulama ahli hadits lebih condong menilai mereka sebagai
shoduq atau tsiqqoh namun diingkari sebagian haditsnya. Hal ini menunjukkan
bahwa hadits mereka ini maqbul apabila selaras dengan hadits yang lebih
dhabith dan tsiqqoh dan sebagai mutaba’ah, namun pada realitanya hadits ini
tidak memiliki mutabi’ bahkan menyelisihi hadits yang lebih dhabith dan tsiqqoh.
Maka, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai pengkontradiksi hadits Alu Busr,
karena derajatnya tidak sama kuat dan shahih.
Kedua, ‘ala Fardhi shihhatil Hadits maka hadits ini tidak kontradikitf dengan
hadits Alu Busr. Karena hadits Ummu Salamah ini berupa fi’lu (perbuatan) Nabi
sedangkan hadits Alu Busr berupa qoulu (ucapan) Nabi. Maka di dalam kaidah
ushul fiqh dikatakan al-Qoulu muqoddam ‘alal Fi’li (Ucapan Nabi lebih
didahulukan daripada perbuatan).
Ketiga, ‘ala fardhi shihhatil hadits juga, hadits Ummu Salamah membuahkan al-
Ibahah (kebolehan) sedangkan hadits Alu Busr membuahkan al-Hadhr
(peringatan/larangan), di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan al-Hadhr muqoddam
‘alal Ibahah (larangan lebih didahulukan daripada kebolehan).
Ada beberapa contoh dalam tathbiq kaidah ini yang serupa, seperti :
- Larangan Nabi dari minum dengan berdiri padahal ada riwayat beliau
pernah minum sambil berdiri. Maka larangan tersebut adalah bagi kita
(ummat Islam) dan kebolehan tesebut hanya bagi beliau sebagai suatu
kekhususan.
- Larangan Nabi untuk berpuasa wishol padahal beliau melakukannya. Hal
ini menunjukkan larangan bagi selain beliau dan kebolehan hanya bagi
beliau sebagai suatu kekhususan.
- Larangan Nabi untuk menikah tanpa mahar kepada kaum mukminin
sedangkan beliau menikahi wanita yang menyerahkan dirinya kepada
Nabi tanpa mahar. Maka hal ini haram bagi kaum mukminin dan boleh
bagi Nabi sebagai suatu kekhususan
Dan masih banyak lagi contohnya. Di dalam mensikapi puasa sunnah hari
Sabtu ini, maka sangat mungkin menerapkan hal ini ‘ala fardhi shihhatil hadits.
Namun kenyataannya hadits ini tidak shahih namun dha’if karena tafarud
(bersendirian)-nya sebagaiman ulasan sebelumnya. Maka tidaklah tepat
mendahulukan hadits Ummu Salamah yang bermasalah untuk
mempermasalahkan hadits Alu Busr. Allohu a’lam.
Hadits Ketiga : Hadits ‘Ubaid al-A’raj
Dari ‘Ubaid al-A’raj beliau berkata : Nenekku menceritakan padaku bahwasanya
beliau mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada hari Sabtu dan
ketika itu Rasulullah sedang makan siang. Lalu Rasulullah berkata : “kemarilah,
mari makan”. Nenekku menjawab : “aku sedang berpuasa”. Rasulullah bertanya
pada beliau : “apakah anda kemarin berpuasa?”, nenekku menjawab, “tidak”.
Lalu Rasulullah bersabda padanya : “makanlah, karena berpuasa pada hari
Sabtu itu laa laka wa laa ‘alaika.” [akan datang penjelasan ucapan ini, pen]
Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/368) dari jalan Yahya bin Ishaq dari Ibnu Lahi’ah,
dari Musa bin Wardan, dari ‘Ubaid al-A’raj. Diriwayatkan pula oleh Ahmad
(VI/368) dari jalan Hasan bin Musa dari Ibnu Lahi’ah dari Musa bin Wardan dari
‘Umair bin Jubair Maula Khorijah bahwasanya ada seorang wanita... (beliau
menyebutkan isi hadits tanpa asbabul wurud-nya).
Syaikh ‘Ali berkomentar : Barangsiapa menyatakan keshahihan hadits ini atau
hasannya, sesungguhnya ia menshahihkan darinya marfu’ qouli tanpa asbabul
wurud-nya. Lihat Al-Bayan wat Ta’rif fi Asbabi Wurudil Hadits (II/400) karya al-
Husaini.
Al-Haitsami (III/198) berkata tentang sanad pertama : “Di dalamnya terdapat
Ibnu Lahi’ah, dan ada pembicaraan tentangnya. Úbaid al-A’raj tidak dikenal.”
Beliau berkata tentang sanad kedua : “’Umair ini aku tidak mengenalnya.”
Kedua isnad hadits ini berporos pada Ibnu Lahi’ah, beliau ini tsiqqoh hanya saja
hafalannya buruk setelah buku-bukunya terbakar. Dan riwayat Yahya dari beliau
sebelum hal ini (terbakarnya buku) dan setelahnya adalah berasal dari ‘Ubaid
al-‘A’raj pada satu ketika dan dari ‘Umair bin Jubair pada kali lain. Dan
keduanya tidak dikenal. [di dalam Ta’jil al-Manfa’ah hal. 321 sepatutnya
tawaqquf terhadapnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah fi dalam al-Iqtidho’ (II/474) mendhaifkannya.
Faidah : Syaikh Abul Harits ‘Ali Hasan memiliki buku yang berjudul ad-Dala`il
ar-Rofi’ah fi Dzikri man Shihhat Riwayatuhum ‘an Ibnu Lahi’ah yang
menjelaskan tafshil (perincian) riwayat dari Ibnu Lahi’ah yang shahih riwayatnya
sebanyak hampir sebanyak 15 riwayat.
Syaikh ‘Ali Hasan berkata :
Kemudian aku melihat ada jalan yang mauquf : Diriwayatkan oleh Nasa’i di
dalam al-Kubro (55/a/12) sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (IV/294-
no.5195) dari Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad [beliau adalah Abu ‘Abdil Malik
al-Qurosyi al-Busri] dari Ishaq bin Ibrahim [beliau adalah Abun Nashri al-
Faradisi] dari Abu Muthi’ Mu’awiyah bin Yahya : memberitakan padaku Arthah
beliau berkata : Aku mendengar Abu ‘Amir al-Alhani [beliau adalah ‘Abdullah bin
Ghobir] berkata : Aku mendengar Tsauban maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ditanya tentang berpuasa pada hari Sabtu dan beliau menjawab :
Tanyakan pada ‘Abdullah bin Busr, kemudian ‘Abdullah bin Busr ditanya tentang
hal ini lalu beliau menjawab :
صيام يوم السبت لا لك ولا عليك
“Berpuasa pada hari Sabtu itu, laa laka wa laa ‘alayka.”
Syaikh ‘Ali berkomentar : sanadnya hasan mauquf. Boleh jadi salah seorang
perawi yang tadinya majhul yang menyebabkan wahm hadits ini bias terangkat
menjadi marfu’. Wallohu a’lam.
Dan makna yang dikehendaki di dalam hadits ini –wallohu a’lam- adalah :
لا لك أجر في صيامه ولا عليك حرج من تركه
“Tidak ada ganjaran (pahala) berpuasa di dalamnya dan tidak ada dosa
meninggalkannya.” Dan lafazh ini lebih dekat dengan maksud al-man’u
(mencegah).
Yang dekat/serupa dengan makna lafazh ini adalah apa yang diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin asy-Syakhir beliau berkata, disebutkan pada Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Salam seorang lelaku yang berpuasa dahri : “Laa Shooma
wa laa afthor” (Dia tidaklah berpuasa dan tidak pula berbuka), [maksudnya ia
tidak mendapatkan pahala puasa dan tidak pula merasakan nikmatnya berbuka,
Allohu a’lam].
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad (IV/25), Nasa’i (IV/206), Darimi (I/351),
Ibnu Majah (I/544) dan selainnya dari jalan Qotadah, dari Muthorrif, dari
bapaknya. Sanad hadits ini shohih. Sedangkan telah maklum secara
kesepakatan bahwa berpuasa dahri itu terlarang.
Saya berkata : Dengan demikian, kata laa laka wa laa ‘alayka adalah lebih
dekat kepada makna mencegah dan melarang, sebagaimana dalam hadits
‘Abdullah bin asy-Syakhir di atas.
Hadits Keempat dan Kelima : Hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh
Dari Juwairiyah binti al-Harits radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam mengunjungi beliau pada hari Jum’at sedangkan beliau
(Juwairiyah) dalam keadaan berpuasa. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bertanya kepadanya : “Apakah anda kemarin berpuasa?” beliau menjawab :
“tidak”, Nabi bertanya kembali : “apakah anda besok [hari Sabtu] bermaksud
puasa?”, beliau menjawab “tidak”. Lalu nabi bersabda padanya : “berbukalah”.
Hadits shahih riwayat al-Bukhari (III/92).
Di dalam lafazh hadits dari Abu Hurairoh secara marfu’ : “... Janganlah kalian
mengkhususkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali
puasa yang biasa kalian lakukan.” HR Bukhari (III/92) dan Muslim (II/801).
Di dalam lafazh lain dari Abu Hurairoh pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda : “Janganlah salah seorang dari kalian berpuasa pada hari
Jum’at melainkan diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya.” (Muttafaq
‘alaihi), sedangkan hari setelahnya adalah hari Sabtu.
Untuk menjawab kontradiksi hadits ini dengan hadits Alu Busr, maka jawaban
Syaikhuna Abul Harits al-Halabi hafizhahullahu tampak telah mencukupi. Beliau
berkata :
”Adapun hadits pertama (Juwairiyah), maka jawabannya adalah –untuk
membantah kontradiktifnya- dengan gambaran yang bermacam-macam,
sebagian gambaran ini mencakup masalah dari pokoknya, yaitu :
Pertama : Bahwasanya hadits Juwairiyah –dan juga hadits Abu Hurairohkeduanya
tidak kuat untuk digunakan sebagai pengkontradiksi hadits larangan,
karena tujuan yang diperoleh dari kedua hadits tersebut adalah kebolehan
berpuasa hari Sabtu jika disertai puasa hari Jum’at, dan kebolehan ini adalah
sebagai penyerta, tidak berdiri sendiri. Orang yang berpuasa di hari Jum’at
boleh memilih diantara hari Sabtu atau Kamis (sebagai penyertanya).
Suatu kebolehan jika kontradiktif dengan larangan, maka yang didahulukan
adalah larangan bukan kebolehannya karena larangan itu lebih kuat dan lebih
tsabat hujjahnya, sebagai contoh adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam :
إَِذ َأم رت ُ ك م بَِأ مرٍ َفْأت وا مِنه ما ا ست َ ط عت م وإَِذ ن هيت ُ ك م ع ن َأ مرٍ َفانت ه وا
“Jika aku perintahkan kalian terhadap sesuatu maka laksanakanlah semampu
kalian dan jika aku melarang kalian terhadap sesuatu maka jauhilah” (HR.
Bukhari (77/9) dan Muslim (1337) dari Abu Hurairoh).
Tidaklah samar lagi –dalam menimbang hadits ini- bahwa suatu larangan tidak
ada pilihan padanya. Adapun perintah, maka dikerjakan sesuai dengan
kemampuannya. Perkara yang kami tolak pembahasannya dan sanggah
kontradiktifnya, tidak ada padanya perkara yang lebih rendah, hanya saja
sesungguhnya ghoyah (tujuan)nya –sebagaimana yang telah kusebutkanadalah
kebolehan. Maka apakah kontradiktif antara larangan yang sharih
(terang) dengan hanya kebolehan mukhoyyar (yang dapat dipilih)??
Larangan menurut ulama ushul adalah : “Suatu susunan ucapan yang
menunjukkan tuntutan menahan diri dari suatu perbuatan.” (Irsyadul Fuhul hal.
109 karya asy-Syaukani). Mendahulukan suatu larangan dari perintah ketika
mengkompromikannya telah dikenal dari Salafus Shalih. Ath-Thayalisi
meriwayatkan dalam Musnad-nya (no. 1922) dari jalan Yunus bin ‘Ubaid dari
Ziyaad bin Hubair, ia berkata : “Ibnu ‘Umar ditanya tentang seseorang yang
bernadzar berpuasa pada hari Jum’at, lantas beliau menjawab :
أمرنا بوفاء الندر و ينا عن صوم هذا اليوم
“Kami diperintahkan untuk memenuhi nadzar namun kami dilarang untuk
berpuasa pada hari itu”. Sanadnya hasan (lihat Tuhfatul Asyraf (IX/346) dan
komentar Ibnu Hajar terhadap atsar ini).
Hal ini menunjukkan dalamnya pemahaman Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu, dan
(hal ini menunjukkan) bagaimana beliau mendahulukan larangan ketimbang
perintah di saat mengkompromikannya, karena suatu larangan tidak ada pilihan
padanya. Sebagaimana telah kusebutkan –dan kuulangi lagi- bahwa (hadits)
pengkontradiktif di sini menunjukkan suatu ‘kebolehan’ bukan selainnya!!
Sepatutnya mengarahkan pandangan pembahasan ini pada sisi di bawah ini :
Bahwasanya permasalahan ini turut dipengaruhi oleh kejadian hari Arofah pada
tahun 1408 H. dimana hari itu bertepatan dengan hari Arofah, dan pendapat
mengenainya beraneka ragam.
Sesungguhnya fadhilah (keutamaan) yang warid tentang berpuasa hari ‘Arofah
adalah keutamaan yang besar dan agung, puasa arofah dapat menghapuskan
dosa setahun sebelumnya dan setahun berikutnya (sebagaimana diriwayatkan
oleh Muslim (1162) dari Abu Qotadah, dan juga dari sejumlah sahabat). Lantas,
apakah berpuasa pada hari ini menyelisihi larangan yang datang dari (hadits)
larangan berpuasa hari sabtu?? Ataukah kita berhenti dari puasa dan
meninggalkan ganjaran yang agung ini??
Aku menjawab : Tidak ragu lagi menurut ahli ilmi agar mendahulukan larangan
di atas kebolehan jika keduanya berkumpul pada satu jalan –sebagaimana telah
berlalu penjelasannya-, dan sebagai penerang serta memperkuat hal ini adalah
hadits yang tsabat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau
melarang berpuasa hari arofah di tanah arofah.
Lantas apakah perbedaan di antara kedua larangan ini??
Larangan berpuasa pada hari Sabtu walaupun bertepatan dengan hari Arofah!
Larangan berpuasa pada hari Arofah bagi orang-orang yang berada di tanah
Arofah!
Kedua gambaran ini berhimpun di dalam ketetapan ganjaran bagi orang yang
berpuasa pada hari ‘Arofah, dan ganjarannya adalah penghapus dosa dua
tahun.
Demikian pula keduanya juga berhimpun di dalam larangan, pertama :
dikarenakan hari itu bertepatan dengan hari Sabtu, dan yang kedua :
dikarenakan berada di ‘Arofah. Dan kedua larangan ini adalah bersifat khusus
dan terperinci.
Oleh karena itulah, adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lamin Nubalaa’
(684/10): “Barang siapa yang berpuasa pada hari Arofah di tanah Arofah,
sedangkan ia mengetahui larangannya, dan mengetahui bahwasanya
Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa di tanah ‘Arofah,
demikian pula tidak ada seorang sahabatpun melaksanakannya, maka dari apa
yang kami ketahui, dia tidak benar, wallahu a’lam”
Ibnu Hazm telah menguatkan kebolehan berpuasa Arofah di hari ‘Arofah dalam
al-Muhalla (VII/17-19), dan beliau mendha’ifkan hadits yang datang tentang
larangannya –padahal haditsnya shahih dan tetap - dan beliau menukil dari
Sayyidah ‘Aisyah bahwasnya ‘Aisyah berpuasa pada hari haji!! Aku (Syaikh Ali)
berkata : tidaklah tetap hadits ini darinya sebagaimana ucapan al-Haitsami di
dalam al-Majma’ (III/189) karena sanadnya terputus lagi lemah, dan ia
menyebutkan pula dari jalan yang lain, namun aku tidak mendapati sanadnya
diketahui tsabat pula dari ‘A`isyah.
Dia menukil pula dari al-Hasan bahwasanya ‘Utsman berpuasa pada hari yang
panas yang menaungi dirinya!! Padahal Hasan tidaklah mendengar dari
‘Utsman sebagaimana ucapan al-Alla’i dalam Jami’ at-Tahshil hal. 162.
Yahya bin Ied juga ikut terpedaya dengan atsar Sayyidah ‘Aisyah dalam al-Qoul
ats-Tsabt hal. 6 dengan turut berdalil dengannya. Ketahuilah, sesungguhnya ia
mengkontradiksikan dirinya ketika menetapkan di dalam substansi
perkataannya tentang ketetapan larangan berpuasa pada hari ‘Arofah di tanah
Arofah, kemudian dirinya menukil pendapat Ibnu Hazm di atas!!
Dan serupa juga (dengan perkataan adz-Dzahabi di atas) ialah barang siapa
yang berpuasa pada hari sabtu sedangkan ia mengetahui larangannya ketika
berketepatan dengan puasa hari-hari yang utama seperti hari ‘Asyuura’ atau
‘Arofah ataupun selainnya. Segala puji hanya milik Allah.
Dari penjelasan yang telah lewat, para imam telah menunjukkan bahwa
larangan tidaklah tegak melainkan setelah kebolehan sebagaimana dikatakan
oleh al-Hazimi dalam al-I’tibaar (hal. 126) dan Imam ath-Thahawi sebagaimana
dinukil darinya oleh az-Zaila’iy dalam Nashbu ar-Rooyah (II/234) dan beliau
menetapkannya.
Kedua : Bahwasanya nash hadits tentang larangan berpuasa pada hari Sabtu
menetapkan jazmun bin nafyi qoothi’un (secara tegas penafian yang pasti), yaitu
: “…kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Pengecualian ini
memasukkan jenis-jenis puasa sunnah seluruhnya ke dalam wilayah larangan,
baik puasa sunnah maupun tathowwu’, kecuali puasa wajib maka boleh
berpuasa di hari itu –dan tidak bagi selain puasa wajib-.
Dapat dikatakan di sini : Apakah puasa hari Sabtu adalah –sebagai sesuatu
yang dapat dipilih- setelah berpuasa pada hari Jum’at bagi orang yang
melaksanakannya adalah sesuatu yang wajib ataukah sunnah? Mayoritas akan
menjawab : sunnah! Yang menunjukkan hal ini adalah dikeluarkannya hari
Sabtu bagi orang yang berpuasa di hari Jum’at ketika tidak ada pilihan dalam
menyelesaikannya adalah kita dilarang darinya.
Ketiga : Bahwasanya termasuk tarjiihaat (pendapat pilihan yang dikuatkan) oleh
para ulama adalah menjadikan salah satu dari kedua hadits sebagai nash dan
qoul, dan yang satunya disandarkan padanya istidlal dan ijtihad, maka yang
pertama adalah lebih rajih.
Al-Hazimi berkata di dalam al-I’tibar (hal. 11), dan az-Zaila’iy menukil darinya
dan menetapkannya di dalam Nashbu ar-Royah (III/289), dan demikian pula
pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Fath (I/590). Realitanya kami tidak
menentang penetapan hadits ini, berikut ini penjelasan sempurnanya :
Larangan berpuasa selain puasa wajib pada hari Sabtu adalah sharihun
nashiyun jaliyun (teksnya sangat terang sekali) (diantara sisi tarjih adalah
“mendahulukan perkara yang terang hukumnya ketimbang yang tidak terang”
(Irsyadul Fuhul hal. 279)), sedangkan hadits yang membolehkan dijadikan dalil
dengan nash yang diistinbathkan darinya kebolehan sebagai penyerta (puasa
Jum’at saja). Dan yang sangat jelas adalah bahwa penyerta ini terkadang dapat
diterima, namun selama tidak menyelisihi yang lebih sharih dan terang.
Keempat : Serupa dengan yang telah lewat adalah apa yang disebutkan oleh
para ulama dari segi manthuq (pemahaman teks) dan mafhum (pemahaman
konteks)-nya :
Seorang yang berdalil tentang kebolehan berpuasa pada hari Sabtu dengan
hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh, sesungguhnya ia berdalil dengan mafhum
yang mengisyaratkannya sebagai penyerta akan kebolehannya, sedangkan
hadits Alu Busr sharih (terang) larangannya dari sisi manthuq-nya.
“Beristidlal dengan mafhum tidak dapat menjadi hujjah kecuali jika selamat dari
kontradiksi.” Sebagaimana diutarakan oleh adz-Dzahabi dalam Muktashar
Sunan al-Baihaqi yang menukil arinya az-Zaila`iy di dalam Nashbu ar-Royah
(I/57).
Tambahan Penting : Yahya bin Ied mengklaim dalam al-Qoul ats-Tsabt hal. 7
bahwa hadits Juwairiyah manthuq-nya tidak ada perselisihan di dalamnya, dan
hari berikutnya setelah Jum’at adalah hari Sabtu. Hal ini adalah perkataan
bathil, yang dibangun di atas ketidakfahaman terhadap ucapan ulama ushul
tentang al-Manthuq dan al-Mafhum, sebagai penerang hal ini, aku berkata :
Asy-Syaukani berkata dalam Irsyadul Fuhul hal. 178 : “al-Manthuq adalah apa
yang ditunjukkan oleh lafazh di dalam konteks suatu ucapan, yang menjadi
hukum dari yang disebutkan/diucapkan dan hal dari keadaannya. Al-Mafhum
adalah apa yang ditunjukkan oleh lafazh tidak di dalam konteks suatu ucapan,
yaitu yang menjadi hukum bukan yang disebutkan dan hal dari keadannya.
Kesimpulannya, bahwasanya lafazh merupakan acuan bagi makna yang dipetik
darinya, terkadang dipetik darinya dari segi ucapan yang jelas dan terkadang
dari segi isyarat saja. Yang pertama merupakan manthuq dan yang kedua
merupakan mafhum.” Selesai ucapan –rahimahullahu- sampai di sini.
Di dalam ucapan ini terdapat bantahan yang padat yang mematahkan klaim
Yahya Ied yang menyatakan hadits Juwairiyah sebagai manthuq!! Bagaimana
mungkin dikatakan manthuq padahal hadits Juwiriyah ini tidak menggiring
keterangan hukum puasa hari Sabtu secara bebas (berdiri sendiri) namun
sebagai penyerta, sebagaimana asy-Syaukani mengisyaratkannya dengan
ucapannya : “yaitu yang menjadi hukum adalah selain yang disebutkan dan hal
dari keadaannya”. Hal ini merupakan ’ainul qoul tentang hadits Juwairiyah.
Adapun hadits Alu Busr menggiring kepada keterangan hukum berpuasa hari
Sabtu secara bebas (berdiri sendiri) dengan shighat yang kuat dan mapan yang
tidak dapat dibawa kepada kemungkinan lain. Hal ini secara sendirinya
membatalkan ucapan Yahya ied dari asasnya.
Kelima : Sebagai penguat penjelasan sebelumnya, dan sebagai penjelas bagi
ilmu serta tambahan faidah, kami berkata : Hadits Juwairiyah di dalamnya
terdapat hukum berpuasa pada hari Jum’at yang mengandung dua gambaran :
yaitu bisa jadi beserta hari Kamis atau bisa jadi hari Sabtu. Sedangkan hadits
keluarga Busr datang dengan keterangan ketidakbolehan berpuasa pada hari
Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan. Kami telah menetapkan –sebelumnyabahwa
hadits Juwairiyah sesungguhnya diistidlalkan dari mafhum-nya bukan
dari manthuq-nya, sebaliknya hadits keluarga Busr.
Keenam : Imam Syaukani membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul
Fuhul hal. 146-147) sebagai penetap bahwa pengecualian termasuk shighat
terkuat dalam mengkhususkan yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan
sebagian dari yang masuk ke dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits keluarga
Busr adalah termasuk pengkhusus yang kuat karena nash-nya terang, jelas lagi
sharih dengan menyebutkan pelarangan berpuasa pada hari Sabtu, kecuali
puasa yang wajib. Adapun hadits-hadits lain yang menyebutkan puasa hari
Jum’at bergandengan dengan puasa hari Kamis ataupun Sabtu, atau haditshadits
lainnya yang menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa
Dawud, peny.), ataupun hadits yang menjelaskan berpuasa tiga hari setiap bulan
(puasa hari putih, peny.), kesemua hadits ini adalah dalil yang umum
dibandingkan hadits keluarga Busr. Karena hadits keluarga Busr di dalamnya
terdapat larangan dari segala jenis puasa seluruhnya kecuali yang telah
diwajibkan. Tanpa ragu lagi, bahwa hadits-hadits tersebut yang telah
ditunjukkan seluruhnya datang bukan sebagai puasa yang wajib.
[Selesai di sini ucapan Syaikh Abul Harits ’Ali Hasan hafizhahullahu di dalam
Zahru Roudhi halaman 54-64]
Sebagai tambahan faidah akan saya nukilkan penjelasan Imam al-Albani
mengenai hal ini. Beliau rahimahullahu berkata :
”Barangsiapa yang berpuasa pada hari Jum’at tanpa hari Kamis, maka ia harus
berpuasa pada hari Sabtu karena hal ini menjadi wajib, untuk menyelamatkan
diri dari dosa akibat penyelisihan berpuasa pada hari jum’at secara
bersendirian. Dia dalam keadaan ini masuk ke dalam keumuman sabda Nabi
Shallallahu ’alaihi wa Salam tentang hadits (larangan puasa hari) Sabtu :
”kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Namun hal ini hanya berlaku bagi
orang yang berpuasa hari Jum’at namun ia lalai akan larangan bersendirian
berpuasa pada hari itu. Adapun bagi orang yang mengetahui akan larangannya
maka ia tidak boleh berpuasa pada hari itu, karena ia dalam keadaan ini
berpuasa yang tidak diwajibkan atasnya. Maka keadaan ini tidak masuk ke
dalam keumuman hadits yang telas disebutkan. Dari sini diketahui jawabannya
bahwa apabila berbarengan hari Jum’at dengan hari fadhilah (yaitu jatuhnya
puasa sunnah pada hari Jum’at) maka tidak boleh bersendirian berpuasa
padanya sebagaimana sekiranya bertepatan dengan hari Sabtu, karena puasa
ini tidak menjadi wajib atasnya” [selesai, dinukil dari al-Qouluts Tsabt fi Hurmati
Yaumis Sabti oleh Abu Sanad Muhammad].
Demikian inilah dalil-dalil dan argumentasi yang membantah dalil dan dakwaan
ta’arudh antara hadits Alu Busr dengan hadits-hadits lainnya dari fihak yang
memperbolehkan berpuasa sunnah pada haru Sabtu. Dan masih ada lagi celah
lain yang masih dapat didiskusikan, akan kami tambal pada pembahasan
berikutnya. Bagi yang kurang puas dengan ta’qib kami di atas, silakan
menyanggahnya dengan ta’qib ilmiah dari sisi syaqqul hadits dan syaqqul fiqhi.
Allohu a’lam
Ta’qib 3 : Dakwaan bahwa pendapat yang menguatkan larangan
mutlak puasa sunnah pada hari Sabtu menelantarkan haditshadits
shahih lainnya
Ini dakwaan yang telah tersebar, dan fihak yang memperbolehkan berpuasa
sunnah pada hari Sabtu menjadikan hal ini sebagai salah satu argumentasi
mereka. Mereka beranggapan, bahwa menguatkan larangan puasa sunnah
pada hari Sabtu maka akan menelantarkan hadits-hadits shahih semisal hadits
Juwairiyah dan Abu Hurairoh –radhiyallahu ‘anhum- tentang puasa sunnah hari
Jum’at [sebagaimana telah berlalu penyebutannya], hadits puasa putih (ayyamul
Baidh tiap pertengahan bulan Hijriah), hadits puasa Senin Kamis, hadits puasa
Dawud dan hadits-hadits yang menjelaskan puasa fadhilah lainnya semisal
puasa Asyura, Arafah, dll.
Benarkah klaim ini? Mari kita kupas sedikit demi sedikit. Syaikhuna Abul Harits
‘Ali Hasan bin ‘Abdul Hamid al-Atsari berkata : “Bahwasanya nushush syar’iyyah
(dalil-dalil syar’i) tidak seluruhnya turun dalam satu siyaq (bentuk) dan satu
waktu, maka seharusnyalah dikompromikan antara dalil yang diduga seakanakan
kontradiktif –padahal realitanya tidaklah kontradiktif- tanpa
membenturkannya antara dalil yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana
masalah kita ini [masalah puasa sunnah hari Sabtu, pent]. Barangsiapa yang
mengkontradiksikan hadits larangan puasa sunnah pada hari Sabtu dengan
hadits yang siyaq-nya menunjukkan nafilah atau istihbab (sunnah) saja, maka
ini adalah ‘ainul munaqodhoh (penentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u
(kompromi) dan inipun sangat jauh dari (metode yang benar). Aku (Syaikh ‘Ali)
katakan : semua aspek yang telah aku jelaskan sebelumnya adalah untuk
menolak adanya dugaan kontradiktif antara hadits larangan dengan lainnya
yang dihadapkan padanya.” [selesai ucapan Syaikh sampai di sini dari Zahru
Roudhi hal. 70).
Untuk itu ada baiknya kiranya kita menelaah dulu sekilas apa itu at-Ta’arudh
atau at-Tanaqudh (kontradiksi) di dalam Ushul Fiqh. Imam Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu di dalam Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 454) berkata : “At-
Ta’arudh secara bahasa artinya adalah at-Taqobul (saling berlawanan) dan at-
Tamanu’ (saling bertentangan). Secara Istilah artinya adalah ‘dua dalil yang
saling bertentangan dimana salah satu dari keduanya menyelisihi lainnya.’ Bab
yang sekarang sedang kita bahas ini, tidaklah kurang urgennya daripada bab
qiyas, karena (bab ini) sangat urgen sekali dimana orang bisa jadi menduga
bahwa ada di dalam kitabullah atau sunnah Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam ada yang saling kontradiksi dan bertentangan, padahal Alloh berfirman
(yang artinya) : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? kalau
sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS an-Nisa` : 82). Maka dianjurkan
untuk tadabbur (merenung/menelaah) dan menjelaskan bahwa dengan
tadabbur tidak mungkin akan ditemukan adanya pertentangan selama-lamanya.
Adapun pertentangan yang terdapat diantara ayat adalah karena zhahirnya
yang berangkat dari kurangnya ilmu seseorang atau kurangnya pemahaman
atau juga karena sikap peremehannya karena tidak mau mentadabburi (Al-
Qur’an dan as-Sunnah). Adapun apabila menyatukan tadabbur dan ilmu serta
kefahaman maka sesungguhnya tidaklah mungkin akan ditemukannya adanya
pertentangan sedikitpun di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasululllah Shallallahu
‘alaihi wa Salam selamanya...” [selesai di sini ucapan al-Imam].
Kemudian al-Imam sang Faqihuz Zaman menerangkan bahwa macamnya
Ta’arudh itu ada 4 macam, yaitu :
Macam Pertama : kedua dalil sama-sama dalil yang ‘am (umum) maka ada 4
keadaan :
1. Apabila memungkinkan untuk menjama’ (mengkompromikan) antara
keduanya kepada keadaan yang tidak saling bertentangan, maka wajib
dijama’. Misalnya firman Alloh Ta’ala (yang artinya) : “Dan Sesungguhnya
kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-
Syuro : 52) dengan firman-Nya (yang artinya) : “Sesungguhnya kamu tidak
dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai” (QS al-
Qoshosh : 56). Maka kompromi kedua ayat tersebut adalah, ayat pertama
dimaksudkan dengannya adalah hidayah dilalah ilal haq (petunjuk untuk
mengarahkan kepada kebenaran atau dengan istilah lain hidayah bayan wa
irsyad, -pent) dan ini tsabit dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ayat yang kedua, dimaksudkan dengannya adalah hidayah taufiq lil ‘amal
dan ini hanyalah hak prerogatif Alloh Ta’ala yang tidak dimiliki oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan selain beliau.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarh-nya (hal. 45)
menjelaskan : “Anda dapatkan bahwa ada sebagian ulama
mengkompromikan antara kedua dalil (yang kontradiktif) dengan begitu
mudah dan terangnya. Anda temukan ada sebagian ulama tidak mampu
mengkompromikannya, dan ada juga dapat anda temukan ulama lainnya
mengkompromikan nushush (dalil-dalil) namun dengan cara yang
memaksakan diri jauh (dari hakikatnya). Yang demikian ini adalah
dikarenakan ilmu dan kefahaman yang dianugerahkan-Nya kepada
seseorang (berbeda-beda tingkatnya, -pent.).
2. Apabila tidak dapat dijama’, dalil yang datang belakangan (dianggap)
sebagai nasikh (penghapus) apabila diketahui tarikh (sejarahnya), maka
diamalkan tanpa mengamalkan yang pertama (yang mansukh/dihapus).
Sebagai contoh hal ini adalah firman Alloh Ta’ala (yang artinya) :
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (memberi
makan fakir miskin), maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (QS al-Baqoroh : 184), ayat ini
menunjukkan adanya pilihan antara memberi makan (orang miskin) atau
berpuasa dengan tetap menguatkan (anjuran) untuk berpuasa. Dan firman-
Nya (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (QS al-Baqoroh : 185), ayat ini menunjukkan kewajiban
puasa secara spesifik yang harus ditunaikan oleh selain orang yang sakit
dan tidak dalam keadaan safar, dan wajib menggantinya (pada hari yang
lain). Dikarenakan ayat ini datang belakangan maka ia menjadi nasikh
(penghapus) ayat sebelumnya sebagaimana ditunjukkan oleh hadits
Salamah bin al-Akwa’ yang tsabit di dalam Shahihain dan selainnya.
3. Apabila tidak diketahui tarikh-nya maka diamalkan yang rajih (tarjih) apabila
ada murojjih-nya. Contohnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam : “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka
hendaklah ia berwudhu” (HR Abu Dawud (181), Turmudzi (82) dan Nasa’i
(I/216) dari hadits Busroh). Nabi juga pernah ditanya oleh seorang lelaki
yang memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab
: “Tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” (HR Ahmad dan
selainnya).
Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam Syarh-nya (hal. 460-461) menjelaskan
sebagai berikut :
“Jadi, kita punya dua hadits di sini. Hadits pertama “Barangsiapa yang
menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu”. Sabda
Nabi “barangsiapa yang menyentuh” ini adalah ‘am (umum), dan sabdanya
“falyatawadhdho’ (maka hendaklah ia berwudhu)”, huruf lam di sini adalah
sebagai perintah dan hukum asal di dalam perintah adalah wajib.
Hadits yang kedua, Nabi juga pernah ditanya oleh seorang lelaki yang
memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab :
“tidak” yaitu tidak wajib wudhu’, “karena sesungguhnya ia hanyalah bagian
dari tubuhmu.” Apakah mungkin jama’ diterapkan di sini?
Jawab : menurut apa yang diutarakan oleh penulis di sini (penulis adalah
Imam Ibnu Utsaimin sendiri, pent.) tidak mungkin dilakukan jama’, dan apabila
kita tidak dapat melakukan jama’ maka kita melakukan tarjih. Dan yang rajih
adalah hadits yang pertama, yaitu sabdanya “Barangsiapa yang menyentuh
dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” dengan empat segi
alasan :
Pertama, karena lebih berhati-hati. Karena apabila anda berwudhu’ setelah
anda memegang kemaluan anda, maka tidak bakal ada orang yang
mengatakan anda telah bersalah. Apabila anda tidak berwudhu’ niscaya
akan ada orang yang berkata “kamu telah salah dan sholatmu tidak sah”.
Maka berwudhu’ lebih hati-hati dan sikap hati-hati itu lebih utama
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang
berhati-hati dari syubhat maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya”
(Muttafaq ‘alaihi dari Nu’man bin Basyir) dan sabdanya : “Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi
(2518) dan beliau mengatakannya hasan shahih. Imam al-Albani
menshahihkannya di dalam Shahihul Jami’ : 3377.2278).
Kedua, karena hadits ini lebih banyak jalur periwayatannya. Sudah maklum
diketahui bahwa hadits yang banyak jalan periwayatannya pastilah lebih kuat
dibandingkan dengan hadits yang tidak banyak jalan periwayatannya.
Ketiga, ulama yang menshahihkannya lebih banyak. Apabila suatu hadits
banyak yang menshahihkannya maka hal ini merupakan dalil atas kekuatan
hadits ini dikarenakan banyaknya yang menshahihkannya.
Keempat, dikarenakan hadits ini berpindah dari asalnya dan di dalamnya
ada tambahan ilmu. Ini juga merupakan sebab-sebab tarjih dimana
dirajihkan yang berpindah dari asalnya ketimbang yang tidak, karena dalam
hal ini ada tambahan ilmu. Sabda Nabi di dalam hadits “Barangsiapa yang
menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” dan
sabdanya “tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu”, manakah
diantaranya keduanya yang selaras dengan asal? Yang kedua. Hadits yang
pertama berpindah dari asalnya karena asalnya adalah tidak wajib, lantas
menunjukkan kepada wajib karena berpindah dari salanya. Dan berpindah
dari hukum asal besertanya ada tambahan ilmu, karena yang pertama tetap
dalam keadaan asalnya seakan-akan ia tidak tahu adanya perubahan.
Contoh lain hal ini yang dapat diindera adalah : apabila datang pada anda
seorang lelaki berkata : “Zaid berdiri”, datang lagi orang lain dan berkata :
“Zaid belum berdiri”, maka yang kedua ini tetap dalam asalnya dan asalnya
adalah tidak berdiri, adapun yang pertama berpindah dari asal. Jadi, pada
orang yang pertama ada tambahan pengetahuan sedangkan orang yang
kedua tidak mengetahui realitanya. Dari hal inilah muncul suatu kaidah yaitu
al-Mutsbit muqoddamun ‘alan Nafyi (“yang ditetapkan lebih dahulukan
daripada yang ditiadakan.”)
Saya berkata : Masalah yang dicontohkan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin ini bisa
dijama’ sebagaimana pernyataan Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam paragraf
berikutnya, bahwa ada sebagian ulama yang menyatakan masih bisanya hal
ini dijama’. Hal ini menunjukkan akan perbedaan ulama di dalam menimbang
hal-hal yang memungkinkan untuk dijama’ ataukah tidak. Akan datang
penjelasannya lebih lengkap dalam mulhaq tanggapan saya kepada al-Akh
al-Fadhil Abu Ishaq.
4. Apabila tidak didapatkan adanya murojjih maka wajiblah tawaqquf
(mendiamkan) dan apabila tidaklah didapatkan hadits semisal yang shahih.
Imam Ibnu ‘Utsaimin di dalam Syarh-nya (hal. 462) menjelaskan : “Apabila
tidak didapatkan adanya murojjih setelah tiga tahapan tadi, yaitu jama’,
naskh dan tarjih, maka wajib untuk tawaqquf. Akan tetapi, haruslah kita
ketahui bahwa ketiga tahapan tersebut adalah sesuatu yang nisbi (tidak
baku), yaitu bisa jadi ada seseorang tidak memungkinkan baginya
melakukan jama’ namun mungkin bagi lainnya, bisa jadi seseorang
mengetahuio tarikh-nya sehingga ia berpandangan yang kedua adalah
nasikh sedangkan yang lainnya tidak tahu, bisa jadi seseorang mengetahui
ada murojjih-nya namun yang lainnya tidak tahu. Hal ini hakikatnya adalah
perkara yang nisbi...”
Macam Kedua : Kedua dalil sama-sama dalil yang ‘khash (khusus) maka ada 4
keadaan (yang sama dengan dalil yang sama-sama ‘am, contoh penerapannya
lihat buku Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul hal. 464-468, -pent .)
1. Apabila memungkinkan untuk menjama’ (mengkompromikan) antara
keduanya kepada keadaan yang tidak saling bertentangan, maka wajib
dijama’.
2. Apabila tidak dapat dijama’, dalil yang datang belakangan (dianggap)
sebagai nasikh (penghapus) apabila diketahui tarikh (sejarahnya).
3. Apabila tidak diketahui tarikh-nya maka diamalkan yang rajih (tarjih) apabila
ada murojjih-nya.
4. Apabila tidak didapatkan adanya murojjih maka wajiblah tawaqquf
(mendiamkan) dan apabila tidaklah didapatkan hadits semisal yang shahih.
Macam Ketiga : Yang kontradiktif adalah dalil yang satunya ‘am dan yang
satunya khash, maka yang ‘am dikhususkan dengan yang khash.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Syarh-nya menjelaskan : “Apabila
dalil yang khash menunjukkan atas suatu hukum dan yang ‘am juga
menunjukkan suatu hukum, maka menjama’ keduanya adalah suatu hal yang
mungkin, dikarenakan dalil yang ‘am menunjukkan hukum pada keseluruhan
bentuknya sedangkan yang khash mengeluarkan sebagian bentuk dari hukum
ini, jadi hingga tidak kontradiktif lagi, karena keduanya menjadi madlul-nya
khash...” [lihat contoh penerapannya lebih lengkap dalam Syarhul Ushul hal.
468-471].
Saya berkata : Ini diantara metode yang digunakan Syaikh Abul Harits di dalam
menjama’ hadits larangan puasa hari Sabtu dengan hadits yang –diklaimmemperbolehkannya.
Akan datang penjelasannya lengkapnya setelah ini.
Macam Keempat : Yang kontradiktif adalah dua dalil yang sama-sama lebih
‘am pada satu sisi sekaligus juga lebih khash pada sisi lainnya. Dalam hal ini
ada tiga keadaan :
1. Apabila dapat menerapkan dalil yang mentakhshish (mengkhususkan)
keumuman salah satu dari dua dalil dengan lainnya, maka hendaklah
ditakhshish. Contohnya adalah firman Alloh Ta’ala (yang artinya) : “Orangorang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. ” (QS al-Baqoroh : 234) dan firman-Nya (yang artinya) : “Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.” (QS ath-Tholaq : 4). Ayat yang pertama,
khusus di dalam wanita yang ditinggal mati suaminya namun umum di dalam
kehamilan dan selainnya. Ayat yang kedua, khusus di dalam kehamilan dan
umum di dalam keadaan janda (ditinggal mati suaminya) dan selainnya.
Akan tetapi dalil menunjukkan untuk mentakhshish keumuman ayat yang
pertama dengan ayat yang kedua. Oleh karena itulah Sabi’ah al-Aslamiyah
melahirkan setelah ditinggal wafat suaminya selama beberapa malam lantas
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengizinkannya untuk menikah lagi
(Muttafaq ‘alaihi).
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata di dalam Syarh-nya (hal. 473) :
“Ucapan “Akan tetapi dalil menunjukkan untuk mentakhshish keumuman
ayat yang pertama dengan ayat yang kedua” yaitu (mentakhshihs)
keumuman ayat pertama (yang memasukkan kondisi) hamil dan tidak hamil
dengan ayat kedua yaitu masa iddah wanita hamil adalah sampai ia
melahirkan baik karena ia ditinggal mati oleh suaminya atau selainnya
(seperti dicerai misalnya, -pent.). Oleh karena itulah dikatakan “dalil
menunjukkan untuk mentakhshish keumuman ayat yang pertama dengan
ayat yang kedua”.”
Ucapan “Sabi’ah al-Aslamiyah melahirkan setelah ditinggal wafat suaminya
selama beberapa malam lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
mengizinkannya untuk menikah lagi”maksudnya yaitu, belum sempurna 4
bulan 10 hari Nabi mengizinkannya untuk menikah lagi.”
2. Apabila tidak dapat menerapkan dalil yang mentakhshish (mengkhususkan)
keumuman salah satu dari dua dalil dengan lainnya maka dilakukan tarjih.
Contohnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Apabila salah
seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah duduk sampai sholat
dua rakaat” dan sabdanya : “tidak ada sholat selepas subuh sampai terbitnya
matahari dan tidak ada sholat selepas ashar sampai terbenamnya matahari”.
Hadits yang pertama menunjukkan kekhususan di dalam tahiyatul Masjid
namun umum di dalam waktu, sedangkan hadits kedua menunjukkan
kekhususan di dalam waktu dan umum di dalam sholat termasuk sholat
tahiyatul Masjid dan selainnya. Akan tetapi yang rajih adalah mentakhsish
keumuman hadits kedua dengan hadits pertama, yaitu dibolehkannya
tahiyatul masjid pada waktu-waktu yang dilarang umumnya sholat di
dalamnya. Sesungguhnya kami rajihkan hal ini dengan alasan mentakhshish
keumuman hadits kedua diperbolehkan pada selain tahiyatul Masjid seperti
mengganti sholat fardhu dan mengulang sholat jama’ah maka dilemahkan
keumumannya.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarh-nya (hal. 477)
menjelaskan : “Apabila ada seseorang setelah sholat Ashar dia teringat
bahwa sholat zhuhurnya tadi tanpa berwudhu’, maka kami katakan padanya
: “sholatlah kamu sekarang”, dan yang merajihkannya adalah sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “maka hendaklah ia sholat apabila
ia mengingatnya” (potongan hadits muttafaq ‘alaihi), maka yang umum
dikalahkan. Demikian pula dengan “mengulangi sholat jama’ah”, seperti
apabila anda telah sholat di satu masjid kemudian anda pergi ke masjid lain
dan anda dapatkan jama’ah sedang sholat, maka sholatkan bersama
mereka, sebagai pengejawantahan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“apabila kalian berdua sholat di dalam perajalanan kalian, kemudian kalian
tiba di masjid yang jama’ah tengah sholat padanya, maka sholatlah bersama
mereka karena akan terhitung sebagai nafilah bagi kalian.” (HR Abu Dawud
(575), Turmudzi (219), Nasa’i (II/112) dan selainnya)...”
3. Apabila tidak dapat menerapkan dalil dan tidak pula merajihkan keumuman
salah satunya dengan yang kedua, maka wajib mengamalkan kedua-duanya
di dalam bagian yang tidak saling kontradiktif fan tawaqquf di dalam
gambaran yang ada kontradiktif padanya. Namun, tidaklah mungkin ada
kontradiktif diantara dalil-dalil pada satu masalah yang sama yang tidak
dapat dijama’, dinaskh ataupun ditarjih, karena dalil-dalil itu tidak ada yang
kontradiktif (pada realitanya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah
menerangkan dan menyampaikan, namun bisa jadi hal ini terjadi
dikarenakan pemahaman seorang mujtahid yang kurang, wallohu a’lam.
[selesai di sini ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu secara diringkas dari kitab Syarhul
Ushul min ‘Ilmil Ushul hal. 454-481. lebih lengkap silakan rujuk kitab yang bermanfaat tersebut.
Lihat pula pembahasan yang sama dalam kitab-kitab Ushul Fiqh lainnya].
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan atau
kontradiksi nyata antara hadits Alu Busr dengan hadits lainnya. Karena dalam
hal ini, metode jam’u sekaligus tarjih dapat digunakan. Apabila ditanyakan :
Metode jam’u manakah yang digunakan dalam hal ini? Risalah ini bagian kedua
telah menyebutkannya, namun tidak ada salahnya apabila saya nukil kembali,
yaitu :
Syaikh Abul Harits dalam bantahan poin ke-6 berkata “Imam Syaukani
membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul Fuhul hal. 146-147) sebagai
penetap bahwa pengecualian termasuk shighat terkuat dalam mengkhususkan
yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan sebagian dari yang masuk ke
dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits keluarga Busr adalah termasuk
pengkhusus yang kuat karena nash-nya terang, jelas lagi sharih dengan
menyebutkan pelarangan berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang wajib.
Adapun hadits-hadits lain yang menyebutkan puasa hari Jum’at bergandengan
dengan puasa hari Kamis ataupun Sabtu, atau hadits-hadits lainnya yang
menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa Dawud, peny.),
ataupun hadits yang menjelaskan berpuasa tiga hari setiap bulan (puasa hari
putih, peny.), kesemua hadits ini adalah dalil yang umum dibandingkan hadits
keluarga Busr. Karena hadits keluarga Busr di dalamnya terdapat larangan dari
segala jenis puasa seluruhnya kecuali yang telah diwajibkan. Tanpa ragu lagi,
bahwa hadits-hadits tersebut yang telah ditunjukkan seluruhnya datang bukan
sebagai puasa yang wajib.” [lihat Zahru Roudhi hal 64]. Maka yang demikian ini
tidak menelantarkan salah satu dari kedua dalil.
Sekarang apabila kita menggunakan metode jam’u dengan memalingkan lafazh
hadits dari zhahir-nya dengan menggunakan indikasi hadits-hadits yang
dianggap sebagai pengkontradiksi hadits larangan, yaitu memahami hadits Alu
Busr sebagai berikut :
1. Memalingkan makna nahyu dalam hadits ini kepada karohah tanzih dan
bahkan kepada makna ibahah (mubah).
2. Memalingkan zhahir hadits Alu Busr kepada pemahaman larangan akan
tegak apabila dilakukan secara infirad (bersendirian), tidak diiringi dengan
sehari sebelum dan setelahnya.
3. Memalingkan zhahir hadits Alu Busr kepada pemahaman larangan akan
tegak apabila dilakukan dengan maksud takhshish dan ta’zhim.
Berikut ini adalah tanggapan dan jawaban terhadap argumentasi di atas.
Pertama, memalingkan makna nahyu kepada karohah tanzih atau bahkan
ibahah memerlukan qorinah yang kuat di dalamnya. Karena apabila tidak, maka
akan terlantarlah maksud hadits larangan (Alu Busr) ini dan seakan-akan sabda
Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tidaklah berfaidah.
Telah maklum di dalam kaidah Ushul Fiqh bahwa larangan itu membuahkan
keharaman kecuali apabila ada qorinah yang memalingkannya. Imam asy-Syafi’i
di dalam ar-Risalah, sebagaimana dinukil oleh az-Zarkasyi (az-Ziriksyi) dalam
al-Bahrul Muhith (II/426) berkata : ”Apa yang dilarang oleh Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wa Salam maka hal ini menunjukkan keharaman sampai
datangnya suatu dilalah (dalil yang menunjukkan) bahwa maksud dari larangan
ini bukanlah tahrim.” Imam Syafi’i di dalam al-Umm, kitab Shifatul Amri wan
Nahyi juga berkata : ”larangan dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam
apabila suatu yang telah dilarang maka haram hukumnya sampai datang dalil
yang menunjukkan akan ketidakharamannya.”
Telah dipaparkan terdahulu pada risalah bagian pertama, bahwa hadits Alu Busr
ini memiliki larangan yang kuat dan mantap yang apabila larangannya harus
dipalingkan dari zhahirnya maka haruslah dengan qorinah yang kuat. Berikut ini
akan saya turunkan lagi penjelasannya sebagai penguat dan penambah faidah :
4. Lafazh Laa tashuumuu yawmas Sabti merupakan bentuk nahyu (larangan)
yang tegas. Di dalam kaidah ushul fiqh telah maklum dikatakan : Al-Ashlu fin
Nahyi an yadulla ‘alat tahriim (hukum asal di dalam larangan menunjukkan
keharamannya), wa qod yadullu an-Nahyu ‘alal karohah faqoth in iqtarona
bihi qoriinah tamna’u dilaalatahu ‘alat tahriim (terkadang larangan
menunjukkan kepada kemakruhan saja apabila disertai dengan indikasi yang
mencegah penunjukannya kepada keharaman), seperti misalnya hadits wa
iyyakum wal julusa fith thuruqot (jauhilah kalian duduk-duduk di jalanan),
kemudian Rasulullah mengizinkannya apabila memberikan kepada jalan
hak-haknya. Sekarang indikasi apakah yang mengharuskan memalingkan
kata laa tashuumuu yawmas sabti di atas kepada makna karohah tanzih
bukan tahrim?!!
5. Lafazh fa in lam yajid ahadukum illa liha`a ‘inabatin aw ‘uuda syajarotin.
Lafazh ini merupakan tasydid (penguat) yang pasti di dalam larangan. Kata
lihaa`u inabatin (kulit pohon anggur) atau ‘uuda syajarotin (ranting pohon)
menunjukkan bahwa kedua hal ini bukanlah makanan yang umum/lazim
dikonsumsi manusia, namun Rasulullah tetap memerintahkan untuk
memakannya sebagai ifthar (buka puasa) agar seseorang tidak berpuasa
pada hari Sabtu. Bukankah telah maklum bahwa ucapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam itu tidak ada yang sia-sia dan ucapan beliau itu adalah
ucapan yang ringkas namun padat maknanya. Lantas apa faidah sabda
beliau di atas apabila perintah untuk makan kulit dan ranting pohon ini hanya
membuahkan kepada makruh, yang apabila diamalkan tidak apa-apa namun
apabila ditinggalkan mendapatkan pahala. Ini artinya jam’u seperti ini yang
semula hendak menghindarkan terlantarnya hadits-hadits Nabi yang lainnya,
malah menyebabkan terlantarnya hadits ini dan menelantarkan maknamakna
yang ada di dalamnya. Allohumma.
6. Lafazh Falyamdhugh-hu (maka kunyahlah), dengan lam amr yang berarti
perintah. Telah maklum bahwa hukum asal perintah itu adalah wajib kecuali
ada dalil yang memalingkannya. Sekarang dalil apakah yang memalingkan
perintah ini? Perintah ini merupakan perintah untuk mengunyah kulit dan
ranting pohon (kayu) yang bukan merupakan makanan manusia, sebagai
tasydid untuk membatalkan puasa seseorang yang berpuasa pada hari
Sabtu. Lantas, apakah memalingkan kewajiban di sini kepada sunnah atau
mubah untuk berpuasa sunnah pada hari Sabtu tidak menelantarkan makna
lafazh dalam hadits ini?
Jadi, memalingkan zhahir larangan di sini haruslah membutuhkan qorinah
(indikasi) yang sangat kuat sehingga tidak menelantarkan makna lafazh hadits
dari lisan yang ma’shum, seorang yang ucapannya adalah jami’ul kalim (ringkas
namun padat makna) yang tidak mungkin beliau mengucapkan sesuatu yang
sia-sia, yang mana zhahir-nya dapat dipalingkan kepada bukan yang ditangkap
oleh indera pada lahiriyah ucapan beliau.
Kedua, memalingkan makna hadits kepada yang tidak tampak darinya, yaitu
larangannya dibawa kepada apabila puasa dilakukan secara infirad
(bersendirian). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan jelas
menyatakan :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا فِي ما اْفتر ض اللَّه عَلي ُ ك م))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan
atas kalian.”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menggunakan lafazh larangan
sebagaimana Rasulullah melarang puasa hari Jum’at. Apabila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا َأ ْ ن ت ص وم و ي وما َقبَله َأ و ي وما ب ع دُه))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang kalian
lakukan dengan sehari sebelum dan setelahnya.” maka tepatlah klaim di atas
tanpa perlu melakukan pemalingan-pemalingan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : “Hadits larangan
berpuasa pada hari Sabtu di atas tidak boleh diartikan dengan larangan apabila
bersendirian, tidak digandeng dengan hari lain. Karena lafazh hadits tersebut
adalah :
(( َلا ت صوموا ي وم ال سبتِ إِلَّا فِي ما اْفتر ض اللَّه عَلي ُ ك م))
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan
atas kalian.”
Sedangkan istitsna` (pengecualian) itu adalah dalil tanawul (yang mencakup
semuanya selain yang dikecualikan), maka hadits tersebut mencakup segala
bentuk puasa (yang diwajibkan).
Apabila tidak demikian dan larangan yang dimaksud adalah puasa secara
bensendirian, tidak digandeng dengan hari sebelum dan setelahnya, tentu (nabi)
tidak akan menyebutkan puasa yang wajib sebagai pengecualiannya. Karena
tidak mengandung makna bersendirian maka pengecualian dalam hadits ini
merupakan dalil masuknya segala hal yang tidak dikecualikan. Berbeda dengan
hadits berpuasa pada hari Jum’at yang menjelaskan larangan jika dikerjakan
dengan bersendirian, tidak digandeng dengan hari-hari lain.” (Iqtidha’ ash-
Shirathal Mustaqim : II/572).
Imam al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah (hal. 406) :
“Seandainya bentuk puasa yang digandeng tidak dilarang, tentu digunakan
untuk mengecualikan larangan tersebut lebih utama daripada pengecualian
dengan puasa yang diwajibkan, sebab syubhat tentang keumuman hadits di
atas lebih jauh dari keumuman puasa yang digandeng. Maka jika pengecualian
yang ada hanyalah pada puasa yang diwajibkan, berarti selain itu tidak ada
yang dikecualikan sebagaimana yang telah jelas.”
Saya berkata : Hal ini yang menyebabkan Imam al-Albani rahimahullahu tidak
menjama’ hadits Alu Busr dengan hadits lainnya, dikarenakan beliau
beranggapan bahwa apabila jam’u dilakukan maka akan menghilangkan atau
membatalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan ini merupakan
penghalang dilakukannya jam’u. Kemudian, tarjih yang beliau lakukan tidak
menelantarkan seluruh hadits yang dikontradiksikan, bahkan bisa tarjih yang
beliau lakukan bisa mengamalkan sebagian besar hadits-hadits tersebut tanpa
adanya kontradiksi.
Ketiga : memalingkan zhahir hadits kepada pengkhususan menjadi terlarang
apabila dilakukan dengan takhshish dan ta’zhim. Pendapat ini sebenarnya
berangkat dari jam’u dengan hadits Ummu Salamah dan ‘A`isyah sebagaimana
telah dikemukakan pada risalah bagian 2 sekaligus bantahannya. Lafazh hadits
Alu Busr ini adalah shahih tanpa menyisakan adanya syak sedikitpun dan hadits
yang shahih adalah hujjah binafsihi (hujjah dengan sendirinya), tanpa perlu
melihat apakah ada imam atau ulama sebelumnya yang pernah
mengamalkannya. Sedangkan hadits yang dikontradiksikan, yaitu hadits Ummu
Salamah dan ‘A`isyah, maka kedua hadits ini adalah hadits yang dha’if tidak
dapat digunakan untuk berhujjah apalagi untuk dikontradiksikan dengan hadits
yang shahih.
Membawa pemahaman hadits larangan kepada takhsish dan ta’zhim
merupakan bentuk pengkhususan yang memerlukan dalil dan tidak ada dalilnya
di dalam hal ini kecuali hanya implikasi dari jam’u yang dilakukan dengan haditshadits
lainnya. Telah dikemukakan pada ulasan sebelumnya sebagiannya,
bahwa tidak ada kontradiksi yang nyata pada hadits larangan dengan hadits
yang membolehkan –akan datang penjelasan rincinya setelah ini-, sehingga
dengan demikian, mengkhususkan larangan pada tanpa takhsish dan ta’zhim
tidaklah tepat. Allohu a’lam.
Sebelum menginjak ke pembahasan lebih lengkap, akan saya rangkumkan
beberapa poin penguatan hadits larangan (hadits Alu Busr) dibandingkan hadits
yang dikontradiksikan, dalam beberapa poin berikut :
1. Kaidah : an-Nahyu yaqtadhi at-Tahrim (larangan membuahkan keharaman)
apabila tidak ada qorinah (indikasi) yang memalingkannya. Dan yang rajih –
menurut kami- adalah tidak ada qorinah yang kuat yang dapat memalingkan
nahyu di sini menjadi karohah apalagi ibahah, bahkan memalingkannya
menjadi karohah tanzih terlebih lagi ibahah akan membatalkan makna hadits
nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang shahih dan seakan-akan menyatakan
bahwa lafazh nabi dalam hadits ini sia-sia. Allohu a’lam.
2. Kaidah : al-Istitsna’ dalilut Tanawul (pengecualian itu dalil yang mencakup
semuanya kecuali yang dikecualikan). Hadits Alu Busr jelas-jelas secara
tegas menunjukkan bahwa dilarang berpuasa pada hari Sabtu illa fiima
ufturidha ‘alaikum (kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian). Maka
konsekuensinya, semua puasa pada hari Sabtu terlarang kecuali hanya
puasa yang wajib saja, karena istitsna´di sini memasukkan semua jenis
puasa nafilah dan mustahabbah kecuali puasa wajib saja. Memalingkan
maknanya kepada tanpa infirad maka membatalkan sabda Nabi yang mulia
ini.
3. Kaidah : al-Manthuq muqoddam ‘alal Mafhum (makna lafazh yang tersurat
lebih didahulukan daripada makna yang tersirat). Hadits Alu Busr yang
melarang puasa sunnah hari Sabtu adalah hadits yang jelas manthuq-nya
dan tegas larangannya untuk tidak berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa
yang diwajibkan disertai dengan tasydid (penguatan) untuk berbuka dengan
kayu dan ranting pohon, padahal keduanya ini bukan makanan yang lazim
dikonsumsi. Sedangkan hadits yang dikontradiksikan yaitu hadits Juwairiyah
dan Abu Hurairoh berbicara tentang larangan puasa hari Jum’at secara
bersendirian atau bukan pada puasa yang biasa dilakukan. Kedua hadits ini
hanya difahami darinya secara mafhum tentang bolehnya berpuasa pada
haru Sabtu. Demikian pula dengan hadits-hadits lainnya semisal hadits
puasa Dawud, hadits ayyamul baidh (hari-hari putih), hadits nafilah seperti
puasa ‘Asyura` dan ‘Arofah, dan lain-lainnya. Kesemua hadits ini diistidlalkan
dari mafhum-nya bukan dari manthuq-nya. Maka, al-Manthuq muqoddamun
‘ala Mafhum.
4. Kaidah : an-Nahyu muqoddamun ‘alal Amri (larangan lebih didahulukan
ketimbang perintah), demikian yang dikatakan oleh Imam asy-Syaukani
dalam Irsyadul Fuhul (II/390). Lantas bagaimana apabila an-Nahyu
dikontradiksikan dengan al-ibahah (kebolehan)? Telah jelas bahwa hadits
Alu Busr menunjukkan larangan yang tegas, sedangkan hadits yang
dikontradiksikannya hanyalah membuahkan ibahah saja, bukan perintah.
Apabila larangan lebih didahulukan ketimbang perintah, bagaimana lagi
dengan kebolehan?!
5. Kaidah : idza ta’aarodho qoulaani baynal karoohah wat tahriim fayurojjihu al-
Qoula bit Tahriim (apabila dua pendapat saling kontradiksi antara yang
menyatakan makruh dan haram, maka dikuatkan yang mengharamkannya).
Karena hukum asal larangan adalah haram, maka mengembalikan ke asal
adalah lebih utama. Terlebih lagi apabila tidak ada qorinah yang dapat
memalingkannya menjadi karohah. Dan alhamdulillah tidak ada dalil yang
kuat untuk memalingkan hadits Alu Busr –menurut pendapat kami- dari
tahrim menjadi karohah.
6. Kaidah : al-Hazhir muqoddamun ‘alal Mubih (dalil melarang lebih
didahulukan daripada dalil yang membolehkan). Demikianlah yang
dijelaskan oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Ahkaamu Ahlidz
Dzimmah (I/529), yang mana hal ini menurut beliau dikarenakan tiga alasan :
(1) menguatkan hukum asal larangan, (2) sikap kehati-hatian supaya tidak
jatuh kepada keharaman dan (3) mengembalikan kepada hukum asalnya
yang haram. Telah jelas bahwa hadits Alu Busr adalah dalil al-Hazhir
sedangkan hadits-hadits yang dikontradiksikan adalah dalil al-Mubih, maka
al-Hazhir muqoddamun ‘alal Mubih.
7. Kaidah : Dalil Naqil ‘anil Ashli muqoddamun min dalil mabqi ‘alayhi (dalil
yang berpindah dari hukum asalnya lebih didahulukan daripada dalil yang
masih tetap dalam asalnya), sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu
‘Utsaimin pada macam ta’arudh pertama antara dua dalil yang ‘am pada
macam ketiga bagian ke-4 di atas, beliau menyatakan bahwa dalil yang
beranjak dari asalnya itu lebih memiliki tambahan ilmu daripada yang tetap.
Secara asal, diperbolehkan berpuasa pada semua hari-hari yang ada,
namun ada yang berpindah/berubah dari asalnya menjadi haram, semisal
berpuasa pada hari iedain, tasyriq, yaumu syak termasuk juga hari Sabtu
serta hari Jum’at secara bersendirian. Maka dalil yang berpindah dari asal
lebih didahulukan daripada yang tetap dalam asalnya.
8. Kaidah : al-Khash yaqdhi ‘alal ‘am (yang khusus menetapkan bagi yang
umum) sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(I/89) atau Bina` al-‘Am ‘alal Khosh (dalil yang umum dibangun di atas dalil
yang khusus) sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syaukani dalam Irsyadul
Fuhul (163). Imam Syaukani menjelaskan : “Dan telah ada ketetapan
bahwasanya dalil yang khusus lebih kuat daripada dalil yang umum
sedangkan dalil yang lebih kuat itulah yang lebih dirajihkan. Selain itu, dalil
yang umum jika dikerjakan akan menelantarkan dalil yang khusus
sedangkan menjalankan yang khusus tidak akan menelantarkan yang
umum...” Telah diketahui bahwa hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh -yang
dikontradiksikan dengan hadits Alu Busr- menjelaskan puasa hari Jum’at
yang disertai dengan dua bentuk, disertai dengan hari Kamis atau disertai
dengan hari Sabtu. Sedangkan hadits Alu Busr secara tegas menjelaskan
larangan puasa hari Sabtu kecuali yang diwajibkan. Telah dijelaskan bahwa
hadits Juwairiyah mengandung pemahaman secara tidak langsung
(mafhum) sedangkan hadits Alu Busr mengandung pemahaman langsung
(manthuq). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hadits Alu Busr lebih
khusus dan spesifik di dalam melarang hari Sabtu sedangkan hadits
Juwairiyah lebih umum dan bersifat mukhoyar (boleh dipilih) antara disertai
hari Kamis atau Sabtu. Maka, hadits Alu Busr dapat mengeluarkan shuroh
(bentuk) hari Sabtu karena lebih spesifik daripada hadits Juwairiyah. Allohu
a’lam.
Demikian inilah beberapa segi penguatan hadits Alu Busr dibandingkan hadits
yang dianggap memperbolehkan. Untuk menyempurnakan faidah, maka akan
saya turunkan beberapa contoh berikut ini :
1. Puasa seorang isteri tanpa izin suaminya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Tidak halal bagi seorang
wanita berpuasa sedangkan suaminya ada tanpa izinnya…” (HR Bukhari).
Seandainya ada seorang wanita hendak melakukan puasa nafilah, puasa
‘Arofah atau ‘Asyura` misalnya, yang ganjarannya sangat luar biasa, namun
ia melakukannya tanpa izin suaminya, apakah boleh ia melakukannya?
Jawabnya tentu saja tidak boleh, karena ia menyelisihi larangan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka dalam hal ini didahulukan larangan atas
sunnah. Allohu a’lam.
2. Puasa pertengahan bulan Sya’ban.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Apabila telah masuk
pertengahan bulan Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa...” (HR Abu
Dawud dan Turmudzi, dishahihkan al-Albani). Apabila ada seseorang ia
hendak melakukan puasa Senin Kamis atau puasa Dawud pada
pertengahan bulan Sya’ban ini padahal ini bukanlah kebiasaannya, bolehkan
ia melakukannya? Jawabnya adalah tidak boleh, karena ia menyelisihi dalil
larangan dari Nabi, karena larangan didahulukan atas kebolehan.
3. Puasa pada hari Tasyriq
Telah tsabat larangan berpuasa pada hari tasyriq. Apabila ada seseorang
yang biasa melakukan puasa Dawud, atau Senin Kamis –misalnya-,
bolehkah ia melakukan puasanya pada hari Tasyriq? Jawabnya tentu saja
tidak boleh. Karena larangan lebih didahulukan daripada kebolehan.
4. Puasa ‘Arofah bagi orang yang berada di ‘Arofah
Puasa ‘Arofah sangat besar sekali ganjarannya, karena diampuni dosa kita
setahun sebelum dan setelahnya. Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu ketika
ditanya oleh ‘Ikrimah tentang berpuasa ‘Arofah di ‘Arofah, beliau berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang berpuasa ‘Arofah di
‘Arofah” (HR an-Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Bukhari dalam
Tarikh al-Kabir, dll –lihat perincian takhrijnya dalam Zahru Roudhi hal. 74-82
dan penilaiannya yang minimal dikatakan hasan). Apakah dalam hal ini jika
ada seseorang berpuasa ‘Arofah di tanah ‘Arofah benarkah puasanya?
Imam adz-Dzahabi di dalam Siyaru ‘Alamin Nubala’ (X/684) menyatakan
bahwa puasanya tidak benar. Hal ini dikarenakan ia menyelisihi hadits
larangan Nabi yang shahih.
Saya berkata : dari keempat contoh di atas, kenapa kita tidak menerapkan hal
yang serupa pula pada hadits larangan berpuasa hari Sabtu? Bukankah hadits
Alu Busr juga shahih sebagaimana hadits-hadits larangan di atas? Bukankah
hadits Alu Busr sama-sama merupakan larangan yang tegas sebagaimana
hadits-hadits di atas yang dikontradiksikan dengan hadits-hadits nafilah atau
sunnah?!
@ @ÕzÜß
الرد على تعقيب أبي اسحاق حول مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض
MULHAQ (TAMBAHAN)
BANTAHA TERHADAP TA’QIB ABU ISHAQ SEPUTAR
MASALAH PUASA SUNNAH HARI SABTU
Berikut ini jawaban atas sanggahan al-Akh al-Ustadz yang singkat namun padat
dan berat untuk dijawab. Saya harus menunda sekian lama untuk menjawab
sanggahan beliau karena beberapa sebab, diantaranya selain kesibukan yang
melanda, juga karena sangat minimnya referensi yang saya miliki untuk merujuk
pasca saya tinggal di Malang. Namun, mudah-mudahan yang sedikit ini bisa
sedikit menjadi jawaban yang sangat singkat yang tidak ‘mengenyangkan dan
tidak pula dapat menghilangkan dahaga’. Namun, sesuatu yang tidak dapat
diamalkan seluruhnya tidak ditinggalkan sebagiannya.
Tanggapan 1 : Bersandar dengan pemahaman salaf
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : “Hanya saja ada satu hal yang saya ingin
kita sepakat terlebih dahulu. Yaitu apakah yang dimaksud dengan manhaj salaf
dalam arti sikap atau implementasinya dalam segala sisi termasuk masalah fiqih
dan ushul fiqih? Sejauh mana kita akan menggunakan atau bersandar pada
ucapan atau pemahaman mereka? Ini tentu merupakan kaedah yang harus
dipegang, karena di sanalah kita akan memulai merajut kata putus untuk setiap
permasalahan.”
Jawab :
Tentu saja kita harus berpegang kepada manhaj salaf dalam semua sisi. Baik
aqidah, manhaj, ibadah, akhlaq, fiqh dan lain sebagainya. Dan tidak ada
perbedaan antara kita di dalam masalah ini. Mungkin al-Akh al-Ustadz Abu
Ishaq memahami perkataan saya di dalam masalah yang sedang kita
diskusikan ini keluar dari konteksnya, dengan melihat bahwa saya belum dapat
menunjukkan siapakah salaf saya atau salaf mereka yang berpegang dengan
pendapat larangan puasa sunnah pada hari Sabtu secara mutlak. Sebagiannya
telah saya singgung pada risalah saya yang pertama, namun insya Alloh akan
saya jelaskan kembali secara lebih terperinci agar tidak menimbulkan
kesalahfahaman, seakan-akan mereka yang berpegang dengan pemahaman ini
adalah pemahaman yang muhdats yang tidak dikenal melainkan setelah abad
14 hijriah ini –akan tampak zhahir ucapan ini dari al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq
pada paragraf-paragraf berikutnya-.
Demikian pula klaim Syaikh Yahya bin Isma’il Ied dalam bukunya al-Qoulu ats-
Tsabti yang dibantah oleh Syaikh Abul Harits ‘Ali Hasan al-Halabi, dan Syaikh
Abu ‘Umar al-Utaibi dalam risalahnya yang berjudul al-Qoulul Qowim yang
dibantah oleh Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir dan Syaikh ‘Ali Ridha.
Tanggapan 2 : Hanya ada Dua kesimpulan : makruh dan mubah!!!
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Saya hanya coba meresapi, bahwa
masalah hukum puasa pada hari sabtu telah populer semenjak jaman dahulu.
Berpulang pada satu hadits dan berujung pada dua kesimpulan, boleh dan
makruh. Kesimpulan ini tentunya didasarkan pada pemahaman mereka akan
hadits tersebut serta semua hadits terkait dengan segala argumentasi
pendukungnya. Ternukil dengan sempurna sampai abad 20 tiba.
Al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq juga berkata : “Penghukuman haram berpuasa
sunnah pada hari sabtu dengan semata bersandar pada zhahir lafazh adalah
tidak pernah dikenal sama sekali sebelum abad 20 bahkan di kalangan madzab
zhahiri sekalipun! Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka
yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali
sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14
abad lamanya.
Kitab-kitab dirayah hadits dan fiqih sudah mudawwan, aqwal ulama sudah jelas
tertulis dan sempurna diwariskan, maka siapakah atau dimanakah anda jumpai
pendahulu anda yang mengatakan bahwa larangan ini bermakna haram?
Bahkan mereka yang menolak hadits ini semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qayyim pun berujung pada kesimpulan yang sama –‘ala fardhi sihhatihi- dengan
para ulama lain yang menerima hadits ini.”
Jawab :
Ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq “Saya hanya coba meresapi, bahwa
masalah hukum puasa pada hari sabtu telah populer semenjak jaman dahulu.
Berpulang pada satu hadits dan berujung pada dua kesimpulan, boleh dan
makruh” perlu ditelaah kembali. Ada beberapa catatan yang perlu diberikan di
sini.
Kesimpulan yang dipetik dari hasil peresapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq yang
berujung pada kesimpulan ibahah dan karohah tampaknya perlu dikritisi
kembali. Saya telah menunjukkan pada risalah bagian pertama ucapan Syaikh
Abul Harits al-Halabi di dalam menyanggah Syaikh Yahya Ied dan ta’qib Syaikh
Alu Thohir terhadap risalah Syaikh al-Utaibi mengenai masalah ini. Namun
untuk lebih memperjelas hal ini, maka akan saya turunkan ucapan Imam ath-
Thohawi rahimahullahu yang menyebutkan akan adanya khilaf dalam masalah
ini dimana al-Akh Abu Ishaq mengklaim bahwa hanya ada dua ujung
kesimpulan yaitu ibahah dan karohah tanzih.
Berkata Imam ath-Thohawi dalam Syarh Ma’anil Atsar (II/79-80) tentang puasa
hari Sabtu yang bukan wajib :
فذهب قوم إلى هذا الحديث ، فكرهوا صوم يوم السبت تطوعا . وخالفهم في ذلك آخرون ، فلم يروا
بصومه بأسا وكان من الحجة عليهم في ذلك ، أنه قد جاء الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
أنه ى عن صوم يوم الجمعة إلا أن يصام قبله يوم ، أو بعده يوم , وقد ذكرنا ذلك بأسانيده ، فيما
تقدم من كتابنا هذا ، فاليوم الذي بعده ، هو يوم السبت , ففي هذه الآثار المروية في هذا ، إباحة صوم
يوم السبت تطوعا ، وهي أشهر وأظهر في أيدي العلماء من هذا الحديث الشاذ ، الذي قد خالفها .
“Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan hadits ini, maka mereka
membenci [sengaja saya menterjemahkan dengan kata membenci bukan
memakruhkan, karena kedua hal ini beda sebagaimana akan datang
penjelasannya, pent.] puasa sunnah pada hari Sabtu. Sedangkan yang lainnya
menyelisihi mereka dan memandang puasa di dalamnya tidak mengapa, dan
diantara yang menjadi dalil mereka atas pendapat ini adalah hadits yang datang
dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau melarang
berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila diiringi dengan puasa sehari sebelum
atau setelahnya. Kami telah menyebutkannya dengan sanadnya di dalam buku
ini sebelumnya. Hari setelahnya adalah hari Sabtu. Maka di dalam atsar yang
diriwayatkan ini menunjukkan bolehnya bepuasa sunnah pada hari Sabtu dan
adalah pendapat yang paling masyhur dan tampak di tengah-tengah para ulama
bahwa hadits ini (larangan puasa hari Sabtu) adalah syadz yang menyelisihi
atsar di atas.
Ucapan Imam ath-Thohawi : “Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan
hadits ini, maka mereka membenci puasa sunnah pada hari Sabtu. Sedangkan
yang lainnya menyelisihi mereka dan memandang puasa di dalamnya tidak
mengapa” menunjukkan bahwa ada ulama yang berpendapat dengan larangan
mutlak (haram). Dan ucapan Imam ath-Thohawi rahimahullahu yang
menyebutkan فكرهوا (mereka membenci) yang dimaksud adalah karohah lit tahrim
bukan karohah lit tanzih. Berikut ini penjelasannya :
Pertama : Makna hadits yang menunjukkan larangan secara mutlak dengan
tegas dan terang, sebagaimana telah berlalu penjelasannya.
Kedua : Bahwasanya Imam ath-Thohawi sendiri mengetahui bahwa hadits ini
menunjukkan dilalah secara zhahir kepada larangan, sebagaimana dalam
ucapan beliau “Maka di dalam atsar yang diriwayatkan ini menunjukkan
bolehnya bepuasa sunnah pada hari Sabtu dan adalah pendapat yang paling
masyhur dan tampak di tengah-tengah para ulama bahwa hadits ini (larangan
puasa hari Sabtu) adalah syadz yang menyelisihi atsar di atas” dimana beliau
menghukumi hadits ini dengan syadz dikarenakan adanya hadits yang
memperbolehkan berpuasa pada hari Sabtu, sedangkan hadits larangan
menyelisihinya dengan mengharamkan puasa pada hari Sabtu, maka beliau
menghukuminya sebagai syadz. Penilaian syadz ini telah dijawab dalam risalah
bagian 2 dan pada artikel “Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”.
Ketiga : Sesungguhnya al-Ahnaaf (ulama bermadzhaf Hanafiyah) apabila
memutlakkan kata karohah maka maknanya adalah haram, dan telah maklum
bahwa Imam ath-Thohawi rahimahullahu termasuk salah satu pembesar
madzhab Hanafiyah. Imam al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Tahdzirus
Saajid :
والكراهة عن الحنفية إذا أطلقت فهي للتحريم كما هو معروف لديهم
“Karohah menurut Hanafiyyah apabila dimutlakkan maka bermakna
pengharaman sebagaimana telah dikenal di kalangan mereka.”
Keempat : Sesungguhnya kaum salaf shalih secara umum, apabila mereka
memutlakkan kata karohah maka maknanya adalah haram. Terkadang mereka
memaksudkannya sebagai karohah tanzih namun seringkali ketika mereka
memutlakkannya kepada sesuatu maka maksudnya adalah haram. Hal ini
sebagai salah satu bentuk tawaru’ (kehati-hatian) mereka di dalam
mengharamkan sesuatu, dan yang asal menurut mereka pada ucapan makruh
atau karohah maka maknanya adalah haram.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata di dalam I’lamul Muwaqqi’in (I/43) :
“Kaum salaf, mereka menggunakan kata karohah pada makna yang digunakan
oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu bermakna haram. Adapun kaum
muta`akhkhirin (kontemporer), mereka mengistilahkan karohah dengan
pengkhususan yang bukan termasuk keharaman atau kepada makna
meninggalkan lebih baik daripada melaksanakan, kemudian mereka bawa
ucapan para imam kepada istilah yang baru ini sehingga akhirnya mereka keliru
di dalam masalah ini. Yang lebih parah lagi kesalahanannya adalah mereka
yang membawa lafazh karohah atau la yanbaghi yang terdapat di dalam
Kalamullah atau Sunnah Rasulillah kepada makna istilahi baru ini...”
Perhatikan pula ucapan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217)
di bawah ini :
وأما الأيام المنهي عنها: فمنها أيضا متفق عليها منها مختلف فيها, أما المتفق عليها فيوم الفطر ويوم
الأضحى لثبوت النهي عن صيامها, وأما المختلف فيها فأيام التشريق ويوم الشك ويوم الجمعة ويوم
السبت والنصف الآخر من شعبان وصيام الدهر...
“Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang
masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri
dan Adhha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah
hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan
Sya’ban dan puasa Dahri…”
Beliau melanjutkan ucapannya (V/232),
وأما يوم السبت فالسبب في اختلافهم فيه: اختلافهم في تصحيح ما روي أنه عليه الصلاة والسلام, قال:
لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم...
“Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena
perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi
bahwasanya beliau bersabda : Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian…”
Ucapan beliau di atas adalah ucapan yang mutlak, bahwa puasa sunnah pada
hari Sabtu adalah termasuk hari yang diperselisihkan oleh para ulama. Adapun
membatasi perselisihannya hanya pada dua ujung saja, yaitu makruh dan
mubah, maka ini tentu saja pembatasan yang jauh dari yang dimaksud.
Bahkan yang lebih umum lagi dari hal ini adalah ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu sendiri, dimana beliau berkata dalam Iqtidha’ ash-
Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan
berpuasa pada hari Sabtu :
وقد اختلف الأصحاب وسائر العلماء فيه
“Para sahabat dan seluruh ulama telah berselisih pendapat tentangnya.”
Bagaimana bisa ucapan mutlak Syaikhul Islam di atas hanya dibatasi pada dua
macam perselisihan saja, yaitu hanya berujung pada makruh dan mubah?!!
Lebih jauh lagi, ulama kontemporer kita, sang faqih di zaman ini, Imam Ibnu
’Utsaimin rahimahullahu, beliau berkata di dalam Syarh Zadil Mustaqni’ :
وأما السبت فقيل إنه كالأربعاء والثلاثاء يباح صومه. وقيل إنه لا يجوز إلا في الفريضة. وقيل إنه يجوز
لكن بدون إفراد
“Adapun hari Sabtu, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya hari ini
seperti hari Rabu dan Selasa boleh berpuasa di dalamnya. Ada lagi yang
berpendapat, tidak boleh berpuasa di dalamnya kecuali hanya yang diwajibkan,
ada lagi yang berpendapat boleh selama tidak bersendirian.”
Perhatikan ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin ketika beliau menyebutkan pendapat
yang tidak memperbolehkan kecuali hanya puasa wajib. Ini menunjukkan bahwa
sang faqihuz zaman sendiri mengetahui bahwa khilaf di dalam masalah ini
mu’tabar.
Apabila ada yang berpendapat sebagaimana klaim Syaikh al-Utaibi
hafizhahullahu yang menyatakan ucapan Imam Ibnu Utsaimin di atas adalah
dimaksudkan untuk khilaf yang terjadi pada ulama kontemporer saja, maka
ucapan beliau tertolak. Syaikh Alu Thohir membantahnya dengan menyatakan
bahwa ucapan Imam Utsaimin ini mutlak dan tidak ada qoyyid yang
memaksudkan bahwa ucapan beliau hanyalah untuk khilaf ulama kontemporer
saja. Ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin di atas umum baik khilaf yang terjadi pada
mutaqoddimin maupun muta’akhkhirin.
Sebagai penerang bahwa maksud ucapan beliau ini umum bagi khilaf antara
ulama terdahulu maupun kontemporer adalah ucapan beliau rahimahullahu
ketka beliau ditanya mengenai hukum puasa sunnah dan wajib pada hari Sabtu
selain Ramadhan. Beliau menjawab :
لا بأس به وأن الحديث الوارد فيه حديث شاذ مخالف للأحاديث الصحيحة ومن شرط العمل بالحديث
أن لا يكون شاذًا لأن عدم الشذوذ شرط لصحة الحديث ولكونه حسنًا وما ليس بصحيح ولا حسن لا
يجوز العمل به وإلى هذا ذهب جماعة من العلماء السابقين والمعاصرين ومنهم من قال إن صومه لا يجوز
لأن النبي صلى الله عليه وسلم ى عن ذلك وقال : لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم
ومنهم من فصل أو فرق بين أن يصومه منفردًا أو يصوم يومًا قبله أو يومًا بعده وهذا هو المشهور من
مذهب الإمام أحمد ابن حنبل رحمه الله
“Tidak mengapa hukumnya dan hadits yang menjelaskan tentang larangan
haditnya syadz menyelisihi hadits-hadits yang shahih lainnya. Termasuk syarat
mengamalkan hadits adalah hadits tersebut haruslah tidak syadz karena
ketiadaan syadz merupakan syarat shahihnya sebuah hadits atau hasannya,
namun hadits ini tidak shahih dan tidak pula hasan dan tidak boleh
mengamalkannya. Kepada inilah mayoritas para ulama terdahulu dan
kontemporer berpendapat, namun diantara mereka ada yang berpendapat
tidak boleh (puasa hari Sabtu) karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang
diwajibkan atas kalian”, adapula diantara mereka yang memperinci dan
memilah-milah antara orang yang berpuasa hari Sabtu secara bersendirian
dengan yang menyertainya dengan puasa sehari sebelum atau setelahnya. Dan
pendapat inilah yang masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu.”
Perhatikan ucapan Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu yang bercetak tebal
“diantara mereka ada yang...”. setelah sebelumnya beliau menyebutkan
mayoritas ulama terdahulu dan kontemporer... maka, Imam Ibnu Utsaimin
sendiri menyatakan bahwa khilaf dalam masalah ini mu’tabar dan tidak hanya
berujung pada dua saja, yaitu makruh dan mubah sebagaimana didakwakan al-
Akh al-Ustadz Abu Ishaq, wallohu a’lam.
Taruhlah dakwaan al-Akh Abu Ishaq ini benar, hanya ada dua kesimpulan, yaitu
mubah dan makruh. Namun ada dua hal yang harus dijelaskan oleh beliau,
yaitu :
1. Bagaimana dan dengan argumentasi seperti apakah, makna nahyu
dalam hadits Alu Busr yang tegas dan memiliki tasydid untuk berbuka
dengan kulit dan ranting pohon berubah menjadi mubah?!! Padahal
pemalingan nahyu itu paling banter seringkali hanya berpindah pada
karohah tanzih saja, dan itupun butuh qorinah yang kuat. Sekarang
bagaimana bisa nahyu yang jazm lagi qoth’i ini berubah menjadi mubah
(boleh dilakukan atau ditinggalkan) padahal telah jelas bahwa hadits Alu
Busr ini hadits yang shahih dan telah dimaklumi bahwa hadits shahih itu
hujjah binafsihi.
2. Bagaimana beliau bisa dengan yakin menempatkan semua kata karohah
pada ucapan para ulama yang didakwakannya semua telah mudawwan
dan jelas dan ternukil dengan sempurna sampai abad XX, seluruhnya
bermakna karohah tanzih.
Apabila beliau bisa menjelaskan kedua hal ini dengan jelas, ilmiah, terperinci
dan disertai dengan nukilan ulama, maka niscaya sangat mungkin bagi saya
meninggalkan pendapat yang sekarang saya pegang ini.
Tanggapan 3 : Pendapat tahrim adalah pendapat tidak dikenal sama sekali
sebelum abad 20.
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : “Penghukuman haram berpuasa sunnah
pada hari sabtu dengan semata bersandar pada zhahir lafazh adalah tidak
pernah dikenal sama sekali sebelum abad 20 bahkan di kalangan madzab
zhahiri sekalipun! Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka
yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali
sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14
abad lamanya. Kitab-kitab dirayah hadits dan fiqih sudah mudawwan, aqwal
ulama sudah jelas tertulis dan sempurna diwariskan, maka siapakah atau
dimanakah anda jumpai pendahulu anda yang mengatakan bahwa larangan ini
bermakna haram?
Bahkan mereka yang menolak hadits ini semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qayyim pun berujung pada kesimpulan yang sama –‘ala fardhi sihhatihi- dengan
para ulama lain yang menerima hadits ini.”
Al-Akh Abu Ishaq juga berkata : “Berpulang pada hadits yang sama, muncul
kemudian pendapat ketiga tentu dengan kesimpulan yang berbeda, yaitu haram.
Argumentasi yang digunakan hanya 2 macam: pertama zhahir lafazh,
kedua jama’ dengan hadits lain yang ternyata pada kenyataannya adalah
tarjih. Menariknya, argumentasi ini juga dipakai oleh sebagian ulama jaman
dahulu semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, tapi kesimpulannya berbeda,
mereka menolak hadits ini karena tidak mungkin dijama’ dan tidak berterima
juga jika diunggulkan dalam tarjih, namun ‘ala fardhi sihhatihi mereka berujung
pada salah satu dari dua kesimpulan yang ada, yaitu makruh. Semuanya
selaras dengan apa yang ternukil secara sempurna sampai abad 20 tiba.”
Jawab :
Pandangan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas perlu ditelaah kembali.
Mengklaim bahwa pendapat tahrim dalam puasa sunnah pada hari Sabtu
sebagai pendapat pendapat baru (muhdats) yang tidak dikenal setelah abad ke-
20 adalah suatu klaim yang menurut saya terlalu jauh dan berlebihan. Bahkan
konsekuensi dari ucapan ini seakan-akan menyatakan bahwa pendapat yang
diperpegangi oleh Imam al-Albani ini adalah pendapat yang muhdats, hal ini
tersirat dalam ucapan beliau :
“Nah, satu hal yang saya kira kita sepakat, apabila sampai kepada kita
bahwa sedari dulu hingga kini para ulama terbagi ke dalam dua
pendapat, maka tidak boleh bagi kita mendatangkan pendapat ketiga.
Dalilnya adalah hadits yang penggalannya digunakan oleh Al-Akh Abu
Salma sebagai header blognya, yaitu:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة
“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang berada di
atas kebenaran sampai datang hari kiamat.” (Ash-Shahihah No. 270)
Ini berarti kebenaran ada diantara salah satu dari dua pendapat
tersebut sepanjang masa. Jika kemudian muncul pendapat ketiga,
maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang
berarti hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini
berarti tidak ada kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang
kosong dari mereka yang tegak di atas kebenaran. Atau pendapat
ketiga itulah yang salah sejak awalnya, dan ini tentunya yang lebih
berterima. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.”
Saya berkata : Syaikhuna Salim bin Ied al-Hilali di dalam Dauroh 1427 silam di
Ciloto Bogor, ketika membahas mengenai ilmu tafsir pada hari terakhir, beliau
sempat menjelaskan tentang masalah khilaf. Apabila khilaf yang warid dari salaf
hanya dua pendapat saja, kemudian datang orang belakangan membawa pendapat
baru, maka pendapat yang baru ini adalah pendapat bid’ah!!! Menilik ucapan al-
Akh al-Ustadz Abu Ishaq yang mengatakan “Jika kemudian muncul pendapat
ketiga, maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang berarti
hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini berarti tidak ada
kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang kosong dari mereka yang tegak di
atas kebenaran” menunjukkan bahwa al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq memahami
bahwa pendapat tahrim yang diperpegangi Imam al-Albani ini adalah pendapat
muhdats yang beliau adakan pada abad ke-20 ini tanpa ada salaf sebelumnya.
Padahal pada risalah saya bagian pertama dan tiga telah saya singung jawabannya
sekilas masalah ini.
Saya benar-benar harus mengernyitkan dahi ketika membaca ucapan al-Akh al-
Ustadz Abu Ishaq ini. Apabila benar dakwaan beliau ini maka mau tidak mau kita
harus mengatakan bahwa Imam al-Albani dan orang-orang yang merajihkan
pendapat beliau berarti telah jatuh kepada suatu pendapat bid’ah –walau tidak
semua orang yang teratuh kepada kebid’ahan otomatis menjadi ahlu bid’ah-. Ini
konsekuensi dari ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas walaupun beliau tidak
menegaskan hal ini.
Padahal, saya belum menemukan dakwaan sebagaimana yang didakwakan oleh
al-Ustadz Abu Ishaq ini dari para ulama yang memperbolehkan berpuasa sunnah
hari Sabtu, yang menulis artikel-artikel seputar masalah ini yang turut membantah
pendapat tahrim ini. Mungkin bisa saya katakan bahwa, Allohu a’lam, bahwa al-Akh
Abu Ishaqlah orang yang pertama, atau orang yang secara tegas menyatakan
bahwa “Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka yang
sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali
sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14
abad lamanya”!!!
Baiklah, barokallohu fikum ya ustadz atas ta’qib antum yang berat dan sulit dijawab
ini. Namun insya Alloh, saya akan berupaya menjawabnya dengan memaparkan
pandangan para ulama di dalam masalah ini.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di dalam Iqtidha’ ash-
Shirathal Mustaqim (II/572) :
ولا يقال: يحمل النهي على إفراده: لأنَّ لفظه "لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم" والاستثناء
دليل التناول، وهذا يقتضي أنَّ الحديث يعم صومه على كل وجه؛ وإلا لو أريد إفراده لما دخل الصوم
المفروض ليستثنى فإنه لا إفراد فيه، فاستثناؤه دليل على دخول غيره، بخلاف يوم الجمعة فإنه بين أنه إنما
ى عن إفراده، وعلى هذا: فيكون الحديث إما شاذًا غير محفوظ، وإما منسوخًا…
“(Hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu) tidak boleh diartikan dengan
larangan apabila bersendirian, karena lafazh hadits itu berbunyi : “Janganlah
kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian.”
Sedangkan istitsna` (pengecualian) itu adalah dalil tanawul (yang mencakup
semuanya selain yang dikecualikan, pent.), maka hadits tersebut mencakup
segala bentuk puasa (yang diwajibkan). Apabila tidak demikian dan apabila
larangan yang dimaksud adalah larangan secara bensendirian (tidak digandeng
dengan hari sebelum dan setelahnya, pent.), tentu (nabi) tidak akan menyebutkan
puasa yang wajib sebagai pengecualiannya. Karena tidak mengandung makna
bersendirian maka pengecualian dalam hadits ini merupakan dalil masuknya
segala hal yang tidak dikecualikan. Berbeda dengan hadits berpuasa pada hari
Jum’at yang Rasulullah menjelaskan larangannya jika dikerjakan dengan
bersendirian. Oleh karena itulah hadits ini bisa jadi syadz atau ghoiru mahfuzh
(tidak shahih), atau bisa jadi juga mansukh...”
Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Hasyiah ‘ala Tahdzibis
Sunan (VII/50) :
قوله في الحديث: "لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم" دليل على: المنع من صومه في غير
الفرض مفردًا أو مضافًا؛ لأنَّ الاستثناء دليل التناول، وهو يقتضي: أنَّ النهي عنه يتناول كل صور صومه
إلا صورة الفرض، ولو كان إنما يتناول صورة الإفراد؛ لقال: "لا تصوموا يوم السبت إلا أن تصوموا يومًا
قبله أو يومًا بعده" كما قال في الجمعة!! ...وقد ثبت صوم يوم السبت مع غيره بما تقدم من الأحاديث
وغيرها؛ كقوله في يوم الجمعة "إلا أن تصوموا يومًا قبله أو يومًا بعده" فدلَّ على أنَّ الحديث غير محفوظ
وأنه شاذ!!
Sabda beliau di dalam hadits : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu
melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian” merupakan dalil petunjuk atas
larangan berpuasa yang bukan wajib di hari Sabtu baik secara bersendirian
maupun bergandengan (dengan hari lain). Karena istitsna` itu merupakan dalil
tanawul, dan dalil tanawul ini menghukumi bahwa larangan puasa hari Sabtu itu
mencakup semua bentuk puasa kecuali hanya puasa yang wajib saja. Kalau ia
juga mencakup bentuk puasa secara bersendirian, maka niscaya Rasulullah
bersabda : ”Janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali diikuti oleh berpuasa
sehari sebelum dan setelahnya” sebagaimana sabda beliau tentang puasa hari
Jum’at!!... Namun telah tetap adanya puasa pada hari Sabtu yang disertai hari
lainnya sebagaimana telah berlalu penyebutan hadits-haditsnya, seperti sabda
Nabi tentang puasa hari Jum’at : “kecuali puasa yang diikuti oleh berpuasa
sehari sebelum dan setelahnya.” Hal ini menunjukkan bahwa hadits (larangan)
ini ghoiru mahfuzh dan haditsnya syadz...”
Dari paparan kedua imam di atas kita dapat beristifadah darinya :
1. Dari zhahir hadits menunjukkan akan larangan, karena Syaikhul Islam dan
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu menyebutkan kata larangan dengan
shighat umum, sedangkan telah ma’ruf bahwa larangan itu littahrim.
2. Keduanya berpendapat bahwa istitsna` dalam hadits ini mencakup semua
bentuk puasa kecuali yang wajib.
3. Keduanya berpendapat bahwa zhahir hadits menunjukkan larangan
berpuasa pada hari Sabtu baik secara bersendirian maupun secara
bergandengan dengan hari-hari lain. Bahkan keduanya membantah
pendapat yang menyatakan larangan hanya untuk bersendirian saja.
4. Keduanya menghukumi hadits larangan ini ghoiru mahfuzh, syadz dan atau
mansukh.
Syaikh ‘Ali Hasan dan Syaikh Ro`id Alu Thohir menyatakan bahwa kedua imam
ini ‘ala fardhi shihhati hadits tentulah akan berpegang pada zhahir hadits
larangan, namun mereka menghukumi hadits ini sebagai syadz dan ghoiru
mahfuzh. Telah lewat pembahasannya bahwa hadits ini shahih dalam artikel
“Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”. Dakwaan Syadz terhadap hadits ini
telah dijawab oleh al-Imam al-Albani dan Syaikh ‘Ali Hasan dan selain mereka
berdua. Sedangkan hadits shahih itu hujjah binafsihi, tidak membutuhkan
adanya seorang imam yang mengamalkannya agar bisa dijadikan hujjah atau
diamalkan. Dan ini adalah kaidah yang telah ma’ruf di kalangan ahli hadits.
Jadi, letak perbedaannya adalah : Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim meng’ilal
(mencacat) hadits larangan dengan syadz dan ghoiru mahfuzh, dan hadits
syadz itu merupakan bagian dari hadits dha’if, sedangkan Imam al-Albani yang
telah mengumpulkan thuruqul haditsnya, meyakini akan keshahihan hadits ini,
dan beliau tidak menjama’ hadits larangan ini dikarenakan apabila dijama’ akan
berbuntut pada ditelantarkannya makna istitsna´ dan tasydidun nahyi dalam
larangan ini, sehingga seakan-akan sabda Nabi tersebut menjadi tidak
bermakna.
Apabila dikatakan : “Siapakah salaf Imam al-Albani di dalam masalah tahrim
ini? Bukankah para salaf yang berbeda dalam masalah ini hanya berujung pada
dua kesimpulan saja, yaitu makruh dan mubah?”
Maka saya jawab, hal ini telah berlalu penjelasannya pada risalah bagian ketiga,
yaitu para imam yang menyebutkan tentang adanya perselisihan ini, semisal
Imam ath-Thohawi, Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah rahimahumullahu
menyebutkan akan adanya khilaf di dalam masalah ini secara umum dan tidak
membatasi hanya pada dua kesimpulan makruh dan mubah. Juga telah dijawab
bahwa tidak selamanya makna makruh itu adalah littanzih, karena seringkali
para salaf memahami kata karohah itu sebagai tahrim. Jadi kesimpulannya,
tidak dapat dibatasi bahwa para salaf berselisih di dalam masalah ini hanya
berujung pada dua kesimpulan yaitu makruh (lit tanzih) dan mubah saja.
Apabila dikatakan : “Bisakah anda sebutkan siapa salaf yang mentahrim
puasa sunnah pada hari Sabtu?”
Maka saya jawab, dari nukilan terdahulu terutama pada risalah saya yang ketiga
telah jelas, bahwa khilaf di dalam masalah ini telah mu’tabar dan tidak hanya
berujung pada dua kesimpulan makruh tanzih dan mubah. Namun sangat
mungkin adanya para salaf yang menghukumi keharamannya. Menyebutkan
orang perorang, fulan dan fulan bukanlah hal yang dituju di dalam hal ini, namun
cukuplah bahwa ada khilafiyah dalam masalah ini baik semenjak dahulu sampai
sekarang. Yang menjadi hujjah bagi kita bukanlah ucapan-ucapan fulan dan
fulan dari salaf atau kholaf, namun yang menjadi hujjah adalah dalil-dalil dari
hadits Nabi.
Bukankah pendapat Syaikhul Islam dan Imam Ibnul Qoyyim rahimahumallohu di
atas apabila mereka tidak mencacat haditsnya niscaya mereka akan berpegang
pada zhahir hadits yaitu larangan? Bahkan lebih jauh lagi, hadits Nabi yang
shahih itu adalah hujjah binafsihi (hujjah dengan sendirinya dari dzatnya), tidak
membutuhkan adanya seorang imam yang mengamalkannya.
Imam al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah
:
لا يضر الحديث ولا يمنع العمل به عدم العلم بمن قال به من الفقهاء ، لأن عدم الوجدان لا يدل على
عدم الوجود
“Tidaklah menjadikan suatu hadits itu cacat dan tidaklah mencegah untuk
mengamalkannya ketidaktahuan kita akan siapa dari kalangan fuqoha’ yang
berpendapat dengannya, karena ketiadaan akan orang yang berpegang
dengannya tidak otomotis menunjukkan akan ketiadaan hadits tersebut.”
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata pula di dalam I’lamul Muwaqqi’in :
إذا كان عند الرجل الصحيحان أو أحدهما أو كتاب من سنن رسول الله صلَّى اللَّه عَليهِ و سلَّ م موثوق بما
فيه فهل له أن يفتي بما يجده ؟، فقالت طائفة من المتأخرين : ليس له ذلك لأنه قد يكون منسوخًا أو له
معارض أو يفهم من دلالته خلاف ما دل عليه فلا يجوز له العمل ولا الفتيا به حتى يسأل أهل الفقه
والفتيا . وقالت طائفة بل له أن يعمل به ويفتي به بل يتعين عليه كما كان الصحابة يفعلون إذا بلغهم
الحديث عن رسول الله صلَّى اللَّه عَليهِ و سلَّ م وحدث به بعضهم بعضًا بادروا إلى العمل به من غير توقف
ولا بحث عن معارض ولا يقول أحد منهم قط : هل عمل ذا فلان وفلان ، ولو رأوا من يقول ذلك
لأنكروا عليه أشد الإنكار وكذلك التابعون وهذا معلوم بالضرورة لمن له أدنى خبرة بحال القوم وسيرم
وطول العهد بالسنة ، ... ولو كانت سنن رسول الله صلَّى اللَّه عَليهِ و سلَّ م لا يسوغ العمل ا بعد
صحتها حتى يعمل ا فلان أو فلان لكان قول فلان أو فلان عيارًا على السنن ، ومزكيا لها ، وشرطًا في
العمل ا ، وهذا من أبطل الباطل وقد أقام الله الحجة برسوله دون آحاد الأمة وقد أمر النبي صلَّى اللَّه
عَليهِ و سلَّ م بتبليغ سنته ودعا لمن بلَّغها ، فلو كان من بلغته لا يعمل ا حتى يعمل ا الإمام فلان والإمام
فلان لم يكن في تبليغها فائدة وحصل الاكتفاء بقول فلان وفلان
“Apabila ada pada seseorang suatu hadits shahihain, atau hadits salah satu dari
shahihain (yaitu diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Muslim saja, pent.) atau
dari kitab Sunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah tetap
keshahihannya, apakah ia boleh dengan serta merta menfatwakan hadits yang
ia peroleh? Sekelompok ulama kontemprer berpendapat tidak boleh langsung
menerimanya, karena bisa jadi hadits itu mansukh atau ada hadits
pengkontradiksinya, atau difahami dari penunjuk hadits menyelisihi dengan apa
yang dimaksud oleh hadits itu, maka tidak boleh mengamalkannya dan
menfatwakannya sampai ditanyakan kepada ahli fikih dan ahli fatwa.
Sekelompok ulama lainnya berpendapat : Bahkan wajib atasnya
mengamalkannya dan berfatwa dengannya, bahkan wajib atasnya menta’yinnya
sebagaimana para sahabat mengamalkan hadits apabila telah sampai kepada
mereka suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mereka
sampaikan kepada satu dengan lainnya dan mereka bersegera untuk
mengamalkannya tanpa bertawaquf (mendiamkannya) dulu, atau mencari dulu
dalil yang kontradiksi dengannya. Bahkan tidak ada satupun diantara mereka
yang mengatakan : “apakah Fulan dan Fulan mengamalkannya?”, apabila
mereka melihat ada orang yang berkata seperti ini maka mereka akan ingkari
mereka dengan pengingkaran yang amat sangat, demikian pula dengan para
Tabi’in. Hal ini adalah suatu hal yang telah ma’lum bidh dharurah bagi mereka
yang mengetahui sedikit saja keadaan dan sejarah para sahabat dan tabi’in dan
masa interaksi mereka yang panjang dengan sunnah... Seandainya sunnahsunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak diperbolehkan
mengamalkannya walaupun shahih sampai diamalkan oleh Fulan dan Fulan,
maka niscaya ucapan Fulan dan Fulan merupakan cela bagi sunnah,
pensucinya dan syarat untuk mengamalkannya, dan ini merupakan kebatilan
yang paling batil padahal Alloh menegakkan hujjah dengan Rasul-Nya bukan
dengan orang perorang dari umat ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah
memerintahkan untuk menyampaikan sunnahnya dan menyeru bagi yang
menyampaikannya, sekiranya tidak perlu menyampaikanya sampai imam Fulan
dan Fulan mengamalkannya, maka niscaya tidak ada faidahnya menyampaikan
hadits dan cukuplah dengan ucapan Fulan dan Fulan.”
Penjelasan para imam di atas menunjukkan bahwa hadits itu hujjah binafsihi
tidak membutuhkan amalan seorang imam baik salaf maupun kholaf yang
mengamalkannya untuk bisa menjadikannya sebagai hujjah atau bisa
diamalkan. Bahkan ini lebih tinggi daripada mempertanyakan “siapa salaf anda”,
karena yang diterima dan diambil di sini adalah ucapan para imamnya dan
penghulu salaf, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri.
Keshahihan suatu hadits baik sanad dan matan menunjukkan secara yakin
bahwa hadits itu adalah benar-benar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam yang mana Rasulullah menyabdakannya dengan Bahasa Arab yang
fasih, yang bisa difahami secara mudah baik oleh orang awam maupun alimnya,
yang sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah jawami’ul kalim, dan
semua ucapan beliau membuahkan faidah dan tidak ada yang sia-sia.
Sebagai tambahan pula, bisa dikatakan bahwa salaf kita di dalam masalah ini
adalah para sahabat yang meriwayatkan hadits ini. Karena tidaklah mungkin
para sahabat –yang telah jelas akan keshahihan sanadnya- ketika
meriwayatkan sebuah hadits, mereka tidak mengamalkan hadits tersebut.
Karena apabila tidak maka ini tentu saja merupakan celaan. Para sahabat yang
menjadi salaf kita dalam masalah ini adalah ‘Abdullah bin Busr, saudari beliau
Shamma’ binti Busr, dan bapak keduanya Busr bin Abu Busr al-Mazini serta
Abu ‘Umamah al-Bahili Shuday bin ‘Ajlan radhiyallahu ‘anhum.
Lebih kuatnya lagi, adalah sebuah riwayat berikut : Diriwayatkan oleh Nasa’i di
dalam al-Kubro (55/a/12) sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (IV/294-
no.5195) dari Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad [beliau adalah Abu ‘Abdil Malik
al-Qurosyi al-Busri] dari Ishaq bin Ibrahim [beliau adalah Abun Nashri al-
Faradisi] dari Abu Muthi’ Mu’awiyah bin Yahya : memberitakan padaku Arthah
beliau berkata : Aku mendengar Abu ‘Amir al-Alhani [beliau adalah ‘Abdullah bin
Ghobir] berkata : Aku mendengar Tsauban maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ditanya tentang berpuasa pada hari Sabtu dan beliau menjawab :
Tanyakan pada ‘Abdullah bin Busr, kemudian ‘Abdullah bin Busr ditanya tentang
hal ini lalu beliau menjawab :
صيام يوم السبت لا لك ولا عليك
“Berpuasa pada hari Sabtu itu, tidak ada bagimu dan tidak wajib atasmu.”
Ucapan ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu “Laa laka wa ‘alaika” tidak
bermaksud pembolehan, oleh karena itulah Imam Nasa’i meletakkan atsar
mauquf ini di dalam bab : “an-Nayhu ‘an Yaumis Sabti”.
Dan lafazh “laa laka wa ‘alayka” ini serupa dengan lafazh hadits :
م ن صام الدهر فلا صام ولا أفطر
“Barangsiapa yang berpuasa dahr (selamanya) maka tidak (dianggap) berpuasa
dan tidak pula berbuka.” Padahal telah maklum bahwa puasa dahr itu hukumnya
terlarang.
Jadi, bukanlah suatu hal yang mengada-ada apabila kami mengatakan bahwa
Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Busr adalah salaf kami di dalam masalah ini.
Jadi, menyatakan bahwa kami tidak punya salaf di dalam masalah ini adalah
pendapat yang tidak tepat dan berangkat dari minimnya penelaahan dan
pembahasan serta terlalu tergesa-gesa di dalam menghukumi sesuatu.
Jika dikatakan : “Kitab-kitab para ulama telah mudawwan dan tidak
ditemukan satupun dari mereka yang menyebutkan nama ulama salaf yang
memahami larangan di sini sebagai tahrim.”
Maka saya jawab, dikarenakan kitab-kitab para ulama telah mudawan-lah
akhirnya para ulama hadits belakangan dapat dengan lebih mudah mengecek
jalur-jalur periwayatan hadits sehingga semakin memperjelas rantai sanad
periwayatan, apakah kuat ataukah tidak. Sehingga apabila telah tampak suatu
hadits itu shahih, maka hadits itu akan menjadi hujjah binafsihi tidak
memerlukan seorang imam untuk mengamalkannya supaya ia bisa menjadi
hujjah untuk diamalkan. Dari kitab-kitab para ulama yang mudawan-lah akhirnya
dapat ditelaah ucapan-ucapan para imam terdahulu di dalam masalah ini,
sehingga tampaklah bahwa mereka mayoritas menganggap larangan di sini
bersifat makruh karena mereka mencacat hadits Alu Busr ini, imma sebagai
hadits kidzb, mansukh, syadz, mudhtarib, ghoiru mahfuzh, atau bentuk
pencatatan lainnya. Karena pengilallan inilah akhirnya mereka melakukan tarjih :
al-Ashoh muqoddamun ‘ala ash-Shahih (yang lebih shahih lebih didahulukan
ketimbang yang shahih) dan suatu hadits yang shahih yang menyelisihi hadits
yang lebih shahih darinya maka hadits tersebut dianggap syadz. Oleh karena
itulah banyak para imam terdahulu melemahkan hadits ini sehingga mereka
sampai kepada kesimpulan mubah.
Kemudian, mengetahui nama-nama imam tertentu yang memahami larangan di
sini sebagai tahrim bukanlah suatu hal yang dapat merubah hakikat bahwa
masalah ini telah tsabat khilaf di dalamnya –sebagaimana penjelasan yang telah
lalu-. Mengetahui nama-nama imam tertentu bukanlah merupakan pokok yang
dikehendaki, namun mengetahui bahwa masalah ini adalah masalah khilaf yang
telah tsabat terjadi semenjak salaf hingga kholaf itulah yang dituju. Tidak wajib
atas kita mengetahui nama-nama imam yang berpendapat demikian, namun
yang penting adalah adanya ulama salaf yang berpendapat dengan pendapat
ini, dan inilah yang dituju walaupun tidak ada para ulama yang menyebutkan
namanya. Terlebih, para imam salaf sendiri mereka semua telah bersepakat,
bahwa ‘in shohhal hadits fahuwa madzhabiy’ (apabila telah shahih sebuah
hadits maka itu adalah madzhabku). Dengan demikian, mengklaim bahwa
pendapat tahrim adalah pendapat yang diada-adakan semenjak abad XX dan
tidak dikenal sebelumnya, adalah tuduhan yang terlalu berlebihan kiranya dan
tidak tepat. Kiranya ucapan Syaikh Ali lebih layak untuk mensifati tuduhan ini
sebagai, ucapan yang berangkat dari minimnya penelaahan dan kurangnya
pemahaman. Allohu a’lam bish showab.
Tanggapan 4 : Makruh tanzih atau makruh haram?
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Jika dikatakan, bukankah para ulama
jaman dahulu ketika mengatakan makruh maknanya adalah haram?
Pertama, perkataan ini perlu dikaji kembali. Mereka yang menghukumi makruh,
dalam sebagian kondisi juga menggunakan kata makruh untuk makna tanzih.
Jadi tidak mutlak kata makruh yang mereka gunakan harus bermakna haram.
Kedua, mereka yang mengatakan makruh, berujung pada kesimpulan seperti ini
dengan alasan jama’ yang sebenarnya dengan semua hadits yang ada, ini
semakin membuktikan bahwa yang dimaksud dengan makruh di sana bukanlah
haram. Lain halnya dengan mereka yang berpendapat haram, jama’ yang
mereka lakukan pada hakekatnya adalah tarjih, sebab kaedah yang
digunakan adalah kaedah tarjih bukan kaedah jama’. Sehingga klaim bahwa
kata makruh yang digunakan para ulama jaman dahulu sebagai haram di sini
adalah tidak berterima. Suatu usaha yang bagus untuk mencari pendahulu
(salaf) namun sayang dimulai dengan jalan atau cara yang berbeda dengan
mereka.”
Jawab :
Tidak dipungkiri, bahwa ketika para ulama salaf mengatakan kata makruh, maka
bisa jadi ia bermaksud haram (dan ini adalah asal) dan bisa jadi ia bermaksud lit
tanzih (ini adalah pemalingan dari asal yang memerlukan qorinah). Apabila kita
menelaah ucapan para Imam dalam masalah ini, tidak dipungkiri ada yang
memaksudkannya sebagai tanzih dan adapula yang memaksudkannya sebagai
tahrim. Adapun nukilan dari Imam ath-Thohawi telah berlalu penjelasannya
pada risalah bagian ketiga, yaitu yang lebih tepat kata karohah yang beliau
maksudkan adalah lit tahrim. Demikianlah yang dijelaskan oleh Syaikh Ro`id Alu
Thohir, Syaikh Abu Hisamuddin ath-Thorfawi, Syaikh Abu Abdillah Luqman al-
Ajurri, Syaikh Abul Baro’ ‘Ali Ridho, dll hafizhahumullahu. Bahkan, Syaikhuna
‘Ali Hasan al-Halabi menukilkan riwayat ath-Thahawi, Ibnu Rusyd dan Syaikhul
Islam, tanpa mengomentari kata karohah yang beliau nukil. Hal ini seakan-akan
menunjukkan bahwa beliau ketika menukilkannya faham bahwa thullabul ilmi
atau ahli ilmi yang membaca ulasannya memahami bahwa maksud karohah
dalam nukilan tersebut maknanya adalah lit tahrim. Allohu a’lam.
Tanggapan 5 : Al-Jam’u Muqoddamun ‘alat Tarjih
Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Alasan jama’ dengan menggunakan
kaedah al-qaulu muqaddamun ‘ala al-fi’lu serta al-hazhiru muqaddamun ‘ala almubihu
adalah keliru. Kedua kaedah yang digunakan adalah kaedah tarjih
bukan kaedah jama’. Silakan lihat di Syarhu Al-Kaukab Al-Munir (4/617).
Hanya dua pilihan, ganti kata jama’ dengan kata tarjih yang berarti sejak awal
sudah berfikir adu unggul yang berarti hadits-hadits lain harus gugur, diabaikan,
dan tidak diamalkan. Dan tentu ini bertentangan dengan apa yang ditetapi oleh
salafus shalih bahwa selagi masih bisa diusahakan jama’ maka jangan ditarjih.
Al-Imam Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (276) mengatakan: “Dan diantara
syarat tarjih yang harus jelas terpenuhi adalah apabila sudah tidak
dimungkinkan lagi dilakukan jama’ diantara dua hal yang kontradiksi tentunya
dengan cara yang berterima. Apabila jama’ ini masih dimungkinkan maka inilah
yang harus dilakukan dan tidak boleh sama sekali menerapkan tarjih.”
Jawab :
Tidak dipungkiri, memang secara asal al-Jam’u muqoddamun ‘alat Tarjih.
Namun telah kita fahami pula bahwa tidak semua dalil yang diduga
bertentangan maka bisa dijama’. Suatu hal yang telah ma’ruf –sebagaimana di
dalam nukilan masalah ini pada risalah ke-3, bahwa para ulama terkadang
berbeda di dalam memandang kondisi dimungkinkannya jama’.
Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal.
45) menjelaskan : “Anda dapatkan bahwa ada sebagian ulama
mengkompromikan antara kedua dalil (yang kontradiktif) dengan begitu mudah
dan terangnya. Anda temukan ada sebagian ulama tidak mampu
mengkompromikannya, dan ada juga dapat anda temukan ulama lainnya
mengkompromikan nushush (dalil-dalil) namun dengan cara yang memaksakan
diri jauh (dari hakikatnya). Yang demikian ini adalah dikarenakan ilmu dan
kefahaman yang dianugerahkan-Nya kepada seseorang (berbeda-beda
tingkatnya, -pent.).”
Sebagai contohnya adalah berikut, kita tentu masih ingat penjelasan Imam Ibnu
‘Utsaimin seputar masalah tarjih (sebagaimana di dalam risalah ke-3), dimana
beliau mencontohkan masalah pada bab tarjih ini adalah masalah “massu adzdzakar”
(menyentuh kemaluan). Ada dua hadits yang tampak saling kontradiktif
di dalam masalah ini, yaitu : sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia
berwudhu” (HR Abu Dawud (181), Turmudzi (82) dan Nasa’i (I/216) dari hadits
Busroh) dan hadits ketika Nabi ditanya oleh seorang lelaki yang memegang
dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab : “Tidak,
sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” (HR Ahmad dan selainnya).
Tidak asing bagi kita bahwa masalah menyentuh kemaluan ini apakah
membatalkan wudhu’ atau tidak merupakan masalah khilafiyah yang mu’tabar.
Para ulama di dalam masalah ini terbagi menjadi banyak pendapat,
diantaranya :
1. Mereka yang menyatakan bahwa kedua riwayat di atas bisa dijama’. Syaikh
Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullahu diantara yang berpendapat
bisanya kedua hadits di atas dijama’. Beliau berpendapat bahwa kedua
hadits di atas sama-sama kuat dan masih mungkin untuk dilakukan jama’
agar tidak menelantarkan salah satu hadits. Beliau pernah ditanya dengan
pertanyaan berikut : “Apakah menyentuh aurot itu membatalkan wudhu’?”
Lantas beliau menjawab :
“Terjadi khilaf (perselisihan) yang masyhur antara ahli ilmu (ulama) di dalam
masalah menyentuh aurot ini. Yang wajib adalah mengamalkan seluruh
dalil-dalil ini keseluruhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
TUVWXYZ [\ ذآ _` a` “Barangsiapa menyentuh aurotnya maka hendaknya ia
berwudhu” dan beliau juga pernah ditanya tentang menyentuh aurot, lantas
beliau menjawab : bc` defg h إ V ه k ه “Aurotmu itu tidak lain sama dengan
bagian tubuhmu yang lain”.
Syaikhul Islam dan jumhur ulama berpendapat bahwasanya apabila
seseorang menyentuh aurotnya yang merupakan bagian dari tubuh manusia
sebagaimana menyentuh tangan atau kakinya, maka ini merupakan
menyentuh tanpa diiringi syahwat dan apabila dimaksudkan menyentuh
bagian tersebut dengan sengaja maka dikatakan tidaklah ia melakukannya
melainkan karena syahwat, maka jumhur ulama menyelaraskan seluruh
dalil-dalil yang ada dan mengamalkan seluruhnya.
Mereka berpendapat : Menyentuh aurot dengan syahwat membatalkan
wudhu’ dan menyentuhnya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu’,
karena sabda Nabi ‘alaihi Sholatu wa Salam “Aurotmu itu tidak lain sama
dengan bagian tubuhmu yang lain”, merupakan isyarat menyentuh yang
tidak membatalkan apabila menyentuhnya sebagaimana menyentuh bagian
tubuh lainnya [yaitu tanpa diiringi syahwat, pent.]. (dari Mi`ah Fatawa Lifadhilatisy
Syaikh Masyhur, http://www.aqsasalafi.com, Markaz lit tahmil (Download Center), Ruknul
Masya`ikh asy-Syaam)
2. Ada juga yang menjama’, apabila menyentuh langsung tanpa suatu alas
atau lapisan maka batal wudhu’nya, namun apabila tidak menyentuh
langsung, misalnya dilapisi kain atau semisalnya, maka wudhu’nya tidak
batal.
3. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’
dengan alasan hadits yang menyatakan kemaluan hanyalah bagian dari
tubuh kalian telah mansukh.
4. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan tidak membatalkan
wudhu’ dengan alasan hadits yang memerintahkan untuk wudhu’lah yang
mansukh.
5. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’
dengan lebih merajihkan hadits perintah untuk wudhu’. Sebagaimana contoh
yang disebutkan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam buku
beliau Syarhul Ushul. Beliau merajihkannya dengan alasan : lebih berhatihati,
yang menshahihkannya lebih banyak, lebih banyak jalur
periwayatannya dan naqil ‘anil ashli (berpindah dari asalnya).
Nah, dalam masalah ini para ulama sendiri telah berbeda pendapat, diantara
yang menjama’, memansukh ataupun merajihkan. Hal ini semua karena
pandangan dan analisa yang berbeda-beda antara ulama satu dengan lainnya.
Sebenarnya ada beberapa syarat yang juga perlu dipenuhi agar jama’ bisa
ditegakkan dan diterapkan, diantaranya :
1. Jama’ tidak bisa diterapkan apabila salah satu dalilnya tidak tsabat atau
dha’if sanadnya.
2. Jama’ bisa dilakukan apabila kedua dalil dianggap sama-sama kuat baik
sanad maupun dilalah matannya.
3. Jama’ tidak boleh dilakukan dengan penakwilan yang jauh dari
hakikatnya, dengan takalluf dan ta’assuf.
4. Jama’ bisa dilakukan apabila memungkinkan mengamalkan kedua dalil
yang dianggap kontradiktif dan tidak menelantarkan salah satu dari
keduanya, karena inilah maksud dilakukannya jama’, yaitu i’malud
dalilaian wa tarku min ihmali ahadihim (mengamalkan semua dalil dan
menghindarkan ditelantarkan salah satu dari kedua dalil tersebut,)
Demikianlah diantara syarat-syarat untuk bisa menerapkan jama’, apabila tidak
dapat maka tahapan berikutnya-lah yang ditempuh.
Imam al-Albani rahimahullahu dan yang mendukung pendapat beliau,
berpandangan bahwa hadits Alu Busr tidak dapat dikompromikan (jama’)
dengan hadits-hadits yang dihadapkan padanya dengan beberapa alasan.
Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadits pengkontradiksi terjelas yang dihadapkan kepada hadits Alu
Busr, sebenarnya adalah hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah, karena
kedua hadits ini membicarakan puasa hari Sabtu secara langsung. Adapun
hadits Juwiriyah, Abu Hurairoh dan selainnya, maka bukanlah hadits yang
menjelaskan secara langsung puasa hari Sabtu. Padahal, sebagaimana telah
disebutkan pada risalah sebelumnya, hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah
ini adalah hadits yang tidak cukup kuat untuk dijadikan pengkontradiksi, karena
sanadnya lemah dan bermasalah. Sehingga jama’ dengan kedua hadits ini tidak
dapat diterapkan. Berbeda dengan para ulama yang memperbolehkan puasa
sunnah hari Sabtu, mereka menjama’ dan mereka menganggap kedua hadits ini
shahih, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Kedua : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan
hadits-hadits nafilah (semisal hadits puasa Arafah, Asyura’, Dawud, Ayyamul
Baidh, dll) atau hadits Juwiriyah yang membicarakan larangan puasa hari
Jum’at, yang tidak secara tegas menyebutkan puasa hari Sabtu, namun
pemahaman yang diistinbathkan dari mafhum-nya, maka tidak cukup kuat untuk
dijadikan pengkontradiksi. Hal ini serupa dengan kejadian seorang isteri yang
berpuasa nafilah tanpa izin suaminya, atau seorang yang berpuasa sunnah
pada pertengahan Sya’ban yang bukan kebiasaannya, atau seorang yang
berpuasa sunnah (Senin Kamis atau Dawud) pada hari tasyriq, kenapa perkara
ini tidak dikontradiksikan dan dijama’ pula? Bukankah kedua keadaan ini sama
dalam hal larangan dan ketetapan?!
Larangannya yaitu sama-sama warid hadits yang melarang puasa pada hari
Sabtu (kecuali yang wajib) dengan adanya larangan wanita berpuasa (sunnah)
tanpa izin suaminya, atau larangan berpuasa (yang bukan kebiasaannya) pada
pertengahan Sya’ban, atau larangan puasa pada hari tasyriq. Ketetapannya
yaitu puasa nafilah itu besar pahalanya dan sunnah Nabi yang mulia yang
dianjurkan untuk diamalkan.
Lantas mengapa hanya larangan puasa hari Sabtu saja yang dikhususkan di
dalam jama’ dengan hadits-hadits yang dianggap kontradiksi, sedangkan
larangan yang lainnya tidak? Padahal larangan dan ketetapannya sama?
Kecuali, apabila anda menguatkan hadits Aisyah dan Ummu Salamah dan
meyakini akan ketsabatannya, maka tentu saja jama’ hadits Alu Busr dengan
kedua hadits ini dapat dilakukan.
Ketiga : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan
hadits-hadits nafilah merupakan ‘ainul munaqodhoh (pertentangan yang nyata)
terhadap manhaj jam’u, sebagaimana diutarakan oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-
Halabi hafizhahullahu : “Barangsiapa yang mengkontradiksikan hadits larangan
puasa sunnah pada hari Sabtu dengan hadits yang siyaq-nya menunjukkan
nafilah atau istihbab (sunnah) saja, maka ini adalah ‘ainul munaqodhoh
(penentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u (kompromi) dan inipun sangat
jauh (dari metode yang benar).” [Zahru Roudhi hal. 70]
Syaikh Abul Harits benar, karena siyaq pertentangan yang tidak sama kuat
tidaklah menunjukkan adanya kontradiksi di sana, sehingga perlu melakukan
jam’u di dalamnya.
Keempat : Jam’u yang memalingkan makna hadits Alu Busr kepada makna
larangan apabila dilakukan secara bersendirian, maka ini berarti membatalkan
istitna’ dalam hadits yang secara tegas hanya membatasi pada puasa yang
diwajibkan saja. Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa sabda Nabi yang
jawami’ul kalim itu tidaklah berfaidah atau sia-sia. Dan inilah yang Imam al-
Albani berusaha untuk menghindarkannya, sebagaimana argumentasi beliau di
dalam Hiwar al-Imam al-Albani ma’a al-‘Allamah al-‘Abbad haula Shiyami
Yaumis Sabti. Inilah yang mencegah untuk dilakukannya jam’u.
Kelima : Tidak semua pendapat yang menguatkan tahrim berpuasa sunnah
pada hari Sabtu berpegang pada kaidah tarjih, karena yang lebih awal daripada
itu adalah, membawa yang ‘am kepada yang khash, dan menurut Syaikh Abul
Harits, hadits Alu Busr ini tegas menunjukkan kekhususan dengan ta’yin
larangan hari Sabtu, sedangkan hadits Juwairiyah yang dihadapkan padanya
tidak demikian. Namun bersifat ‘am dan mukhoyar antara pengiringan dengan
hari Kamis atau Sabtu, dan ta’yinnya adalah Jum’at. Oleh karena itu : yang
khusus menetapkan yang umum. Allohu a’lam.
Keenam : Tidak mutlak bahwa tarjih di dalam hal ini otomatis menelantarkan
hadits-hadits nafilah lainnya atau hadits Juwairiyah. Bahkan hadits-hadits
tersebut bisa diamalkan kedua-duanya sebagiannya.
Sebagai contoh, apabila hari Asyura’ atau ‘Arofah jatuh pada hari Sabtu, maka
didahulukan larangan puasa sunnah hari Sabtu. Dalam hal ini ada dua faidah
yang didapatkan, yaitu kita insya Alloh akan mendapatkan pahala atas ketaatan
kita terhadap perintah Rasulullah yang melarang puasa sunnah pada hari Sabtu
dan kita juga insya Alloh akan mendapatkan pahala atas niat kita untuk
berpuasa pada hari ‘Arofah atau ‘Asyura’ tersebut. Demikianlah jam’u yang
dilakukan oleh ulama yang menguatkan larangan.
Contoh berikutnya, apabila seseorang biasa melakukan puasa Dawud, maka ia
bisa melakukan puasanya selain pada hari Sabtu, maka ia tetap dapat
melakukan puasanya dan mendapatkan pahala atasnya –insya Alloh- dan ia
juga akan mendapatkan pahala atas kehati-hatiannya terjatuh kepada larangan
Nabi berpuasa pada hari Sabtu. Allohu a’lam.
Contoh lagi, pendapat ini juga tidak menelantarkan hadits Juwairiyah
seluruhnya, karena seseorang yang hendak berpuasa pada hari Jum’at, maka ia
dapat mengiringinya dengan hari Kamis, sedangkan memilih antara hari Sabtu
dan Kamis adalah suatu hal yang mukhoyar (opsional), sedangkan tentu saja
yang sharih larangannya lebih didahulukan daripada kebolehan yang bersifat
opsional. Allohu a’lam.
Dengan demikian, diharapkan isykalat kita bisa sedikit terjawab walaupun tidak
sempurna dan semuanya bisa dijawab. Insya Alloh kita lanjutkan lagi pada
tanggapan berikutnya yang akan lebih menyempurnakan pembahasan.
Tanggapan 6 : Qiyas Dengan Tasmiyah Ketika Wudhu’
Al-Akh Al-Ustadz Abu Ishaq berkata :
“Pernah mendengar hadits:
لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه
“Tidak ada sholat jika tanpa wudhu, dan tidak ada wudhu jika tanpa
mengucapkan bismillah”?
Ditinjau dari sisi sanadnya, hadits ini juga ‘penuh masalah’ seperti halnya hadits
Abdullah bin Busr yang ‘penuh masalah.’
Analogi dengan kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada
zhahir hadits ini bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu?
Adakah ulama yang berpendapat demikian?
Bukankah mereka yang menerima keabsahan hadits ini tidak ada yang semata
bersandar pada zhahir lafazh yang begitu tegas dan lugasnya selugas redaksi
hadits Ibnu Busr, bahkan jauh lebih lugas dan berpendapat bahwa basmalah
merupakan syarat sahanya wudhu seperti halnya wudhu merupakan syarat
shanya sholat? Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini hanya
mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja?
Bukankah mereka yang berpendapat haramnya puasa hari sabtu dengan
berpegang pada zhahir hadits pun hanya mengatakan bahwa basmalah itu
wajib –dan ini juga tidak tepat-, serta tidak menghukumi sebagai syarat sah
wudhu’? (periksa Tamamul Minnah hlm. 89).
Akankah kita gunakan semua argument pihak yang mengatakan haram puasa
sunnah hari sabtu pada masalah pengucapan bismillah sebelum wudhu’?!
Zhahir hadits ini mengharuskan posisi basmalah terhadap wudhu sama dengan
posisi wudhu terhadap sholat, dengan dalil adanya wawu yang merupakan
dilalah iqtiran. Falyatafadhdhol untuk mendatangkan qaul ulama mana di mana
yang mengatakan bahwa basmalah merupakat syarat shah wudhu. “
Jawab :
Qiyas yang dihadapkan oleh al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq dalam hal ini –insya
Alloh- akan menjadi hujjah lana (yang memperkuat argumen kami) dan hujjah
‘alahi (yang melemahkan pendapat beliau). Saya katakan, dalam masalah
tasmiyah (mengucapkan basmalah) ketika akan wudhu’ ini, para ulama salaf
dan kholaf berbeda pendapat di dalamnya. Untuk itu mari kita telaah pandangan
para ulama tentangnya. Hal ini sekaligus dalil yang akan mematahkan klaim al-
Akh Abu Ishaq yang mengatakan “Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini
hanya mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja”,
padahal apabila kita menelaah uraian para ulama, maka akan jelaslah bahwa
para ulama sedari dulu ada yang menyatakan wajibnya tasmiyah ketika akan
wudhu’ bahkan menganggap wudhu’ tanpa tasmiyah tidak sah. Insya Alloh akan
saya turunkan sebagian penjelasannya.
Dikarenakan al-Akh Abu Ishaq menyarankan untuk memeriksa Tamamul
Minnah, maka kita telaah dulu Tamamul Minnah dan Fiqhus Sunnah lalu kita
lanjutkan dengan kitab-kitab fikih para ulama lainnya di dalam masalah ini.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu memasukkan tasmiyah sebagai sunnahsunnah
di dalam wudhu’, beliau berkata di dalam Fiqhus Sunnah, bab al-
Wudhu’, pada pembahasan Sunanul Wudhu’ (hal. 34) sebagai berikut :
“Sunanul Wudhu’ yaitu yang telah tsabat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam dari ucapan dan perkataan beliau yang tidak harus (dikerjakan) dan tidak
diingkari orang yang meninggalkannya. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
(1) Tasmiyah (mengucap basmalah) pada permulaan wudhu’. Hadits-hadits
yang datang di dalam tasmiyah ketika wudhu’ adalah hadits-hadits yang dha’if,
namun penghimpunan (banyaknya hadits tentang hal ini) menambah
kekuatannya yang menunjukkan bahwa hal ini memiliki asal...” [lihat Fiqhus
Sunnah, hal. 34].
Imam al-Albani rahimahullahu di dalam Tamamul Minnah mengomentari
sebagai berikut :
“Aku (Syaikh al-Albani) berkata : Lebih kuat lagi adalah hadits yang datang dari
Abu Hurairoh secara marfu’ dengan lafazh لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه
(yang artinya) “Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu’ dan tidak ada
wudhu’ bagi orang yang belum menyebut nama Alloh.” (Shohih Sunan Abi
Dawud no. 90). Apabila penulis (yaitu Syaikh Sayyid Sabiq, pent.) mengakui
bahwa hadits ini qowiy (kuat), maka seharusnya beliau berpendapat dengan
apa yang ditunjukkan oleh zhahir hadits, yaitu wajibnya tasmiyah, sedangkan
tidak ada dalil yang dapat menetapkan untuk keluar dari zhahir-nya dimana
perintah di dalamnya dibawa kepada istihbab (sunnah) saja. Telah tsabat akan
kewajibannya dan ini merupakan madzhab Zhahiriyah, Ishaq dan salah satu
riwayat dari Ahmad. Shiddiq Khan dan Syaukani lebih memilih pendapat ini
(yang mewajibkan tasmiyah, pent.) dan pendapat inilah yang benar insya Alloh
Ta’ala. Rujuklah Sailul Jarar (I/766-77) [karya Imam Syaukani, pent.]” (Lihat
Tamamul Minnah, hal. 89).
Bagi yang memperhatikan ucapan Imam al-Albani rahimahullahu di atas,
jelaslah bahwa telah ada ulama dari salaf dan kholaf yang berpendapat akan
wajibnya tasmiyah ketika wudhu’. Dan ini adalah konsekuensi dari zhahir hadits
Abu Hurairoh di atas, dan barangsiapa yang menganggapnya shahih, maka
wajib mengamalkannya dan memahami sebagaimana zhahirnya, kecuali
apabila ada qorinah yang memalingkannya sedangkan qorinah ini tidak ada.
Sebenarnya satu nukilan dari Imam al-Albani ini telah cukup untuk mematahkan
klaim al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq hafizhahullahu. Dan pernyataan beliau pada
akhir kalimatnya sangat benar, yaitu “Zhahir hadits ini mengharuskan posisi
basmalah terhadap wudhu sama dengan posisi wudhu terhadap sholat, dengan
dalil adanya wawu yang merupakan dilalah iqtiran.” Dengan demikian,
barangsiapa yang tidak bertasmiyah ketika wudhu’ maka wudhu’nya tidak sah.
Demikian ini pembahasannya lebih jauh...
Al-‘Allamah Alu Bassam rahimahullahu berkata di dalam Taudhihul Ahkam
ketika mensyarah hadits Abu Hurairoh yang terdapat di dalam Bulughul Marom
(hadits no. 18 dalam bab Wudhu’ ini) :
“Derajat hadits ini adalah hadits dha’if namun ada jalan-jalan lainnya yang
menguatkannya. Berkata al-Hafizh di dalam at-Talkhish : “Ahmad berkata :
“tidak ada di dalamnya syariat yang tetap dan semua yang diriwayatkan di
dalam bab ini (tasmiyah) tidaklah kuat.” Al-‘Uqoili berkata : “Sanad-sanad hadits
di dalam bab ini di dalamnya terdapat kelemahan (layyin)”. Ahmad berkata
ketika ditanya tentang tasmiyah : “Aku tidak tahu di dalam hal ini ada hadits
yang shahih.” Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata : “Sesungguhnya hadits ini
tidak shahih.” Kemudian Ibnu Hajar berkata : “Yang tampak, pengumpulan
hadits-haditsnya dapat menguatkannya dan menunjukkan bahwa hal ini ada
asalnya.” Asy-Syaukani berkata : “tidak ragu lagi, bahwa banyaknya jalan-jalan
periwayatan hadits ini dapat menjadikannya untuk berhujjah, dan telah
menghasankannya Ibnu Sholah dan Ibnu Katsir.” (Syaikh Alu Bassam berkata)
Dan diantara yang menshahihkan hadits ini adalah : Al-Mundziri, Ibnul Qoyyim,
Ash-Shon’ani, Syaukani dan Ahmad Syakir.” (lihat Taudhihul Ahkam hal. 227)
Kemudian Syaikh Alu Bassam rahimahullahu menjelaskan beberapa faidah
yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut :
1. Wajibnya mengucapkan bismillah di permulaan wudhu’.
2. Zhahir hadits ini menafikan sahnya wudhu’ bagi yang tidak mengucapkan
basmalah.
3. Hadits ini dengan banyaknya jalannya maka shalih untuk dijadikan hujjah,
oleh karena itu para fuqoha’ dari madzhab kami mewajibkan tasmiyah
ketika wudhu’ apaila ia ingat dan tidak wajib (mengulang) apabila ia lupa.
(Lihat Taudhihul Ahkam hal 228).
Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani adalah diantara para ulama yang tegastegas
menyebutkan akan wajibnya tasmiyah, beliau berkata di dalam as-Daroriy
al-Mudhiyyah Syarh ad-Durorul Bahiyyah (matan dan syarh oleh Imam
Syaukani), Bab Ahkamil Wudhu’ (hal. 40-42) :
Matannya berbunyi :
يجب على كل مكلف أن يسمي إذا ذكر ويتمضمض ويستنشق...
“Wajib atas setiap mukallaf (ketika berwudhu’, pent.) untuk bertasmiyah apabila ia
ingat, berkumur dan beristinsyaq…”
Di dalam mensyarh ini, Imam asy-Syaukani rahimahullahu berkata :
“Aku berkata: adapun wajibnya tasmiyah, maka sisi (pendalilannya) adalah
hadits yang datang dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda : “Tidak ada sholat bagi orang
yang tidak berwudhu’ dan tidak ada wudhu’ bagi orang yang belum menyebut
nama Alloh”, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Turmudzi di
dalam al-‘Ilal, Baihaqi, Ibnu Sakkan dan al-Hakim, dan tidak ada di dalam
sanadnya yang dapat menjatuhkannya dari tingkatan i’tibar (diterima), hadits ini
juga punya jalan-jalan lainnya dari hadits Abu Hurairoh yang dikeluarkan
Daruquthni dan Baihaqi, dan dikeluarkan pula yang serupa oleh Ahmad dan
Ibnu Majah dari Sa’id bin Zaid dan dari hadits Abu Sa’id. Yang lainnya
mengeluarkan yang serupa dari hadits Aisyah, Sahl bin Sa’d, Abu Sabroh, ‘Ali
dan Anas.
Tidak disangsikan dan diragukan lagi bahwa hadits ini dapat terangkat sehingga
menjadi dapat berhujjah dengannya, bahkan dengan hadits pertama saja sudah
cukup untuk dijadikan hujjah karena derajatnya yang hasan, lantas bagaimana
lagi jika banyak hadits-hadits lainnya yang warid dalam makna yang sama?
Dengan demikian tidaklah perlu lagi memperpanjang takhrijnya dan pendapat
tentangnya telah ma’ruf. Hadits ini telah menerangkan dengan gamblang
penafian wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah, dan dengan
demikian hadits ini membuahkan faidah syarat yang mengharuskan
ketiadaannya (tasmiyah) meniadakan (wudhu’) dikarenakan sifatnya yang wajib,
maka sesungguhnya inilah yang paling sedikit dapat dipetik faidahnya dari
hadits ini.
Adapun mentaqyid (membatasi) wajibnya tasmiyah hanya pada saat ingat
adalah implikasi dari jama’ hadits ini dengan hadits “barangsiapa yang
berwudhu’ dan menyebut basmalah maka ia sebagai pensuci seluruh tubuhnya,
dan barangsiapa berwudhu’ dan tidak menyebut basmalah maka ia sebagai
pensuci anggota tubuh yang dibasuh dengan wudhu’ saja.” Dikeluarkan oleh
Daruquthni dan Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, namun di dalam sanadnya ada perawi
yang matruk, dikeluarkan oleh Baihaqi dari hadits Ibnu Mas’ud dan di dalamnya
juga ada perawi yang matruk, Meriwayatkan pula Daruquthni dan Baihaqi dari
hadits Abu Hurairoh namun di dalamnya ada dua kelemahan... “ (Lihat as-
Daroriy al-Mudhiyyah hal. 40-42).
Di dalam Subulus Salam Syarh Bulughul Marom (jilid 1, Babul Wudhu’, hadits
no.18-19), Al-Imam Muhammad Isma’il al-Amir ash-Shon’ani rahimahullahu
setelah menjelaskan status hadits tasmiyah dari nukilan para ulama beserta
jalan-jalan hadits lainnya, beliau berkata : “Di dalam banyaknya ucapan-ucapan
(pendapat dalam masalah ini), hanya saja riwayat-riwayat ini saling menguatkan
sebagian dengan sebagian lainnya sehingga tetap menjadikannya kuat, oleh
karena itulah Ibnu Abi Syaibah mengatakan : “telah tsabat bagi kami bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam benar-benar menyabdakannya.” Apabila anda
telah mengetahui hal ini, maka hadits ini menunjukkan akan disyariatkannya
tasmiyah ketika berwudhu’. Zhahir sabda Nabi : “Laa Wudhu’a” berarti tidak sah
dan (dianggap) tidak berwudhu’ tanpa (ucapan) basmalah karena asal di dalam
nafi (peniadaan) adalah hakikatnya.” (Lihat Subulus Salam hal 52).
Syaikh Fahd bin ‘Abdurrahman asy-Syuwayib dalam Shifatu Wudhu’in Nabiy
Shallallahu ‘alaihi wa Salam (hal. 17-18) di dalam mensifatkan sifat wudhu’ Nabi
menyebutkan tasmiyah setelah niat, beliau berkata : “Dari Abu Hurairoh
Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
Tidak ada wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah.” Dikeluarkan
oleh Ibnu Majah no 399, Turmudzi no 26, Abu Dawud no. 101 dan selainnya.
Berkata Syaikh al-Albani : “Hadits Shahih” di dalam Shahihul Jami’ (no. 7444).
Imam Ahmad berpendapat di dalam salah satu dari dua pendapatnya
bahwasanya tasmiyah ini wajib di dalam segala hal, baik wudhu’, mandi dan
tayamum. Dan ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Abu Bakr dan
Madzhab Hasan serta Ishaq. Hal ini disebutkan oleh penulis al-Mughni (I/84)
dan menyebutkan dalilnya hadits yang terdahulu. Ibnu Qudamah berkata :
“Apabila kita berpendapat dengan wajibnya tasmiyah maka meninggalkannya
secara sengaja menyebabkan thoharoh-nya tidak sah, karena meninggalkan
yang wajib di dalam thoharoh serupa dengan meninggalkan niat. Namun apabila
ia meninggalkannya karena lupa maka thoharohnya tetap sah (sebagaimana di
dalam referensi yang telah lewat) dan inilah yang kami rajih-kan. Adapun Ibnu
Taimiyah rahimahullahu, beliau berpendapat akan kewajibannya apabila
haditsnya itu shahih sebagaimana yang terdapat di dalam kitabnya al-Iman, dan
hadits ini adalah hadits yang shahih maka menjadilah pendapat beliau
rahimahullahu mewajibkannya.
Di dalam Shahihain dari Anas Radhiyallahu ‘anhu berkara : Ada sebagian
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencari air wudhu’ maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Apakah ada salah seorang diantara
kalian mempunyai air?” lalu beliau meletakkan tangannya di dalam air sembari
bersabda : “Berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah” Lantas aku melihat
air keluar memancar dari sela-sela jari jemari beliau sehingga mereka semua
orang berwudhu sampai orang terakhir diantara mereka. Tsabit berkata : Aku
bertanya kepada Anas : “Berapa orang yang kamu lihat (berwudhu’)?”, Ia
menjawab : “sekitar 70 orang.” Dikeluarkan oleh Bukhari (I/236), Muslim
(VIII/411) dan Nasa’i (no. 78).
Adapun yang kami berpendapat dengannya di dalam hadits kedua ini adalah
sabda Nabi : “beliau bersabda : berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah”.
Adapun siapa yang berpendapat bahwa tasmiyah hukumnya hanya sunnah
mu’akkadah saja, maka mereka telah menyandarkan kepada pendapat bahwa
hadits yang warid di dalam masalah ini dha’if (yaitu hadits, tidak ada wudhu’...)
sedangkan (realitanya) hadits ini shahih sebagaimana telah kami jelaskan,
maka mereka ini tidak punya hujjah dan kamilah yang memiliki hujjah. Wallohu
a’lam. Maka hukumnya adalah wajib sebagaimana yang kami jelaskan, adapun
orang yang lupa melakukannya maka hendaklah ia bertasmiyah ketika ia ingat.”
(Lihat Shifatu Wudhu’in Nabiy, hal. 17-18)
Bahkan, Syaikh ‘Abdul Azhim Badawi hafizhahullahu di dalam Al-Wajiz fi Fiqhis
Sunnah, Kitab ath-Thoharoh, bab al-Wudhu’ (hal. 32) memasukkan tasmiyah
sebagai syarat sahnya wudhu’.
Al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu di dalam Mulakhosh al-
Fiqhiyyah, Kitab ath-Thoharoh, bab Ahkamul Wudhu’ (hal. 43) mengatakan :
“Para ulama telah berbeda pendapat di dalam hukum tasmiyah pada permulaan
wudhu’, apakah ia hukumnya sunnah ataukah wajib? Hal ini menurut mayoritas
adalah suatu hal yang disyariatkan dan tidak sepatutnya meninggalkannya,
maka hendaklah mengucapkan bismillah dan apabila ditambah ar-Rahman ar-
Rahim maka tidaklah mengapa...”
Dari paparan para ulama di atas, telah jelas bahwa masalah tasmiyah ini adalah
adalah suatu khilaf yang mu’tabar semenjak salaf dan kholaf. Bagi mereka yang
menyatakan akan ketidakwajibannya, maka mereka berpandangan bahwa
hadits tasmiyah ini dha’if dan tidak kuat dijadikan hujjah, sedangkan bagi
mereka yang menshahihkan hadits ini, maka haruslah mengambil zhahir hadits
ini, bahwa tasmiyah adalah wajib hukumnya, dan meninggalkan suatu yang
wajib di dalam wudhu’ maka wudhu’-nya tidak sah.
Dengan demikian, maka masalah tasmiyah yang dicontohkan oleh al-Akh al-
Ustadz Abu Ishaq ini merupakan hujjah bagi kami, bahwa para ulama yang
menshahihkan hadits ini maka haruslah mengambil zhahir lafazh hadits ini,
kecuali apabila ada qorinah yang memalingkan dari zhahirnya sedangkan
qorinah itu tidak ada.
Oleh karena itu, pertanyaan Abu Ishaq yang mengatakan “Analogi dengan
kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada zhahir hadits ini
bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu? Adakah ulama yang
berpendapat demikian?” Maka dengan mudah dapat dijawab –sebagaimana
paparan di atas, bahwa iya! Kita pegang zhahir hadits bahwa apabila tidak
membaca bismillah maka tidak sah wudhu’nya. Dan ulama yang berpendapat
demikian tidaklah sedikit, baik dari kalangan salaf maupun kholaf. Apabila Abu
Ishaq menganalogkan hal ini dengan masalah puasa sunnah hari Sabtu yang
tengah kita diskusikan di sini, maka ini menjadi hujjah yang memperkuat
argumen kami, alhamdulillah.
Tanggapan 7 : Tidak Memalingkan Yang Zhahir dengan Mayoritas Ucapan
Ulama
Al-Akh al-Habib memberikan catatan terhadap kaidah yang saya nukil dari buku
Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits. Catatan beliau sungguh sangat bermanfaat
dan benar sekali, dan catatan yang beliau berikan merupakan tambahan
sekaligus koreksi buat saya. Saya sangat bersepakat terhadap al-Akh Abu
Ishaq bahwa “Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-
Salafus Shalih”, dan ini adalah perkara yang niscaya.
Adapun pendapat yang saya pegang –yaitu merajihkan tahrim dalam masalah
puasa sunnah hari Sabtu- sebagaimana telah berlalu penjelasannya, tidaklah
menyelisihi kaidah salaf dan manhaj salaf dalam hal ini. Bahkan insya Alloh
selaras dengan kaidah dan manhaj mereka, sebagaimana sebagiannya telah
saya turunkan penjelasannya. Ketiadaan penyebutan nama-nama salaf
bukanlah artinya tidak ada salafnya atau pendapat yang kami pegang ini adalah
pendapat baru yang tidak dikenal kecuali setelah abad ke-20 ini.
Tidak dipungkiri, kaidah-kaidah yang saya nukil tersebut tidaklah mutlak. Kaidah
tersebut saya nukil di sini karena berkorelasi dengan pembahasan dan tentunya
tidak dapat dibawa kepada konteks yang tidak tepat. Dalam pembahasan ini,
tampak pada saya bahwa zhahir hadits Alu Busr adalah tegas dan kuat, tidak
dapat dipalingkan melainkan harus dengan qorinah yang lebih kuat, sedangkan
qorinah yang digunakan tidak cukup kuat untuk memalingkan zhahir-nya.
Kecuali apabila al-Akh Abu Ishaq menguatkan hadits Ummu Salamah dan
Aisyah yang notabene merupakan pengkontradiksi yang kuat dalam hal ini,
maka bisa dimungkinkan dilakukannya pemalingan makna dari zhahir sebagai
implikasi dari jama’.
Namun, apabila al-Akh Abu Ishaq berpegang dengan pendapat bahwa hadits
Ummu Salamah dan Aisyah ini tidak shahih dan tidak kuat untuk dijadikan dalil,
maka mau tidak mau untuk memalingkan hadits Alu Busr dengan hadits
Juwairiyah dan hadits puasa nafilah lainnya tidak cukup kuat. Oleh karena itulah
Abu Ishaq harus menurunkan pembahasan masalah hadits-hadits yang
dikontradiksikan ini dulu, baru menginjak ke masalah jama’ atau tarjih di
dalamnya. Apabila Abu Ishaq menguatkan penshahihan hadits Aisyah dan
Ummu Salamah, maka ta’qib terhadap pendhaifan Syaikh ‘Ali dan Ra’id Alu
Thahir sangatlah diperlukan…
Adapun masalah puasa kafarat dan nadzar apakah termasuk bagian dari puasa
fima ufturidha ‘alaikum, maka ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun,
yang menjadi catatan di sini, para ulama yang memasukkan puasa nadzar,
kaffarah dan qodho’ ke dalam fima ufturidha ‘alaikum tidaklah keluar dari zhahir.
Karena, mereka yang memasukkan jenis dan macam puasa ini ke dalamnya
memahami bahwa macam puasa tersebut termasuk bagian dari puasa faridhah.
Maka, tentu saja tidak menyelisihi lafazh fima ufturidha ‘alaikum tersebut. Oleh
karena itulah tidak heran apabila kita melihat pendapat Imam al-Albani yang
menyatakan bahwa, barangsiapa berpuasa sunnah pada hari Jum’at dan ia lupa
atau lalai belum berpuasa pada hari Kamis, maka ia wajib berpuasa pada hari
Sabtu. Karena menurut Imam al-Albani rahimahullah, terlarang hukumnya
berpuasa sunnah pada hari Jum’at secara bersendirian, apabila ia lupa
berpuasa pada hari Kamis yang merupakan mukhoyyar (pilihan), maka ia harus
berpuasa pada hari Sabtu dan puasanya pada hari Sabtu (sebagai pengiring
hari Jum’at) menjadi wajib statusnya sehingga masuk ke dalam fima ufturidha
‘alaikum.
Al-Muhim (yang penting) di sini adalah, selama bisa difahami dengan dalil yang
kuat bahwa puasa tersebut adalah puasa wajib, maka masuk ke dalam lafazh
fima ufturidha ‘alaikum. Allohu A’lam. Adapun hadits yang dinukil oleh al-Akh
Abu Ishaq tidaklah membatasi hanya puasa Ramadhan saja yang merupakan
puasa wajib, namun perlulah kiranya menelaah dalil-dalil lainnya dalam masalah
ini dan perlunya pembahasan tersendiri.
Tanggapan 8 : Mengamalkan Dalil Walaupun Salaf Shalih Menyelisihinya
Al-Akh Al-Karim Abu Ishaq berkata :
Ucapan beliau ini didasari kaedah:
يجب العمل بالدليل ولو خالفه من خالفه من السلف الصالح رضوان الله عليهم
“Wajib mengamalkan dalil walaupun kaum salafus shalih menyelisihinya.”
Allahumma! Kaedah ini tentu perlu pencermatan sempurna agar tidak salah
dalam menerapkan dan melangkah. Kaedah ini tidak bisa diterapkan seperti
zhahirnya. Jika demikian, maka benarlah mereka yang menolak mengikuti
manhaj salaf dengan alasan yang penting adalah mengamalkan dalil dan
ucapan salaf bukanlah hujjah.
Salaf yang mana atau dalam kondisi bagaimana yang menyelisihi dan dianggap
bukan hujjah? Apakah berlaku secara mutlak ataukah tidak? Perlu perincian
tentunya sebelum kita menggunakan kaedah ini.
Bukankah kita senantiasa mendengung-dengungkan Al-Kitab was Sunnah bi
Fahmi Salafil Ummah!? Maka bagaimana implementasi kaedah ini dengan apa
yang kita suarakan secara lantang itu? Kembali kepada kaedah awal yang saya
bawakan di atas yang diambil dari buku yang sama dan bab yang sama,
يجب فهم الدليل على ما فهمه السلف الصالح
“Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-Salafus Shalih.”
Dan bandingkan juga dengan sederet kaedah lain di bab Qaulush Shahabi,
masih di buku yang sama. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.
Jawab :
Apa yang dipaparkan oleh Abu Ishaq adalah benar adanya, bahwa tidak mutlak
kaidah ini bisa digunakan dalam segala kondisi. Saya menukil kaidah di atas
tentu saja di dalam pembahasan yang sedang kita diskusikan ini maka
penempatannya juga harus di dalam masalah yang kita diskusikan ini.
Bukankah sering kita dengar ucapan :
لك ّ ل مقال مقام و لك ّ ل مقام مقال
“Setiap ucapan itu ada tempatnya (konteksnya) dan setiap tempat
(pembahasan) itu ada ucapannya (tersendiri).”
Demikian pula dengan kaidah yang saya gunakan, yaitu “Wajib mengamalkan
dalil walaupun salaf shalih menyelisihinya”. Kaidah ini tentu saja tidak
berbenturan dengan kaidah “wajib memahami dalil dengan apa yang difahami
oleh salaf shalih.” Karena kedua konteks ini berbeda. Dalam hal ini, kaidah
pertama selaras dengan mendahulukan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ketimbang lainnya, sedangkan kaidah kedua wajibnya mendahulukan
pemahaman salaf shalih dibandingkan pemahaman selainnya. Dan kaidah ini
sangat butuh perincian dan tidak mutlak sebagaimana adanya. Saya setuju
dengan al-Akh Abu Ishaq bahwa perincian-perincian di dalam masalah ini
sangatlah penting. Dikarenakan kaidah di atas tidak saya turunkan dengan
perinciannya secara lengkap, maka bisa jadi pemahaman kaidah di atas akan
bisa diselewengkan.
Telah berlalu di dalam risalah sebelumnya, nukilan dari al-Imam Ibnul Qoyyim di
dalam I’lamul Muwaqqi’in akan wajibnya mengamalkan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam walaupun tidak ada imam yang mengamalkannya.
Bahkan hal ini merupakan manhajnya para sahabat dan tabi’in ridhwanullah
‘alaihim ajma’in. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu juga berkata di dalam ash-
Showa’iqul Mursalah (III/1063) : “Dahulu ’Abdullah bin ‘Abbas berhujjah di dalam
masalah haji tamattu’ dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
dan beliau perintahkan para sahabatnya untuk melakukannya. Para sahabat
beliau berkata kepadanya : Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar melakukan haji
secara bersendirian dan tidak melakukan tamattu’, maka tatkala jumlah mereka
semakin banyak Ibnu ‘Abbas berkata : “Nyaris saja turun bebatuan dari atas
langit menimpa kalian, aku berkata kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersabda, kalian malah berkata Abu Bakr dan ‘Umar
berkata…” dan yang semisal pula adalah ‘Abdullah bin ‘Umar ketika haji
tamattu’ beliau memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya, namun
sahabatnya berkata : “Sesungguhnya bapakmu (‘Umar bin Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu) melarangnya!” Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Aku tanya,
Rasulullah kah yang lebih berhak kalian tiru ataukah ‘Umar?”
Dan contoh dalam hal ini sangatlah banyak. Hal ini menunjukkan bahwa ucapan
Rasulullah haruslah lebih didahulukan daripada siapapun setinggi apapun
derajatnya. Karena hujjah itu berada di lisan Rasulullah bukan di lisan orangorang
selain beliau. Hal ini bukanlah artinya kita memahami bahwa, ucapan
sahabat bukanlah hujjah sama sekali. Tidak! Sekali-kali bukan demikian
maksudnya! Ucapan sahabat dapat menjadi hujjah, berikut ini adalah
penjelasan singkatnya :
1. Ucapan sahabat yang tidak ada nash-nya (dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) –
walaupun tidak masyhur- dianggap sebagai hujjah apabila tidak ada sahabat
lainnya yang menyelisihinya.
2. Ucapan sahabat apabila masyhur tersebar luas dan tidak ada seorang
sahabatpun yang menyelisinya maka dianggap sebagai ijma’ dan hujjah.
3. Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah yang tidak ada asal
di dalamnya, maka tidaklah dikedepankan ucapan sebagian dari sebagian
lainnya.
4. Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah kepada dua
pendapat, maka pendapat yang di dalamnya ada salah seorang dari
Khulafa`ur Rasyidin adalah lebih rajih dibandingkan selainnya.
5. Para sahabat lebih mengetahui tentang suatu riwayat dibandingkan
selainnya.
6. Apabila seorang sahabat menyelisihi apa yang ia riwayatkan, maka yang
dianggap (dijadikan dalil) adalah apa yang ia riwayatkan bukan yang ia
fahami.
(Lihat pembahasan ini secara detailnya di Ushulul Fiqhi ‘ala Manhaj Ahlil
Hadits bab Qoulu ash-Shohabiy).
Apabila ucapan para sahabat saja memiliki persyaratan tertentu untuk bisa
dijadikan dalil, terlebih lagi ucapan selain sahabat. Namun, bagaimanapun tidak
diingkari bahwa para salaf shalih adalah mereka yang lebih ‘alim tentang suatu
dalil, pendapat mereka lebih a’lam, aslam dan ahkam dibandingkan selainnya.
Namun, hal ini tidaklah seratus persen demikian, karena mereka juga sama
dengan manusia lainnya, terkadang salah dan terkadang benar, walaupun
kesalahan mereka jauh lebih sedikit dibandingkan lainnya.
Yang harus digarisbawahi di sini adalah, pembahasan kita di sini bukanlah
berbicara tentang ijma’us salaf yang tidak syak lagi merupakan hujjah. Namun
yang kita bicarakan di sini adalah pendapat orang perorang dari salaf. Tentu
saja ucapan orang perorang dari salaf bukanlah hujjah. Dan yang menjadi
hujjah itu adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Dengan demikian, mendahulukan Sunnah Rasulullah Shallalallahu ‘alaihi wa
Salam adalah suatu kewajiban sedangkan mengikuti ucapan (orang perorang)
dari salaf shalih tidak wajib, dan ini sendiri merupakan bagian dari manhaj salaf.
Tidak menerima ucapan salaf shalih bukan artinya tidak menerima manhaj salaf,
bahkan menolak ucapan salaf shalih yang menyelisihi hujjah termasuk bagian
dari manhaj salaf, yang salaf sendiri mengamalkannya.
Dengan demikian mudah-mudahan menjadi jelas apa saya paparkan
sebelumnya dari kaidah yang saya nukil di atas. ‘Ala kulli hal, suatu ucapan itu
ada tempat pembahasannya tersendiri dan suatu pembahasan tentulah ada
ucapannya tersendiri.
Jangan sampai ada yang kembali berfikir, bahwa pendapat yang merajihkan
tahrim di dalam puasa sunnah hari Sabtu adalah pendapat yang la salafa lahu
(tidak ada salafnya), pendapat yang baru (muhdats), yang baru muncul pada
abad XX Masehi atau XIV Hijriah!!! Sehingga, untuk menguatkan pendapat yang
tidak ada salafnya ini maka kaidah di atas digunakan. Sekali-kali tidak
demikian!! Ini adalah suatu fikiran yang tidak benar, berangkat dari minimnya
penelaahan dan kurangnya pemahaman. Masalah ini telah dijawab pada risalah
sebelumnya dan mudah-mudahan telah mencukupi.
Penutup
Demikian inilah sekelumit tentang tanggapan dan ta’qib (sanggahan) saya
kepada al-Akh al-Habib, saudara yang saya cintai karena Alloh, senior saya
dalam hal amal dan ilmu, Abu Ishaq Umar Munawwir as-Sundawi hafizhahullahu
wa nafa’allohu bihi. Saya tidak bisa pungkiri, bahwa ta’qib beliau kepada risalah
saya, walaupun ringkas dan singkat adanya namun merupakan ta’qib yang
berat. Saya banyak mengambil faidah dan manfaat darinya.
Tiada tujuan saya di dalam masalah ta’qib menta’qib ini melainkan untuk
mencari al-Haq. Saya telah kemukakan kepada al-Akh al-Karim Abu Ishaq
beberapa waktu silam ketika beliau menelpon saya, bahwa saya sangat butuh
ifadah dari beliau yang mungkin beliau bisa mendatangkan hujjah yang lebih
kuat sehingga saya dapat meninggalkan pendapat yang saya pegang ini.
Tidak ada maksud dan tujuan dari diskusi ini melainkan untuk mencari
kebenaran, meningkatkan semangat dan gairah untuk belajar dan muthola’ah
kitab-kitab ilmu yang sarat faidah dan manfaat, dan untuk meramaikan kajiankajian
ilmiah yang selama ini sudah mulai –sedikit banyak- dilupakan dan
ditinggalkan umat. Yang ada kebanyakan mereka malah sibuk dengan sikap
saling mencela, menjelekkan, menfitnah dan semacamnya yang berangkat dari
fanatisme buta dan kebodohan.
Sungguh indah dan tepat apa yang diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu di dalam al-Majmu’ 24/172) yang mengatakan :
وقد كان العلماء من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إذا تنازعوا في الأمر اتبعوا أمر الله تعالى في قوله:
"فإ ْ ن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إ ْ ن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن
تأوي ً لا"، وكانوا يتناظرون في المسألة مناظرة مشاورة ومناصحة، وربما اختلف قولهم في المسألة العلمية
والعملية مع بقاء الألفة والعصمة وأخوة الدين...
“Adalah para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka,
apabila berselisih di dalam suatu perkara, mereka ikuti perintah Alloh Ta’ala di
dalam firman-Nya (yang artinya) : “Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Mereka
dahulu sering berdiskusi di dalam suatu masalah dengan dialog, musyawarah
dan munashohah (sikap saling menasehati). Betapa banyak perbedaan
pendapat dari mereka di dalam permasalahan ‘ilmiyah dan ‘amaliyah namun
dengan tetap saling bersatu, menjaga kehormatan dan ukhuwwah fid dien…”
Saya di dalam menyusun ini, tidak ada keinginan untuk membela pendapat
Imam al-Albani salah maupun benar, atau fanatik kepada beliau. Sama sekali
tidak!!! Saya mencintai beliau sebagai salah satu imam besar di zaman ini,
namun hal ini tidaklah menjadikan beliau ma’shum dari kesalahan-kesalahan.
Saya juga mencintai Imam Ibnu ‘Utsaimin yang berseberangan dengan beliau di
dalam masalah ini. Saya juga mencintai para ulama dan thullabul ‘ilmi yang turut
berdiskusi ilmiah di dalam masalah ini, menyumbangkan ilmu dan
pembahasannya secara mendalam yang benar-benar sarat akan faidah dan
manfaat, seperti Syaikhuna ‘Ali Hasan al-Halabi, Syaikh ‘Ali Ridha, Syaikh Ra’id
Alu Thahir, Syaikh Luqman Abu ‘Abdillah al-Anshori, Syaikh Abu ‘Umar al-
Utaibi, Syaikh Abul Baro’ al-Kinani, Syaikh ‘Abdul Hamid al-‘Arobi dan selain
mereka hafizhahumullahu. Dan janganlah masalah ini dijadikan sebagai sarana
untuk berpecah belah dan saling mencela.
-
Saya sangat salut kepada saudara-saudara saya penuntut ilmu di Bandung,
terutama para ikhwah salafiyah alumnus ITB Bandung yang menyibukkan diri
mereka untuk ilmu yang bermanfaat dan tidak menyibukkan diri dengan qilla wa
qoola dan desas-desus dari para futtan (penyebar fitnah) dan munaffirin yang
berpakaian dan berkedok salafiyyah namun amal dan ilmu mereka jauh darinya.
Semoga semangat ilmiah seperti ini senantiasa terpelihara dan kita tetap
istiqomah di manhaj yang lurus dan salim ini. Amien ya Robbal ‘Alamien.
Saya juga perlu menghaturkan permintaan maaf kepada semua fihak, terutama
al-Akh al-Habib Abu Ishaq apabila ada kata-kata yang tidak berkenan atau
salah, harap kiranya dikoreksi dan diluruskan dengan cara yang baik dan
hikmah. Kepada ikhwah lainnya juga, saya sangat mengharapkan saran dan
tegur sapa, kritik dan ta’qib ilmiah yang membangun dan bermanfaat, agar
semakin bertambah kecintaan kita dan ilmu kita di dalam meniti manhaj ilmiah
yang mulia ini.
Segala yang benar dari risalah ini adalah hanya dari Alloh dan kema’shuman itu
milik Alloh semata yang diberikan hanya kepada Rasul dan Nabi-Nya, dan
segala yang salah dari risalah ini berasal dari diri saya dan syaithan yang
senantiasa mengintai dan menyeru agar mengikuti langkahnya, na’udzu billahi
min syururi anfusina wa min sayyi’ati a’malina wa min waswasi syayathina.
وجزى الله تعالى كلَّ من شارك في هذا النقاش العلمي، وش جع عليه، وأسأله تعالى أن يوفقنا لما يرضاه،
وأن يسدد أقوالنا وأعمالنا، وأن يرزقنا الإخلاص وتجريد المتابعة.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
وصل اللهم على سيدنا محمد وعلى آله و صحبه وسلم.
Diselesaikan tanggal 15 Shofar 1428 bertepatan dengan 5 Maret 2007 di Malang
Muhibbukum Fillah
Al-Faqir ila’ Afwa Robbihi
Abu Salma bi Burhan bin Yusuf al-Atsari
Daftar Bacaan :
- Ad-Darooriy al-Mudhiyyah Syarh as-Durorul Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali
asy-Syaukani, tanpa tahun, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon.
- Al-Wadhih fi Ushulil Fiqhi lil Mubtadi`in, DR. Muhammad Sulaiman ‘Abdullah
al-Asyqor, cetakan IV, 1412 H/1996 M, Darun Nafa`is, Amman, Yordanina.
- Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, ‘Abdul Azhim Badawi, cetakan I,
1416 H/1995 M, Dar Ibnu Rojab, Dimyathi, Mesir.
- Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid 1, tanpa tahun, Darul Fath lil I’lam ar-
Arobiy, Kairo, Mesir.
- Puasa Sunnah Hukum dan Keutamaannya, (terjemahan dari Shiyamut
Tathowwu’ Fada`il wa Ahkam), Usamah ‘Abdul Aziz, pent. Abillah, Lc.,
cetakan I, 1425 H/2005 M, Darul Haq, Jakarta, Indonesia.
- Subulus Salam Syarh Bulughul Maram min Jam’i Adillatil Ahkam,
Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shon’ani, Juz 1, tanpa tahun, Maktabah
al-Hidayah (terbitan lokal), Surabaya, Indonesia.
- Shifatu Wudhu’ an-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Fahd bin
‘Abdurrahman as-Syuwayib, cetakan IV, 1407 H/1986 M, Darul Hijrah lin
Nasyr wat Tauzi’, Riyadh, KSA.
- Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul, Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Cetakan
I, 1425 H/2003 M, Darul Aqidah, Iskandaria & Kairo, Mesir.
- Syarh Manzhumah al-Baiquniyah fi Mustholahil Hadits, Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, cetakan I, 1423 H/2002 M, Dar ats-Tsuroya lin Nashr wat
Tauzi’, Riyadh, KSA.
- Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Muhammad Nashiruddin al-
Albani, cet II, Darur Royah, didownload dari http://www.waqfeya.com.
- Zahru Roudhi fi Hukmi Shiyami Yaumas Sabti fi Ghoiril Fardhi, ‘Ali bin Hasan
bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid al-Halabi, cetakan I, 1412 H/1996 M, Darul Asholah,
Zarqo, Yordania.
- Al-I’lam bianna Shouma as-Sabti fin Nafli laysa biharam, Abul Bara’ al-
Kinani, didownload dari http://www.ahlalhdeeth.com
- Al-Qoulul Mubram fi Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Abdil Bari ‘Abdul Hamid al-
‘Arobi, http://www.sahab.net
- Al-Qoul ats-Tsabt fi Hurmati Shiyami Yaumas Sabti Munazhoroh ‘Ilmiyyah
haula Hukmi Shiyami Yaumas Sabti, Abu Sanad Muhammad, didownload
dari http://www.sahab.net
- Al-Qoulu ats-Tsabt fi Ma’na Haditsin Nahyi ‘an Shiyami Yaumas Sabti, Abu
‘Abdirrahman ‘Athiyah Bayazid, http://www.barq.com
- Al-Qoulu ats-Tsabit fi Hukmi Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Ubaidah Mahmud,
- Al-Qoul al-Qowim fi Istihbabi Shiyami Yayma as-Sabti fi Ghoyril Fardhi min
Ghoyri Takhshish wa Qoshdi Ta’zhim, Abu ‘Umar Usamah bin ‘Athoya bin
‘Utsman al-‘Utaibi, didownload dari http://www.otiby.net
- At-Tanbi’ah wat Ta’rifah fi Ahkami Shiyami Yauma ‘Arofah, Syaikh Salim bin
“ied al-Hilali, http://www.islamfuture.net
- Hiwar Baina asy-Syaikh al-Albani wa asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad
haula Shiyami Yaumas Sabti, ditranskrip oleh Syaikh Luqman Abu ‘Abdillah
al-Anshari al-Ajurri, didownload dari http://www.ajurry.com
- Inkarus Shomat ‘ala Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Abdillah Nashiruddin asy-
Syafi’i, http://www.sahab.ws/3853
- Jawabus Syaikh Muhammad al-Hammud an-Najdi fi Hukmi Shiyami Yaumas
Sabti, http://www.alathary.net
- Madzahibu Ahlil ‘Ilmi fi Ifradi Yaumis Sabti bish Shiyam, Al-Amin al-Haj
Muhammad, http://islamadvice.com
- Shiyamus Sabti La Yajuz illa fil Faridhah : Ta’qib Syaikh ‘Ali Ridha ‘ala
Maqulati Syaikh Abi ‘Umar al-Utaibi, http://www.sahab.net
- Tanbih Dzawil ‘Uquli as-Sadidah ila Hukmi Shoumis Sabti fi Ghoyri Faridhah,
Abu Hisamuddin ath-Thorfawi {dikirim oleh al-Akh Abu Aqil}.
- Ta’qib Syaikh Abi Mu’adz Ro`id Alu Thohir ‘ala Maqulatani Syaikh Abu ‘Umar
al-Utaibi wa Syaikh ‘Abdul Hamid al-‘Arobi
- Ta’qib Syaikh Abu ‘Abdillah al-Ajurri Ridha ‘ala Maqulati Syaikh Abi ‘Umar al-
Utaibi, http://www.sahab.net
- Waqofaat wa Masa`il Haula Yawmi ‘Arofah, http://www.saaid.net
- Yasyro’u Shiyama Yauma ‘Arofah wa in Wafaqo Yaumas Sabti, DR.
Hisamuddin ‘Afanah, http://www.yasaloonak.net
- Dan artikel-artikel lainnya seputar masalah puasa sunnah hari Sabtu di
beberapa wesbite.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar